KONSEP ETIKA MARIFAT DALAM PENDIDIKAN ME
KONSEP ETIKA MA’RIFAT DALAM PENDIDIKAN MENURUT PANDANGAN
AL-GHAZALI
Afifah
Abstract: The study focuses on the ethic concept of al-Ghazâlî in education. The
approach used by al-Ghazâlî, in relation to the educational ethic, is sufisticphilosopichal which tends to the concept of ma‘rifat Allâh, taqarrub, and
tahassub through riyâdlah. These three dimentions are the main basis of how to
educate the moslem’s ethic. For those whose spiritual has not been good yet,
they are suppossed to learn constantly. Therefore, an educator may guide and
bring spiritually the students to be close to Allah. In fact, al-Ghazâlî’s concept of
ethic in education by sufistic-philosopichal approach has theoretically and
practically broad influences for the moslem life all over the world. Such two
influences indicate that practically and theoretically al-Ghazalî’s school of
thought in ethical education turns out to be the basic of further thinking. Thus,
the very strong al-Ghazalî’s influence toppled down the sufism at that time.
Abstrak: Kajian ini membahas konsep pendidikan etika al-Ghazâlî. Pendekatan
yang digunakan oleh al-Ghazâlî dalam membina etika bermuara pada sufistikfilosofis yang cenderung pada ma‘rifat Allâh dan diproses dengan metode
tazkîyat an-nafs, taqarrub, dan tahassub dengan cara riyâdlah. Tiga dimensi ini
menjadi landasan untuk membina etika seseorang secara baik. Bagi seseorang
yang jiwanya belum bersih, dia harus berguru dan minta petunjuk. Dengan
demikian, guru dapat memberi petunjuk dan mengantarkan seorang murid
sampai kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, konsep pendidikan etika
sufistik-filosofis al-Ghazâlî berpengaruh di belahan dunia baik secara teoritik
maupun praktis. Dua pengaruh ini menggambarkan pemikiran al-Ghazâlî secara
teoritis-praktis dalam bidang pendidikan etika. Pengaruh al-Ghazâlî yang sangat
kuat mampu menumbangkan aliran tasawuf yang berlaku pada saat itu.
Keywords:
Al-Ghazâlî, Tazkiyat al-Nafs, Taqarrub, Tahassub, Riyâdlah.
Ma'rifatullah
Seorang ahli ibadah akan optimis dalam hidupnya. Ia optimis bahwa Allah akan menolong dan
mengarahkan hidupnya.Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika
melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah
(ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal
Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak
menjadikan kita makin mengenal Allah. Mengenal Allah adalah aset terbesar.
Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan
merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila
demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal
Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan
sebagainya.Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut
dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu
cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu
susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat
tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa
membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan
mendatangkan tujuh keuntungan hidup. Pertama, hidup selalu berada di jalan yang benar (on the
right track). Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari
terjaganya keimanan. Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak
akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah. Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu
optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan
menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan
fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan. Kelima, seorang ahli ibadah
memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan
melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus.
Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat. Keenam, selalu ada dalam bimbingan
dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka
pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut. Ketujuh, seorang ahli ibadah akan
memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan
setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat. Untuk menjadi ahli ibadah kita bisa menumbuhkan
ACM (Aku Cinta Masjid). Seorang Muslim dengan masjid bagikan ikan dengan air. Tidak mungkin
seorang Muslim tidak betah di masjid. Diragukan keimanannya bila ia tidak akrab dengan masjid.
Ikhtiar menumbuhkan kecintaan terhadap shalat dan masjid adalah dengan berusaha shalat tepat
waktu, di masjid dan dilakukan secara berjamaah. Cara paling mudah untuk melaksanakannya
adalah dengan datang lebih awal ke masjid untuk menunggu shalat.
Saudaraku, di tengah kondisi yang semakin sulit, tidak ada yang bisa menolong kita selain Allah
SWT. Salah satu ikhtiar untuk menggapai pertolongan Allah dengan meningkatkan pengenalan kita
kepada Allah. Cara menggapainya adalah dengan ibadah secara istikamah. Wallaahu a'lam
( KH Abdullah Gymnastiar )
Dialektika Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma'rifat
Ada yang namanya ilmu hayat, bukan dan sering berbeda dibanding ilmul-madrasah, ilmu
persekolahan. Kalau pakai ilmu madrasah, saya terlalu awam. Kalau ilmu saya itu ilmu ngasak:
mengaisi sisa-sisa padi sesudah orang panen. Bukan ilmu sekolahan, tapi ilmu jalanan, ilmu
lapangan, ilmu langsungnya orang hidup
Syariat saya ibaratkan badan. Badan Anda yang bisa bergerak, melangkah, bisa gedek (geleng)
segala macamnya. Thariqat-nya adalah cara Anda bergerak, cara Anda masak, cara Anda mengajar,
cara Anda menjadi presiden, cara Anda menangani jajak pendapat. Thariqat itu semacam dengan
kaifiyyah. Thariq itu jalan, dengan atau tanpa tanda petik, denotatif atau konotatif. Syari' itu juga jalan.
Tapi kalau thariq lebih bersifat kualitatif, kalau syari' bersifat kuantitatif. Jadi kalau ini jelas Jetis itu
syari'
bukan
thariq.
Kalau
thariq
itu
jalan
dalam
arti
yang
yang
lebih
abstrak."
Jadi syariat dan thariqat itu artinya sama-sama jalan. Jadi, sekali lagi, syariat saya terjemahkan
sebagai badan Anda yang bisa bergerak itu. Thariqat adalah cara Anda bergerak, cara Anda
mengelola sesuatu. Haqiqat adalah ke mana Anda berjalan, titik tuju Anda, atau apa yang akan Anda
tuju, atau apa yang akan Anda capai. Itulah haqiqat. Jadi sekali lagi empat ini adalah satu sistem,
satu sistem perilaku, satu sistem managemen, bukan tingkatan-tingkatan. Bukan kok, Wah ini
manusia syari'at. Yang itu kalau shalat Jum'at selalu di Mekah, jadi sudah ma'rifat. Kalau yang sana
tak perlu shalat lagi karena sudah ngerti hakekatnya..
.
Bukan. Itu bukan level. Tolong jangan diseram-seramkan. Kita sering terpukau oleh kata haqiqat,
ma'rifat, thariqat, syari'at. Terpukau. Apa sih ma'rifat? Ma'rifat adalah, anak SD belum bisa berhitung;
mulai hari ini bisa ngitung. Tadi dia berangkat dari rumah belum tahu 2x3 itu 6, sekarang dia tahu
2x3=6. Itulah ma'rifat. Cuma itu doang.
Bill Gate dan timnya terus ber-ma'rifat. Tentu saja ada ma'rifat intelektual, ada ma'rifat kultural, ada
ma'rifat spiritual, dan berbagai rumusan lagi.
"Makanya sifat Allah yang ketiga adalah 'alimul-gha'ibi was-syahadah. Sesudah ilahun (Tuhan),
lantas rabbun (Pengasuh); kemudian 'Alimul-ghaibi was-syahadah.
Mengetahui kegaiban. Yang mengetahui yang ghaib, dan menguasai kesaksian atas kegaiban. Kalau
manusia bersifat muta'allimul ghaib, yang mempelajari kegaiban." Yang gaib itu apa? Yang gaib itu
sederhana, yaitu sesuatu yang Anda belum tahu. Begitu saja. Warung soto di sana itu enak: gaib bagi
yang belum merasakannya. Begitu ke sana, langsung tidak gaib lagi."
Barang gaib itu sederhana. Orang-orang Indonesia itu suka banget sama yang serem-serem gitu,
Nyerem-nyeremin. Lia Aminuddin diserem-seremin; Wo anaknya itu Imam Mahdi. O dia habis
nantang Nyai Roro Kidul. Kalau memang anaknya Imam Mahdi ya alhamdulilah. Jadi ndak perlu
reformasi, tak perlu suksesi. Makmur semua, wong ada Imam Mahdi. Tapi kalau ternyata tetap repot,
Indonesia
tetap
kacau
berarti
dia
bukan
Imam
Mahdi.
Cukuplah
begitu
berpikirnya.
Jadi tolong jangan terkontaminasi oleh mitologi kata, oleh mitos-mitos di dalam otaknya sendiri. Kita
ribut sama mitos-mitos kita mengenai hantu. Umpama ada gendruwo ya lewatlah saja 'kan ndak apaapa. Kita sering menimpakan kepada diri kita sendiri sesuatu yang sebenarnya ringan-ringan saja.
Ma’rifat, Sifat-sifat Orang Arif dan Hakikatnya
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj"
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab, "Ma'rifat itu datang
lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan
segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba."
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia
menjawab, "Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan
menjadi jernih karenanya."
Ahmad bin 'Atha' - rahimahullah - berkata, "Ma'rifat itu ada dua: Ma'rifat al-Haq dan ma'rifat hakikat.
Adapun ma'rifat al-Haq adalah ma'rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifatsifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma'rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke
sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan
makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
"Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya"." (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin'Atha', "Tak ada jalan menuju ke sana," yakni ma'rifat (mengetahui) secara
hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana
Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma'rifat secara hakiki tidak
akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma'rifat-Nya tidak akan
sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika
bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup
ma'rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, "Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada
yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ashShamadiyyah)
tak
mungkin
dapat
dipahami
secara
detail.
Allah
swt.
berfirman:
"Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya"." (Q.s. alBaqarah:
255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, "Mahasuci
Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma'rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup
mengetahui-Nya."
Asy-Syibli - rahimahullah - pernah ditanya, "Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?"
Ia menjawab, "Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi
saksi telah fana' (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang."
"Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?"
Ia menjawab, "Awalnya adalah ma'rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya."
Ia melanjutkan, "Salah satu dari tanda ma'rifat adalah melihat dirinya berada dalam 'Genggaman' Dzat
Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain
dari ma'rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma'rifat dengan-Nya tentu akan
mencintai-Nya."
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami - rahimahullah - pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia
menjawab, "Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu
anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih.
Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna
hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia
akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual
adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya."
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskannya: Artinya, - hanya Allah Yang Mahatahu bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang
ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah
kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih
atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan
aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika "bersama" Allah Azza wa jalla dalam segala
hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya "bersama" Allah adalah
dalam
satu
makna.
Al-junaid - rahimahullah - pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-'arifin). Kemudian ia
menjawab, "Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi
sifat."
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab, "Adalah kemampuan hati
nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkanNya."
Al-Junaid - rahimahullah - ditanya, "Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa
kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?"
Ia menjawab, "Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada
mereka."
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi - rahimahullah - berkata, "Akan tetapi mereka tidak
membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih,
mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan
orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat
Yang mewujudkannya."
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, " Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?"
Ia menjawabnya, "Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa
sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya.
Akhlak
itu
adalah
istiqamah."
Yahya bin Mu'adz - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, "Ia bisa masuk di
kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka."
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, "Ialah seorang
hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka."
Abu al-Husain an-Nuri - rahimahullah - ditanya, "Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal,
sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal"
Ia menjawab, "Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau
bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan
cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan 'di mana'
terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang
awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia
tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang
pertama dan mana yang terakhir."
Kemudian ia melanjutkannya, "Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di
mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga
Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia
menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan
dan melihat penghambaan ('ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan
makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada
dalam makna firman-Nya, 'Kun' (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah
menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan."
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, "mengetahui-Nya secara
langsung," ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan
tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang
diisyaratkan tersebut - hanya Allah Yang Mahatahu - bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan
itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang
bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan.
Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama
seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan
corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk,
dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. - dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha' - rahimahullah - pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma'rifat. Dimana hal
ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin
'Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya
(tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang
selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua
ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benarbenar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas
bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak
ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaianpakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.)."
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha' maknanya mendekati dengan apa
yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani - rahimahullah - dimana ia
berkata, "Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha)
atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka
orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula,
karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat
dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya."
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek
hanya karena tertutupi hijab-Nya." Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut.
Sementara ucapannya yang menyatakan, "Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya." Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna
semua
itu
adalah
sebagaimana
yang
diterangkan
dalam
sebuah
Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di
tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, "Ini
adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak
mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama
mereka beserta nama bapak-bapak mereka." (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini
Hasan
Shahih
Gharib.
Juga
diriwayatkan
oleh
ath-Thabrani,
dari
Ibnu
Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi - rahimahullah - mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia
berkata, "Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan
menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak
pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu."
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya - dan hanya Allah
Yang Mahatahu -, "Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia
ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan
dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa
senang dengan mereka (makhluk)."
Jual Beli Ilmu Ma’rifat
Sekarang jual beli suara politik sudah jamak dimana-mana, apalagi menjelang pemilu kemarin. Tentu,
biasanya jual beli dilanjutkan dengan jual ayat-ayat dalam kampanye. Nah, tidak kalahnya, mulai marak
jual beli ilmu ma’rifat.
Kisahnya dimulai dari kerinduan anak muda yang bener-bener kepingin bertemu Allah dan mengetahui
ma’rifat itu seperti apa. Lalu ia ikuti sebuah iklan di surat kabar, mengenai teknik mencapai ma’rifat
dengan biaya ratusan ribu rupiyah. Berapa pun biayanya akan dibayar jika ia bisa ma’rifat kepada Allah.
Maka
Maduni,
nama
pemuda
itu
bergegas
mengikuti
acara
“ma’rifat”
itu.
Semula ia disuruh berdzikir, lalu disuruh memejamkan matanya.
“Kamu sudah melihat apa tadi?” Tanya pembimbingnya.
“Nggak melihat apa- apa, Cuma klemun-klemun di otak saya, kayak pusing-pusing…”
“Lho kamu nggak lihat cahaya tadi?”
“Wah, kalau lihat cahaya, setiap mata saya terpejam, selalu ada, warna-warni pelangi…?”
“Nah, itu cahaya ma’rifat. Apakah masuk di dadamu?”
“Tapi begini Pak, kalau saya terpejam, mata saya gelap, saya selalu terbayang cahaya apa saja yang
pernah saya lihat. Semua
warna warni tampak…”
“Terus-terus…nanti ada cahaya lagi…”
Madun, jadi bingung. Sudah bayar ratusan ribu, hanya untuk membayangkan cahaya. Ia baru sadar,
begitu mahalnya untuk
sekadar membayangkan cahaya.
Itulah kisah Madun, ketika ia sudah mulai menempuh jalan Sufi, ternyata banyak tipudaya yang
menggambarkan cahaya itu seperti yang pernah tampak di dunia. Padahal Cahaya itu adalah Cahaya
Jiwa yang hanya bisa dirasakan dalam pandangan terang benderangnya hati menuju kepada Allah.
Bukan macam pelangi atau goresan cahaya. Madun jadi ingat munculnya cahaya yang mengaku Allah di
hadapan Syeikh Abdul Qadir Jilani, dan cahaya itu adalah tipudaya Iblis. Madun hanya senyum-senyum
mengingat masa lalunya, berbelanja cahaya ma’rifat lewat iklan Koran.
Peran Ma'rifat Dalam Mencapai Kesempurnaan
cisaat | June 21, 2005
".Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar:9)
Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas
ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka.
Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan
yang tinggi.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang
pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan
tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: "Tafakur sesaat
lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun."
Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya
ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu
dan ma'rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.
Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk
meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, " ..dan mengajarkan kepada mereka kitab
dan hikmah .." (Q.S. Jum'ah : 2).
Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma'rifat si pelakunya.
Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma'rifat, perbuatannya itu tidak
bernilai sama sekali.
Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma'rifat
pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya,
meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat
"Tidurnya orang alim adalah ibadah."
Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat
mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: "... supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya... "
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang terbanyak.
Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma'rifat.
Imam Abu Ja'far a.s. bersabda, "Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut) kita
akan sesuai dengan kadar ma'rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam "Kitab Ali" (Mushaf
Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma'rifat-nya" (Ma'ani alAkhbar).
Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, ".
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
diantara kamu ." (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui
bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari
sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma'rifat.
Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma'rifat. Di samping itu,
kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya
tersebut; yaitu ma'rifat.
Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma'rifat,
sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: "Aku ibarat harta yang
terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku
diketahui" (Bihar al-Anwar).
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai
potensi, adalah untuk ber-ma'rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam
Ja'far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan
kata "al-Ibadah" yang tercantum dalam ayat "Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku" (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, "Wahai para manusia! Sesung-guhnya Allah
swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal (ber-ma'rifat) kepada-Nya"
(Biharul Anwar).
Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma'rifat. Namun, jika kita lihat hubungan
keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan
beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat
Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita,
sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa
mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama
adalah mengenal-Nya." Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma'rifat adalah
pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu
keyakinan tanpa pengetahuan.
Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen.
Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.
Sehubungan dengan ma'rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap
manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena
keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang
taqlid dalam masalah ini.
Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma'rifatih (secara
utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu
yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari
berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda
dalam
penggalan
munajatnya,
"Wahai
Tu-hanku,
diriku
takkan
pernah
mengetahui-Mu sebagaimana mestinya."
Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s. pernah menegaskan, "Allah
swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan
kewajibannya untuk mengenal diri-Nya" (Nahjul Balaghah).
Setiap ilmu dan ma'rifat, khususnya ma'rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu
komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa
bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut
pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak
memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang bermuara dari
keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa
kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian.
Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur
maupun tercela.
Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar
keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk
kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap
orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih sakral
dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah seiring dengan
perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka
adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.
Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid3
muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik
penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT,
"Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?" (Q.S. Al-Mu'minun : 115)
Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih
merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang
Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam
selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia selama
masa hidupnya di dunia.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai
sifat kesempurnaan sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu
merupakan bentuk manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.
Yang dimaksud dengan "manusia sempurna" adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu
mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari
berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh
Rasul dalam sabda beliau: "Berakhlaklah dengan akhlak Allah."
Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan
diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifatsifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi
dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan ma'syuq-nya (kekasih),
begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia
akan selalu jauh dari penciptanya.
Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia
akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya
seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika
ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari apa yang
ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.
Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak materi,
tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan
Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab itu,
perjalanan untuk liqa' (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.
Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa
hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan.
itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif
nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa terwujud.
Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s.
bersabda, "Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang
akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi
malah semakin menjauh (dari tujuan)." (Ushul al-Kafi)
Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal
pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah
baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh
syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga
menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan. Maka, bagaimana
mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoanNya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.
Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi
manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, "Maka
pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." Ayat ini
menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan
penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan
mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.
Allamah Thabatha'i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa
pertemuan ilmu --tentang jalan yang harus ditempuh-- dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan.
Bukankah Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan,
padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya" (an-Naml:14)..
Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi,
petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan
ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.
Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat universal
yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat semu di depan matanya dibanding
maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan
dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa nafsunya,
"Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya."
(Q.S. Al-furqan : 43).
Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya
ma'rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian
diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, ".Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
menyucikan mereka dan mengajarkannya .." (Q.S. Al-jum'ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama
dari tegaknya bangunan kesem-purnaan jiwa manusia.
\
Keutamaan ma’rifat
Ma'rifat adalah mengenal yang hak pada segala Asma dan sifatNya dengan sebenarbenarnya. Ma'rifat adalah keistimewaan yang tertinggi yang ada pada hati, karena seseorang
yang sudah ma'rifat hubungan antaranya dan Allah sudah sangat dekat dan harmonis hingga
dirinya menyatu dengan Allah, sifatnya adalah sifat Allah dan semua aktivitasnya adalah qudrat
Allah.
" Siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya " (al Hadits). Abu Ali
Addaqaq berkata: " Kehidupan orang yang Arif selalu tenang tidak ada rasa takut atau
bersedih hati dan tingkah lakunya menunjukkan kehebatan Allah ".
Daftar Pustaka
http://teknologiforever.wordpress.com/2012/09/14/resume-aqidah-islamiyah-sayyid-sabiq/
http://pienotes.blogspot.com/2010/12/al-makrifat-mengenal-allah-swt.html
Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro: Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003
http://islamwiki.blogspot.com/2011/04/marifat-kepada-allah.html
AL-GHAZALI
Afifah
Abstract: The study focuses on the ethic concept of al-Ghazâlî in education. The
approach used by al-Ghazâlî, in relation to the educational ethic, is sufisticphilosopichal which tends to the concept of ma‘rifat Allâh, taqarrub, and
tahassub through riyâdlah. These three dimentions are the main basis of how to
educate the moslem’s ethic. For those whose spiritual has not been good yet,
they are suppossed to learn constantly. Therefore, an educator may guide and
bring spiritually the students to be close to Allah. In fact, al-Ghazâlî’s concept of
ethic in education by sufistic-philosopichal approach has theoretically and
practically broad influences for the moslem life all over the world. Such two
influences indicate that practically and theoretically al-Ghazalî’s school of
thought in ethical education turns out to be the basic of further thinking. Thus,
the very strong al-Ghazalî’s influence toppled down the sufism at that time.
Abstrak: Kajian ini membahas konsep pendidikan etika al-Ghazâlî. Pendekatan
yang digunakan oleh al-Ghazâlî dalam membina etika bermuara pada sufistikfilosofis yang cenderung pada ma‘rifat Allâh dan diproses dengan metode
tazkîyat an-nafs, taqarrub, dan tahassub dengan cara riyâdlah. Tiga dimensi ini
menjadi landasan untuk membina etika seseorang secara baik. Bagi seseorang
yang jiwanya belum bersih, dia harus berguru dan minta petunjuk. Dengan
demikian, guru dapat memberi petunjuk dan mengantarkan seorang murid
sampai kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, konsep pendidikan etika
sufistik-filosofis al-Ghazâlî berpengaruh di belahan dunia baik secara teoritik
maupun praktis. Dua pengaruh ini menggambarkan pemikiran al-Ghazâlî secara
teoritis-praktis dalam bidang pendidikan etika. Pengaruh al-Ghazâlî yang sangat
kuat mampu menumbangkan aliran tasawuf yang berlaku pada saat itu.
Keywords:
Al-Ghazâlî, Tazkiyat al-Nafs, Taqarrub, Tahassub, Riyâdlah.
Ma'rifatullah
Seorang ahli ibadah akan optimis dalam hidupnya. Ia optimis bahwa Allah akan menolong dan
mengarahkan hidupnya.Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika
melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah
(ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal
Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak
menjadikan kita makin mengenal Allah. Mengenal Allah adalah aset terbesar.
Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan
merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila
demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal
Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan
sebagainya.Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut
dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu
cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu
susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat
tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa
membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah.
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan
mendatangkan tujuh keuntungan hidup. Pertama, hidup selalu berada di jalan yang benar (on the
right track). Kedua, memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari
terjaganya keimanan. Ketiga, Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal
harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri. Apa pun yang kita miliki, tidak
akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah. Keempat, seorang ahli ibadah akan selalu
optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan
menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan
fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan. Kelima, seorang ahli ibadah
memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan
melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus.
Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat. Keenam, selalu ada dalam bimbingan
dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka
pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut. Ketujuh, seorang ahli ibadah akan
memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan
setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat. Untuk menjadi ahli ibadah kita bisa menumbuhkan
ACM (Aku Cinta Masjid). Seorang Muslim dengan masjid bagikan ikan dengan air. Tidak mungkin
seorang Muslim tidak betah di masjid. Diragukan keimanannya bila ia tidak akrab dengan masjid.
Ikhtiar menumbuhkan kecintaan terhadap shalat dan masjid adalah dengan berusaha shalat tepat
waktu, di masjid dan dilakukan secara berjamaah. Cara paling mudah untuk melaksanakannya
adalah dengan datang lebih awal ke masjid untuk menunggu shalat.
Saudaraku, di tengah kondisi yang semakin sulit, tidak ada yang bisa menolong kita selain Allah
SWT. Salah satu ikhtiar untuk menggapai pertolongan Allah dengan meningkatkan pengenalan kita
kepada Allah. Cara menggapainya adalah dengan ibadah secara istikamah. Wallaahu a'lam
( KH Abdullah Gymnastiar )
Dialektika Syariat, Thariqat, Haqiqat, Ma'rifat
Ada yang namanya ilmu hayat, bukan dan sering berbeda dibanding ilmul-madrasah, ilmu
persekolahan. Kalau pakai ilmu madrasah, saya terlalu awam. Kalau ilmu saya itu ilmu ngasak:
mengaisi sisa-sisa padi sesudah orang panen. Bukan ilmu sekolahan, tapi ilmu jalanan, ilmu
lapangan, ilmu langsungnya orang hidup
Syariat saya ibaratkan badan. Badan Anda yang bisa bergerak, melangkah, bisa gedek (geleng)
segala macamnya. Thariqat-nya adalah cara Anda bergerak, cara Anda masak, cara Anda mengajar,
cara Anda menjadi presiden, cara Anda menangani jajak pendapat. Thariqat itu semacam dengan
kaifiyyah. Thariq itu jalan, dengan atau tanpa tanda petik, denotatif atau konotatif. Syari' itu juga jalan.
Tapi kalau thariq lebih bersifat kualitatif, kalau syari' bersifat kuantitatif. Jadi kalau ini jelas Jetis itu
syari'
bukan
thariq.
Kalau
thariq
itu
jalan
dalam
arti
yang
yang
lebih
abstrak."
Jadi syariat dan thariqat itu artinya sama-sama jalan. Jadi, sekali lagi, syariat saya terjemahkan
sebagai badan Anda yang bisa bergerak itu. Thariqat adalah cara Anda bergerak, cara Anda
mengelola sesuatu. Haqiqat adalah ke mana Anda berjalan, titik tuju Anda, atau apa yang akan Anda
tuju, atau apa yang akan Anda capai. Itulah haqiqat. Jadi sekali lagi empat ini adalah satu sistem,
satu sistem perilaku, satu sistem managemen, bukan tingkatan-tingkatan. Bukan kok, Wah ini
manusia syari'at. Yang itu kalau shalat Jum'at selalu di Mekah, jadi sudah ma'rifat. Kalau yang sana
tak perlu shalat lagi karena sudah ngerti hakekatnya..
.
Bukan. Itu bukan level. Tolong jangan diseram-seramkan. Kita sering terpukau oleh kata haqiqat,
ma'rifat, thariqat, syari'at. Terpukau. Apa sih ma'rifat? Ma'rifat adalah, anak SD belum bisa berhitung;
mulai hari ini bisa ngitung. Tadi dia berangkat dari rumah belum tahu 2x3 itu 6, sekarang dia tahu
2x3=6. Itulah ma'rifat. Cuma itu doang.
Bill Gate dan timnya terus ber-ma'rifat. Tentu saja ada ma'rifat intelektual, ada ma'rifat kultural, ada
ma'rifat spiritual, dan berbagai rumusan lagi.
"Makanya sifat Allah yang ketiga adalah 'alimul-gha'ibi was-syahadah. Sesudah ilahun (Tuhan),
lantas rabbun (Pengasuh); kemudian 'Alimul-ghaibi was-syahadah.
Mengetahui kegaiban. Yang mengetahui yang ghaib, dan menguasai kesaksian atas kegaiban. Kalau
manusia bersifat muta'allimul ghaib, yang mempelajari kegaiban." Yang gaib itu apa? Yang gaib itu
sederhana, yaitu sesuatu yang Anda belum tahu. Begitu saja. Warung soto di sana itu enak: gaib bagi
yang belum merasakannya. Begitu ke sana, langsung tidak gaib lagi."
Barang gaib itu sederhana. Orang-orang Indonesia itu suka banget sama yang serem-serem gitu,
Nyerem-nyeremin. Lia Aminuddin diserem-seremin; Wo anaknya itu Imam Mahdi. O dia habis
nantang Nyai Roro Kidul. Kalau memang anaknya Imam Mahdi ya alhamdulilah. Jadi ndak perlu
reformasi, tak perlu suksesi. Makmur semua, wong ada Imam Mahdi. Tapi kalau ternyata tetap repot,
Indonesia
tetap
kacau
berarti
dia
bukan
Imam
Mahdi.
Cukuplah
begitu
berpikirnya.
Jadi tolong jangan terkontaminasi oleh mitologi kata, oleh mitos-mitos di dalam otaknya sendiri. Kita
ribut sama mitos-mitos kita mengenai hantu. Umpama ada gendruwo ya lewatlah saja 'kan ndak apaapa. Kita sering menimpakan kepada diri kita sendiri sesuatu yang sebenarnya ringan-ringan saja.
Ma’rifat, Sifat-sifat Orang Arif dan Hakikatnya
Pengajian Syeikh Abu Nashr as-Sarraj"
Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab, "Ma'rifat itu datang
lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan
segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba."
Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia
menjawab, "Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan
menjadi jernih karenanya."
Ahmad bin 'Atha' - rahimahullah - berkata, "Ma'rifat itu ada dua: Ma'rifat al-Haq dan ma'rifat hakikat.
Adapun ma'rifat al-Haq adalah ma'rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifatsifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma'rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke
sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan
makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
"Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya"." (Q.s. Thaha: 110).
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin'Atha', "Tak ada jalan menuju ke sana," yakni ma'rifat (mengetahui) secara
hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana
Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma'rifat secara hakiki tidak
akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma'rifat-Nya tidak akan
sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika
bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup
ma'rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?
Oleh karenanya ada orang berkata, "Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada
yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ashShamadiyyah)
tak
mungkin
dapat
dipahami
secara
detail.
Allah
swt.
berfirman:
"Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya"." (Q.s. alBaqarah:
255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, "Mahasuci
Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma'rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup
mengetahui-Nya."
Asy-Syibli - rahimahullah - pernah ditanya, "Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?"
Ia menjawab, "Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi
saksi telah fana' (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang."
"Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?"
Ia menjawab, "Awalnya adalah ma'rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya."
Ia melanjutkan, "Salah satu dari tanda ma'rifat adalah melihat dirinya berada dalam 'Genggaman' Dzat
Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain
dari ma'rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma'rifat dengan-Nya tentu akan
mencintai-Nya."
Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami - rahimahullah - pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia
menjawab, "Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu
anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih.
Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna
hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia
akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual
adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya."
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - menjelaskannya: Artinya, - hanya Allah Yang Mahatahu bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang
ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah
kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih
atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan
aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika "bersama" Allah Azza wa jalla dalam segala
hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya "bersama" Allah adalah
dalam
satu
makna.
Al-junaid - rahimahullah - pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-'arifin). Kemudian ia
menjawab, "Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi
sifat."
Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma'rifat. Lalu ia menjawab, "Adalah kemampuan hati
nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkanNya."
Al-Junaid - rahimahullah - ditanya, "Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa
kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?"
Ia menjawab, "Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada
mereka."
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi - rahimahullah - berkata, "Akan tetapi mereka tidak
membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih,
mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan
orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat
Yang mewujudkannya."
Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, " Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?"
Ia menjawabnya, "Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa
sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya.
Akhlak
itu
adalah
istiqamah."
Yahya bin Mu'adz - rahimahullah - ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, "Ia bisa masuk di
kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka."
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, "Ialah seorang
hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka."
Abu al-Husain an-Nuri - rahimahullah - ditanya, "Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal,
sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal"
Ia menjawab, "Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau
bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan
cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat
Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan 'di mana'
terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang
awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia
tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang
pertama dan mana yang terakhir."
Kemudian ia melanjutkannya, "Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di
mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga
Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia
menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan
dan melihat penghambaan ('ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan
makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada
dalam makna firman-Nya, 'Kun' (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah
menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan."
Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, "mengetahui-Nya secara
langsung," ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan
tentang hal-hal yang gaib.
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang
diisyaratkan tersebut - hanya Allah Yang Mahatahu - bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan
itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang
bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan.
Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama
seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan
corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk,
dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. - dan hanya Allah Yang Mahatahu-.
Ahmad bin Atha' - rahimahullah - pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma'rifat. Dimana hal
ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin
'Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya
(tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang
selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua
ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benarbenar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas
bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak
ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaianpakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.)."
Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha' maknanya mendekati dengan apa
yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani - rahimahullah - dimana ia
berkata, "Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha)
atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka
orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula,
karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat
dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya."
Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha', "Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek
hanya karena tertutupi hijab-Nya." Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut.
Sementara ucapannya yang menyatakan, "Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya
karena tersingkap (Tajalli)-Nya." Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna
semua
itu
adalah
sebagaimana
yang
diterangkan
dalam
sebuah
Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di
tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, "Ini
adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak
mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama
mereka beserta nama bapak-bapak mereka." (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini
Hasan
Shahih
Gharib.
Juga
diriwayatkan
oleh
ath-Thabrani,
dari
Ibnu
Umar).
Ketika Abu Bakar al-Wasithi - rahimahullah - mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia
berkata, "Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan
menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak
pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu."
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya - dan hanya Allah
Yang Mahatahu -, "Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia
ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan
dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa
senang dengan mereka (makhluk)."
Jual Beli Ilmu Ma’rifat
Sekarang jual beli suara politik sudah jamak dimana-mana, apalagi menjelang pemilu kemarin. Tentu,
biasanya jual beli dilanjutkan dengan jual ayat-ayat dalam kampanye. Nah, tidak kalahnya, mulai marak
jual beli ilmu ma’rifat.
Kisahnya dimulai dari kerinduan anak muda yang bener-bener kepingin bertemu Allah dan mengetahui
ma’rifat itu seperti apa. Lalu ia ikuti sebuah iklan di surat kabar, mengenai teknik mencapai ma’rifat
dengan biaya ratusan ribu rupiyah. Berapa pun biayanya akan dibayar jika ia bisa ma’rifat kepada Allah.
Maka
Maduni,
nama
pemuda
itu
bergegas
mengikuti
acara
“ma’rifat”
itu.
Semula ia disuruh berdzikir, lalu disuruh memejamkan matanya.
“Kamu sudah melihat apa tadi?” Tanya pembimbingnya.
“Nggak melihat apa- apa, Cuma klemun-klemun di otak saya, kayak pusing-pusing…”
“Lho kamu nggak lihat cahaya tadi?”
“Wah, kalau lihat cahaya, setiap mata saya terpejam, selalu ada, warna-warni pelangi…?”
“Nah, itu cahaya ma’rifat. Apakah masuk di dadamu?”
“Tapi begini Pak, kalau saya terpejam, mata saya gelap, saya selalu terbayang cahaya apa saja yang
pernah saya lihat. Semua
warna warni tampak…”
“Terus-terus…nanti ada cahaya lagi…”
Madun, jadi bingung. Sudah bayar ratusan ribu, hanya untuk membayangkan cahaya. Ia baru sadar,
begitu mahalnya untuk
sekadar membayangkan cahaya.
Itulah kisah Madun, ketika ia sudah mulai menempuh jalan Sufi, ternyata banyak tipudaya yang
menggambarkan cahaya itu seperti yang pernah tampak di dunia. Padahal Cahaya itu adalah Cahaya
Jiwa yang hanya bisa dirasakan dalam pandangan terang benderangnya hati menuju kepada Allah.
Bukan macam pelangi atau goresan cahaya. Madun jadi ingat munculnya cahaya yang mengaku Allah di
hadapan Syeikh Abdul Qadir Jilani, dan cahaya itu adalah tipudaya Iblis. Madun hanya senyum-senyum
mengingat masa lalunya, berbelanja cahaya ma’rifat lewat iklan Koran.
Peran Ma'rifat Dalam Mencapai Kesempurnaan
cisaat | June 21, 2005
".Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar:9)
Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas
ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka.
Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan
yang tinggi.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang
pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan
tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: "Tafakur sesaat
lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun."
Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya
ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu
dan ma'rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.
Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk
meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, " ..dan mengajarkan kepada mereka kitab
dan hikmah .." (Q.S. Jum'ah : 2).
Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma'rifat si pelakunya.
Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma'rifat, perbuatannya itu tidak
bernilai sama sekali.
Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma'rifat
pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya,
meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat
"Tidurnya orang alim adalah ibadah."
Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat
mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: "... supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang lebih baik amalnya... "
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang terbanyak.
Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma'rifat.
Imam Abu Ja'far a.s. bersabda, "Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut) kita
akan sesuai dengan kadar ma'rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam "Kitab Ali" (Mushaf
Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma'rifat-nya" (Ma'ani alAkhbar).
Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, ".
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa
diantara kamu ." (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui
bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari
sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma'rifat.
Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma'rifat. Di samping itu,
kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya
tersebut; yaitu ma'rifat.
Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma'rifat,
sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: "Aku ibarat harta yang
terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku
diketahui" (Bihar al-Anwar).
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai
potensi, adalah untuk ber-ma'rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam
Ja'far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan
kata "al-Ibadah" yang tercantum dalam ayat "Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku" (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, "Wahai para manusia! Sesung-guhnya Allah
swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal (ber-ma'rifat) kepada-Nya"
(Biharul Anwar).
Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma'rifat. Namun, jika kita lihat hubungan
keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan
beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat
Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita,
sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa
mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama
adalah mengenal-Nya." Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma'rifat adalah
pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu
keyakinan tanpa pengetahuan.
Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen.
Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.
Sehubungan dengan ma'rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap
manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena
keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang
taqlid dalam masalah ini.
Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma'rifatih (secara
utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu
yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari
berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda
dalam
penggalan
munajatnya,
"Wahai
Tu-hanku,
diriku
takkan
pernah
mengetahui-Mu sebagaimana mestinya."
Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s. pernah menegaskan, "Allah
swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan
kewajibannya untuk mengenal diri-Nya" (Nahjul Balaghah).
Setiap ilmu dan ma'rifat, khususnya ma'rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu
komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa
bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut
pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak
memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang bermuara dari
keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa
kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian.
Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur
maupun tercela.
Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar
keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk
kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap
orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih sakral
dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah seiring dengan
perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka
adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.
Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid3
muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik
penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT,
"Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan
bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?" (Q.S. Al-Mu'minun : 115)
Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih
merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang
Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam
selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia selama
masa hidupnya di dunia.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai
sifat kesempurnaan sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu
merupakan bentuk manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.
Yang dimaksud dengan "manusia sempurna" adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu
mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari
berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh
Rasul dalam sabda beliau: "Berakhlaklah dengan akhlak Allah."
Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan
diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifatsifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi
dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan ma'syuq-nya (kekasih),
begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia
akan selalu jauh dari penciptanya.
Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia
akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya
seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika
ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari apa yang
ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.
Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak materi,
tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan
Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab itu,
perjalanan untuk liqa' (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.
Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa
hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan.
itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif
nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa terwujud.
Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s.
bersabda, "Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang
akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi
malah semakin menjauh (dari tujuan)." (Ushul al-Kafi)
Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal
pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah
baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh
syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga
menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan. Maka, bagaimana
mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoanNya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.
Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi
manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, "Maka
pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." Ayat ini
menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan
penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan
mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.
Allamah Thabatha'i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa
pertemuan ilmu --tentang jalan yang harus ditempuh-- dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan.
Bukankah Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan,
padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya" (an-Naml:14)..
Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi,
petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan
ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.
Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat universal
yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat semu di depan matanya dibanding
maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan
dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa nafsunya,
"Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya."
(Q.S. Al-furqan : 43).
Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya
ma'rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian
diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, ".Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
menyucikan mereka dan mengajarkannya .." (Q.S. Al-jum'ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama
dari tegaknya bangunan kesem-purnaan jiwa manusia.
\
Keutamaan ma’rifat
Ma'rifat adalah mengenal yang hak pada segala Asma dan sifatNya dengan sebenarbenarnya. Ma'rifat adalah keistimewaan yang tertinggi yang ada pada hati, karena seseorang
yang sudah ma'rifat hubungan antaranya dan Allah sudah sangat dekat dan harmonis hingga
dirinya menyatu dengan Allah, sifatnya adalah sifat Allah dan semua aktivitasnya adalah qudrat
Allah.
" Siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya " (al Hadits). Abu Ali
Addaqaq berkata: " Kehidupan orang yang Arif selalu tenang tidak ada rasa takut atau
bersedih hati dan tingkah lakunya menunjukkan kehebatan Allah ".
Daftar Pustaka
http://teknologiforever.wordpress.com/2012/09/14/resume-aqidah-islamiyah-sayyid-sabiq/
http://pienotes.blogspot.com/2010/12/al-makrifat-mengenal-allah-swt.html
Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana. Dipponegoro: Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia, 2003
http://islamwiki.blogspot.com/2011/04/marifat-kepada-allah.html