KONSEP PEDIDIKAN KARAKTER DAN MULTIKULTU
PENDIDIKAN KARAKTER DAN MULTIKULTURAL
(DOSEN PENGAJAR Dr. L. A. LONTOH, M.Si)
Konsep pendidikan karaker dan multikultural
Pendidikan karakter dan multikultural bagi bangsa dan negara
Pendidikan karakter di Indonesia
Kaitan pendidikan karakter dan multikultural
Oleh:
SUHARDI SAHMIL
Nim: 13869038
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
PROGRAM PASCA SARJANA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menyongsong era globalisasi saat ini dibutuhkan sumber daya manusia
yang memiliki kwalitas kecerdasan yang tinggi serta mampu menghadapi
persaingan dunia. Untuk mencapai hal itu maka pendidikan memberi pengaruh
yang cukup penting sehingga harus dipahami makna dari pendidikan. Ki Hajar
Dewantara
(dalam
www.wawan_junaidi.com
2014)
menjelaskan
tentang
pengertian pendidikan yaitu: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan
jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Lembaga
pendidikan seharusnya melaksanakan aktivitas-aktivitas untuk mendukung
pengembangan pengetahuan peserta didiknya. Pendidikan memiliki tujuan
umum yakni untuk memanusiakan manusia sehingga dalam pendidikan yang
diolah
bukan
hanya kecerdasan otak (head) tetapi juga kecerdasan hati
(heart), dan ketrampilan untuk menciptakan (hand). Pendidikan dikatakan
berhasil bila ketiga aspek tersebut berpadu (balanced) dalam diri peserta didik.
Pendidikan merupakan salah satu unsur pembentukan karakter dan
perkembangan diri manusia. Pendidikan seolah tidak henti-hentinya menjalankan
peran penting untuk menjadikan manusia dari tidak mengetahui menjadi paham
(mafhum). Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi peserta didik
(anak) perlu ditingkatkan, mengingat pendidikan merupakan salah satu unsur
yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus diterimanya. Serta
pendidikan akan membawa masyarakat itu sendiri menuju kepada kemajuan,
baik kemajuan dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kemajuan yang
diharapkan oleh masyarakat yaitu ketenteraman, kerukunan, serta terhindar dari
berbagai macam bentuk konflik.
Akhir-akhir ini banyak kita jumpai dalam tayangan televisi dan media
cetak, banyak sekali kasus konflik yang semakin memprihatinkan. Kasus konflik
di Lampung misalnya, bentrok antar umat beragama, antar suku etnis, dan lainlain. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik peristiwa tersebut? Bukankah seluruh
2
agama di dunia melarang untuk berbuat kekerasan? Sungguh ironis memang,
dengan kejadian seperti ini. Dibutuhkan solusi untuk mengatasi masalah
tersebut sehingga terwujud masyarakat yang cinta akan perdamaian, saling
menghargai antar sesama, dan tentunya terwujud masyarakat madani.
Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada hakekatnya
memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar
(smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan
manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan
manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit
atau bahkan
dikatakan
sangat
sulit.
Dengan
demikian,
sangat
wajar
apabila
bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit
kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian
menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter dan kultur.
Rujukan kita sebagai orang yang beragama terkait dengan problem moral dan
pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari kasus yang marak terjadi
saat ini seprti korupsi, tauran pelajaran dan lainsebagainya.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewa
sa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya
untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu
para siswa
membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai
yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada
nilai-nilai tertentu --seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, dan adil-dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilainilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
B. Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan karater dan multikultural.
2. Mengapa pendidikan karakter dan multikultural penting bagi kehidupan
bangsa dan negara.
3. Bagaimana pendidikan karakter di Indonesia
4. Bagaimana kaitan pendidikan karakter dan multikultural.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Karater dan Multikultural
1. Konsep Pendidikan Karakter
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang
berarti to
engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat
batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian
diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan
sutu
pandangan bahwa karakter adalah „pola perilaku yang bersifat
individual, keadaan moral seseorang‟. Setelah melewati tahap anak-anak,
seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter
seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Ryan, 1999:
5).
Karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing
the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik
(acting the good).
Ketiga
ideal
ini
satu
sama
lain
sangat
berkaitan.
Seseorang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-dorongan primitif yang ada
dalam dirinya kemungkinan dapat memerintahkan atau menguasai akal
sehatnya. Maka, efek yang mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan
seseorang akan dapat mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu
besar menjadi beriringan secara harmoni atas bimbingan akal dan juga
ajaran agama.
Mengetahui yang baik berarti dapat memahami dan membedakan antara
yang baik dan yang buruk. Mengetahui yang baik berarti mengembangkan
kemampuan untuk menyimpulkan atau meringkaskan suatu keadaan, sengaja,
memilih sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan kemudian melakukannya.
Aristoteles menyebutnya dengan practical wisdom (kebijakan praktis). Memiliki
kebijakan
praktis
berarti
mengetahui
keadaan
apa
yang
diperlukan.
Mengetahui, misalnya, siswa dapat merencanakan kegiatan mereka, seperti
bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan rumah mereka, menghabiskan
waktu dengan keluarga dan teman-teman mereka. Tetapi kebijakan praktis
4
tidak semata-mata tentang manajemen waktu, melainkan berkaitan
pula
dengan prioritas dan pemilihan sesuatu yang baik dalam semua suasana
kehidupan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membuat komitmen
yang bijak dan menjaganya (Kevin Ryan, 1999: 5).
Selanjutnya
Aristoteles mendefiniskan karakter yang baik sebagai
tingkah laku yang benar --tingkah laku yang benar dalam hubungannya
dengan orang lain dan juga dengan diri sendiri. Di pihak lain, karakter, dalam
pandangan filosof kontemporer seperti Michael Novak, adalah campuran atau
perpaduan dari semua kebaikan yang berasal dari tradisi keagamaan, cerita,
dan pendapat orang bijak, yang sampai kepada kita melalui sejarah.
Menurut Novak, tak seorang pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena
setiap orang memiliki kelemahan-kelemahan. Seseorang dengan karakter
terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991: 50).
Karakter
dapat
didefinisikan
sebagai
segala usaha yang dapat
dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui
pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter
yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa
pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu
seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilainilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definisi tersebut, ketika kita berpikir
tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah
bahwa ketika itu kita menghendaki agar mereka mampu memahami nilainilai
tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya
nilai-nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun
harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dari dalam
dirinya. Dengan kata lain mereka meliliki „kesadaran untuk memaksa diri‟
melakukan nilai-nilai itu.
Pengertian yang disampaikan Lickona di atas memperlihatkan adanya
proses perkembangan
perasaan
yang
melibatkan
pengetahuan
(moral
knowing),
(moral feeling), dan tindakan (moral action), sekaligus juga
memberikan dasar yang kuat untuk membangun pendidikan karakter yang
koheren dan komprehensif. Definisi di atas juga menekankan bahwa kita harus
mengikat para siswa dengan kegiatan- kegiatan yang akan mengantarkan
5
mereka berpikir kritis mengenai persoalan- persoalan etika dan moral;
menginspirasi mereka untuk setia dan loyal dengan tindakan-tindakan etika
dan
moral;
dan
memberikan
kesempatan
kepada
mereka untuk
mempraktikkan perilaku etika dan moral tersebut.
1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral):
Terdapat beragam jenis pengetahuan moral yang berkaitan dengan
tantangan moral kehidupan. Berikut ini enam tahap yang harus dilalui dalam
rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral:
a.
Moral
awarness
(kesadaran
moral).
Kelemahan
moral
yang
melanda hampir semua manusia dari segala jenis usia adalah adanya kebutaan
atau kepapaan moral. Secara sederhana kita jarang melihat adanya cara-cara
tertentu dalam masyarakat yang memperhatikan dan melibatkan isu-isu moral
serta penilaian moral. Anak-anak muda misalnya, sering kali tidak peduli
terhadap hal ini; mereka melakukan sesuatu tanpa mempertanyakan kebenaran
suatu perbuatan.
b. Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral). Nilai-nilai moral
seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab
terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan-santun, disiplin-diri,
integritas, kebaikan, keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian,
secara keseluruhan menunjukan sifat-sifat orang yang baik. Kesemuanya itu
merupakan warisan dari generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan.
Literatur etika mensyaratkan pengetahuan tentang nilai-nilai ini. Mengetahui
nilai-nilai di atas berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai itu
dalam berbagai situasi.
c. Perspective-taking. Perspective-taking (hasibu anfusakum qabla
antuhasabu) adalah kemampuan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa
yang menimpa atau terjadi pada orang lain; melihat suatu keadaan
sebagaimana mereka melihatnya; mengimajinasikan bagaimana mereka
berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Hal ini merupakan prasyarat bagi
dilakukannya penilaian moral. Kita tidak dapat menghormati orang lain dan
berbuat adil atau pantas terhadap kebutuhan mereka apabila kita tidak dapat
memahami mereka. Tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk
membantu siswa agar mereka bisa memahami dunia ini dari sudut pandang
orang lain, terutama yang berbeda dari pengalaman mereka.
6
d. Moral reasoning (alasan moral). Moral reasoning meliputi pemahaman
mengenai apa itu perbuatan moral dan mengapa harus melakukan perbuatan
moral. Mengapa, misalnya, penting untuk menepati janji? Mengapa harus
melakukan yang terbaik?. Moral reasoning pada umumnya menjadi pusat
perhatian penelitian psikologis berkaitan dengan perkembangan moral.
e. Decesion-making (pengambilan keputusan). Kemampuan seseorang
untuk mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu
keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari
pengambilan keputusan moral itu, bahkan harus sudah diajarkan sejak TK
(Taman Kanak-kanak).
f. Self-knowledge. Mengetahui diri sendiri atau mengukur diri sendiri
merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat
penting bagi perkembangan moral. Menjadi orang yang bermoral memerlukan
kemampuan untuk melihat perilaku diri sendiri dan mengevaluasinya secara
kritis.
Perkembangan atas self-knowledge ini meliputi kesadaran akan
kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan bagaimana mengkonpensasi
kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan itu
adalah dengan menjaga 'jurnal etik' (mencatat peristiwa-peristiwa moral yang
terjadi, bagaimana merespon peristiwa moral itu, dan apakah respon itu dapat
dipertanggung jawabkan secara etika).
2. Moral Feeling (Perasaan Moral):
Sisi emosional dari karakter seringkali diabaikan dalam pembahasanpembahasan mengenai pendidikan moral, padahal hal ini sangat penting.
Sungguh (secara sederhana), mengetahui yang benar tidak menjamin perilaku
yang benar. Banyak orang yang sangat pandai ketika berbicara mengenai yang
benar dan yang salah, akan tetapi justru mereka memilih perbuatan yang salah.
a. Conscience (Kesadaran). Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif
(pengetahuan tentang sesuatu yang benar), dan sisi emosional (perasaan
adanya kewajiban untuk melakukan apa yang benar itu). Kesadaran yang
matang, disamping adanya perasaan kewajiban moral, adalah kemampuan
untuk mengonstruksikan kesalahan. Apabila seseorang dengan kesadarannya
7
merasa berkewajiban untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara
tertentu, maka ia pun bisa menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan
yang salah.
Bagi banyak orang, kesadaran adalah persoalan moralitas.
Mereka
memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupannya, karena nilainilai itu memiliki akar yang kuat dalam moral-diri mereka sendiri (moral self/hati
nurani). Seperti, seseorang tidak dapat berbohong dan menipu karena mereka
telah mengidentifikasikan dengan tindakan moral mereka;
'telah
mereka merasa
keluar dari karakter' ketika mereka melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan nilai- nilai mereka. Menjadi orang yang secara pribadi
memiliki komitmen terhadap nilai- nilai moral ternyata memerlukan proses
perkembangan, dan membantu siswa dalam proses ini merupakan tantangan
bagi setiap guru pendidikan moral.
b. Self-esteem (penghargaan-diri). Ketika kita memiliki ukuran yang
sehat terhadap penghargaan-diri, kita menilai diri kita sendiri. Ketika kita menilai
diri kita sendiri, kita akan menghargai atau menghormati diri kita sendiri. Kita
tidak akan menyalahgunakan
anggota tubuh
atau pikiran
kita
atau
mengizinkan pihak-pihak untuk menyalah gunakan diri kita.
Ketika kita memiliki penghargaan-diri, kita tidak akan bergantung pada
restu atau izin pihak lain. Pembelajaran yang memperlihatkan siswa dengan
penghargaan- diri yang tinggi memiliki tingkat halangan yang lebih besar bagi
sejawatnya untuk memberi tekanan kepadanya.
Ketika kita memiliki penghargaan yang positif terhadap diri kita sendiri,
kita lebih suka memperlakukan orang lain dengan cara-cara yang positif pula.
Ketika kitakurang memiliki penghormatan terhadap diri sendiri, maka baginya
juga sangat sulit untuk mengembangkan rasa hormat kepada pihak lain.
Penghargaan-diri
yang
tinggi
tidak
dengan
sendirinya
dapat
menjamin karakter yang baik. Hal ini bisa terjadi karena penghargaan-diri
yang dimilikinya tidak didasarkan pada karakter yang baik, seperti misalnya
karena kepemilikan, kecantikan
atau
kegantengan,
populritas,
atau
kekuasaan. Salah satu tantangan sebagai pendidik adalah membantu siswa
untuk mengembangkan penghargaan-diri yang didasarkan pada nilai-nilai
seperti halnya tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan, atau didasarkan pada
8
keyakinan pada kemampuan diri untuk kebaikan.
c. Empathy (empati). Empati adalah identifikasi dengan, atau seakanakan mengalami, keadaan yang dialami pihak lain. Empati memungkinkan kita
untuk memasuki perasaan yang dialami pihak lain. Empati merupakan sisi
emosional dari perspective-taking (hasibu anfusakum qabla antuhasau).
Dewasa ini kita sedang menyaksikan hancurnya empati dalam
kehidupan masyarakat. Misalnya, meningkatnya kriminalitas anak-anak muda
yang mengarah kepada sikap brutal. Mereka pada dasarnya mampu
mengembankan empatinya terhadap sesuatu yang mereka ketahui dan peduli,
tetapi mereka sama sekali tidak dapat
menunjukkan
perasaan
empati
mereka kepada orang-orang yang menjadi korban dari kekerasannya. Salah
satu tugas pendidik moral adalah mengembangkan empati yang bersifat umum.
d. Loving the good. Bentuk karakter yang paling tinggi diperlihatkan
dalam kelakukan yang baik. Ketika seseorang mencintai yang baik, maka
dengan senang hati ia akan melakukan yang baik. Ia secara moral memiliki
keinginan untuk berbuat baik, bukan semata-mata karena kewajiban moral.
Kemampuan untuk mengisi kehidupan dengan perbuatan baik ini tidak terbatas
bagi para ilmuwan, tetapi juga pada orang kebanyakan, bahkan anak-anak.
Potensi untuk mengembangkan perilaku kehidupan yang baik ini dapat
dilakukan melalui tutorial dan pelayanan sosial, baik di sekolah maupun di
masyarakat luas.
e. Self-control. Emosi dapat membanjiri (mengatasi) alasan. Alasan
seseorang mengapa self-control diperlukan untuk kebaikan moral. Kontrol-diri
juga diperlukan bagi kegemaran-diri anak-anak muda. Apabila seseorang
ingin
mencari
akar terjadinya penyimpangan sosial, salah satunya dapat
ditemukan pada kegemaran-diri ini, demikian kata Walter Niogorski.
f. Humility (kerendahan hati). Kerendahan hati merupakan kebajikan
moral yang sering diabaikan, padahal merupakan bagian yang esensial dari
karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi yang efektif dari
pengetahuan-diri (self- kenowledge). Kerendahan hati dan pengetahuan-diri
merupakan sikap berterus terang bagi kebenaran dan keinginan untuk
memperbaiki
kelemahan-kelemahan
kita.
pelindung terbaik bagi perbuatan jahat.
9
Kerendahan
hati
merupakan
3. Moral Action (Tindakan Moral)
Moral action (tindakan moral), dalam pengertian yang luas, adalah
akibat atau hasil dari moral knowing dan moral feeling. Apabila seseorang
memiliki kualitas moral intelek dan emosi, kita bisa memperkirakan bahwa
mereka
akan melakukan apa yang mereka ketahui dan rasakan. Untuk
memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan tindakan moral, berikut ini
adalah tiga aspek dari karakter: kompetensi (competence), keinginan (will), dan
kebiasaan (habit).
a. Kompetensi (Competence). Moral kompetensi adalah kemampuan
untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral
yang
efektif. Untuk memecahkan masalah konflik misalnya, diperlukan
keahlian-keahlian praktis: mendengar,
menyampaikan
pandangan
tanpa
mencemarkan pihak lain, dan menyusun solusi yang dapat diterima masingmasing pihak.
b. Kemauan (Will). Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku
moral biasanya merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi dan melakukan
sesuatu yang baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang
kuat, usaha untuk memobilisasi energi moral. Kemauan merupakan inti (core)
dari dorongan moral.
c. Kebiasaan (Habit). Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi karena
adanya kebiasaan. Orang yang memiliki karakter yang baik, seperti yang
dikatakan William Bennet, adalah orang yang melakukan tindakan 'dengan
sepenuh hati', 'dengan tulus', 'dengan gagah berani', 'dengan penuh kasih
atau murah hati', dan 'dengan penuh kejujuran'. Orang melakukan perilaku
yang baik adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan.
Karena alasan-alasan di atas, sebagai bagian dari pendidikan moral,
maka harus banyak kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk
mengembangkan kebiasaan baik, dan memberikan praktik yang cukup
untuk menjadi
orang baik. Dengan demikian memberikan kepada mereka
pengalaman-pengalaman berkenaan dengan perilaku jujur, sopan, dan adil
(Lickona, 1991: 50-63).
10
2. Konsep Pendidikan Multikultural
Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik
(reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran
signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat
multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk
mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi,
langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.
(Choerul: 2006: 76).
Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem
dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam
membangun masyarakat
multikultural.
Disisi
lain,
penguatan
pada
masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara
benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya.
Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan
memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun
pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan
meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi
dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat
berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat
yang
memiliki latar
belakang
budaya
berbeda
agar
lebih
meningkat
komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.
Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter
dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam
hal ini karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa
Indonesia yang pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran,
dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang
amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter
11
dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun
kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15
dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18 Januari 2007).
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru
dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun
dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan
sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka
dan era demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16).
Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia,
negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu
ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang
berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus
diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.
(BSNP: 2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan
masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn
suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa
yang akan datang.
Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti
didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti
disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah
posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan
agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan
arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.
Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
Pertama,
Orientasi
kemanusiaan.
Kemanusian
atau
humanisme
merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan
pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran,
ras, golongan dan agama.
12
Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme
merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan
heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian
yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini
adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun
koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masingmaising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan,
serta negara.
Ketiga,
Orientasi
kesejahteraan.
Kesejahteraan
atau
welvarisme
merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang.
Kesejahteraan
selama
ini
hanya
dijadikan
sebagai
slogan
kosong.
Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi
oleh
siapapun.
Konsistensi
terhadap
sebuah orientasi harus dibuktikan
dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai
yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat
proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif,
tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan
heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas
secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran
yang diyakini oleh orang banyak.
Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan
dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas.
Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan
dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan
neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga
dibidang pelayanan terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).
Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah
teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta
pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa
pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir
13
pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “
pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang
beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni
negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang
mengasah counter dis course bagi visi pendidikan penguasa.
Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan
berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam
reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan
kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan
itu terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalanpersoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20).
Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan
multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu,
pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung
sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU
Sisdiknas 2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita bersama yang mulia,
ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra
begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan
pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan
sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini: 2004:21).
B. Pentingnya Pendidikan Karakter Dan Multikultural Bagi Bangsa dan Negara
Indonesia termasuk negara atau bangsa yang sangat multikultural. Indonesia
dikaruniai sebagai sebuah bangsa yang mempunyai ratusan suku bangsa, subetnik, bahasa, tradisi, dan budaya. Keragaman bukanlah tragedi, tetapi sebuah
potensi yang dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan kehidupan yang
kreatif, inovatif, dan kompetitif. Bangsa Indonesia harusnya semakin cerdas
dalam membaca berbagai aspek kehidupan yang selalu mengalir mulai dari
ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan tanpa harus menanggalkan nilai-nilai
adiluhung yang diwariskan pendahulu.
Pentingnya pendidikan karakter dan multikultural untuk bangsa dan negara
sehinga ada standar minimal yang sangat penting berupa langkah positif yang
14
hendaknya senantiasa dipegang oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi
perubahan jaman yang semakin mengglobal. Menurut (Sail Agil Siraj, 2007). Agar
tidak kehilangan jati diri dan karakter sebagai bangsa Indonesia di satu sisi dan
agar mampu bersaing dalam kompetisi global di sisi lain. Langkah-langkah ini
cuku efesien untuk membangun diri individu warga bangsa agar memiliki rasa
kebangsaan yang tinggi dan mampu berperilaku yang sesuai dengan karakter
bangsa Indonesia, antara lain dengan:
a. Melatih Anak Sejak Dini Memahami Orang Lain di Sekitarnya
Manusia dengan berbagai ragam karakteristik dan pola pikirnya, bukanlah sebuah
petaka, melainkan merupakan potensi. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut
perlu kesadaran rakyat negeri ini untuk saling mengenal dan memahami orang di
sekitarnya. Kepedulian sosial perlu ditingkatkan dengan even-even kebersamaan
untuk melatih empati, kepekaan sosial, solidaritas dan kebersamaan. Komunikasi
antarwarga perlu terus dibangun di berbagai kesempatan dan tempat. Melalui
komunikasi ini banyak hal yang tersampaikan sehingga para warga dapat saling
memahami. Perbedaan-perbedaan yang ada justru bisa menjadi topik menarik
dalam temu warga dan dapat mengakrabkan mereka.
b. Membudayakan Komitmen Berbangsa dan Bernegara
Melalui berbagai suasana dan cara ditanamkan komitmen menjaga esensi
kemanusiaan dalam berbangsa dan negara di tengah realitas sebagai masyarakat
yang multikultural dan beragam kepentingan. Maka warga masyarakat perlu
disadarkan bahwa seseorang tidak mungkin dapat melangkah sendirian tanpa
orang lain. Semua kelompok masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
sama di mata hukum. Komitmen berbangsa dan bernegara berarti komitmen
untuk tidak melakukan penindasan, diskriminasi, serta aksi kekejaman, kejahatan,
penganiayaan terhadap kelompok anak bangsa sendiri maupun bangsa lain.
Menegakkan supremasi hukum dan mempercayakan penyelesaian permasalahan
pada aparat penegak hukum merupakan komitmen bernegara dan berbangsa.
Karena dengan begitu menghormati perangkat-perangkat negara yang diciptakan
untuk keteraturan bernegara. Komitmen ini harus ditanamkan seawal mungkin,
baik melalui lembaga keluarga, persekolahan maupun lembaga masyarakat
secara luas dan berkesinambungan. Program-programnya perlu perencanaan
yang berkelanjutan, sebab ini berkaitan dengan nation building.
c. Melatih Warga Bangsa Mampu hidup dalam keberagaman
15
Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan mulai dari keluarga, dalam
kehidupan warga sekitar, di sekolah sampai dalam komunitas yang lebih luas.
Para pendidik dapat menanamkan dan melatihkan pada siswa untuk mampu
melakukan soft skill yang berkaitan dengan substansi nilai-nilai multikultural,
seperti mampu menerima perbedaan, toleransi, menghormati pendapat orang
lain, bekerja sama, mampu menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada
pada orang lain, mampu berlaku adil, mampu melihat ketimpangan sosial, dan
mencari solusinya (problem solving). Selain itu membiasakan warga untuk saling
membantu tanpa memandang perbedaan agama, status sosial, gender, umur,
wilayah tempat tinggal (desa/kota). Dengan demikian sejak awal anggota
masyarakat dilatih untuk mampu menyesuaikan diri dan hidup dalam keragaman
serta mampu berperilaku sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang
multikultural.
Untuk
dapat
melaksanakannya
diperlukan
kebijakan
dari
penyelenggaran negara, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, partai
dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Kebijakan itu kemudian diwujudkan ke
dalam program praktik terencana dan disesuaikan dengan kondisi maupun
potensi masyarakatnya.
d. Melatihkan Kemampuan untuk Memahami Ideologi (Agama) Lain
Warga bangsa Indonesia merupakan masyarakat religius yang berlandaskan
pada ajaran agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha) dan aliran kepercayaan. Ini perwujudan dari sila pertama, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada setiap warga negara perlu ditanamkan
kesadaran bahwa di Indonesia terdapat bermacam-macam ideologi dan agama.
Setiap manusia mempunyai agama ataupun ideologi yang tidak harus sama
dengan ideologi kita. Oleh sebab itu yang paling baik adalah memahami substansi
ideologi dan agama tersebut sebagai sebuah ajaran yang mencita-citakan
kedamaian dan kebaikan. Bila hal ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
maka konflik antaragama tidak akan terjadi.
e. Mengembangkan dan Melestarikan tradisi
Pengakuan terhadap bangsa Indonesia yang terdiri dari beratus suku bangsa,
berarti mengakui keragaman budaya dan tradisi yang hidup serta berkembang di
Indonesia. Setiap warga bangsa harus mengetahui dan memahami negara
Indonesia kaya akan tradisi bangsa. Menghormati budaya sendiri dan
melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan yang kuat
16
pada diri sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas/komunitas yang dapat
melahirkan
karakter
sebuah
bangsa.
Pemahaman
keberagaman
yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang
mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Keragaman budaya dan
tradisi yang ada dari sub nasional atau etnis, merupakan kekayaan bangsa dan
negara. Negara harus menjamin kebebasan pengembangan dan pelestarian
tradisi dan budaya daerah (lokal) atau etnis. Pengembangan dan pelestarian
tradisi dan budaya daerah (etnis) ini, bukan untuk menguatkan primordialisme
kesukuan, tetapi untuk menguatkan kekayaan khasanah budaya nasional yang
pada dasarnya berasal dari budaya sub-nasional. Sebagai warga negara dan
bagian dari wilayah Indonesia, dimanapun berada setiap warga negara haruslah
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, memiliki rasa kesatuan dan persatuan
bangsa, menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa serta mematuhi semua
aturan-aturan negara demi kelanjutan dan keteraturan hidup berbangsa
bernegara. Makna yang terkandung pada Sumpah Pemuda 1928 yang
menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu
bahasa, harus diinternalisasikan kepada setiap warga negara Indonesia untuk
menjadi janji luhur yang tetap dipegang sampai akhir hayat. Mengembangkan dan
melestarikan tradisi bukan berarti melunturkan rasa nasionalisme.
f. Mewajibkan Media Massa Mengambil Peran dalam Membangun Karakter Bangsa
Media massa, khususnya mempengaruhi pembentukan watak dan akhlak bangsa,
diharapkan dapat mengambil peran sosio-kultural, sosial-ekonomi, sosial-politik
untuk tugas nation and character building (membangun karakter bangsa), dan
pengukuran kebhinneka-tunggalikaan. Dengan adanya dialog, persuasif, dan
menyamakan pandangan untuk kepentingan bangsa dan negara, antara para
pemimpin media massa dengan pemimpin-pemimpin negara dan masyarakat
diperoleh kesepakatan, kebersamaan kewajiban dan kepedulian untuk bersamasama membangun karakter bangsa di bidangnya masing-masing. Melalui media
massa dapat dikembangkan tentang pentingnya bangsa memiliki karakter, serta
dapat disosialisasikan strategi untuk membangunnya.
C. Pendidikan Karakter di Indonesia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang masih dalam
tahap belajar untuk berdemokrasi. Karakter bangsa selayaknya bersumber pada
17
nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki (Gunawan :2011).
Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti
yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta
tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara
berpenduduk terbesar ke-lima didunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika Serikat)
dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga
sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah merupakan
percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis.
Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sangat tinggi.
Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang totalnya
sebanyak 230,6 juta jiwa adalah muslim (Soepandji :2010) Jumlah penduduk yang
besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya
berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya, meskipun tidak selalu menjadi
negara yang “adidaya” tetapi merupakan bangsa yang mempunyai “karakter”.
Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dimana terdapat sifat “gotong
royong” – saling membantu, dan hal ini memang tidak terdapat istilah yang setara
dengan kata “gotong royong” dalam kosakata bahasa lain. Akan tetapi dalam kurun
waktu kemajuan zaman dan pengarug global, sifat “gotong-royong” makin pudar dan
diganti dengan sifat sifat “individualistik” serta “arogansi pribadi”. Apakah yang
menyebabkan terjadinya perubahan “karakter bangsa” ini sehingga pada saat ini
(tahun 2011) sering didengar bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan karakater
bangsa nya ? Memang banyak hal-hal yang mewarnai “karakter” ini bila kita cermati
berbagai hal yang terkait budaya (“culture”) ataupun faktor faktor sosial lainnya
maupun terkait faktor ekonomi bangsa.
Untuk itu, maka adalah tepat adanya “ dapat diselenggarakan melalui
pendidikan dan pengajaran di lingkungan institusi pendidikan Indonesia disemua
strata agar dapat diperoleh manfaat mengembalikan martabat bangsa. Strategi
umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan kepribadian, penegasan
kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa harus dicapai melalui
pendidikan . Disamping melalui pendidikan formal oleh institusi pendidikan,
pembangunan sumber daya manusia juga dapat dilaksanakan secara non formal.
Disinilah peran pembinaan kesadaran bela negara kepada setiap warga juga
menjadi semakin penting dilakukan melalui berbagai upaya internalisasi guna
18
membangun
karakter
dan
perkuatan
jati
diri
bangsa,
sehingga
mampu
mengaplikasikan nilai-nilai bela negara ke semua aspek kehidupan. (Soepandji :
2010)
Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki
intelektualitas baik, pendidikan diperlukan agar sebuah bangsa dapat memiliki
karakter dan jati dirinya, yaitu jatidiri ke-Indonesiaan, sehingga tercipta generasi
penerus yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi negara yang
maju, mandiri dan bermartabat. Karena inilah yang merupakan kekuatan pertahanan
(soft power) bagi bangsa dan negara dalam menghadapi kompleksitas tantangan
dan ancaman di era global. Derasnya arus informasi era global ini, tidak berarti
suatu bangsa harus kehilangan kepribadian atau jati diri, akan tetapi justru pada era
inilah sebuah bangsa harus mampu menunjukkan jati dirinya. Karena, bangsa yang
malang akan kehilangan jati dirinya dan niscaya akan menjadi budak bangsa lain. Ia
akan terpinggirkan dari peradaban sejarah dan selanjutnya bangsa itu akan punah.
Akibat dari fenomena tersebut adalah terjadinya kemerosotan ( ”dekadensi”) moral
dan etika, yang akan mewarnai perubahan karakter bangsa. Selanjutnya, Akibat dari
kemerosotan ini adalah kehidupan bangsa mengalami sejumlah paradoks luar biasa: kita
menikmati kebebasan dan demokrasi tetapi kita kehilangan identitas bersama. Kita mengalami
kemanjuan pesat dalam pembangunan infrastruktur politik namun padas yang sama dasar-dasar
kebersamaan sebagai bangsa jutsru semakin menipis, konflik kedaerahan, etnis dan
agama meningkat dan tuntutan keadilan masih muncul di mana-mana. Reformasi kita
rupanya sekaligus dibarengi dengan absenya pandangan kebangsaan (Swasono, SriEdi:1994) .
Kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood, atau
ukhuwah) merupakan tuntutan paradigmatik, menjadi titik-tolak dan tuntunan hidup
untuk melaksanakan dan mewujudkan misi-misi nasional kita, tugas nasional kita
adalah "...Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa...". (Swasono, Sri-Edi:1987). Krisis ekonomi akan membawa kemelaratan
dan bertambahnya kemiskinan, yang menyebabkan pula perubahan tatanilai dan
moral suatu bangsa. Peranan pendidikan akan dapat mempengaruhi kokohnya
keimanan dan secara tidak langsung juga moralitas dan karakter bangsa. Sistem
ekonomi “kapitalistik” yang menjadi dasar dan bukan sistem ekonomi “kebersamaan”
menjadikan salah satu sebab “keterpurukan ekonomi Indonesia” : banyak hutang,
tidak mampu bayar hutang, terus minta hutang, dalam sebuah alam tanah air yang
19
makmur sumberdaya dan makmur sumberalam. Analisis dari berbagai kejadian di
negara dan bangsa ini dalam kancah internasional, serta bagaimana peran
perguruan tinggi dalam menghadapi globalisasi dengan segala hiruk pikuk fenomena
fenomena pada saat ini yang nampak dimata kita, mengharuskan kita memang
melakukan “upaya pemulihan”, serta dapat menyatukan pendapat dengan konsep
yang jelas akan kebutuhan nasional bangsa Indonesia(Ibid) .
Perlu disadari bahwa definisi pembangunan humanistik yang mulia adalah
bahwa development is an expansion of people's capabilities and creativity,
pembangunan adalah perluasan kemampuan dan kreativitas rakyat, sebagaimana
ditegaskan oleh Nobel Laureate Amartya Sen (Sen, 1999). Pembangunan adalah
perihal meningkatkan human capital (Hatta, 1967), yang kemudian secara keseluruhan
membentukkan social capital bangsa, bahwa pembangunan haruslah berawal dari
human investment agar bisa dengan lebih baik mengelola modal natural resources
dan modal financial sebagai tuntutan riil dan empirik. Hal inilah yang diperlukan bagi
peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa, karena sumberdaya
manusia inilah yang menjadi modal suatu bangsa untuk dapat terus maju dalam
kancah persaingan global. Karakter ini akan membawa kekuatan menawar
(“bargaining power”) sebagai ciri martabat bangsa yang akan mampu menjadi sisi
yang berani menawar, bukan menjadi bagian yang dilecehkan .
Adanya kesan bahwa Indonesia menjadi “negara paling korup” menjadikan
kita sering merasa sebagai bangsa yang termarjinalkan, yang menjadikan kita
merasa “risi” dalam percaturan kehidupan internasional. Budaya adiluhung yang
paling minimal, yang harus diemban oleh kaum intelektual umumnya, seperti berlaku
jujur, berpegang teguh pada kebenaran, mencintai tanah air, patriotik dan
melindungi segenap anak bangsa, sudah semakin tipis dalam percaturan
kehidupan berbangsa, bernegara serta dalam berwacana akademik. Oleh karena itu
korupsi pun menjadi-jadi makin marak, baik korupsi materi, korupsi waktu, korupsi
kekuasaan, korupsi ideologis dan bahkan korupsi akademik. Apabila pendidikan
nasional kita masih lemah dan tidak selamanya bisa mencukupi dan mumpuni, kepada
pundak siapa lagi tugas nation and character building dan pengukuhan kebhinnekatunggalikaan kita taruh harapan ? Solusi untuk hal ini adalah :
20
1. Pendidikan karakter di Indonesia harus segera dilaksanakan disemua jenjang
pendidikan dari tingkat PAUD sampai pendidikan tinggi yang diintegrasikan ke
dalam setiap mata pelajaran/ mata kuliah. Pendidikan karakter bangsa
menjadi tanggung jawab setiap guru atau dosen dalam melaksanakan proses
pembelajaran, baik kurikuler maupun ekstra kurikuler dengan melalui
keteladanan baik dalam bersikap, berprilaku, maupun berbahasa. Pendidikan
karakter di tingkat PAUD dan pendidikan dasar memegang peranan penting,
karena merupakan pondasi dasar untuk penanaman keimanan, ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur/ akhlakul karimah.
2. Pendidikan karakter Indonesia harus dimulai dari pendidikan dalam keluarga,
sekolah/ kampus/ pesantren, dan masyarakat. Pendidikan karakter di
lingkungan dan masyarakat sangat penting dan sangat membantu dan
menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah/ kampus.
D. Kaitan Pendidikan Karakter dan Multikultural
Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat yang mendiami setiap
pulau memiliki cirikhas yang berbeda-beda. Banyaknya etnis suku bangsa di
Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima kenyataan perbedaan inilah
yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan dan membentuk
keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
Meski demikian, semua perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai
bangsa yang satu bangsa Indonesia. Semangat Bhineka Tungal Ika yang sering
dimaknai sebagai ‘berbeda-beda tetapai tetap satu juga’ sesungguhnya memberi
ruang semua perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia tetap
menjadi muara segala perbedaan tersebut.
Konsep ini haruslah menjadi dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan
nasional dikembangkan dengan prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaanperbedaan di masing-masing daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian,
segala perbedaan budaya lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan
pola pikir, tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.
Latar belakang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara pendidikan multikultural dan pendidikan karakter. Input pendidikan yang
21
beragam harus diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal
membentuk karakter haruslah menjadi tujuan bersama. Hal ini tampaknya
merupakan kemutlakan karena setelah munculnya regulasi otonomi daerah pada
tahun dua ribuan, semangat kedaerahan menjadi primordial yang berdampak
lunturnya jiwa nasionalisme.
Menurut Agus Rifai (2006) Pengembangan
dapat
dilakukan
pendidikan
secara
dengan berbagai
kodrati,
manusia
keanekaragaman kebudayaan,
manusia
dan
harus memperhatikan
konteks
pembangunan
mengingat
Kedua,
oleh
maka
manusia Indonesia harus didasarkan
didik
melalui
Pertama,
bahwa
Tuhan
karena
menjadi
peserta
satunya
diciptakan
itu
keanekaragaman
keindonesiaan
dalam
pembangunan
budaya
tersebut.
keniscayaan
bahwa
atas multikulturalisme
kenyataan negeri ini berdiri di atas keanekaragaman budaya.
bahwa ditengarai
terjadinya
berkaitan
erat
menyebutkan
dengan
masalah
negeri ini pada dasawarsa terakhir
kebudayaan.
salah satu penyebab
lemahnya pemahaman
sosial yang benuansa SARA
konflik
(suku, agama, dan ras) yang melanda
Berbagai
salah
multikultural haltersebut didasarkan atas .
alami atau
Dalam
cara,
karakter
dan pemaknaan
oleh kurangnya
perbedaan,
banyak
studi
utama dari konflik ini adalah akibat
tentang
konflik sosial yang telah menimbulkan
disebabkan
Dari
kemauan
untuk
konsep kearifan
keterpurukan
menerima
budaya.
di negeri ini
dan menghargai
ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain,
melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi
sesetiakawanan
sosial,
dan tumbuhnya
sesama,
kurangnya
sikap egois serta kurang perasaan
atau kepekaan sosial.
Ketiga,
bahwa
tebutuhan
bagi
pemahaman
manusia
untuk
terhadap
multikulturalisme
menghadapi
mendatang.
Pendidikan
multikultural
besar, yaitu
menyiapkan
bangsa Indonesia
tantangan
mempunyai
budaya luar di era globalisasi dan menyatukan
dua
global
merupakan
di masa
tanggung
untuk siap menghadapi
jawab
arus
bangsa sendiri yang terdiri
dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat
22
dicapai,
maka kemungkinan
dapat dihindarkan.
Konflik
disintegrasi
antarbudaya
sebagai benturan antar peradaban
bukunya
World
yang terkenal,
Order,
benturan
menyebutkan
kebudayaan
tersebut,
disebut
The Clash of Civilization
Hantington
perbedaan
yang
dan munculnya
akan mendominasi
konflik sosial dan etnis di berbagai
oleh
bangsa
politik global. Dalam
and the Remaking
bahwa
semakin
terjadinya.
nyata.
meminimalkan
tersebut, pemahaman tentang multikulturalisme
Sutamo (2008) berpendapat
oleh Huntington
of
berbagai
belahan dunia antara lain disebabkan
yang
atau setidaknya
konflik
Untuk
dampak
menghindari
dari benturan
menjadi amat penting.
bahwa pendidikan multikultural
menjadi
elemen yang penting dalam rangka mengembangkan
karakter peserta didik.
Hal demikian mengingat bahwa keadaan masyarakat
Indonesia yang terdiri
berbagai
multikultural
kultur, ras, etnik dan agama. Pendidikan
menyadarkan
sehingga
tetapi
peserta didik bahwa kita hidup dalam suasana kemajemukan,
kemajemukan
justru
Bahkan
sekedar
multikultural
di
dalam
menumbuhkan
mampu
perbedaan,
yang
menjadi
menurut
harus
memahami,
tujuan
bukan merupakan
sebaliknya,
disyukuri.
bukan
bertujuan
sesuatu
perlu
yang
harus
diterima
dan
Syamsul (2005)
pendidikan multikultural
kesadaran
pluralisme. Pendidikan
menumbuhkan
mengembangkan
serta mengerjakan
demikian
sesuatu yang harus kita tolak,
keterbukaan
perubahan
kemajemukan.
23
tata
sikap
nilai, persaha batan
saling menghargai
dan
dan dialog. Untuk mencapai
pola piker
dalam menyikapi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran karakter multikultural dilakukan dengan pembentukan pola
pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan sehingga muncul kesadaran nasional
keindonesiaan. Karakter tersebut meliputi: kesadaran kebanggaan sebagai
bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan
sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi
bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan
menuju kebangsaan. Terwujudnya karakter tersebut menjadi landasan kuat
sebagai ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan ini menjadi energi
besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa
besar di tengah percaturan
bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter
manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme
dan nilai karakter inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa
depan dengan keyakinan kolektif sebagai bangsa.
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras,
suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan
karakter yang berladaskan multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab
munculnya berbagai macam konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam
perubahan di masyarakat yang diakibatkan oleh masuknya berb
(DOSEN PENGAJAR Dr. L. A. LONTOH, M.Si)
Konsep pendidikan karaker dan multikultural
Pendidikan karakter dan multikultural bagi bangsa dan negara
Pendidikan karakter di Indonesia
Kaitan pendidikan karakter dan multikultural
Oleh:
SUHARDI SAHMIL
Nim: 13869038
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
PROGRAM PASCA SARJANA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menyongsong era globalisasi saat ini dibutuhkan sumber daya manusia
yang memiliki kwalitas kecerdasan yang tinggi serta mampu menghadapi
persaingan dunia. Untuk mencapai hal itu maka pendidikan memberi pengaruh
yang cukup penting sehingga harus dipahami makna dari pendidikan. Ki Hajar
Dewantara
(dalam
www.wawan_junaidi.com
2014)
menjelaskan
tentang
pengertian pendidikan yaitu: “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intellect) dan
jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya”. Lembaga
pendidikan seharusnya melaksanakan aktivitas-aktivitas untuk mendukung
pengembangan pengetahuan peserta didiknya. Pendidikan memiliki tujuan
umum yakni untuk memanusiakan manusia sehingga dalam pendidikan yang
diolah
bukan
hanya kecerdasan otak (head) tetapi juga kecerdasan hati
(heart), dan ketrampilan untuk menciptakan (hand). Pendidikan dikatakan
berhasil bila ketiga aspek tersebut berpadu (balanced) dalam diri peserta didik.
Pendidikan merupakan salah satu unsur pembentukan karakter dan
perkembangan diri manusia. Pendidikan seolah tidak henti-hentinya menjalankan
peran penting untuk menjadikan manusia dari tidak mengetahui menjadi paham
(mafhum). Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi peserta didik
(anak) perlu ditingkatkan, mengingat pendidikan merupakan salah satu unsur
yang melekat pada diri manusia sebagai hak yang harus diterimanya. Serta
pendidikan akan membawa masyarakat itu sendiri menuju kepada kemajuan,
baik kemajuan dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kemajuan yang
diharapkan oleh masyarakat yaitu ketenteraman, kerukunan, serta terhindar dari
berbagai macam bentuk konflik.
Akhir-akhir ini banyak kita jumpai dalam tayangan televisi dan media
cetak, banyak sekali kasus konflik yang semakin memprihatinkan. Kasus konflik
di Lampung misalnya, bentrok antar umat beragama, antar suku etnis, dan lainlain. Apa yang sebenarnya terjadi dibalik peristiwa tersebut? Bukankah seluruh
2
agama di dunia melarang untuk berbuat kekerasan? Sungguh ironis memang,
dengan kejadian seperti ini. Dibutuhkan solusi untuk mengatasi masalah
tersebut sehingga terwujud masyarakat yang cinta akan perdamaian, saling
menghargai antar sesama, dan tentunya terwujud masyarakat madani.
Sepanjang sejarahnya, di seluruh dunia ini, pendidikan pada hakekatnya
memiliki dua tujuan, yaitu membantu manusia untuk menjadi cerdas dan pintar
(smart), dan membantu mereka menjadi manusia yang baik (good). Menjadikan
manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan
manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit
atau bahkan
dikatakan
sangat
sulit.
Dengan
demikian,
sangat
wajar
apabila
bahwa problem moral merupakan persoalan akut atau penyakit
kronis yang mengiringi kehidupan manusia kapan dan di mana pun.
Kenyataan tentang akutnya problem moral inilah yang kemudian
menempatkan pentingnya penyelengaraan pendidikan karakter dan kultur.
Rujukan kita sebagai orang yang beragama terkait dengan problem moral dan
pentingnya pendidikan karakter dapat dilihat dari kasus yang marak terjadi
saat ini seprti korupsi, tauran pelajaran dan lainsebagainya.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewa
sa ini, terutama di kalangan siswa, menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter. Sekolah dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya
untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu
para siswa
membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai
yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada
nilai-nilai tertentu --seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, dan adil-dan membantu siswa untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilainilai tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.
B. Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan karater dan multikultural.
2. Mengapa pendidikan karakter dan multikultural penting bagi kehidupan
bangsa dan negara.
3. Bagaimana pendidikan karakter di Indonesia
4. Bagaimana kaitan pendidikan karakter dan multikultural.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Karater dan Multikultural
1. Konsep Pendidikan Karakter
Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang
berarti to
engrave (melukis, menggambar), seperti orang yang melukis kertas, memahat
batu atau metal. Berakar dari pengertian yang seperti itu, character kemudian
diartikan sebagai tanda atau ciri yang khusus, dan karenanya melahirkan
sutu
pandangan bahwa karakter adalah „pola perilaku yang bersifat
individual, keadaan moral seseorang‟. Setelah melewati tahap anak-anak,
seseorang memiliki karakter, cara yang dapat diramalkan bahwa karakter
seseorang berkaitan dengan perilaku yang ada di sekitar dirinya (Ryan, 1999:
5).
Karakter yang baik berkaitan dengan mengetahui yang baik (knowing
the good), mencintai yang baik (loving the good), dan melakukan yang baik
(acting the good).
Ketiga
ideal
ini
satu
sama
lain
sangat
berkaitan.
Seseorang lahir dalam keadaan bodoh, dorongan-dorongan primitif yang ada
dalam dirinya kemungkinan dapat memerintahkan atau menguasai akal
sehatnya. Maka, efek yang mengiringi pola pengasuhan dan pendidikan
seseorang akan dapat mengarahkan kecenderungan, perasaan, dan nafsu
besar menjadi beriringan secara harmoni atas bimbingan akal dan juga
ajaran agama.
Mengetahui yang baik berarti dapat memahami dan membedakan antara
yang baik dan yang buruk. Mengetahui yang baik berarti mengembangkan
kemampuan untuk menyimpulkan atau meringkaskan suatu keadaan, sengaja,
memilih sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan kemudian melakukannya.
Aristoteles menyebutnya dengan practical wisdom (kebijakan praktis). Memiliki
kebijakan
praktis
berarti
mengetahui
keadaan
apa
yang
diperlukan.
Mengetahui, misalnya, siswa dapat merencanakan kegiatan mereka, seperti
bagaimana mereka mengerjakan pekerjaan rumah mereka, menghabiskan
waktu dengan keluarga dan teman-teman mereka. Tetapi kebijakan praktis
4
tidak semata-mata tentang manajemen waktu, melainkan berkaitan
pula
dengan prioritas dan pemilihan sesuatu yang baik dalam semua suasana
kehidupan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk membuat komitmen
yang bijak dan menjaganya (Kevin Ryan, 1999: 5).
Selanjutnya
Aristoteles mendefiniskan karakter yang baik sebagai
tingkah laku yang benar --tingkah laku yang benar dalam hubungannya
dengan orang lain dan juga dengan diri sendiri. Di pihak lain, karakter, dalam
pandangan filosof kontemporer seperti Michael Novak, adalah campuran atau
perpaduan dari semua kebaikan yang berasal dari tradisi keagamaan, cerita,
dan pendapat orang bijak, yang sampai kepada kita melalui sejarah.
Menurut Novak, tak seorang pun yang memiliki semua kebajikan itu, karena
setiap orang memiliki kelemahan-kelemahan. Seseorang dengan karakter
terpuji dapat dibedakan dari yang lainnya (Lickona, 1991: 50).
Karakter
dapat
didefinisikan
sebagai
segala usaha yang dapat
dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui
pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter
yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa
pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu
seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilainilai etika yang inti. Bertitik tolak dari definisi tersebut, ketika kita berpikir
tentang jenis karakter yang ingin kita bangun pada diri para siswa, jelaslah
bahwa ketika itu kita menghendaki agar mereka mampu memahami nilainilai
tersebut, memperhatikan secara lebih mendalam mengenai benarnya
nilai-nilai itu, dan kemudian melakukan apa yang diyakininya itu, sekalipun
harus menghadapi tantangan dan tekanan baik dari luar maupun dari dalam
dirinya. Dengan kata lain mereka meliliki „kesadaran untuk memaksa diri‟
melakukan nilai-nilai itu.
Pengertian yang disampaikan Lickona di atas memperlihatkan adanya
proses perkembangan
perasaan
yang
melibatkan
pengetahuan
(moral
knowing),
(moral feeling), dan tindakan (moral action), sekaligus juga
memberikan dasar yang kuat untuk membangun pendidikan karakter yang
koheren dan komprehensif. Definisi di atas juga menekankan bahwa kita harus
mengikat para siswa dengan kegiatan- kegiatan yang akan mengantarkan
5
mereka berpikir kritis mengenai persoalan- persoalan etika dan moral;
menginspirasi mereka untuk setia dan loyal dengan tindakan-tindakan etika
dan
moral;
dan
memberikan
kesempatan
kepada
mereka untuk
mempraktikkan perilaku etika dan moral tersebut.
1. Moral Knowing (Pengetahuan Moral):
Terdapat beragam jenis pengetahuan moral yang berkaitan dengan
tantangan moral kehidupan. Berikut ini enam tahap yang harus dilalui dalam
rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan moral:
a.
Moral
awarness
(kesadaran
moral).
Kelemahan
moral
yang
melanda hampir semua manusia dari segala jenis usia adalah adanya kebutaan
atau kepapaan moral. Secara sederhana kita jarang melihat adanya cara-cara
tertentu dalam masyarakat yang memperhatikan dan melibatkan isu-isu moral
serta penilaian moral. Anak-anak muda misalnya, sering kali tidak peduli
terhadap hal ini; mereka melakukan sesuatu tanpa mempertanyakan kebenaran
suatu perbuatan.
b. Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral). Nilai-nilai moral
seperti rasa hormat terhadap kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab
terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan-santun, disiplin-diri,
integritas, kebaikan, keharuan-keibaan, dan keteguhan hati atau keberanian,
secara keseluruhan menunjukan sifat-sifat orang yang baik. Kesemuanya itu
merupakan warisan dari generasi masa lalu bagi kehidupan masa depan.
Literatur etika mensyaratkan pengetahuan tentang nilai-nilai ini. Mengetahui
nilai-nilai di atas berarti juga memahami bagaimana menerapkan nilai-nilai itu
dalam berbagai situasi.
c. Perspective-taking. Perspective-taking (hasibu anfusakum qabla
antuhasabu) adalah kemampuan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa
yang menimpa atau terjadi pada orang lain; melihat suatu keadaan
sebagaimana mereka melihatnya; mengimajinasikan bagaimana mereka
berpikir, bereaksi, dan merasakannya. Hal ini merupakan prasyarat bagi
dilakukannya penilaian moral. Kita tidak dapat menghormati orang lain dan
berbuat adil atau pantas terhadap kebutuhan mereka apabila kita tidak dapat
memahami mereka. Tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk
membantu siswa agar mereka bisa memahami dunia ini dari sudut pandang
orang lain, terutama yang berbeda dari pengalaman mereka.
6
d. Moral reasoning (alasan moral). Moral reasoning meliputi pemahaman
mengenai apa itu perbuatan moral dan mengapa harus melakukan perbuatan
moral. Mengapa, misalnya, penting untuk menepati janji? Mengapa harus
melakukan yang terbaik?. Moral reasoning pada umumnya menjadi pusat
perhatian penelitian psikologis berkaitan dengan perkembangan moral.
e. Decesion-making (pengambilan keputusan). Kemampuan seseorang
untuk mengambil sikap ketika dihadapkan dengan problema moral adalah suatu
keahlian yang bersifat reflektif. Apa yang dipilih dan apa akibat atau resiko dari
pengambilan keputusan moral itu, bahkan harus sudah diajarkan sejak TK
(Taman Kanak-kanak).
f. Self-knowledge. Mengetahui diri sendiri atau mengukur diri sendiri
merupakan jenis pengetahuan moral yang paling sulit, tetapi hal ini sangat
penting bagi perkembangan moral. Menjadi orang yang bermoral memerlukan
kemampuan untuk melihat perilaku diri sendiri dan mengevaluasinya secara
kritis.
Perkembangan atas self-knowledge ini meliputi kesadaran akan
kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan bagaimana mengkonpensasi
kelemahan itu. Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan itu
adalah dengan menjaga 'jurnal etik' (mencatat peristiwa-peristiwa moral yang
terjadi, bagaimana merespon peristiwa moral itu, dan apakah respon itu dapat
dipertanggung jawabkan secara etika).
2. Moral Feeling (Perasaan Moral):
Sisi emosional dari karakter seringkali diabaikan dalam pembahasanpembahasan mengenai pendidikan moral, padahal hal ini sangat penting.
Sungguh (secara sederhana), mengetahui yang benar tidak menjamin perilaku
yang benar. Banyak orang yang sangat pandai ketika berbicara mengenai yang
benar dan yang salah, akan tetapi justru mereka memilih perbuatan yang salah.
a. Conscience (Kesadaran). Kesadaran memiliki dua sisi: sisi kognitif
(pengetahuan tentang sesuatu yang benar), dan sisi emosional (perasaan
adanya kewajiban untuk melakukan apa yang benar itu). Kesadaran yang
matang, disamping adanya perasaan kewajiban moral, adalah kemampuan
untuk mengonstruksikan kesalahan. Apabila seseorang dengan kesadarannya
7
merasa berkewajiban untuk menunjukkan suatu perbuatan dengan cara
tertentu, maka ia pun bisa menunjukkan cara untuk tidak melakukan perbuatan
yang salah.
Bagi banyak orang, kesadaran adalah persoalan moralitas.
Mereka
memiliki komitmen terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupannya, karena nilainilai itu memiliki akar yang kuat dalam moral-diri mereka sendiri (moral self/hati
nurani). Seperti, seseorang tidak dapat berbohong dan menipu karena mereka
telah mengidentifikasikan dengan tindakan moral mereka;
'telah
mereka merasa
keluar dari karakter' ketika mereka melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan nilai- nilai mereka. Menjadi orang yang secara pribadi
memiliki komitmen terhadap nilai- nilai moral ternyata memerlukan proses
perkembangan, dan membantu siswa dalam proses ini merupakan tantangan
bagi setiap guru pendidikan moral.
b. Self-esteem (penghargaan-diri). Ketika kita memiliki ukuran yang
sehat terhadap penghargaan-diri, kita menilai diri kita sendiri. Ketika kita menilai
diri kita sendiri, kita akan menghargai atau menghormati diri kita sendiri. Kita
tidak akan menyalahgunakan
anggota tubuh
atau pikiran
kita
atau
mengizinkan pihak-pihak untuk menyalah gunakan diri kita.
Ketika kita memiliki penghargaan-diri, kita tidak akan bergantung pada
restu atau izin pihak lain. Pembelajaran yang memperlihatkan siswa dengan
penghargaan- diri yang tinggi memiliki tingkat halangan yang lebih besar bagi
sejawatnya untuk memberi tekanan kepadanya.
Ketika kita memiliki penghargaan yang positif terhadap diri kita sendiri,
kita lebih suka memperlakukan orang lain dengan cara-cara yang positif pula.
Ketika kitakurang memiliki penghormatan terhadap diri sendiri, maka baginya
juga sangat sulit untuk mengembangkan rasa hormat kepada pihak lain.
Penghargaan-diri
yang
tinggi
tidak
dengan
sendirinya
dapat
menjamin karakter yang baik. Hal ini bisa terjadi karena penghargaan-diri
yang dimilikinya tidak didasarkan pada karakter yang baik, seperti misalnya
karena kepemilikan, kecantikan
atau
kegantengan,
populritas,
atau
kekuasaan. Salah satu tantangan sebagai pendidik adalah membantu siswa
untuk mengembangkan penghargaan-diri yang didasarkan pada nilai-nilai
seperti halnya tanggung jawab, kejujuran, dan kebaikan, atau didasarkan pada
8
keyakinan pada kemampuan diri untuk kebaikan.
c. Empathy (empati). Empati adalah identifikasi dengan, atau seakanakan mengalami, keadaan yang dialami pihak lain. Empati memungkinkan kita
untuk memasuki perasaan yang dialami pihak lain. Empati merupakan sisi
emosional dari perspective-taking (hasibu anfusakum qabla antuhasau).
Dewasa ini kita sedang menyaksikan hancurnya empati dalam
kehidupan masyarakat. Misalnya, meningkatnya kriminalitas anak-anak muda
yang mengarah kepada sikap brutal. Mereka pada dasarnya mampu
mengembankan empatinya terhadap sesuatu yang mereka ketahui dan peduli,
tetapi mereka sama sekali tidak dapat
menunjukkan
perasaan
empati
mereka kepada orang-orang yang menjadi korban dari kekerasannya. Salah
satu tugas pendidik moral adalah mengembangkan empati yang bersifat umum.
d. Loving the good. Bentuk karakter yang paling tinggi diperlihatkan
dalam kelakukan yang baik. Ketika seseorang mencintai yang baik, maka
dengan senang hati ia akan melakukan yang baik. Ia secara moral memiliki
keinginan untuk berbuat baik, bukan semata-mata karena kewajiban moral.
Kemampuan untuk mengisi kehidupan dengan perbuatan baik ini tidak terbatas
bagi para ilmuwan, tetapi juga pada orang kebanyakan, bahkan anak-anak.
Potensi untuk mengembangkan perilaku kehidupan yang baik ini dapat
dilakukan melalui tutorial dan pelayanan sosial, baik di sekolah maupun di
masyarakat luas.
e. Self-control. Emosi dapat membanjiri (mengatasi) alasan. Alasan
seseorang mengapa self-control diperlukan untuk kebaikan moral. Kontrol-diri
juga diperlukan bagi kegemaran-diri anak-anak muda. Apabila seseorang
ingin
mencari
akar terjadinya penyimpangan sosial, salah satunya dapat
ditemukan pada kegemaran-diri ini, demikian kata Walter Niogorski.
f. Humility (kerendahan hati). Kerendahan hati merupakan kebajikan
moral yang sering diabaikan, padahal merupakan bagian yang esensial dari
karakter yang baik. Kerendahan hati merupakan sisi yang efektif dari
pengetahuan-diri (self- kenowledge). Kerendahan hati dan pengetahuan-diri
merupakan sikap berterus terang bagi kebenaran dan keinginan untuk
memperbaiki
kelemahan-kelemahan
kita.
pelindung terbaik bagi perbuatan jahat.
9
Kerendahan
hati
merupakan
3. Moral Action (Tindakan Moral)
Moral action (tindakan moral), dalam pengertian yang luas, adalah
akibat atau hasil dari moral knowing dan moral feeling. Apabila seseorang
memiliki kualitas moral intelek dan emosi, kita bisa memperkirakan bahwa
mereka
akan melakukan apa yang mereka ketahui dan rasakan. Untuk
memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan tindakan moral, berikut ini
adalah tiga aspek dari karakter: kompetensi (competence), keinginan (will), dan
kebiasaan (habit).
a. Kompetensi (Competence). Moral kompetensi adalah kemampuan
untuk mengubah penilaian dan perasaan moral ke dalam tindakan moral
yang
efektif. Untuk memecahkan masalah konflik misalnya, diperlukan
keahlian-keahlian praktis: mendengar,
menyampaikan
pandangan
tanpa
mencemarkan pihak lain, dan menyusun solusi yang dapat diterima masingmasing pihak.
b. Kemauan (Will). Pilihan yang benar (tepat) akan suatu perilaku
moral biasanya merupakan sesuatu yang sulit. Untuk menjadi dan melakukan
sesuatu yang baik biasanya mensyaratkan adanya keinginan bertindak yang
kuat, usaha untuk memobilisasi energi moral. Kemauan merupakan inti (core)
dari dorongan moral.
c. Kebiasaan (Habit). Dalam banyak hal, perilaku moral terjadi karena
adanya kebiasaan. Orang yang memiliki karakter yang baik, seperti yang
dikatakan William Bennet, adalah orang yang melakukan tindakan 'dengan
sepenuh hati', 'dengan tulus', 'dengan gagah berani', 'dengan penuh kasih
atau murah hati', dan 'dengan penuh kejujuran'. Orang melakukan perilaku
yang baik adalah karena didasarkan kekuatan kebiasaan.
Karena alasan-alasan di atas, sebagai bagian dari pendidikan moral,
maka harus banyak kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk
mengembangkan kebiasaan baik, dan memberikan praktik yang cukup
untuk menjadi
orang baik. Dengan demikian memberikan kepada mereka
pengalaman-pengalaman berkenaan dengan perilaku jujur, sopan, dan adil
(Lickona, 1991: 50-63).
10
2. Konsep Pendidikan Multikultural
Pendidikan dan masyarakat multikultural memiliki hubungan timbal balik
(reciprocalrelayionship). Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran
signifikan guna membangun masyarakat multikultural, disisi lain masyarakat
multikultural dengan segala karakternya memiliki potensi signifikan untuk
mensukseskan fungsi dan peran pendidikan, itu berarti penguatan disatu sisi,
langsung atau tidak langsung, akan memberi penguatan pada sisi lain.
(Choerul: 2006: 76).
Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem
dan mengefektifkan kegiatan belajar, akan menambah keberhasilan dalam
membangun masyarakat
multikultural.
Disisi
lain,
penguatan
pada
masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimiliki secara
benar, akan menambah keberhasilan fungsi dan peran pendidikan umumnya.
Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan
memberi hasil yang optimal, baik dari sisi peran pendidikan maupun
pembangunan masyarakat multikultural sendiri.
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural selain berperan
meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi
dengan negara-negara lain, pendidikan juga berperan memberi perekat
berbagai perpedaan diantara komunitas kultural atau kelompok masyarakat
yang
memiliki latar
belakang
budaya
berbeda
agar
lebih
meningkat
komitmennya dalam berbangsa dan bernegara.
Adapun perekat pendidikan yang dipakai ialah pembangunan karakter
dan semangat kebangsaan atau nation and character building (NCB). Dalam
hal ini karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa
Indonesia yang pernah dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran,
dan sebagainya. Sedangakan semangat kebangsaan adalah keinginan yang
amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter
11
dan semangat seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun
kultural, manuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. (Muhyi: 2004:15
dan Imam: 2007 menulis Kompas tanggal 18 Januari 2007).
Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru
dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun
dengan demikian multikulturalisme terus berkembang sesuai dengan perubahan
sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya didalam era dunia terbuka
dan era demokritisai kehidupan. (Tilaar: 2004:16).
Pendidikan merupakan kebutuhan paling esensial bagi setiap manusia,
negara, maupun pemerintah pada era reformasi ini, pendidikan harus selalu
ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang
berwenang di negara ini. Transformasi dalam dunia pendidikan selalu harus
diupayakan agar pendidikan benar-benar dapat memberikan kontribusi yang
signifikan dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
telah diamanatkan oleh pendiri republik yang dituangkan dalam UUD 1945.
(BSNP: 2005:17), dengan demikian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari
perubahan sosial dan kehidupan manusia didalam berbgai kaitannya dengan
masalah kebudayaan, maka pendidikan dalam multikulturalisme telah merupakn
suatu realitas sosial yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan dimasa-masa
yang akan datang.
Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti
didalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti
disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah
posmoderenisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan
agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan
arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme.
Oreintasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
Pertama,
Orientasi
kemanusiaan.
Kemanusian
atau
humanisme
merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan
pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, diatas semua suku, aliran,
ras, golongan dan agama.
12
Kedua, Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperativisme
merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan
heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian
yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini
adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun
koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masingmaising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan,
serta negara.
Ketiga,
Orientasi
kesejahteraan.
Kesejahteraan
atau
welvarisme
merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang.
Kesejahteraan
selama
ini
hanya
dijadikan
sebagai
slogan
kosong.
Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi
oleh
siapapun.
Konsistensi
terhadap
sebuah orientasi harus dibuktikan
dengan prilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Keempat, Orientasi propesional. Propesional merupakan sebuah nilai
yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat
proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif,
tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
Kelima, Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan
heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas
secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran
yang diyakini oleh orang banyak.
Keenam, Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan
dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas.
Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan
dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan
neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga
dibidang pelayanan terhadap masyarakat.(Dawam, Ainur Rafiq: 2003:18-26).
Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah
teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta
pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin.(Ali:2002:19), beberapa
pemikiran “ besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir
13
pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “
pribumi” bersemi ditengah dominanya model pendidikan belanda yang
beriorentasi barat dan diskriminatif. Fakta- fakta itu menegaskan hegemoni
negara dalam kebijakan dan praktik pendidikan menjadi konteks jitu yang
mengasah counter dis course bagi visi pendidikan penguasa.
Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan
berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam
reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan
kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan
itu terlibas dalam kebisingan “ pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalanpersoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasatmata. (Muhyi: 2004:20).
Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di indonesia.
Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan
multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu,
pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung
sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis. Ketetapan UU
Sisdiknas 2003, sebagai usaha “politik” kearah cita-cita bersama yang mulia,
ternyata menuai kontropersi dan kritik. Gelombang reaksi pro dan kontra
begitu memanas dari masyarakat khususnya bagi para pelaku pendidikan dan
pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan
sekaligus mempertahankan aspirasinya. (Kartini: 2004:21).
B. Pentingnya Pendidikan Karakter Dan Multikultural Bagi Bangsa dan Negara
Indonesia termasuk negara atau bangsa yang sangat multikultural. Indonesia
dikaruniai sebagai sebuah bangsa yang mempunyai ratusan suku bangsa, subetnik, bahasa, tradisi, dan budaya. Keragaman bukanlah tragedi, tetapi sebuah
potensi yang dapat dijadikan instrumen untuk menciptakan kehidupan yang
kreatif, inovatif, dan kompetitif. Bangsa Indonesia harusnya semakin cerdas
dalam membaca berbagai aspek kehidupan yang selalu mengalir mulai dari
ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan tanpa harus menanggalkan nilai-nilai
adiluhung yang diwariskan pendahulu.
Pentingnya pendidikan karakter dan multikultural untuk bangsa dan negara
sehinga ada standar minimal yang sangat penting berupa langkah positif yang
14
hendaknya senantiasa dipegang oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi
perubahan jaman yang semakin mengglobal. Menurut (Sail Agil Siraj, 2007). Agar
tidak kehilangan jati diri dan karakter sebagai bangsa Indonesia di satu sisi dan
agar mampu bersaing dalam kompetisi global di sisi lain. Langkah-langkah ini
cuku efesien untuk membangun diri individu warga bangsa agar memiliki rasa
kebangsaan yang tinggi dan mampu berperilaku yang sesuai dengan karakter
bangsa Indonesia, antara lain dengan:
a. Melatih Anak Sejak Dini Memahami Orang Lain di Sekitarnya
Manusia dengan berbagai ragam karakteristik dan pola pikirnya, bukanlah sebuah
petaka, melainkan merupakan potensi. Untuk mengoptimalkan potensi tersebut
perlu kesadaran rakyat negeri ini untuk saling mengenal dan memahami orang di
sekitarnya. Kepedulian sosial perlu ditingkatkan dengan even-even kebersamaan
untuk melatih empati, kepekaan sosial, solidaritas dan kebersamaan. Komunikasi
antarwarga perlu terus dibangun di berbagai kesempatan dan tempat. Melalui
komunikasi ini banyak hal yang tersampaikan sehingga para warga dapat saling
memahami. Perbedaan-perbedaan yang ada justru bisa menjadi topik menarik
dalam temu warga dan dapat mengakrabkan mereka.
b. Membudayakan Komitmen Berbangsa dan Bernegara
Melalui berbagai suasana dan cara ditanamkan komitmen menjaga esensi
kemanusiaan dalam berbangsa dan negara di tengah realitas sebagai masyarakat
yang multikultural dan beragam kepentingan. Maka warga masyarakat perlu
disadarkan bahwa seseorang tidak mungkin dapat melangkah sendirian tanpa
orang lain. Semua kelompok masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
sama di mata hukum. Komitmen berbangsa dan bernegara berarti komitmen
untuk tidak melakukan penindasan, diskriminasi, serta aksi kekejaman, kejahatan,
penganiayaan terhadap kelompok anak bangsa sendiri maupun bangsa lain.
Menegakkan supremasi hukum dan mempercayakan penyelesaian permasalahan
pada aparat penegak hukum merupakan komitmen bernegara dan berbangsa.
Karena dengan begitu menghormati perangkat-perangkat negara yang diciptakan
untuk keteraturan bernegara. Komitmen ini harus ditanamkan seawal mungkin,
baik melalui lembaga keluarga, persekolahan maupun lembaga masyarakat
secara luas dan berkesinambungan. Program-programnya perlu perencanaan
yang berkelanjutan, sebab ini berkaitan dengan nation building.
c. Melatih Warga Bangsa Mampu hidup dalam keberagaman
15
Hal ini sangat memungkinkan untuk dilakukan mulai dari keluarga, dalam
kehidupan warga sekitar, di sekolah sampai dalam komunitas yang lebih luas.
Para pendidik dapat menanamkan dan melatihkan pada siswa untuk mampu
melakukan soft skill yang berkaitan dengan substansi nilai-nilai multikultural,
seperti mampu menerima perbedaan, toleransi, menghormati pendapat orang
lain, bekerja sama, mampu menganalisis persamaan dan perbedaan yang ada
pada orang lain, mampu berlaku adil, mampu melihat ketimpangan sosial, dan
mencari solusinya (problem solving). Selain itu membiasakan warga untuk saling
membantu tanpa memandang perbedaan agama, status sosial, gender, umur,
wilayah tempat tinggal (desa/kota). Dengan demikian sejak awal anggota
masyarakat dilatih untuk mampu menyesuaikan diri dan hidup dalam keragaman
serta mampu berperilaku sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang
multikultural.
Untuk
dapat
melaksanakannya
diperlukan
kebijakan
dari
penyelenggaran negara, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, partai
dan lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Kebijakan itu kemudian diwujudkan ke
dalam program praktik terencana dan disesuaikan dengan kondisi maupun
potensi masyarakatnya.
d. Melatihkan Kemampuan untuk Memahami Ideologi (Agama) Lain
Warga bangsa Indonesia merupakan masyarakat religius yang berlandaskan
pada ajaran agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha) dan aliran kepercayaan. Ini perwujudan dari sila pertama, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa. Dengan demikian, pada setiap warga negara perlu ditanamkan
kesadaran bahwa di Indonesia terdapat bermacam-macam ideologi dan agama.
Setiap manusia mempunyai agama ataupun ideologi yang tidak harus sama
dengan ideologi kita. Oleh sebab itu yang paling baik adalah memahami substansi
ideologi dan agama tersebut sebagai sebuah ajaran yang mencita-citakan
kedamaian dan kebaikan. Bila hal ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh
maka konflik antaragama tidak akan terjadi.
e. Mengembangkan dan Melestarikan tradisi
Pengakuan terhadap bangsa Indonesia yang terdiri dari beratus suku bangsa,
berarti mengakui keragaman budaya dan tradisi yang hidup serta berkembang di
Indonesia. Setiap warga bangsa harus mengetahui dan memahami negara
Indonesia kaya akan tradisi bangsa. Menghormati budaya sendiri dan
melestarikannya merupakan upaya menanamkan sikap kebangsaan yang kuat
16
pada diri sendiri. Sehingga tercipta suatu identitas/komunitas yang dapat
melahirkan
karakter
sebuah
bangsa.
Pemahaman
keberagaman
yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang
mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Keragaman budaya dan
tradisi yang ada dari sub nasional atau etnis, merupakan kekayaan bangsa dan
negara. Negara harus menjamin kebebasan pengembangan dan pelestarian
tradisi dan budaya daerah (lokal) atau etnis. Pengembangan dan pelestarian
tradisi dan budaya daerah (etnis) ini, bukan untuk menguatkan primordialisme
kesukuan, tetapi untuk menguatkan kekayaan khasanah budaya nasional yang
pada dasarnya berasal dari budaya sub-nasional. Sebagai warga negara dan
bagian dari wilayah Indonesia, dimanapun berada setiap warga negara haruslah
memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, memiliki rasa kesatuan dan persatuan
bangsa, menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa serta mematuhi semua
aturan-aturan negara demi kelanjutan dan keteraturan hidup berbangsa
bernegara. Makna yang terkandung pada Sumpah Pemuda 1928 yang
menegaskan bahwa Indonesia adalah satu bangsa, satu tanah air, dan satu
bahasa, harus diinternalisasikan kepada setiap warga negara Indonesia untuk
menjadi janji luhur yang tetap dipegang sampai akhir hayat. Mengembangkan dan
melestarikan tradisi bukan berarti melunturkan rasa nasionalisme.
f. Mewajibkan Media Massa Mengambil Peran dalam Membangun Karakter Bangsa
Media massa, khususnya mempengaruhi pembentukan watak dan akhlak bangsa,
diharapkan dapat mengambil peran sosio-kultural, sosial-ekonomi, sosial-politik
untuk tugas nation and character building (membangun karakter bangsa), dan
pengukuran kebhinneka-tunggalikaan. Dengan adanya dialog, persuasif, dan
menyamakan pandangan untuk kepentingan bangsa dan negara, antara para
pemimpin media massa dengan pemimpin-pemimpin negara dan masyarakat
diperoleh kesepakatan, kebersamaan kewajiban dan kepedulian untuk bersamasama membangun karakter bangsa di bidangnya masing-masing. Melalui media
massa dapat dikembangkan tentang pentingnya bangsa memiliki karakter, serta
dapat disosialisasikan strategi untuk membangunnya.
C. Pendidikan Karakter di Indonesia
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang masih dalam
tahap belajar untuk berdemokrasi. Karakter bangsa selayaknya bersumber pada
17
nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki (Gunawan :2011).
Hal ini
didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti
yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta
tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara
berpenduduk terbesar ke-lima didunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika Serikat)
dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga
sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah merupakan
percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis.
Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sangat tinggi.
Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang totalnya
sebanyak 230,6 juta jiwa adalah muslim (Soepandji :2010) Jumlah penduduk yang
besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya
berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya, meskipun tidak selalu menjadi
negara yang “adidaya” tetapi merupakan bangsa yang mempunyai “karakter”.
Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dimana terdapat sifat “gotong
royong” – saling membantu, dan hal ini memang tidak terdapat istilah yang setara
dengan kata “gotong royong” dalam kosakata bahasa lain. Akan tetapi dalam kurun
waktu kemajuan zaman dan pengarug global, sifat “gotong-royong” makin pudar dan
diganti dengan sifat sifat “individualistik” serta “arogansi pribadi”. Apakah yang
menyebabkan terjadinya perubahan “karakter bangsa” ini sehingga pada saat ini
(tahun 2011) sering didengar bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan karakater
bangsa nya ? Memang banyak hal-hal yang mewarnai “karakter” ini bila kita cermati
berbagai hal yang terkait budaya (“culture”) ataupun faktor faktor sosial lainnya
maupun terkait faktor ekonomi bangsa.
Untuk itu, maka adalah tepat adanya “ dapat diselenggarakan melalui
pendidikan dan pengajaran di lingkungan institusi pendidikan Indonesia disemua
strata agar dapat diperoleh manfaat mengembalikan martabat bangsa. Strategi
umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan kepribadian, penegasan
kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa harus dicapai melalui
pendidikan . Disamping melalui pendidikan formal oleh institusi pendidikan,
pembangunan sumber daya manusia juga dapat dilaksanakan secara non formal.
Disinilah peran pembinaan kesadaran bela negara kepada setiap warga juga
menjadi semakin penting dilakukan melalui berbagai upaya internalisasi guna
18
membangun
karakter
dan
perkuatan
jati
diri
bangsa,
sehingga
mampu
mengaplikasikan nilai-nilai bela negara ke semua aspek kehidupan. (Soepandji :
2010)
Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki
intelektualitas baik, pendidikan diperlukan agar sebuah bangsa dapat memiliki
karakter dan jati dirinya, yaitu jatidiri ke-Indonesiaan, sehingga tercipta generasi
penerus yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi negara yang
maju, mandiri dan bermartabat. Karena inilah yang merupakan kekuatan pertahanan
(soft power) bagi bangsa dan negara dalam menghadapi kompleksitas tantangan
dan ancaman di era global. Derasnya arus informasi era global ini, tidak berarti
suatu bangsa harus kehilangan kepribadian atau jati diri, akan tetapi justru pada era
inilah sebuah bangsa harus mampu menunjukkan jati dirinya. Karena, bangsa yang
malang akan kehilangan jati dirinya dan niscaya akan menjadi budak bangsa lain. Ia
akan terpinggirkan dari peradaban sejarah dan selanjutnya bangsa itu akan punah.
Akibat dari fenomena tersebut adalah terjadinya kemerosotan ( ”dekadensi”) moral
dan etika, yang akan mewarnai perubahan karakter bangsa. Selanjutnya, Akibat dari
kemerosotan ini adalah kehidupan bangsa mengalami sejumlah paradoks luar biasa: kita
menikmati kebebasan dan demokrasi tetapi kita kehilangan identitas bersama. Kita mengalami
kemanjuan pesat dalam pembangunan infrastruktur politik namun padas yang sama dasar-dasar
kebersamaan sebagai bangsa jutsru semakin menipis, konflik kedaerahan, etnis dan
agama meningkat dan tuntutan keadilan masih muncul di mana-mana. Reformasi kita
rupanya sekaligus dibarengi dengan absenya pandangan kebangsaan (Swasono, SriEdi:1994) .
Kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood, atau
ukhuwah) merupakan tuntutan paradigmatik, menjadi titik-tolak dan tuntunan hidup
untuk melaksanakan dan mewujudkan misi-misi nasional kita, tugas nasional kita
adalah "...Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa...". (Swasono, Sri-Edi:1987). Krisis ekonomi akan membawa kemelaratan
dan bertambahnya kemiskinan, yang menyebabkan pula perubahan tatanilai dan
moral suatu bangsa. Peranan pendidikan akan dapat mempengaruhi kokohnya
keimanan dan secara tidak langsung juga moralitas dan karakter bangsa. Sistem
ekonomi “kapitalistik” yang menjadi dasar dan bukan sistem ekonomi “kebersamaan”
menjadikan salah satu sebab “keterpurukan ekonomi Indonesia” : banyak hutang,
tidak mampu bayar hutang, terus minta hutang, dalam sebuah alam tanah air yang
19
makmur sumberdaya dan makmur sumberalam. Analisis dari berbagai kejadian di
negara dan bangsa ini dalam kancah internasional, serta bagaimana peran
perguruan tinggi dalam menghadapi globalisasi dengan segala hiruk pikuk fenomena
fenomena pada saat ini yang nampak dimata kita, mengharuskan kita memang
melakukan “upaya pemulihan”, serta dapat menyatukan pendapat dengan konsep
yang jelas akan kebutuhan nasional bangsa Indonesia(Ibid) .
Perlu disadari bahwa definisi pembangunan humanistik yang mulia adalah
bahwa development is an expansion of people's capabilities and creativity,
pembangunan adalah perluasan kemampuan dan kreativitas rakyat, sebagaimana
ditegaskan oleh Nobel Laureate Amartya Sen (Sen, 1999). Pembangunan adalah
perihal meningkatkan human capital (Hatta, 1967), yang kemudian secara keseluruhan
membentukkan social capital bangsa, bahwa pembangunan haruslah berawal dari
human investment agar bisa dengan lebih baik mengelola modal natural resources
dan modal financial sebagai tuntutan riil dan empirik. Hal inilah yang diperlukan bagi
peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa, karena sumberdaya
manusia inilah yang menjadi modal suatu bangsa untuk dapat terus maju dalam
kancah persaingan global. Karakter ini akan membawa kekuatan menawar
(“bargaining power”) sebagai ciri martabat bangsa yang akan mampu menjadi sisi
yang berani menawar, bukan menjadi bagian yang dilecehkan .
Adanya kesan bahwa Indonesia menjadi “negara paling korup” menjadikan
kita sering merasa sebagai bangsa yang termarjinalkan, yang menjadikan kita
merasa “risi” dalam percaturan kehidupan internasional. Budaya adiluhung yang
paling minimal, yang harus diemban oleh kaum intelektual umumnya, seperti berlaku
jujur, berpegang teguh pada kebenaran, mencintai tanah air, patriotik dan
melindungi segenap anak bangsa, sudah semakin tipis dalam percaturan
kehidupan berbangsa, bernegara serta dalam berwacana akademik. Oleh karena itu
korupsi pun menjadi-jadi makin marak, baik korupsi materi, korupsi waktu, korupsi
kekuasaan, korupsi ideologis dan bahkan korupsi akademik. Apabila pendidikan
nasional kita masih lemah dan tidak selamanya bisa mencukupi dan mumpuni, kepada
pundak siapa lagi tugas nation and character building dan pengukuhan kebhinnekatunggalikaan kita taruh harapan ? Solusi untuk hal ini adalah :
20
1. Pendidikan karakter di Indonesia harus segera dilaksanakan disemua jenjang
pendidikan dari tingkat PAUD sampai pendidikan tinggi yang diintegrasikan ke
dalam setiap mata pelajaran/ mata kuliah. Pendidikan karakter bangsa
menjadi tanggung jawab setiap guru atau dosen dalam melaksanakan proses
pembelajaran, baik kurikuler maupun ekstra kurikuler dengan melalui
keteladanan baik dalam bersikap, berprilaku, maupun berbahasa. Pendidikan
karakter di tingkat PAUD dan pendidikan dasar memegang peranan penting,
karena merupakan pondasi dasar untuk penanaman keimanan, ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur/ akhlakul karimah.
2. Pendidikan karakter Indonesia harus dimulai dari pendidikan dalam keluarga,
sekolah/ kampus/ pesantren, dan masyarakat. Pendidikan karakter di
lingkungan dan masyarakat sangat penting dan sangat membantu dan
menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah/ kampus.
D. Kaitan Pendidikan Karakter dan Multikultural
Indonesia merupakan negara kepulauan. Masyarakat yang mendiami setiap
pulau memiliki cirikhas yang berbeda-beda. Banyaknya etnis suku bangsa di
Indonesia karena itu merupakan hal wajar. Menerima kenyataan perbedaan inilah
yang perlu dipahami bersama. Karena itu, usaha memerlakukan dan membentuk
keseragaman bukanlah hal yang dapat dibenarkan.
Meski demikian, semua perbedaan haruslah diikat oleh kesatuan sebagai
bangsa yang satu bangsa Indonesia. Semangat Bhineka Tungal Ika yang sering
dimaknai sebagai ‘berbeda-beda tetapai tetap satu juga’ sesungguhnya memberi
ruang semua perbedaan itu. Kesadaran untuk satu sebagai bangsa Indonesia tetap
menjadi muara segala perbedaan tersebut.
Konsep ini haruslah menjadi dasar pijak pendidikan nasional. Pendidikan
nasional dikembangkan dengan prinsip menghargai dan memberi ruang perbedaanperbedaan di masing-masing daerah dan lembaga pendidikan. Meski demikian,
segala perbedaan budaya lembaga pendidikan haruslah diikat oleh pembentukan
pola pikir, tindakan, dan karakter yang mencerminkan manusia Indonesia.
Latar belakang di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara pendidikan multikultural dan pendidikan karakter. Input pendidikan yang
21
beragam harus diterima sebagai kewajaran. Output pendidikan yang secara ideal
membentuk karakter haruslah menjadi tujuan bersama. Hal ini tampaknya
merupakan kemutlakan karena setelah munculnya regulasi otonomi daerah pada
tahun dua ribuan, semangat kedaerahan menjadi primordial yang berdampak
lunturnya jiwa nasionalisme.
Menurut Agus Rifai (2006) Pengembangan
dapat
dilakukan
pendidikan
secara
dengan berbagai
kodrati,
manusia
keanekaragaman kebudayaan,
manusia
dan
harus memperhatikan
konteks
pembangunan
mengingat
Kedua,
oleh
maka
manusia Indonesia harus didasarkan
didik
melalui
Pertama,
bahwa
Tuhan
karena
menjadi
peserta
satunya
diciptakan
itu
keanekaragaman
keindonesiaan
dalam
pembangunan
budaya
tersebut.
keniscayaan
bahwa
atas multikulturalisme
kenyataan negeri ini berdiri di atas keanekaragaman budaya.
bahwa ditengarai
terjadinya
berkaitan
erat
menyebutkan
dengan
masalah
negeri ini pada dasawarsa terakhir
kebudayaan.
salah satu penyebab
lemahnya pemahaman
sosial yang benuansa SARA
konflik
(suku, agama, dan ras) yang melanda
Berbagai
salah
multikultural haltersebut didasarkan atas .
alami atau
Dalam
cara,
karakter
dan pemaknaan
oleh kurangnya
perbedaan,
banyak
studi
utama dari konflik ini adalah akibat
tentang
konflik sosial yang telah menimbulkan
disebabkan
Dari
kemauan
untuk
konsep kearifan
keterpurukan
menerima
budaya.
di negeri ini
dan menghargai
ide dan pendapat orang lain, karya dan jerih payah orang lain,
melindungi yang lemah dan tak berdaya, menyayangi
sesetiakawanan
sosial,
dan tumbuhnya
sesama,
kurangnya
sikap egois serta kurang perasaan
atau kepekaan sosial.
Ketiga,
bahwa
tebutuhan
bagi
pemahaman
manusia
untuk
terhadap
multikulturalisme
menghadapi
mendatang.
Pendidikan
multikultural
besar, yaitu
menyiapkan
bangsa Indonesia
tantangan
mempunyai
budaya luar di era globalisasi dan menyatukan
dua
global
merupakan
di masa
tanggung
untuk siap menghadapi
jawab
arus
bangsa sendiri yang terdiri
dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat
22
dicapai,
maka kemungkinan
dapat dihindarkan.
Konflik
disintegrasi
antarbudaya
sebagai benturan antar peradaban
bukunya
World
yang terkenal,
Order,
benturan
menyebutkan
kebudayaan
tersebut,
disebut
The Clash of Civilization
Hantington
perbedaan
yang
dan munculnya
akan mendominasi
konflik sosial dan etnis di berbagai
oleh
bangsa
politik global. Dalam
and the Remaking
bahwa
semakin
terjadinya.
nyata.
meminimalkan
tersebut, pemahaman tentang multikulturalisme
Sutamo (2008) berpendapat
oleh Huntington
of
berbagai
belahan dunia antara lain disebabkan
yang
atau setidaknya
konflik
Untuk
dampak
menghindari
dari benturan
menjadi amat penting.
bahwa pendidikan multikultural
menjadi
elemen yang penting dalam rangka mengembangkan
karakter peserta didik.
Hal demikian mengingat bahwa keadaan masyarakat
Indonesia yang terdiri
berbagai
multikultural
kultur, ras, etnik dan agama. Pendidikan
menyadarkan
sehingga
tetapi
peserta didik bahwa kita hidup dalam suasana kemajemukan,
kemajemukan
justru
Bahkan
sekedar
multikultural
di
dalam
menumbuhkan
mampu
perbedaan,
yang
menjadi
menurut
harus
memahami,
tujuan
bukan merupakan
sebaliknya,
disyukuri.
bukan
bertujuan
sesuatu
perlu
yang
harus
diterima
dan
Syamsul (2005)
pendidikan multikultural
kesadaran
pluralisme. Pendidikan
menumbuhkan
mengembangkan
serta mengerjakan
demikian
sesuatu yang harus kita tolak,
keterbukaan
perubahan
kemajemukan.
23
tata
sikap
nilai, persaha batan
saling menghargai
dan
dan dialog. Untuk mencapai
pola piker
dalam menyikapi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran karakter multikultural dilakukan dengan pembentukan pola
pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan sehingga muncul kesadaran nasional
keindonesiaan. Karakter tersebut meliputi: kesadaran kebanggaan sebagai
bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan
sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi
bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan
menuju kebangsaan. Terwujudnya karakter tersebut menjadi landasan kuat
sebagai ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan ini menjadi energi
besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa
besar di tengah percaturan
bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter
manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme
dan nilai karakter inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa
depan dengan keyakinan kolektif sebagai bangsa.
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras,
suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan
karakter yang berladaskan multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab
munculnya berbagai macam konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman dan waktu juga dapat mempengaruhi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga banyak terjadi berbagai macam
perubahan di masyarakat yang diakibatkan oleh masuknya berb