ALIRAN modern DI INDONESIA docx

ALIRAN – ALIRAN ISLAM DI INDONESIA
Latar belakang
Proses masuknya agama Islam di Indonesia sangat berhubungan erat dengan kegiatan
perdagangan rempah – rempah yang dilakukan antara bangsa Barat dengan bangsa Timur. Dan
kedudukan Bangsa Arab yang menyebarkan agama Islam, dalam kegiatan perdagangan ini
berperan sebagai perantara. Para pedagang / Saudagar Arab dalam melakukan perjalanan ke
Indonesia untuk mencari rempah – rempah, diawali datang ke India, membeli rempah – rempah
di India yang berasal dari Indonesia. Akhirnya lama – kelamaan bangsa Arab dan bangsa India
datang bersama – sama ke Indonesia .

Dalam hubungan ini bangsa Arab yang berperan adalah mereka yang tinggal di wilayah Arab
Selatan, atau Yaman dan Hadhramaut. Wilayah ini sudah masuk Islam pada waktu Nabi
Muhammad saw masih hidup, yaitu pada waktu Badzan Al faritsy menjadi Gubernur Yaman.
Daerah Yaman dan Hadhramaut kemudian menjadi provinsi dari Negara Islam. Di daerah ini
Nabi Muhammad saw mengutus dua orang guru agama Islam yaitu : Mua’adz bin Jabal dan Abu
Musa Al Asy’ari.
Sejak datangnya Saiyid Ahmad Syihabudin di wilayah Yaman dan Hadramaut, penduduk daerah
ini menjadi bersemangat dalam berdakwah. Saiyid Ahmad Syihabudin adalah seorang keturunan
Nabi Muhammad saw, yang meninggalkan kota Nedjf, kampung halamannya, pergi dari kota
Nedjf untuk menyelamatkan diri dari fitnah aliran Mu’tazilah pada masa Al Ma’mun menjadi
khalifah.

Para pedagang sekaligus mubaligh dari bangsa Arab itu kemudian datang ke Indonesia dengan
membawa barang dagangan, diantaranya tekstil dari Mesir. Mereka sampai di Indonesia
kemudian menjual barang dagangannya , lalu membeli barang dagangan sebagai gantinya yaitu :
rempah – rempah. Sambil menunggu angin muson untuk membawa kapal berlayar kembali ke
Arab , para pedagang Arab melakukan integrasi dengan penduduk Indonesia. Hubungan
pergaulan dan perkenalan yang terjalin dalam waktu yang lama dan perilaku simpatik dari para
pedagang Arab, menimbulkan hasil integrasi antara lain dengan pernikahan.
Hal ini dapat dilihat dalam perjuangan Partai Arab Indonesia , yang dipimpin oleh Abdur
Rahman Baswedan pada tahun 1935. Mereka memperjuangkan hak untuk diberi status sebagai
Putera Indonesia Asli ( bukan sebagai keturunan asing : Cina dan India ) dengan alasan bahwa
mereka adalah keturunan Ibu – Ibu Indonesia asli, dan hanya ayahnya saja yang berasal dari Arab
yang datang ke Indonesia dengan tidak membawa keluarga.
Selanjutnya pada abad ke – 16 setelah agama Islam tersebar di Indonesia, mulailah bangsa
Indonesia kedatangan kaum Imperialis, seperti bangsa Portugis, Belanda dan Inggris. Bangsa
Portugis mendarat di Malaka pada tahun 1511, Belanda mendarat di Banten pada tahun 1596 dan
Inggris mendarat di Jakarta pada tahun 1617. Sejak itu mereka saling memperebutkan pasar
rempah-rempah dan tempat yang strategis di dunia Timur, mulai dari Afrika Selatan, kemudian

India dan Asia Tenggara. Persaingan antar bangsa Barat diakhiri dengan Traktat London pada
tahun 1824, yang berisi :

1. Indonesia diserahkan kepada Belanda
2. Wilayah luar Indonesia diserahkan kepada Inggris
Belanda meninggalkan Malaka, Ceylan dan Afrika Selatan. Inggris harus meninggalkan
Indonesia. Raffless berangkat ke Singapura dan menguasainya. James Broke berangkat menuju
Brunei, di Kalimantan Utara dan menjadikan wilayah ini terpisah dari wilayah Indonesia.
Belanda khawatir akan terjadi hal serupa di daerah perbatasan, maka melaksanakan anjuran JPG
Westhoff , untuk menguasai rakyat Indonesia perlu dilaksanakan Kristenisasi dengan merangkul
wilayah perbatasan seperti Sulawesi Utara, ( Minahasa ) , kepulauan Maluku dan Timor, yang
berbatasan dengan Portugis. Gereja – gereja dibangun di perbatasan serta ditempatkan pula
serdadu untuk mengawasi Inggris.
Selanjutnya Belanda mulai melaksanakan praktek kolonialisme di Indonesia. Muncullah
perlawanan dari bangsa Indonesia seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Sultan Hasanudin
dll. Untuk wilayah perbatasan Barat laut ( Sumatera Utara ) setelah Traktat London , Belanda
menghadapi Perang Paderi. sebelum dilaksanakan perang Paderi , diusahakan pembendungan
bantuan dari Aceh oleh Raffles, dengan meng-Kristen-kan Tanah Batak, agar Minangkabau yang
sedang bergolak ( Perang Paderi ) tidak mendapat bantuan dari Aceh.
Usaha penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia dilaksanakan
dengan maksud politik, sehingga rakyat yang menjadi obyeknya tidak selamanya diajak masuk
Kristen secara baik-baik, tetapi sering juga dengan tipu – daya dan kekerasan, sehingga kaum
muslimin merasa dirongrong; mereka mengadakan jihad, tetapi Belanda lebih kuat, sehingga

perjuangan gagal.
Kegagalan dalam perjuangan tersebut menyebabkan kaum muslimin Indonesia secara besarbesaran hijrah ke Tanah Suci Mekah dan Madinah, karena tidak bersedia untuk dijajah oleh
Belanda. Maka pada abad ke – 19 terbentuklah masyarakat Indonesia di Mekah yang dikenal
dengan sebutan ” Jawi ” , mereka belajar di Masjidil Haram, sehingga banyak diantara mereka
kemudian menjadi ulama-ulama Jawi.
MUNCULNYA ALIRAN – ALIRAN ISLAM MODERN DI INDONESIA
Pada awal abad ke – 20 muncul gerakan Wahabi yang dipimpin oleh raja Abdul Aziz Ibn Saud,
ketenangan tanah suci Mekah menjadi terganggu. Dan hubungan tanah suci Mekah dengan
Indonesia kemudian terputus, karena terjadi Perang Dunia I tahun 1914 – 1918. Maka dalam
kondisi yang demikian banyak ulam-ulama Jawi yang kembali ke Indonesia, dan kemudian
menyebarkan ilmunya ke seluruh Indonesia tahun 1916 .
Untuk menampung ulama – ulama itu, sebagai wadahnya pada waktu itu di Indonesia sudah ada
Jam’iyatul Chair yang berpusat di Jakarta dengan cabang – cabangnya , Ar Robithah Al
Alawiyah , Al Irsyad dan SI ( Sarikat Islam ), dan juga Muhammadiyah yang berpusat di
Yogyakarta.

Ulama – ulama Jawi pada awalnya menggabungkan diri dengan SI ( Sarikat Islam ) kemudian
setelah SI terpecah menjadi Si Merah yang bercorak komunis dan SI Putih yang murni, maka
ulama – ulama Jawi akhirnya meninggalkan SI karena Belanda mencurigai seluruh SI akibat SI
Merah melakukan kekacauan. Ulama – ulama Jawi akhirnya membentuk organisasi sendiri. Dan

karena Belanda membatasi gerak Jam’iyatul Choir, maka muncullah organisasi – organisasi
Islam dengan nama yang bermacam – macam di seluruh Indonesia, sebagai perwujudan lahirnya
alam pikiran Islam Modern di Indonesia.
Macam – macam Nama Aliran :
1. Jam’iyatul Chair
Didirikan pada tahun 1901 M. Di Jakarta sebagai hasil dari masuknya faham Syeh Muhammad
Abduh ke Indonesia melalui majalah Al ‘Urwatul Wutsqa. Nama Jam’iyatul Chair disesuaikan
dengan Jam’iyah Al Chairiyah, yang didirikan Syech Muhammad Abduh di Mesir.
Anggotanya terdiri dari keturunan Arab yang ada di Indonesia.
Pada tahun 1903 Saiyid Barzandi, Muhammad Al Fachir Al Mansur dan Idrus ibn Shahab
mengurus izin ke Belanda dan izin dapat diperoleh dari Belanda pada tahun 1905. pada tahun itu
juga datang peninjau dari Istanbul yaitu Ahmad Amin Bey. Organisasi ini kemudian berkembang
maju, di antara anggotanya antara lain: KH. Ahmad Dahlan, dan H.O.S Cokroaminoto.
Pada tahun 1912 organisasi ini mendapat kiriman seorang guru agama dari Syarif Husein di
Mekah, yang bernama Syech Ahmad Surkaty Al Anshary As Sudany
Selanjutnya Syeh Ahmad Surkaty mengadakan peningkatan usaha dalam Jam’iyatul Chair
dengan melakukan modernisasi dalam empat bidang, yaitu :
- Bahasa Arab
- Pendidikan Agama Islam
- Pelajaran Agama

- Ukhuwah Islamiyah
2. Al Irsyad
Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad atau disingkat Al Irsyad merupakan organisasi yang berdiri pada
tahun 1914. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi Jam’iyatul Chair yang terpecah
menjadi tiga macam, yaitu Jam’iyatul Chair, ar-Rabithah al Awaliyah dan Al Irsyad.
Latar belakang berdirinya organisasi ini karena Syech Ahmad Surkaty dalam suatu dialog
tentang sekufu antara golongan Sayid dan bukan Sayid, memberikan penjelasan tanpa
menyinggung madzhab hanya menggunakan pendapat sendiri, sehingga menimbulkan
perpecahan antara golongan Sayid dan bukan sayid. Pendapat Syech Ahmad Surkaty
menimbulkan salah pengertian pada orang awam, bahwa pendapatnya itulah satu-satunya yang
benar, sedangkan pendapat yang lainnya salah.
Golongan Sayid marah kepada Syech Ahmad Surkaty, lalu mereka memisahkan diri dari
Jam’iyatul Chair dan membentuk organisasi baru yang bernama Ar Rabithah Al-Alawiyah.
Akibatnya Jam’yatul Chair menjadi sepi. KH. Ahmad Dahlan dan HOS Cokroaminoto
membujuk Syeh Ahmad Surkaty agar tetap melanjutkan usaha bersama-sama mengadakan
modernisasi di Indonesia. Lalu Syech Ahmad Surkaty membentuk organisasi baru yang diberi

nama Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad atau Al Irsyad.
Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia muncul organisasi yang bermacam-macam tetapi
pada intinya merupakan perkembangan dari dua organisasi sebelumnya yaitu organisasi

simpatisan Al Irsyad atau organisasi simpatisan Al rabithah Al Alawiyah. Di antara simpatisan Al
Irsyad antara lain : Muhammadiyah, Persis, Thawalib, sedangkan simpatisan Ar Rabithah Al
Alawiyah antara lain : Persatuan Tarbiyatul Islamiyah, Jam’iyatul Washliyah, Musyawaratut
Thalibin.
Kemudian muncul pula organisasi yang berusaha menggabungkan semuanya yaitu Nahdlatul
Ulama atau NU
Syech Ahmad Surkaty wafat pada tahun 1945, usahanya kemudian dilanjutkan oleh
keponakannya yaitu : Ustadz Muchtar Lutfie Al Anshary
3. Sarikat Islam
Sebagai perwujudan kesepakatan dengan Syeh Ahmad Surkaty, HOS Cokroaminoto kemudian
mendirikan organisasi bernama Sarikat Islam. Pada awalnya organisasi ini bernama SDI ( Sarikat
Dagang Islam ) yang didirikan pada tahun 1911 di Solo dibawah pimpinan H. Samanhudi.
Kemudian kegiatannya diperluas dan namanya diganti menjadi Sarikat Islam ( SI ) pada tahun
1912.
Pada tahun 1916 M. Sarikat Islam mulai bergerak di bidang politik. Menginginkan pemerintahan
sendiri, turut merundingkan soal pemerintahan. Kemudin SI dimasuki oleh orang-orang yang
berjiwa Komunis, sehingga SI pecah menjadi :
1. SI putih yang murni
2. SI merah yang berhaluan Komunis.
Untuk menonjolkan unsur politiknya maka SI ditingkatkan namanya menjadi Partai Sarikat

Islam ( PSI ), tetapi adanya SI merah yang berhaluan Komunis menjadikan keruhnya tanggapan
masyarakat terhadap SI. Akhirnya SI merah keluar dari SI dan membentuk Partai Komunis
Indonesia ( PKI ) , sedangkan SI putih lalu meningkatkan namanya menjadi Partai Saikat Islam
Indonesia ( PSII ).
Akibat masuknya pengaruh Komunis dalam SI merah, menyebabkan simpati masyarakat
terhadap SI menjadi berkurang. Banyak orang – orang awam yang menarik diri dan tidak
memasuki organisasi SI lagi. Hal ini mendorong ulama – ulama Jawi membentuk organisasi
lokal seperti Nahdlatul Ulama ( NU ) di Surabaya, Musyawaratut Thalibin di Kalimantan,
Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA), Darul Da’wah wal Irsyad di Sulawesi, dan Nahdlatul
Wathan di Nusa Tenggara.
4. Muhammadiyah
Sebagaimana kesepakatan dengan Syeh Ahmad Surkaty, maka bersama – sama dengan SI yang
dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, KH. A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta.
Kalau SI menitik - beratkan pada bidang ekonomi dan politik, maka Muhammadiyah lebih
menitik – beratkan kepada pendidikan, pembentukan kader yang sanggup ber-ijtihad.

Muhammadiyah sebagai organisasi yang berasaskan Islam bertujuan untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya.
Untuk mencapai tujuannya maka diadakan usaha – usaha antara lain :
1. Membentuk majlis Tabligh,

2. Mendirikan Sekolah-sekolah
3. Membentuk Majlis Tarjih
4. Mendirikan Panti Asuhan dan PKU untuk mengurusi orang sakit
5. Mendirikan orgnisasi Aisyiyah untuk kaum wanita
5. Thawalib
Organisasi ini didirikan pada tahun 1907 oleh H. Abdul Karim Amrullah, M, Jamil Jambek dan
Abdullah Ahmad di Sumatera Barat. Organisasi ini berusaha mengadakan modernisasi seperti
yang telah dilakukan oleh Syeh Muhamad Abduh di Mesir, dan Jam’iyatul Chair di Jawa.
Madrasah Diniyah didirikan untuk mendidik kader-kader. Didirikan juga madrasah diniyah untuk
putri.
Abdullah Ahmad mendirikan Adabiyah School di Padang . Sebagai sarana untuk menyiarkan
pikiran pembaharuan , maka diterbitkan pula majalah Al Munir yang antara lain berisi
terjemahan Al Urwatul Wutsqo.
H. Abdullah Karim Amrullah kemudian menulis kitab Ushul Fiqh yang bernama : Sullamul
Mushul yang menerangkan tentang umat Islam tidak boleh puas dengan mengikuti madzhab,
tetapi harus berusaha ber- ijtihad sendiri langsung memetik hukum dari Qur’an dan Hadist, tanpa
madhab. Pendapat ini tidak disetujui oleh sebagian ulama yang kemudian para ulama berusaha
membentuk organisasi baru yang bernama Tarbiyatul Islamiyah
6. PERTI
Persatuan Tarbiyatul Islamiyah ( PERTI ) didirikan di Sumatera Barat oleh ulama yang tidak

setuju dengan Thawalib, yang dipimpin oleh Syech Sulaiman Ar Rasuly. Organisasi PERTI
ditetapkan bermadzhab Syafi’i. Usaha-usahanya antara lain :
- mendirikan Madrasah
- menerbitkan majalah SUARTI ( Suara Tarbiyatul Islamiyah )
- menerbitkan bulletin Al Mizan
Organisasi ini terus berkembang sampai Proklamasi Kemerdekaan RI dan menjelma menjadi
Partai Tarbiyatul Islamiyah dengan singkatan tetap PERTI
7. PMT
Dengan alasan yang sama terhadap Thawalib, maka di Tapanuli didirikan Persatuan Muslimin
Tapanuli ( PMT ) yang mengadakan kegiatan yang sama dengan PERTI di daerah Tapanuli. PMT
didirikan pada tahun 1930 dibawah pimpinan Syech Mustofa Husein Purbabaru. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI, oraganisasi PMT bergabung dengan Nahdlatul Ulama ( NU ).
8. NU
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat

NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia. Organisasi ini
berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat
penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan

yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan
memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi
pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan
nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau
dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian
rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai
kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota.
Beranggotakan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah
itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya
muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim
Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab

Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar
dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal
ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian
dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab
yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam
lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan
kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan
tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas,
yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU.
Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu
dokumen resmipun yang bisa dirujuk untuk itu. Hal ini karena sampai saat ini tidak ada upaya
serius di tubuh NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya.

Apabila dilihat dari segi pendukung atau simpatisan, ada dua cara melihatnya. Dari segi politik,
bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan
NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Sedangkan dari segi paham
keagamaan maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham
kegamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu
berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari[1] memperkirakan ada sekitar 51 juta
dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU.
Jumlah keseluruhan Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih, merupakan mereka
yang sama paham keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Namun belum tentu mereka ini
semuanya warga atau mau disebut berafiliasi dengan NU.
Berdasarkan lokasi dan karakteristiknya, mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Pada perkembangan terakhir terlihat bahwa pengikut NU
mempunyai profesi beragam, meskipun sebagian besar di antara mereka adalah rakyat jelata baik
di perkotaan maupun di pedesaan. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi, karena secara sosial
ekonomi memiliki problem yang sama, serta selain itu juga sama-sama sangat menjiwai ajaran
ahlus sunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini cenderung mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan
perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota
memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di
pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan
terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan
cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah
doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dari dalam
maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Namun para doktor dan magister ini belum
dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan
NU.
Tujuan
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang
berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti
dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di
berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan
lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi
dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)

2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk
kepengurusan di luar negeri
4. Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
- Syuriyah (Pimpinan tertinggi )
- Tanfidziyah (Pelaksana harian)
9. PERSIS
Sebagai akibat pembatasan gerak yang dilakukan oleh Belanda terhadap Jam’iyatul Chair, maka
diadakanlah Persatuan Islam ( PERSIS ) yang didirikan oleh A. Hasan di Bandung pada tahun
1923. Usahanya untuk meningkatkan kesadaran beragama dan membentuk kader dengan
membuka sekolah dan madrasah. Dalam perkembangannya organisasi ini menonjol dalam amar
makruf nahi munkar, terutama pemberantasan kemaksiatan
10. Musyawaratut Thalibin
Organisasi ini lahir di Kalimantan sebagai perkembangan lebih lanjut dari organisasi Sarikat
Islam. Mereka melanjutkan usah- usaha SI dengan mendirikan sekolah Darus Salam Martapura,
merupakan madrasah yang lengkap dengan asrama dan sawah - ladangnya, sebagai bekal para
santri belajar di sana . para santri tamatan madrasah Darus Salam setelah kembali banyak yang
mengembangkan usaha pendidikan Darus Salam di kampung halaman masing-masing, sehingga
menjadi cabang dari Darus Salam.
Pada tahun 1930, syeh Abdur rasyid Amuntai kembali dari Mesir, lalu mengadakan modernisasi
dengan membuka Ma’had Rasyidiyah, sebagai lembaga pendidikan yng lengkap dari taman
kanak-kanak sampai lanjutan atas. Juga mendirikan Normal Islam Amuntai, sebagai sekolah guru
Islam yang modern , serta mendirikan poliklinik untuk anak-anak dan umum yang berada dalam
suatu komplek yang disebut Ma’had Rasyidiyah.
Selanjutnya Musyawaratut Thalibin bergabung dengan MIAI atau Masyumi . Dan setelah
Masyumi bubar, sebagian anggota Musyawatut Thalibin ada yang bergabung dengan Nahdlatul
Ulama ( NU ) dan ada juga yang bergabung dengan Al Jam’iyatul Washliyah.
11. Jam’iyatul Washliyah
Diresmikan pada tahun 1930, di Sumatera Utara. Mengutamakan kegiatan di bidang da’wah hasil
usahanya melahirkan organisasi da’wah besar, yaitu Yayasan Zending Islam Indonesia.
Program kegiatan Jam’iyatul Washliyah antara lain :
1. menetapkan satu madzhab, yaitu Syafi’i
2. memberikan kebebasan kepada para anggotanya untuk beramal menurut faham masingmasing
3. mengalihkan pemikiran umat Islam yang sedang sibuk mempertentangkan masalah chilafiyah

kepada masalah da’wah yang sebenarnya.
12. PUSA
Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA merupakan organisasi yang melanjutkan usaha dari
SI, bertujuan untuk melaksanakan syariat Islam dalam masyarakat, serta meningkatkan syiar
Islam dengan meningkatkan pendidikan.
13. Nahdhatul Wathan
Organisasi ini didirikan di Nusa Tenggara, sebagai kelanjutan dari SI. Usaha Nahdlatul Wathan
adalah meningkatkan kesadaran bergama dengan membuka sekolah-sekolah.
14. MIAI
Majlis Islam ‘Alaa Indonesia atau MIAI, merupakan organisasi gabungan dari organisasi yang
ada di Indonesia. Pada awal berdiri tahun 1921 anggotanya terdiri dari :
1. PSII
2. Muhammadiyah
3. Al Irsyad
4. POI ( Persatuan Oemmat Islam ) Majalengka
5. Al Islam, Solo
6. Hidayatul Islamiyah, Banyuwangi
7. Al Chairiyah, Surabaya
Pada kongres I tahun 1932 di Malang, anggotanya bertambah, yaitu :
8. Nahdlatul Ulama, Surabaya
9. Jong Islamiten Bond, Semarang
10. Ahmadiyah Lahore, Solo
11. PPDP ( Persatuan Pengulu dan Pegawainya ) Solo
12. PUSURA ( Perhimpunan Putera Surabaya )
13. PAI ( Partai Arab Indonesia ), Surabaya
14. Muro’atul Ikhwan, Surabaya
15. Kuliyah Islam, Surabaya
16. PTTR ( Perhimpunan Pegawai Pos Telegraf Telefon dan Radio Dienst Rendahan ), Surabaya
17. Komite Pembela Islam Palembang
18. Komite Persatuan Islam Banjarnegara
19. Komite Umat Islam
Pada kongres II di Solo tahun 1939, anggotanya bertambah, yaitu :
1. Persatuan Islam ( PERSIS )
2. Al Ittihadiyatul Islamiyah Sukabumi
3. Partai Islam Indonesi ( PII)
4. Ar Rabithah Al Alawiyah, Jakarta
5. Pasundan Isteri, Bandung
6. Perempuan Indonesia, Bandung
7. PIB ( Persatuan Islam Bima )
8. Badan Pertahanan Islam Medan
9. Perhimpunan Andalas Surakarta

10. Perserikatan Ulama Majalengka
11. Persatuan Umat Islam Banjarnegara
12. Majlis Islam Cirebon
13. Komite Umat Islam Purworejo
14. Hoofd-Comite Pesantren Luhur, Solo
Pada kongres III di Solo tahun 1941, anggotanya bertambah yaitu :
1. Persatuan Ulama Seluruh Aceh ( PUSA)
2. Musyawaratut Thalibin Kalimantan
3. Majlis Ulama Indonesia Toli-Toli
4. Persatuan Muslimin Minahasa
5. Persatuan Putera Borneo, Surabaya
6. PERPINDOM ( Persatuan Pemuda Indonesia Malaya ) di Mesir
7. Al Jam’iyatul Wasliyah Medan
8. Ittihadul Ulama Medan
15. JZII
Yayasan Zending Islam Indonesia atau JZII adalah suatu badan yang dibentuk sebagai pelaksana
dari hasil keputusan MIAI tentang zending Islam. Pada awal berdirinya dipakai nama Centraal
Zending islam Indonesia, kemudian di Indonesiakan menjadi Majlis Tinggi Penyiaran Islam
Indonesia, yang berpusat di Medan.
Pada tahun 1950 setelah MIAI dibubarkan, badan ini menjadi otonom di dalam organisasi Al
Jam’iyatul Wasliyah
16. TPI
Taman Pendidikan Islam ( TPI ) didirikan pada tahun 1950 di Medan dengan ketua H. Riva’i
Abd Manaf. Organisasi ini mementingkan pendidikan meliputi Ilmu, Amal dan Maal, dengan
sasaran orang-orang yang bekerja di perkebunan-perkebunan Beland