DILEMA WARALABA PASAR MODERN DI INDONESI

1

DILEMA WARALABA PASAR MODERN DI INDONESIA
Oleh Mukhijab

ABSTRACT:
Franchising Market Modern calm like water that washed away. Every corner of the
city, suburbs, rural stand up to modern markets, such as the mini-conglomerateowned and franchise network. Indonesian residents do not feel the danger a t all, just
think of it as a blessing of water carrier, which is cool in the middle of the scorching
heat. Little is felt, the small traders in traditional markets and street vendors in the
street, a grocery shop owner, that the modern market threatens their economic
resources, because they will be drowned by the franchise, sooner or later. The
government is still ambivalent between limiting or liberating modern market.
Abstraksi
Abstraksi : Waralaba Pasar Modern bagaikan air tenang yang menghanyutkan.
Setiap sudut kota, pinggir kota, hingga di pedesaan berdiri pasar modern, seperti
minimarket milik konglomerat maupun jaringan waralaba. Warga di Indonesia tidak
merasakan bahaya sama sekali, justru menganggap sebagai air pembawa berkah,
yang menyejukkan di tengah terik panas. Sedikit saja yang merasakan, kaum
pedagang kecil di pasar tradisional dan kaki lima di pinggir jalan, pemilik warung
kelontong, bahwa pasar modern mengancam sumber ekonomi mereka, karena mereka

akan ditenggelamkan oleh waralaba, cepat atau lambat . Pemerintah masih
ambivalen antara membatasi atau membebaskan pasar modern.

PASAR LEGI, Patangpuluhan, Yogyakarta, merupakan pasar tradisional kebanggaan
warga kampung setempat. Aktivitas pasar tersebut pada 15 tahun silam, mulai pukul
05.00 – 13.00 WIB. Sebagai pusat transaksi sekaligus interaksi masyarakat, pasar ini
menjadi ikon warga kampung. Jika ada tamu atau orang tanya alamat rumah, warga
menjadikan pasar sebagai petunjuk. “Naik becak atau bus, turun di Pasar Legi.”
Posisi pasar tradisional tersebut secara sosial telah berubah drastis. Aktivitas transaksi
waktunya makin pendek (pukul 06.00-09.00-10.00 WIB), suasana pasar pun tidak
seramai dulu. Ketika tamu atau orang tanya alamat rumah, warga tidak banyak lagi
menjadikan Pasar Legi sebagai petunjuk. “Naik taksi saja, turun atau masuk gang dekat
Waralaba Minimarket Omi, Risma, Medico, IndoMart, atau Swalayan Bugisan.”
Perubahan posisi sosial Pasar Legi Patangpuluhan mengilhami penulisan makalah ini.
**

2
Franchise secara harfiah bermakna hak menjual produk atau pelayanan (service) (Oxfor,
2005). Kata ini berasal dari bahasa Perancis, bermakna bebas atau bebas dari perhambaan
atau perbudakan (free from servitude). Bila dikaitkan dengan usaha, franchise berarti

kebebasan yang diperoleh seseorang (franchisee) untuk menjalankan sendiri suatu usaha
tertentu di wilayah tertentu yang diperoleh dari franchisor (Hakim: 2008,14).

Lloyd Tarbutton dalam buku Franchising The How to Book menjelaskan franchise telah
dikenalkan sejak tahun 200 Sebelum Masehi (SM) di Cina. Pengusaha lokal, Lo Kass,
merintisnya dengan mengaryakan pengelolaan beberapa tokonya kepada orang lain yang
berbeda-beda. Model lainnya kereta tradisional Cina, rickshaw, dikelola oleh orang lain
dan pihak berwenang membagi area trayek. Rintisan lainnya di Jerman pada sekitar 1940,
pengusaha bir menyerahkan produknya kepada kedai-kedai minuman. Franchise dalam
wajah yang modern, dirintis The Singer Sewing Machine Company Amerika Serikat.
Singer memberikan hak distribusi kepada mitranya ( Setiawan: 2006, 3).

Pengembangan bisnis model franchise awalnya dari sektor industri makanan dan
minuman. Lokasi bisnis tipe ini kebanyakan dirintis di Amerika Serikat. Sebagai contoh,
A & W Root Beer (1919), Kentucky Fried Chicken (1930), Dairy Queen (1940), Dunkin
Donuts (1950), Burger King (1954), McDonald (1955). McDonald menjadi perusahaan
dengan pelayanan fast food dan paling maju. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (19551965), McDonald telah membuka 1000 cabang (Setiawan: 2006, 5).

Ritzer menobatkan Ray Kroc, perintis bisnis McDonald sebagai inspirator lahirnya
restoran franchise. Bahkan, merek dagang ini disebutnya menjadi ikon kehidupan

Amerika mulai abad 20. Kemudian McDonald menjadi paradigma yang dinamakan dia
sebagai McDonaldisasi atau sebuah proses di mana berbagai prinsip restoran fast food
hadir untuk mendominasi lebih banyak sektor kehidupan Amerika dan berbagai belahan
dunia. McDonaldisasi yang dahsyat pengaruhnya tidak sebatas lingkup bisnis restoran,
berbagai sektor lain juga terimbas secara kultural seperti sektor pendidikan, pekerjaan,
perawatan kesehatan, perjalanan, waktu luang, diet, politik, keluarga dan berbagai aspek
kehidupan lain (Ritzer: 2000,.2). Perkembangannya, sosok McDonald keberadaannya

3
tidak sebatas di Amerika, juga hadir di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di tanah
suci Mekah, Arab Saudi.

Benjamin Barber mengkritisi sukses McDonald dan produk sejenis sebagai bagian dari
bencana dunia. McDonaldisasi sebagai simbol penyeragaman global sekaligus ikon yang
memiliki kecenderungan merendahkan nilai-nilai spiritual, agama. McDonaldisasi
sebagai bagian dari simbol globalisasi tampak seperti strategi penjajah seekor gurita
ekonomi yang dipahami sebagai pendorong pasar untuk mengamankan kebebasan dan
kemakmuran di dalam negeri Amerika Serikat. Kemudian, strategi ini dibaca oleh
musuh-musuh Amerika Serikat sebagai simbol eksploitasi dan penindasan dalam skala
internasional. Bentuk protes penyeragaman dan penjajahan ekonomi, menurut Benjamin,

puncaknya serangan teroris 11 September 2000. Banjamin menamakan sebagai perang
panjang Jihad vs McWorld (Barber: 2002).

Dalam konteks Indonesia, aktivitas bisnis franchise dikenal dengan istilah waralaba .
Padan kata ini pertama kali diperkenalkan oleh Lembaga Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen (LPPM). Waralaba sebagai gabungan dua kata yaitu “wara” berarti lebih
atau istimewa dan “laba” atau untung. Maka, waralaba dimaknai sebagai usaha
memberikan keuntungan yang lebih atau istimewa, yang sistemnya berbeda dengan
sistem bisnis konvensional yang sudah ada (Hakim:2008, 16). Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 31/M-DAG/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba pada Pasal 1
menekankan waralaba usaha memasarkan barang dan/atau jasa. Pasal 2 mengatur,
franchisor atau pemberi waralaba dari luar negeri; dari dalam negeri; pemberi waralaba
lanjutan berasal dari dalam negeri dan/atau luar negeri. Sedang penerima (franchisee)
berasal dari waralaba luar negeri; dari waralaba dalam negeri; dan penerima waralaba
lanjutan berasal dari waralaba dalam negeri dan/atau waralaba luar negeri. Waralaba
sebagai sebutan yang dipakai dalam penjelasan selanjutnya.

Herustiati dan Victoria Simanungkalit menguraikan waralaba berkembang sejak 1985.
Institusinya tidak hanya bisnis bersifat tunggal seperti Pizza Hut, Kentucky Fried
Chicken, McDonald. Institusi hypermart, supermarket, minimarket masuk kategori model


4
bisnis waralaba. Maka berkembang raksasa grosir, retail besar hingga eceran yang
sebagian berbentuk penanaman modal asing (PMA) seperti Carrefour, Smart, Alfamart,
Indomart, dll. Waralaba klasifikasinya menjadi dua jenis :
1) Waralaba produk dan merek dagang yaitu pemberian hak izin dan pengelolaan
dari franchisor kepada penerima waralaba (franchisee ) untuk menjual produk
dengan menggunakan merk dagang dalam bentuk keagenan, distributor atau
lisensi penjualan. Franchisor membantu franchisee untuk memilih lokasi yang
aman dan showroom serta menyediakan jasa orang untuk membantu mengambil
keputusan “do or not”.
2) Waralaba format bisnis yaitu sistem waralaba yang tidak hanya menawarkan

merek dagang dan logo tetapi juga menawarkan sistem yang konprehenship
tentang tatacara menjalankan bisnis. Jenis waralaba yang banyak berkembang di
Indonesia

saat

ini


adalah

jenis

waralaba

format

bisnis.

(http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/WARALABA-W.htm)

Waralaba format bisnis biasanya juga menggunakan nama ritel. Penamaan ini mengacu
pada Keputusan Presiden Nomor 118/2000 tentang “Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu bagi Penanaman Modal”.
Dalam keputusan tersebut diatur, sektor perdagangan mengeluarkan bisnis perdagangan
eceran skala besar (mall, supermarket, department store , pusat pertokoan/perbelanjaan)
dan perdagangan besar (distributor/wholesaler , perdagangan ekspor dan impor) dari
negative list bagi penanaman modal asing (PMA). Dilihat dari skala usaha, pelaku bisnis


ritel di Indonesia saat ini bisa dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) kelompok grosir
dan hypermarket, (2) kelompok supermarket, (3) kelompok minimarket modern, dan (4)
kelompok pengecer kecil tradisional.
Kategorisasi waralaba format bisnis maupun ritel membawa konsekuensi semua produk
dan service bisa dikemas dalam ranah bisnis ini.

5

Tabel 1.A

Perusahaan dan Jenis Franchise Lokal di Indonesia

Jenis Industri

November 2005
Jumlah
Jumlah
Perusahaan
Gerai


Awal 2007
Jumlah
Jumlah
Perusahaan
Gerai

Restoran, Kafe,
Butik, Karaoke
Internet Café,Web
Development
Pendidikan/Kursus
Ritel
Agen Property
Loundry
Rental Film
Otomotif
Disain Grafis,
Percetakan,
Fotografi, Jasa

Bisnis Terpadu
Travel
Salon
Printer, Tinta Isi
Ulang
Lain-lain
Total

59

2.350

86

620

NA

NA


7

145

19
10
1
3
2
2
6

910
1950
9
225
186
24
185


43
21
1
4
2
8
8

1400
3200
9
371
300
174
258

1
13
NA

3
440
NA

6
20
4

150
600
25

8
120

301
6583

10
220

445
13.227

Tabel 1.B

Pemain dan Jenis Franchise Asing di Indonesia

Jumlah Industri

Restoran, Kafe,
Butik, Karaoke
Pendidikan/Kursus
Ritel
Agen Property
Laundry
Rental Film
Otomotif dan
Rental Mobil
Percetakan
Salon
Lain-lain
TOTAL

Nvember 2005
Jumlah
Jumlah
Perusahaan
Gerai
49
1891

Awal 2007
Jumlah
Jumlah
Perusahaan
Gerai
66
1678

14
9
4
5
1
1

291
166
147
51
10
10

28
7
9
4
1
3

1060
191
305
50
140
20

3
NA
4
90

45
NA
22
2762

4
2
7
131

90
7
76
3617

Sumber : Riset SWA Nomor 09/XXIII/26 April-9 Mei 2007 dikutip ulang dari Hakim, 2008

6

PASAR MODERN
Herustiati dan Victoria Simanungkalit dalam paparan di atas menguraikan sejumlah
waralaba ritel dengan institusi hypermarket, supermarket, minimarket. Mudrajat Kuncoro
dalam uraian tentang Pengembangan Pasar Modern dan Pasar Tradisional (2008)
berpendapat, institusi-institusi pasar tersebut dikategorikan sebagai pasar modern atau
pusat perdagangan modern. Sebagai “lawan” bisnisnya pasar konvensional atau pasar
tradisional dan toko milik peroranganl. Populasi pasar modern dan pasar tradisional
jumlahnya sebagai berikut :

Tabel 2 : Populasi Pasar Modern dan Pasar Tradisional
Jenis Pasar
Hypermarket
Pusat Perkulakan
Supermarket
Minimarket
Convenence
Store
Toko Tradional
Pasar Tradisional

2003

2004

2005

43
24
896
4.038
102

68
22
956
5.604
154

83
23
961
6.272
131

1.7455.589

1.745.589

1.874.472
13.450

Sumber AC Nelson dikutip ulang dari Kuncoro (2008).
Kolom pasar tradisional penambahan dari penulis makalah

Dari segi persebaran aneka bentuk pasar modern, Mudradjat Kuncoro berpendapat terjadi
perubahan ekstrem. Pasar modern dalam bentuk supermarket semula membatasi diri
berada di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi. Mulai tahun 2004, populasi supermarket
yang berjumlah 956 dikurangi sampai 50%. Pembangunan supermarket pada tahun-tahun
berikutnya meluas ke secondary cities, dan tertiary cities, bahkan pedesaan di Jawa
dalam bentuk minimarket. Perubahan populasi pasar modern dari pusat Ibu Kota ke kota
hingga pedesaan, sebagai perubahan strategi pasar. Supermarket semula target pasar
kalangan “A Consumers” (Konsumen Kelas Atas) menjadi “B and C Comsumers”

7
(Konsumen Menengah Bawah) (Ibid : 2008 : 8). Sebagai gambaran persebaran pasar
modern berikut gambarannya dalam tabel:

Tabel 3 : Distribution of Modern Market Outlets, 2008 (Unit)
Propinsi
Pulau Jawa
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Timur
P Sumatera
Sumatera
Utara
Riau & Batam
Sumatera
Barat
Sum-Selatan
Lampung
Bali
Pulau
Sulawesi
Sulawesi
Selatan
Sulawesi Utara
P Kalimantan
Kal-Selatan
Kal-Timur
Kalimantan
Barat
Papua
Lain-lain
Total

Minimarket

Supermarket

Hypermarket

Total

8.775
3.968
1.300
1.004
406
979
1.118
954
412

940
317
194
28
45
172
184
195
74

107
40
29
14
4
4
16
11
6

9 .822
4.325
1.523
1.046
455
1.155
1.318
1.160
492

96
205

62
23

2
-

160
228

206
35
200
104

27
9
52
48

3
2
7

236
44
254
159

56

37

6

99

48
112
40
43
29

11
56
19
23
14

1
3
1
1
1

60
171
60
67
44

28
116
10.289

10
146
1.447

130

38
262
11.866

Source: Indonesian Ritelers Assosiation, Media Data, dikutip ulang dari Pandini, The Portrait Of

Marina L Pandin mengatakan pertumbuhan bisnis yang sangat fantastis terjadi pada
minimarket selama lima tahun, 2004-2008, rata-rata per tahun mencapai 38,1%, atau
melampaui pertumbuhan hypermarket sebesar 21,5%, dan supermarket 6,2%. Adapun
perkembangan jumlah minimarket versi Pandin, selama 2004-2008 sebanyak 10.289 unit,
supermarket 1.447 unit, hypermarket 130 unit. Total jumlah pasar modern sampai akhir
2008 sebanyak 11.866 unit (Pandin, 2009)

8

Tabel 4 :

Turnover of Minimarket, 2008 (IDR Trillion)

No

Minimarket

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Indomaret
Alfamart
OMI
Ceriamart
Circle K
Yomart
Starmart
AP/OM
Markaz
Others
Total

Turnover (IDR
Billion)
7682
7253
731
426
386
284
223
122
102
591
17800

Share %

Network

43,16
40,75
4,11
2,39
2,17
1,60
1,25
0,69
0,57
3,32
100,00

Outlets
3116
2755
5995
11866

Share %
30
26,8
53,2
100

Source: Indonesian Ritelers Assosiation, Media Data , dikutip ulang dari Pandini, The Portrait Of Retaile
Bussiness in Indonesia: Modern Market. Penambahan dua kolom network dari penulis ma kalah ini, dari dari
sumber yang sama.

Menjamurnya pasar modern dengan atau tanpa kedok waralaba mengundang pertanyaan,
siapakah para pemain di sektor ini? Pemodal di pasar modern kategori supermarket dari
dalam maupun luar negeri. Dari data 2001, pemodal lokal masih mendominasi.
Tabel 5 : Indonesia: major supermarket chains, 2001
Retail Name
Hero Indonesian
Matahari

Ownership
Hong Kong
Indonesian

Outlets
83
61

Locations
Jakarta, Java, Bali, Sumatra, Kalimantan
Jakarta, Java, Bali, Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Ambon
Ramayana
Indonesian
65
Jakarta, Java, Bali, Batam, Sumatra,
Kalimantan
Super-Indo
Indonesian
34
Jakarta, Java, Bali, Batam, Sumatra,
Kalimantan
Yogja
Indonesian
33
Jakarta, West Java
Alfa
Indonesian
29
Jakarta, Java, Bali, Medan, Makassar
Tops
Dutch
24
Jakarta, Java
Gelael
11
Jakarta, Jawa, Bali, Sumatra, Sulawesi,
Batam
Nina Fair Price
Indo-Singapore
5
Surabaya
Pantry
Indonesian
5
Jakarta
Sinar
Indonesian
5
,Surabaya
Sogo
Indonesian-Japan
4
Jakarta, Surabaya
Tiara Dewata
Indonesian
3
Bali
Tragia
Indonesian
5
Bali
Source: United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service, Indonesia Retail Food
Sector Report, p. 8. *89 stores by mid 2003. Dikutip dari Retail and Food Service, Food Exporters Guide

9
to Indonesia

Komposisi pemodal lokal dan asing juga terjadi pada investor warehouse atau gudang
rabat dan hypermarket seperti tergambar pada table berikut :

Table 6 :

Indonesia major warehouse / cash and carry operators
2001

Retail Name
Makro (wholesale)

Ownership
Dutch

IndoGrosir (w)

IndonesianBelgian
Indonesian
Indobesian
Indonesian

Goro (w)
Giant/Hero Group
Club Store

Outlets
13*
6
5
2
2

Locations
Jakarta, Surabaya, Medan,
Bandung, Bali, Semarang
Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Surabaya
Jakarta, Solo, Makassar
Jakarta, Medan
Jakarta

Sources: United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service, Indonesia Retail
Food Sector Report;INSTATE research, FOOD EXPORTERS’ GUIDE TO INDONESIA

Table 7 :

Indonesia hypermarket chains, 2003

Retail Name
Ownership
Stores
Locations
Carrefour
French
11
Jakarta
Giant/Hero Group
Indo-Malay
4
3 Jakarta, 1 Surabaya
Club Store
Indonesian
2
Jakarta, Medan
Sources: United States Department of Agriculture Foreign Agricultural Service, Indonesia Retail Food

Sector Report; INSTATE research, FOOD EXPORTERS’ GUIDE TO INDONESIA

PASAR TRADISIONAL
Pasar modern merupakan sintesa dari pasar tradisional. Pasar tradisional seperti dimaksud
dalam pengertian Polanyi, sebagai tempat bertemu untuk melakukan barter atau membeli
dan menjual, dan terjadi tawar menawar. Dalam pasar tradisional ini memiliki filosofi
sebagai sistem ekonomi yang memiliki konsekuensi teramat penting bagi keseluruhan
pengaturan masyarakat. Pasar menjadi pelekat hubungan sosial dalam sistem ekonomi,
bukan sistem ekonomi di pasar yang mengatur hubungan sosial (Polanyi: 2003, 77).
Filosofi pasar tradisional ini yang membedakan dengan pasar modern, di mana dalam
pasar modern sistem pasar yang mengatur hubungan sosial. Maka pasar tradisional bisa
dibahasakan sebagai media egalitarianistik, posisi pelaku pasar terintegrasi dalam
hubungan yang equal atau setara.

10
Mudradjat Kuncoro mengatakan program pengembangan pasar tradisional dalam konteks
Indonesia suatu keniscayaan yang semestinya menjadi pilihan. Pertimbangannya terdapat
13.450 unit pasar tradisional, minimal melibatkan 12 juta pedagang kecil. Sesuai sifatnya,
pasar tradisonal menjadi akses langsung bagi pemasok kecil dari petani dan pengrajin.

Tabel 8 :

Frekuensi Kunjungan Konsumen ke Pasar Tradisional

Pasar

Unit

Indonesia
Vietnam
Philipina
Srilangka
India

13.450

Jumlah
Pedagang
12 juta

Frekuensi Kunjungan
25
29
14
11
11

Sumber Mudrajat Kuncoro Strategi Pengembangan Pasar Modern dan Tradisional di Indonesia, 2008

Adapun pasar tradisional dalam pembahasan ini mencakup warung (tradisional store) dan
pasar dalam pengertian konvensional (AC Nielson: 200; Kuncoro 2008). Pasar tradisional
memiliki nilai strategis lainnya dilihat dari segi pelaku bisnis yang terlibat. Sensus
Ekonomi Badan Pusat Statistik 2006 mencatat terdapat 10 juta pedagang (versi
Mudradjat menyebut 12 juta pedagang) ritel tradisional. Dibandingkan pasar tradisional
di negara lain, pasar tradisional di Indonesia masih memiliki ikatan emosional sangat
tinggi dengan masyarakat. Indikatornya bisa dilihat dari segi frekuensi kunjungan
pembeli rata-rata 25 kali per bulan.
Tabel 9:

Perbandingan Frekuensi Kunjungan Konsumen
ke Pasar Tiap Bulan Selama 2007

Jenis Pasar
Hypermarket
Supermarket
Minimarket
traditional store
Wet market
Grocery Store

Kunjungan Per Bulan
2
3
5
25
12
19

* Catatan : Frekuensi kunjungan konsumen ke tradisional strore (warung) dan pasar (wet market)
hanya untuk membeli kebutuhan mendadak dan melengkapi kekurangan.
*Sumber :AC Nielson dalam tulisan The growth of Indonesian retail sales grocery in 2006 reaches 14.3%)
terbit 18 April 2007

11
Rasionalitas Neoliberal versus Kesejahteraan
Dalam perspektif bisnis, prinsip kapitalis mengembangkan pasar untuk mendapatkan
pangsa dan konsumen baru ketika pasar lama mengalami kejenuhan. Potensi pasar ada di
kota-kota dan semi urban diprediksi makin besar karena penduduk Indonesia memiliki
kecenderungan lebih memilih tinggal di kota dan pinggiran kota. Mengutip data United
Nations (1995 : 81), Irwan Abdullah mengatakan 60,7% penduduk Indonesia akan berada
di kota pada 2025. Angka penduduk kota (termasuk di pinggiran kota atau semi urban
dan disebut Irwan Abdullah sebagai “kota satelit”, pen) pada saat itu diperkirakan
mencapai 167,4 juta jiwa. Desa-desa akan menjadi kosong karena 39,3% penduduknya
akan membagi wilayah yang sangat luas ( Abdullah: 2006, 28). Maknanya, pasar modern
membidik potensi konsumen untuk jangka pendek dan jangka panjang sesuai strategi
bisnis modern. Pembagian pendapatan (share) pasar modern kecenderungannya terus
meningkat. Sesuai prinsip komodifikasi, kapitalis melakukan ekspansi pasar selama
terjadi permintaan dari pangsa pasar.

Dalam perspektif Weber, peluang pasar dan pengembangan institusi bisnis sebagai
pilihan rasionalitas (formal). Pilihan yang merujuk pada kesempatan dan legalitas formal
yang membuka kesempatan kapitalis mengembangkan bisnisnya. Pengembangan
franchise atau waralaba sebagai rasionalitas kapitalisme industri (Ritzer & Goodman:
2009, 149).

Fenomena pasar tradisional versus pasar modern tidak bisa lepas dari kerangka sistem
ekonomi pasar bebas. Pasar menjadi “tuhan” yang menentukan masa depan ekonomi dan
kesejahteraan dengan mengandalkan sistem persaingan bebas di pasar. Struktur pasar
demikian

mengingatkan prinsip ekonomi aliran Kanan Baru yang dipelopori duet

Perdana Menteri Inggris Margaret Thacher (Thacherism) dan Presiden Amerika Serikat
Ronald Reagen (Reaganomics) atau dikenal sebagai sistem neoliberal. Kredo dalam
sistem ini antara lain Negara memberikan insentif pajak/pajak rendah kepada si kaya,
tujuannya mendorong si kaya untuk bertindak sebagai pengusaha (enterprenuer). Bisnis
para kapitalis diidealisasikan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapangan kerja. Kemudian kebebasan enterpreunership sebagai kunci sukses

12
dan pemerintah menciptakan kerangka, menumbuhkan perekonomian nasional (Norena
Heertz dalam I.Wibowo: 2003, 24)

Vedi R Hafid menggambarkan kemasan kebijakan ekonomi tersebut menganut rezim
neoliberal restructuring . Kata kunci sistem ini anti kesejahteraan atau welfare,

keberpihakannya mengalihkan pendapatan dari orang miskin dan menengah kepada
orang kaya (Prisma 1/2009 : 8).

Sistem ekonomi demikian sesungguhnya bertabrakan dengan cita-cita ideal tujuan
pembangunan nasional Indonesia. Sri-Edi Swasono mengatakan posisi orde ekonomi
Indonesia menjadi self explanatory, jelas dengan sendirinya, bahwa arah dan kegiatan
ekonomi harus berujung pada kesejahteraan sosial (Swasono: 2005, 3). Ekspansi pasar
modern oleh “rezim franchise” bisa mematikan pasar tradisional. Dalam perspektif
Weberian, fenomena neoliberal dengan pasar untuk kesejahteraan masyarakat
menandakan proses terjadinya distorsi nilai sebagai konsekuensi atas pilihan kebijakan,
perilaku tidak memperdulikan atau tepatnya mengabaikan risiko yang timbul kemudian
hari, maka pilihan yang semula rasional itu akhirnya menjadi irasional (Wrong, 2003 :
175).

Dalam bingkai pasar untuk kesejahteraan, maka konsep pasar sebagai sarana
mewujudkan cita-cita mencapai kesejahteraan masyarakat menjadi pertanyaan mendasar.
Tanpa peran negara yang aktif dalam mengelola dan mengorganisasi perekonomian untuk
menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan bagi warga negaranya, kesejahteraan
masyarakat hanya isapan jempol. Prinsip negara kesejahteraan berusaha membebaskan
warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan
(dekomodifikasi) dengan menjadikannya sebagai hak setiap warga yang dapat diperoleh
melalui perangkat kebijakan sosial yang disediakan oleh negara (Triwibowo & Bahagijo:
2006, 9).

Titmuss (1958) mengidentifikasi dua tipologi negara kesejahteraan, yaitu residual welfare
state dan institusional welfare state. Model pertama, tanggungjawab negara menyediakan

13
kesejahteraan hanya kepada kelompok marginal dan kelompok tertentu saja dengan
syarat kebijakan ini diberlakukan ketika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya
dalam menyejahteraan masyarakat. Terjadi interaksi dan saling keterkaitan dalam
produksi dan alokasi kesejahteraan negara, sistem pasar, dan keluarga/rumah tangga.
Lain halnya dengan model kedua, yang menganut kebijakan bahwa kesejahteraan sosial
sebagai hak universal setiap warga Negara (ibid, 2006 : 12). Sri-Edi Swasono (2005)
mengelompokkan tiga arus pemikiran tentang kesejahteraan sosial. Pertama welfare
kontemporer Boulding dengan penggagas utama Paretto, Edgeworth, Samuelson, Arrow,
Galbraith dan Scitovsky. Kedua welfare kontemporer model Baran : Bator, Abramovitz,
Lange, Bahl dan Lindblom. Ketiga yaitu welfare state Sen-Etzioni dan Meier-Stiglitz.

Dalam pemikiran arus pertama Kenneth Boulding memiliki pandangan bahwa the subject
matter of welfare economics harus didekati dari segi harta (riches). Konsepnya tentang

sosial optimum yaitu Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgewort).
Ecnonomic Effeciency mencapai sosial optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi
lebih beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Pemikiran ini
terkait dengan kompetisi bebas (perfect competition) dalam pasar. Welfare dan
competition bagaikan dua sejoli, yang pemikirannya dirintis Adam Smith (Smithian).

Tibor Scitovsky mengingatkan kompetisi memiliki

kelemahan (shortcomings).

Kelamahan kompetisi harus dibenahi demi menjamin welfare. Gunnar Myrdal
menyempurnakan teori ini dengan gagasan kritis yang bertendensi mengakhiri model
laissez-faire dalam kompetisi. Myrdal mengkritisi pemikiran John Stuart Mill, Alfred

Marshall, K,Wicksell dan A.C Pigou yang menempatkan “the visible hand” dan stelsel
laissez-faire karya E. Bastiat dan J.B Clark.

Arus kedua pemikir utamanya Paul A. Baran mengkritisi arus pemikiran pertama.
Kritiknya welfare economics pada masyarakat kapitalis (yang mendewakan self-interest,
perfect individual liberty, consumers sovereignty, stelsel laissez-faire) telah menghalangi

tercapainya ekonomi masyarakat kapitalis. Dia menekankan efisiensi ekonomi untuk
konstribusi human welfare berdasar kriteria bahwa efesiensi ekonomi merupakan ordesosial-ekonomi yang hidup dalam masyarakat.

14

Arus ketiga pemikirnya antara lain Amartya Sen menekankan pemberian makna lebih
pada welfare being (kesejahteran dalam arti luas) dengan misi freedom sebagai antitesa
dari unfreedom. Targetnya melepaskan masyarakat dari hambatan memperoleh kemajuan
dengan prakondisi mencapai pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment),
kualitas kehidupan (quality of life) atau pembangunan manusia (human development).
Gerald Meier dan Joseph Stiglitz mengkritisi peran pasar bebas untuk mencapai
kesejahteraan. Gejalanya pasar bebas mulai diragukan untuk bisa memenuhi aspirasi
rakyat di Dunia Ketiga. Para pemikir arus ketiga mengingatkan adanya paham sosial
demokrasi modern di mana rakyat menghendaki adanya proteksi terhadap kejahatan
ekonomi pasar dan etatisme yang berlebihan.

Sri-Edi Swasono mengajukan pemikiran lain soal negara kesejahteraan yang bisa dibaca
dari Hatta dan Roosevelt-Nixon. Para negawaran ini sangat menentang welfare filantropi
atau caritas atau santunan sebagai sarana kesejahteraan rakyat. Nixon mengemukakan
sistem santunan sebagai pos sangat mahal, maka lebih baik negara membukakan
lapangan kerja. Prinsip yang sama dikemukakan Hatta dan mengemukakan “…paham
keadilan dan kemakmuran bertumpu pada demokrasi ekonomi dan hak sosial rakyat
untuk berperikehidupan layak sebagai manusia” (Swasono: 2005, 35)
Apakah ada tempat kesejahteraan dalam kompetisi pasar?
Edy Priyono et.al dalam “Analisis Cost Benefit Kehadiran Pengecer Besar” menemukan
sejumlah kelemahan mendasar akibat dari persaingan bebas pasar tradional dengan pasar
modern, dari penelitiannya di Provinsi Jawa Barat (Bekasi, Kerawang, Bandung). Empat
kelompok responden dalam pasar sebagai subjek penelitian, yaitu tiga pengecer besar
atau modern (Hypermarket, Pengecer Besar, Minimarket). Satu kelompok subjek
penelitian berupa 175 pedagang eceran dan konsumen (83 pengecer kecil; 92 konsumen)
yang tersebar di Bekasi (28), Karawang (29), Bandung (26), Bekasi (32), Karawang (30),
Bandung (30), yang semuanya beraktivitas atau bersentuhan dengan pasar tradisional.

15
Hasil penelitian Edy Priyono et.al menunjukkan bahwa kehadiran pasar modern
dirasakan oleh separuh lebih responden pengecer kecil (54%) mengakibatkan penurunan
omzet.

Tabel 10.A: Penurunan Omzet Menurut Kelompok Komoditi
Kasus di Jawa Barat
Jenis Komoditas
Kebutuhan shari-hari
Pakaian
Makanan/bahan makaman
Alat listrik/elektronika
Total

Persentase Responden
55
53
44
60
54

Tabel 10.B : Dampak Kehadiran Pasar Modern
Jenis Pasar Modern
Supermarket (Hero,Matahari Suparmarket,dsb)
Departemen Store (Matahari, Ramayana,dsb)
Minimarket (Alfamart, Indomart,dsb)

Persentase Turun Omzet
49
54
80

Sumber : Priyono et.al, 2003 hal.18

Indikator utama penurunan omzet adalah konsumen lebih memilih tempat belanja ke
pasar modern dengan alasan harga barang di pasar modern lebih murah, selisih
kemurahannya berkisar Rp 50,00 sampai Rp 1.000,00. Khusus barang dengan selisih
harga terbesar untuk minuman kaleng. Alasan lain, pasar modern terutama supermarket
dan minimarket berdekatan jaraknya dengan lokasi tempat tinggal. Faktor tempat menjadi
keunggulan utama (ibid : 23)

Sekretaris Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran
menunjukkan dampak lebih parah sebagai akibat kehadiran pasar modern. Sampai awal
2007 terdapat 10.000 kios di Jakarta dan 5.908 kios di Tangerang gulung tikar/tutup
usaha. Nasib serupa menimpa tujuh pasar tradisional di Jakarta yaitu, Pasar Blora Jakarta
Pusat, Cilincing Jakarta Timur, Cipinang Besar Jakarta Timur, Kramat Jaya Timur,
Muncang Tangerang, Prumpung Tengah, dan Sinar Utara Tangerang
(Koran Sindo, 01 Maret 2007)

16

Direktur Operasional Perusahaan Dagang (PD) Pasar Niaga Kerta Raharja Kabupaten
Tangerang, Ahmad Djabir mengubah strategi dengan membangun pasar tradisional
menjadi semi modern supaya menarik minat konsumen dan bisa bersaing dengan pasar
modern. Sebanyak 11 dari 22 pasar di Tangerang yang diubah modelnya (Media
Indonesia, 24 Desember 2008 ),

Fenomena negatif waralaba sangat layak untuk dikritisi keberadaannya. Bukankah
institusi bisnis ini mengancam kesejahteraan masyarakat, terutama pedagang kecil? Jika
dilihat dari segi prospek bisnis dan share transaksi di pasar, bisnis ini menguntungkan
bagi para pemodal besar. Apakah kesejahteraan hanya diperlukan kaum pemodal
kapitalis? Dari sudut pandang ini, maka sikap kritis atas masa depan waralaba perlu terus
digelorakan untuk mengontrol model kesejahteraan dalam bingkai persaingan laissezfaire atau mekanisme pasar bebas secara penuh yang digagas sebagai kredo ekonomi

neoliberal.

Laissez-faire sebagai wajah pembunuh dari praktik ekonomi pasar yang

dikendalikan kapitalis. Polanyi mengingatkan risiko sistem ekonomi yang dikendalikan
dan diatur, serta diarahkan oleh pasar sendiri

dengan asumsi tatanan produksi dan

distribusi barang bisa dijamin semata-mata oleh harga atau pasar swatata. Tidak ada celah
untuk cariti atau amal kesejahteraan sosial. “Laissez-faire telah dihantarkan menjadi
sebuah nafsu liar tanpa kompromi,” kata dia. Tiga prinsip bisa bertahan, “pasar tenaga
kerja kompetitif, strandar emas otomatis, dan perdagangan internasional yang bebas.”
[2003 : 6]. Ketiganya tidak dimiliki pelaku pasar tradisional.

Waralaba di Indonesia awalnya diprakarsai Internasional Labour Orgazation (ILO) pada
1991 dan akhirnya disetujui pemerintah Indonesia ditandai dengan pembentukan
Franchise Resource Center (FRC) (op.cit Setiawan, 2006 : 8) antara lain bertujuan
membantu Usaha Kecil Menengah (UKM) atau sekarang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah [UMKM] (op.cit Hakim, 2008:6 ).

Mengacu pada model kesejahteraan residual welfare state dalam pandangan Titmuss di
atas, maka negara bertanggungjawab atas kebijakan pengembangan pasar modern dan

17
berbagai turunannya yang memiliki kecenderungan “mematikan” pedagang kecil atau
pemodal kecil. Tuntutan responsibilitas ini menjadi logis karena pengembangan model
pasar modern sama halnya membiarkan pendekatan kesejahteraan oleh negara dalam
bingkai Boulding, di mana kesejahteraan bisa dicapai berdasarkan mekanisme pasar, bila
kelompok pemain di pasar mengalami kerugian atau terdistorsi kesejahteraannya sebagai
risiko sebuah permainan pasar.

Mudradjat Kuncoro mengatakan pasar modern yang banyak tumbuh dan berkembang
merupakan pesaing serius pasar tradisional (opcit, 2008:9). Jadi, bahaya pasar modern
tidak sebatas pada pencaplokan peluang bisnis pengusaha mikro atau gurem. Institusi
pasar tradisional tergerus oleh kebebasan persaingan dengan pasar modern.

Ronnie S. Natawidjaja menunjukkan data lain tentang efek domino bisnis pasar modern.
Potensi pasar modern di sektor makanan di Jabotabek pada 1999 terserap konsumen 11%,
meningkat menjadi 14 persen (2001) berdasarkan riset Visidata Riset Indonesia 2003. AC
Nielsen menunjukkan data lain, shara retail modern untuk makanan pada tahun 2000
mencapai 21,6%, meningkat menjadi 29,6% (2004) atau pasar modern mengambilalih
potensi pasar makanan di sektor pasar tradisional rata-rata per tahun sebesar 2%.
Penyabotan potensi pasar tradisional oleh pasar modern diperkirakan mencapai 60% pada
tahun 2020, sebagaimana terjadi di Argentina, Brazil, dan Taiwan mulai tahun 2005.

Riset terbaru dari AC Nelson menunjukkan kemajuan pertumbuhan pasar retail modern
dan sebaliknya terjadi penurunan pertumbuhan pasar tradisional sampai April 2009.
Indonesian Market Update yang diterbitkan AC Nielsen pada 16 Juni 2009
menyampaikan perkembangan berikut :
„Using the consumer packaged goods market as a barometer we see that the
Indonesian grocery trade is still showing positive year to date gr owth of 7.4%

until April‟09. While it is true that the retail market has showed signs of slowing
compared to the previous year (M4 YTD growth of 21.9%), we are still more

resilient to the economic crisis when we compare to many other nations.‟

18

“The retail market growth has been consistent across channels, both modern and
traditional. Modern trade grows by 13.4%, while the traditional trade also shows

positive growth of 4.1% (M4 YTD).” (http://id.nielsen.com/news/News16Jun09.shtml)

Survei pasar oleh AC Nielsen jumbuh dengan pemikiran Ronnie S.Natawidjaja tentang
pergeseran posisi pasar tradisional sebagai akibat ekspansi pasar modern. Sampai kwartal
pertama 2009, perkembangan pangsa pasar modern mencapai 13.4%. Bukankah tidak
mustahil jika 60% pasar tradisional akan dikuasi pasar modern pada 2020?
Ada sisi positif pasar modern seperti petani agrikultur bisa mengakses dengan menitipkan
produk pertaniannya untuk dijual. Namun terjadi ambigu dari segi “ketulusan” pasar
modern menyerap hasil pertanian agro. Petani kecil di sektor ini 65% produk
pertaniannya bisa dijual di pasar modern dengan catatan harus melalui kolektor petani.
Sebanyak 10% saja petani kecil yang bisa mengakses langsung ke supermarket, 80%
relasi petani-pasar modern melalui supplier besar. Petani skala besar yang bisa
mengakses ke pasar modern sekitar 35% dengan catatan produk pertanian harus
memenuhi standar produk, 30% petani besar lainnya bisa menjual produknya di pasar
modern dengan jasa supplier (2005 : 7). Daya serap pasar modern terhadap produk
pertanian ini hanya produk terbatas dan pasar modern mematok ketentuan khusus
terhadap petani dan hasil pertaniannya. Rata-rata 15% pasokan produk agri dari petani
maupun supplier lokal ditolak dengan alasan terjadi inkonsistensi kualitas barang
(ibid : 9).

Dalam perspektif Weber, fenomena ini sebagai irasionalitas suatu pilihan kebijakan.
Meminjam istilah dari Karl Marx, franchising sesungguhnya fenomena komodifikasi oleh
kapitalis dengan prinsip laisser-faire (Ritzer & Goodman, 2009 ). Sedang Prof. Dr. Heru
Nugroho membahasakan kondisi tersebut sebagai fenomena disenchantment of the world
dalam pemikiran Max Weber atau memudarnya pesona dunia dan ditandai terjadinya
dehumanisasi (2002:10). Demikian halnya yang sesungguhnya terjadi dari pertunjukan

19
pada pasar modern untuk memakan pasar tradisional. Maka kenyataan yang tengah
terjadi adalah, dua tujuan restrukturisasi neoliberal (neoliberal restrukcting) mencapai
sukses. Sebagimana dikemukakan Warden Bello, dua tujuan dimaksud pertama
menggairahkan proses akumulasi modal dengan cara menghilangkan rintangan-rintangan
yang disediakan negara terhadap modal dan kekayaan, termasuk cara menghimpun dan
memanfaatkan modal serta kekayaan itu. Dalam kasus ini, negara memfasilitasi kapitalis
dengan dukungan regulasi pasar modern. Kedua , mengalihkan pendapatan dari orang
miskin dan menengah kepada orang-orang kaya. Orang kaya dianggap mampu
menggunakan sumber daya yang dikuasi mereka untuk melakukan investasi produksi
yang akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional (op. citbid Hafid,
Prisma No. Vol./2009 : ). Yang muncul predatoris ekonomi karena kebijakan pasar bebas

di sektor ritel dengan media pasar modern memunculkan gejala melemahkan, bahkan
merampas kue pedagang kecil di pasar tradisional. Apakah sistem perekonomian tersebut
sehat dan menganut asas free trade?

Hadiwinata dan Pahpahan mengemukakan sejumlah indikasi persaingan tidak sehat dari
praktik perdagangan bebas. Antara lain tidak meratanya distribusi kesejahteraan karena
perdagangan bebas menciptakan kompetisi. Dalam kompetisi terjadi hukum di mana
pihak yang kuat dan dominan [yang didukung teknologi, manajemen, modal, akses pasas,
dan lainnya] akan bertahan, sementara pihak yang lemah akan terpental (2004 : 3).
Bukankah persaingan pasar tradional dengan pasar modern menunjukkan gejala
demikian?

Martin Wolf sebagai sosiolog pro globalisasi mengusulkan pentingya sekaligus heboh,
dia mengenalkan istilah “lokalisasi”. Sebagai pemikir yang berpretensi globalisasi pasar
akan menumbuhkan kesejahteraan, dia tetap memetakan persoalan fragmentasi pasar.
Menurut dia bahwa fragmentasi pasar –dari global menjadi regional, regional menjadi
nasional, dan nasional menjadi lokal- menimbulkan tiga pertanyaan: pertama mengapa da
orang yang menganggap ini gagasan yang masuk akal; kedua bagaimana dalam praktik,
hal itu dapat dilaksanakan; ketiga mengapa ada orang menganggap bahwa

20
konsekuensinya

keterjaminan

ekonomi,

kemakmuran,

lingkungan

hidup,

dan

pembangunan itu bagus (Wolf, 2007 :237).
Dia menggunakan padanan kata “lokalisasi” dengan model “swasembada”. Kasus Cina
tahun 1950-an dan 1960-an, semua desa didorong memproduksi besi. Hasilnya kelaparan
masal. Wolf membahasan ini sebagai kegoblokan lokalisasi yang menggabungkan
proteksi dengan swasembada. Pemikir ini sampai pada kesimpulan bahwa swasembada
selalu gagal untuk memproduksi kemakmuran (ibid : 241)
Pasar traidisional sebenarnya sebagai bagian “lokalisasi” dimaksud. Namun tidak dalam
kerangka pemikiran Wolf. Dalam konteks Indonesia, memproteksi pasar tradisional
sebagai bagian kearifan lokal akan mendorong terciptanya swasembada atau
kemandirian. Campur tangan negara dalam mempertahankan dan mengembangkan pasar
tradisional sebagai keharusan. Tidak adil membiarkan pasar tradisional didestruksi oleh
pasar modern.

Sri-Edi Swasono berpendapat negara perlau melakukan tindakan-tindakan imperative
(restrukturisasi) dalam membangun ekonomi Indonesia, tidak membiarkan (ekonomi)
tersusun sendiri, atau melepaskannya kepada kekuatan-kekuatan pasar dalam stelsel
laissez-faire. Yang tengah terjadi di Indonesia saat ini, menurut dia, ekonomi pasar bebas
merajalela, pasar menjadi berhala baru, sekaligus menjadi wahana bagi kemumpungan
ekonomi (carpediemism) yang dilakukan oleh economic villains.

“Fundamentalisme

pasarnya yang naïf dan illogical dalam istilah George Soros (1998) muncul dengan
penegasannya lebih lanjut : bila tidak punya uang jangan beli (elpiji kasusnya). Hal ini
bisa berkelanjutan menjadi suatu brutalisme homo homini lupus ala Laviathan-nya
Hobbes, yaitu bila tidak bisa membayar SPP, jangan sekolah, suatu ungkapan yang makin

menjauhkan dari cita-cita welfare-state yang bermartabat” (ibid, 2005 : 44)
Ambivalensi Pusat-Daerah
Perlindungan terhadap pasar tradisional dengan menghindari pasar bebas dan dari
ancaman ekspansi pasar modern, sementara ini seperti hanya angan-angan. Pemerintah

21
tidak memiliki alasan untuk melarang atau menutup pintu para pemilik modal besar untuk
menyelenggarakan pasar modern. Pertimbangannya banyak aspek antara lain aspek
ekonomi, tenaga kerja, maupun aspek politik. Sebagai negara dengan sistem ekonomi
terbuka, pemerintah tidak mau dikecam oleh negara-negara maju dan nasional korporat
maupun multinasional korporat apabila menerapkan kebijakan protektif dengan alasan
melindungi potensi lokal (pasar tradisional dan pedagang kecil).
Diplomasi pemerintah dalam mengatasi dilema tersebutm, sejauh ini, mengammbil jalan
tengah. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang
Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko
Modern sebagai penegasan atas Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007 tentang
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dari
aspek tata perundangan dan peraturan, memang, aturan menteri yang keluar belakangan,
terkesan ganjil. Status peraturan menteri di bawah peraturan presiden, sementara
peraturan ini bermaksud mengatur hal yang sama. Demikian halnya substansi materi
peraturan ini, tidak jauh berbeda, bahkan tidak ada perbedaan signifikan. Peraturan
presiden maupun peraturan menteri perdagangan yang sama dan paling substansial di
dalamnya adalah seperti dalam tabel :
Tabel 11 : Ketentuan Lebar Lantai Syarat Mendirikan Pasar Modern
Jenis Toko
Minimarket
Supermarket
Hypermarket
Dept Store

Investor
Asing/gabungan
dalam negeri

Luas/m2
> 400
400 - 5000
< 5000
< 400

Investor
Lokal
100%

Luas m2
> 400
> 1200
=
> 2000

Sumber : Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008

Selain aturan besaran atau luas pasar modern tersebut, rincian aturan menteri khususnya
tidak ada yang spesifik dan istimewa. Bahkan, aspek batasan jarak antara pasar
tradisional dengan pasar modern tidak dicantumkan. Bila dilihat dari aspek politik
pemerintahan, orientasi demikian Kasus ini mencerminkan, kebijakan pemerintah terkait
dengan kebijakan nuansanya politis. Karena isu yang berkembang soal bagaimana pasar
modern mengancam pasar tradisional, ini masuk kategori persoalan publik ang populis,
dalam hal ini menyangkut pasar tradisional. Maka, kasus ini lebih berbobot sebagai
maintenance politik bahwa pemerintah terkesan peduli dengan pasar modern. Substansi

aturannya menjadi masalah lain, dan patut dipertanyakan

22

Yang patut dipersoalkan dua hal lagi. Pertama , aturan menteri justru membuka pintu
kepada pemasok besar masuk pasar tradisional dengan alasan kerjasana saling
menguntungkan. Hal yang sama tidak diatur dalam peraturan presiden. Kedua , aturan
menteri tidak mengatur jarak atau zonasi pasar tradional dengan pasar modern. Banyak
pedagang kecil menyuarakan masalah ini. Suara dari pemerintah lebih bertendensi pada
mengamodasi peritel besar di pasar modern. Dalam beberapa kesempatan, Asosiasi
Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia
(Aprindo) selalu menolak gagasan zonasi pasar modern dengan pembelaan bahwa
masalah jarak dan keberadaan pasar modern itu bukanlah penyebab utama menurunnya
penjualan para pedagang tradisional (www.mediaindonesia.com, 22/5/2009 ).

Masalah zonasi akhirnya terkesan dilimpahkan ke pemerintah daerah (pemda). Pemda
Provinsi DKI Jakarta, Kabupaten Lampung, di antara pemerintah daerah yang mengatur
jarak. Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di
DKI Jakarta mengatur jarak pasar modern dari pasar tradisional 2.500 meter, sedang
Peraturan Wali Kota Lampung Nomor 17 Tahun 2009 Tentang Penataan Minimarket
menerapkan zonasi 1.000 meter jarak pasar modern ini dari pasar tradional dan
warung/kedia kelontong.

Praktiknya tidak seperti tertera dalam aturan. Kasus DKI

Jakarta misalnya, sebanyak 30 pasar modern melanggar peraturan daerah soal zonasi
karena lokasi saling berdekatan dengan pasar tradisional ( http://prabowosubianto.info )

Persoalan tidak kalah serius menyangkut hierarki kekuasaan pasar. Pasar tradisional
sebenarnya milik pemerintah daerah, sedang regulasi pasar dari pemerintah pusat. Dari
aspek ini posisi pasar menjadi unik. Pemerintah pusat sebagai regulator pasar, pelaksana
pemerindah daerah dan dampak regulasi tersebut dirasakan langsung oleh pemerintah
daerah. Seperti regulasi pasar modern, pemerintah pusat yang memiliki kewenangan
menentukan berapa luas lantai dan persyaratan lain, sementara pemerintah daerah
pelaksana kebijakan yang paling mengetahui kondisi daerah dalam pengembangan
ekonomi lokal.

23
Dari aspek hierarki pelaksana regulasi, penyelenggaraan pasar modern maupun pasar
tradisional sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Tanggung jawab ini
dikaitkan dengan aspek pembinaan, baik Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/MDAG/PER/12/2008 maupun Peraturan Presiden RI Nomor 112 Tahun 2007
menempatkan pemerintah daerah sebagai Pembina utama pasar. Produk penyelenggaraan
pasar tradisional pun menjadi pemasukan pemerintah daerah. Pasar tradisional di
Surakarta misalnya, menyumbang masukan pendapatan asli daerah (PAD) per tahun Rp 9
miliar. (Himawan & Wibowo, 2004). Sampai pada tahap out put kegiatan ekonomi,
terjadi kesenjangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Pemerintah pusat pada posisi
tidak bertanggung jawab atas dampak penyerapan ekonomi pasar tradisional oleh pasar
modern, karena pelaksanaan regulasi sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah
daerah. Sebaliknya, pemerintah daerah melempar tanggung jawab kepada pusat, karena
posisinya sebagai pelaksana regulasi saja.
Dilema semacam ini tidak terjadi apabila kebijakan dan pengembangan ekonomi
berpedoman pada pemetaan kekuatan dan kelemahan potensi ekonomi lokal. Apabila
pemetaan telah ditemukan dan disepakati bersama, pemerintah pusat dan daerah
melakukan sinergi tentang pola kebijakan dan pengembangan ekonomi yang menguatkan
pengusaha kecil dan lokal tradisional, tanpa menghalangi pengembangan pasar modern
dengan modal besar dan manajemen profesional.

Maka, komitmen pemerintah tetap menghidupkan pasar tradisional seperti disampaikan
Sri-Edi Swasono, harus berimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Komitmen tersebut ditunjukkan dengan regulasi dari pusat yang mendukung potensi
ekonomi lokal dan tradisional, sementara pemerintah daerah menunjukkan komitmen
untuk membesarkan pasar tradisional. Keberpihakan ini tidak bertendensi protektif
sepanjang kesempatan dan aturan diberlakukan secara fair . Hal demikian sangat penting
jika dilihat dari sudut pandang ancaman nyata pasar modern terhadap pasar tradisional
yang disampaikan oleh para peneliti bahwa pasar modern akan menguasai pangsa pasar
ritel sebesar 60% pada tahun 2020. Saat seperti ini terjadi, pedagang kecil lokal dan
tradisional menjadi penonton kejayaan pasar modern.

24
Ketika pasar tradisional mati dan pedagang kecil menjadi penonton, pemerintah daerah
bisa menyalahkan pusat atau sebaliknya pemerintah pusat menyalahkan daerah.
Pengalaman ini terekam pada masa lalu sebagaimana diceritakan ulang oleh Mubyarto.
Tokoh ekonomi rakyat, Bung Hatta menyalahkan Pemda DKI Jakarta karena
membiarkan pemodal besar masuk ke pasar tradisional, sebaliknya pedagang kecil
tergusur. “Bung Hatta pernah marah dan mengeluhkan soal kebijakan (Gubernur DKI
Jakarta) Ali Sadikin pada tahun 1971. Ketika membuka kesempatan investor besar masuk
pasar tradisional dan membuka pasar modern, sang gubernur dianggap membuka pintu
terlalu lebar bagi pemodal besar, sebaliknya para pedagang kecil dan tradisional
dikorbankan. Komentara Mubyarto, “Apabila Bung Hatta sekarang masih hidup, kita
boleh percaya bahwa beliau pasti masih amat prihatin dan bahkan merisaukan ekonomi
rakyat kita yang masih tetap lemah. Istilah Bung Hatta ini merupakan “penghinaan,” tulis
Mubyarto (1997 : 25). Apakah Bung Hatta harus dihidupkan lagi untuk mengingatkan
pemerintah soal homo homini lupus yang tengah dilakukan pemodal besar di pasar
modern terhadap pedagang kecil di pasar tradisional?

Patangpuluhan, Monday, January 25, 2010

25
Buku Bacaan :
Oxford Learner’s, (2005),
Pocket Dictionary New Edition, Oxford University New York
Barbar,R.Benjamin, (2002)
Jihad vs McWorld Fundamentalisme, Anarkisme dan Benturan Peradaban
(Jihad Vs McWorld, How Globalism and Tribalism Are Reshaping The
World), penerjemah Yudi Santoso,dkk, Pustaka Promethea
Hakim, Lukman, (2008),
Infor Lengkap Waralaba , , Buku Kita Jakarta, 2008
Kuncoro, Mudradjad, (2008)
Strategi Pengembangan Pasar Modern dan Tradisional , Kadin Indonesia,
2008
Mubyarto, (1997),
Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia ,
Penerbit Aditya Media
Natawidjaja, Ronnie S, (2005),
Modern Market Growth and The Changing MAP of
The
Retail Food Sector in Indonesia, Presented at Pasific Food System,
Outlook (PDSO) 9th Annual Forecasters Meeting, in Kunming, China,
May, 10-13, 2005
Ritzer, George, (2002),
Ketika
Kapitalisme
Berjingkrak
Telaah
Kritis
Terhadap
Gelombang McDonaldinasasi (McDonaldization of Society) , penerjemah
Solichin, Didik P.Yuwono, Pustaka Pelajar
Ritzer, George, (2005),
Teori Sosial Postmodern (The Postmodern Social Theory), penerjemah Muhammad
Taufik, Kreasi Wacana Yogyakarta, 2005
Priyono, Edy, et.al, (2003)
Final Report Analisis Cost-Benefit Kehadiran Pengecer Besar ,
AKADEMIKA – Center for Public Policy Analysis, 2003
Setiawan, Deden, (2009),
Franchise Guide Serius, Dian Rakyat Jakarta, 2006
Pandin, Marina R.L, (2009),
The Portrait of Retail Business in Indonesia : Modern
Market, Economic Riview, No.215, March, 2009
Polanyi, Karl, (2003),
Tranformasi Besar Asal Usul Politki dan Ekonomi Zaman Sekarang
(Origin of Our Time : The Great Tranformation) , Penerjemah M.Taufik,
Rahman, Pustaka Pelajar,
Ritzer, George and Goodman, Douglas, (2008),
Teori Sosiologi Dari Klasik Sampai Postmodern (Sociology Theory) ,
Penerjemah Nurhadi, Kreasi Wacana, Yogyakarta
Sri-Edi Swasono, (2002)
Indonesia dan Dokrin Kesejahteraan Sosial , Perkumpulan Prakarsa, 2005

26
Heru Nugroho (Ed), (2002),
McDonalisasi Pendidikan Tinggi, Kanisius, 2002
Smith, Land Dawson,
Retail and Food Service, Food Exporters Guide to Indonesia ,
Australian Govermant Departement of Agriculture, Fisheries and Forestry,
Cambera, 2004
Suharto, Edi,
Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta Bandung
Triwibowo, Darmawan dan Bahagio, Sugeng, (2006)
Mimpi Negara Kesejahteraan , LP3ES
Wolf, Martin, (2004),
Globalisasi : Jalan Menuru Kesejahteraan (Why Globalisation Work) ,
Penerjemah Samsudin Barlian,; Yayasan Obor Indonesia, 2004
Wrong, Dennis (Ed.), (2003)
Max Weber Sebuah Hazanah (Maker of Modern Social Science (Series) ,
Penerjemah A.Asnawi; Ikon Teralitera Yogyakarta
AC Nielsen, Indonesian, (2009)
Market Update; How is the economic crisis affecting the Indonesian retail
market and its consumers?, 16 Jun 2009, (http://id.nielsen.com/news)
Herus