KAJIAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN DATA PAP SME

KAJIAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN DATA PAP-SMEAR IBU RUMAH
TANGGA DALAM SURVEILANS INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA
KELOMPOK RISIKO RENDAH
(Policy Study Use of Housewive Pap-Smear Data on the Sexually
Transmitted Disease Surveillance at Low Risk Groups)
Arief Hargono1, Bambang Wasito Tjipto2, Widjiartini2, Betty Roosihermiati2

ABSTRACT
Background: Cases of sexually transmitted diseases (STDs) increased in the low-risk group. Data analysis PKBI
East Java 2004-2009 showed an increase in cases of STDs through pap-smear housewives. Assessment of pap-smear
policies used as material development STDs surveillance in low-risk group. Methods: Qualitative research with policy
analysis methods of Walt and Gilson which includes actors, context, content and process. The study was conducted in
Jakarta, West Java, East Java, Bali and Riau Islands. Informants are implementing surveillance of STDs and pap-smear in
provincial health office, municipal health office, hospitals, public health centers, clinics and NGOs. Data collection methods
are Focus Group Discussion (FGD) and document study. Data were analyzed by content analysis. Results: The actor
who responsible in surveillance is epidemiology surveillance unit in central level to local level. The unit is supported by the
implementing STDs surveillance and pap-smear that includes government, private and community. Situational factors of
health data and research showing increased incidence of STDs in housewives. Structural factors in society show STDs
surveillance has been conducted and people are realizing the importance of information on the incidence of STDs in low
risk group. Contents factors are the policy focus on early detection and prevention of STDs in the housewives, use of
housewife inspection activities data and information and the development of STDs surveillance using pap-smear data.

Suggestions: Focus on prevention the spread of STDs in the low-risk group including housewives. Strengthening STDs
and HIV/AIDS surveillance system to monitoring STDs problems.
Key words: policy, surveillance, sexual transmitted disease, pap-smear, housewives
ABSTRAK
Latar Belakang: Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) pada kelompok risiko rendah mengalami peningkatan. Analisis
data PKBI Jawa Timur 2004–2009 menunjukkan peningkatan kasus IMS melalui pemeriksaan pap-smear pada ibu rumah
tangga. Kajian kebijakan penggunaan data pap-smear dilakukan sebagai bahan pengembangan surveilans IMS pada
kelompok risiko rendah. Metode: Riset kualitatif dengan kaidah analisis kebijakan dari Walt dan Gilson yang meliputi
aktor, konteks, isi dan proses. Penelitian dilakukan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau dan Bali. Informan
adalah pelaksana surveilans IMS dan pap-smear dinas kesehatan propinsi, dinas kesehatan kota, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan dan LSM. Pengumpulan data menggunakan Focus Group Disscussion (FGD) dan study dokumen. Data
dianalisis dengan cara content analysis. Hasil: Aktor yang berperan dalam surveilans adalah unit surveilans epidemiologi
pusat hingga di daerah. Unit tersebut didukung oleh institusi pelaksana surveilans IMS dan pap-smear yang meliputi
pemerintah, swasta dan masyarakat. Faktor situasional data kesehatan dan penelitian memperlihatkan meningkatnya
kejadian IMS pada ibu rumah tangga. Faktor struktural di masyarakat menunjukkan surveilans IMS sudah dilaksanakan
dan masyarakat merasakan pentingnya informasi kejadian IMS pada kelompok risiko rendah. Isi kebijakan meliputi fokus
deteksi dini dan pencegahan IMS pada ibu rumah tangga, penggunaan data dan informasi kegiatan pemeriksaan ibu rumah
tangga dan pengembangan surveilans IMS menggunakan data pap-smear. Saran: Fokus pencegahan dan mengatasi

1

2

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI, Jl. Indrapura 17 Surabaya
Alamat korespondensi: Arief Hargono, E-mail: arief.hargono@gmail.com

381

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 4 Oktober 2012: 381–389
penyebaran penyakit IMS diperluas pada kelompok risiko rendah yaitu ibu rumah tangga. Memperkuat sistem dan jejaring
surveilans epidemiologi IMS dan HIV/AIDS sebagai upaya pemantauan terus menerus pada masalah IMS.
Kata kunci: kebijakan, surveilans, infeksi menular seksual, pap-smear, ibu rumah tangga
Naskah Masuk: 25 September 2012, Review 1: 27 September 2012, Review 2: 27 September 2012, Naskah layak terbit: 12 Oktober 2012

PENDAHULUAN
Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) tidak
hanya terjadi pada kelompok risiko tinggi namun
juga pada kelompok risiko rendah. Data kementerian
kesehatan tahun 2005 menyebutkan bahwa pada

312 perempuan klien KB di Jakarta terdapat kejadian
klamidia sebanyak 9%, gonorea 1% dan herpes
genitalis 3%. Pada 599 perempuan hamil di Surabaya
didapat infeksi virus herpes simpleks sebesar 9,9%,
klamidia 8,2%, trikhomonas 4,8%, gonore 0,8% dan
sifilis 0,7%. Analisis data di PKBI Jawa Timur 2004–
2009 menunjukkan peningkatan kasus IMS melalui
pemeriksaan pap-smear pada ibu rumah tangga.
Data pap-smear juga menghasilkan infeksi yang
ditularkan melalui perilaku seksual. Beberapa patogen
berkaitan erat dengan kanker serviks uteri, terutama
virus papiloma humanus (HPV), virus herpes simpleks
tipe HH (HSV II), sitomegalovirus humanus (HCMV),
klamidia dan erosi portio. Berbagai studi epidemiologis
menunjukkan infeksi HPV dan karsinoma serviks
memiliki kaitan sangat jelas (OR = 3,6–61,60). Infeksi
HPV yang paling umum terdeteksi pada kasus kanker
leher rahim adalah tipe 16, 18, 31 dan 45. Jenis ke
16 merupakan penyebab dari setengah jumlah kasus
yang terjadi diseluruh dunia (Depkes, 2007).

Hasil penelitian Wahyuni (2006) menemukan
bahwa prevalensi infeksi HPV 16/18 dengan PCR
(polymerase chain reaction) pada ibu rumah tangga
adalah 30,7%. Dari kegiatan pap-smear disebutkan
bahwa 91,3% diantaranya disertai keradangan infeksi
lain. Angka kejadian infeksi HPV pada ibu rumah
tangga dengan umur kurang dari 35 tahun cukup
tinggi dan mempunyai hubungan yang signifikan.
Sehingga disarankan agar ibu rumah tangga yang
masih muda melakukan pemeriksaan pap-smear
secara berkala.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa IMS
yang menyebabkan ulkus, misalnya herpes simpleks
dan sifilis meningkatkan risiko menularkan dan tertular
HIV. Berdasarkan sebuah penelitian yang diterbitkan
dalam jurnal AIDS edisi 1 juni 2009 menyebutkan

382

bahwa HPV juga meningkatkan risiko infeksi HIV

(Highleyman, 2009).
Kementrian kesehatan melakukan pemantauan
dan upaya penanggulangan penyakit melalui kegiatan
surveilans. Hal tersebut tertuang dalam Kepmenkes
No 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilas Epidemiologi
Kesehatan. Surveilans epidemiologi meliputi penyakit
menular dan tidak menular termasuk di dalamnya
surveilans penyakit menular seksual. Surveilans
IMS merupakan pemantauan melalui pengumpulan
data secara terus menerus dan sistematik untuk
memberikan gambaran epidemiologi penyakit IMS
dan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan
penyakit tersebut. Data yang telah dikumpulkan
kemudian dianalisis untuk menghasilkan informasi
epidemiologi yang digunakan untuk kegiatan
penanggulangan masalah IMS.
Pelaksanaan surveilans IMS masih menemui
permasalahan. Selain itu belum terbentuknya
komitmen bersama dan masih terkesan adanya

ego program membuat kegiatan surveilans belum
terintegrasi. Situasi eksternal yang kurang mendukung
adalah kondisi politis, surveilans epidemiologi non
fisik, peraturan keuangan yang kaku dan kurangnya
dukungan media massa. Hal lain yang juga menjadi
masalah adalah permenkes yang belum ditindak
lanjuti di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan
peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota,
sedangkan PP 41/2007 mempunyai berbagai versi
wadah pengelolaan surveilans epidemiologi.
Tujuan surveilans IMS pada dasarnya adalah
surveilans pada kelompok berisiko, namun perlu juga
dikembangkan pada kelompok yang rentan (ibu rumah
tangga). Data Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
dan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 menyebutkan
bahwa angka kasus AIDS pada ibu rumah tangga
lebih tinggi dari wanita pekerja seks (WPS). Salah satu
variabel yang dapat meningkatkan risiko penularan
HIV/AIDS adalah kejadian IMS. Infeksi menular seksual
atau IMS memerlukan pengamatan atau deteksi dini


Kajian Kebijakan Penggunaan Data Pap-smear Ibu Rumah Tangga (Arief Hargono, dkk.)

yang terus-menerus karena merupakan salah satu
pintu yang memudahkan terjadinya penularan HIV.
Namun hingga kini data IMS pada kelompok risiko
rendah atau ibu rumah tangga belum tersedia.
Tujuan umum penelitian ini adalah melakukan
kajian kebijakan penggunaan data pap-smear pada
ibu rumah tangga dalam surveilans IMS. Tujuan
khusus penelitian ini meliputi: 1) kajian aktor pengelola
dan pelaksana kebijakan, 2) kajian faktor kontekstual
yang mempengaruhi kebijakan, 3) kajian terhadap
isi kebijakan yang mengatur pelaksanaan surveilans
IMS
METODE
Penelitian ini merupakan kajian kebijakan dengan
menggunakan data kualitatif. Metode kajian kebijakan
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
kaidah segitiga analisis kebijakan (Walt dan Gilson,

1994). Gambar segitiga analisis kebijakan disajikan
dalam gambar 1.
Tempat penelitian adalah propinsi di Indonesia
dengan persentase IMS dan HIV/AIDS yang tinggi
yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan
Riau dan Bali. Tempat pengumpulan data dilakukan
di ibu kota propinsi yaitu Kota Jakarta, Kota Bandung,
Kota Surabaya, Kota Batam dan Kota Denpasar.
Informan penelitian ini adalah pelaksana kegiatan
surveilans IMS dan pap-smear di institusi negeri,
swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Institusi
tersebut meliputi rumah sakit, rumah sakit bersalin,
rumah bersalin, puskesmas, balai pengobatan, PKBI
(Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia), YKI
(Yayasan Kanker Indonesia) dan klinik swasta yang
melaksanakan pap-smear di kota terpilih berdasarkan
jumlah IMS dan HIV/AIDS yang tinggi.

KONTEKS


Penelitian ini secara purposive memilih kota
dengan kasus IMS dan HIV/AIDS yang cukup tinggi.
Pada setiap kota dipilih instansi pelayanan kesehatan
pemerintah dan swasta yang melaksanakan papsmear secara purposive. Pada instansi pelayanan
kesehatan pemerintah dan swasta terpilih akan
diwakili oleh kepala bidang pelayanan dan bidang
program/perencanaan dan rekam medik.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer
dan sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan
melalui kegiatan Focus Group Disscusion (FGD).
Kegiatan digunakan untuk mendapatkan masukan
tentang konteks, isi, proses dan aktor dalam analisis
kebijakan. Pengumpulan data sekunder meliputi
data kasus, form pencatatan dan pelaporan, jumlah
peserta pap-smear, pekerjaan dan diagnosis papsmear.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah panduan FGD dan formulir isian data
sekunder. Data hasil FGD dan pengumpulan data
sekunder dikumpulkan kemudian dianalisis dengan
menggunakan cara analisis isi (content analysis).

Tahapan yang dilakukan dalam analisis data adalah
mengumpulkan seluruh data dan informasi yang
telah diperoleh dari berbagai sumber, kemudian
melakukan pengelompokan data dan informasi yang
telah diperoleh ke dalam tema-tema atau aspek-aspek
yang terkait.
HASIL
Aktor Pengelola dan Pelaksana Kebijakan
Surveilans IMS merupakan salah satu komponen
kegiatan penanggulangan AIDS dan IMS. Hasil
FGD menyebutkan pengelola program ini adalah
jajaran Dinas Kesehatan. Unit dinas kesehatan
yang berperan sebagai koordiantor pelaksanaan
surveilans IMS menggunakan data pap smear adalah
Penanggulangan Penyakit (P2).
“Kalau menurut tupoksinya adalah P2”. (Bali)
“...kalau dulu Kesga tapi sekarang kembali ke
P2”. (Bandung)

ISI


AKTOR

PROSES

Gambar 1. Segitiga Analisis Kebijakan (Walt dan Gilson,
1994)

“...kalau leading sector IMS ada di pengendalian
penyakit dia hanya mendapat laporan kalau ada
tunjangan data seperti itu atau data pap smear itu
tidak apa-apa Kesga tidak menjalankan program
pap smear yang ada program IMS laporan terkait
IMS ke P2”. (Bandung)
383

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 4 Oktober 2012: 381–389

“...P2 dan Kesga Dinas Kesehatan”. (Kepulauan
Riau)

Faktor Kontekstual yang Memengaruhi
Kebijakan

“...di PM (Seksi Penyakit Menular) penyakit
menular IMS-nya, surveilans dari segi potensial
KLB-nya dan dari segi penyakit IMS-nya di PM
tergantung”. (Jakarta)

Sasaran surveilans IMS yang saat ini sedang
berjalan hanya memantau kelompok risiko tinggi
dan belum mengakomodasi kejadian IMS pada
kelompok risiko rendah. Kesadaran pentingnya data
dan informasi kejadian IMS pada ibu rumah tangga
telah dirasakan oleh masyarakat.

Pelaksanaan surveilans IMS menggunakan data
pap smear membutuhkan dukungan dan kerja sama
antar institusi dan komponen masyarakat yang terkait
dengan surveilans tersebut. Hasil FGD menyebutkan
beberapa institusi dan komponen masyarakat yang
dapat berperan dalam surveilans IMS dari kegiatan
pap smear.
“Kami (BKKBN) sudah melakukan kegiatan papsmear, jadi PKBI yang ngolah kami melaksanakan
pap-smear pada pasien yang melakukan KB IUD
atau memang akseptor yang menggunakan 2 atau
3 tahun”. (Bandung)
“Kami (Puskesmas Jakarta Barat) bekerja sama
dengan rumah sakit Darmais akan melakukan
pemeriksaan pap-smear kami di puskesmas yang
tidak mampu kalau yang pingin pap-smear kita
kumpulkan dulu 50 orang YKI yang melakukan
ada program PKTP Penanggulangan Kanker
Terpadu Paripurna)...”. (Jakarta)
“Kami (PKK) di propinsi tidak langsung kita bekerja
sama dengan BKKBN tapi dengan tujuan KB-nya
sambil pemasangan KB kita juga melakukan
pap-smear termasuk IBI juga program IFA-nya”.
(Jawa Timur)
Komponen yang berperan dalam surveilans IMS
dari kegiatan pap smear meliputi institusi pemerintah,
swasta, ikatan profesi dan lembaga swadaya
masyarakat. Institusi pemerintah yang melaksanakan
adalah dinas kesehatan, BKKBN dan rumah sakit
pemerintah. Institusi swasta adalah rumah sakit
swasta dan laboratorium swasta. Ikatan profesi adalah
Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Lembaga swadaya
masyarakat yang melaksanakan pap smear adalah
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
dan Yayasan kanker Indonesia (YKI). Komponen
masyarakat yang ikut berperan dalam kegiatan pap
smear adalah PKK.

384

“...IMS untuk wanita banyak dari suaminya
yang risiko tinggi, pap smear tidak menutup
kemungkinan ibu-ibu rumah tangga totalnya lebih
banyak”. (Bali)
“...untuk HIV belum sampai ke pap smear memang
ibu rumah tangga meningkat lebih dari 35%
sejauh ini IMS yang ada di Blitar kasus masuk
lalu diobati belum ada selama ini belum masuk
memang penting untuk ibu rumah tangga perlu
juga masuk ada sistem untuk ibu rumah tangga”.
(Jawa Timur)
“...informasi ini bagus sekali supaya PKBI di
daerah selain untuk risiko tinggi pap smear
juga sedangkan untuk ibu rumah tangga belum
terjangkau jadi kalau PKBI belum masuk bisa di
masukkan rencana dari Global Fund termasuk
pap smear untuk ibu-ibu rumah tangga karena
kasus ini di daerah sekaligus kabupaten kota
intensitasnya tinggi sekali untuk ibu rumah tangga
>35%”. (Jawa Timur)
Faktor budaya juga berperan dalam penerapan
surveilans IMS dari kegiatan pap smear. Pelaksanaan
surveilans IMS menggunakan data pap smear
merupakan hal yang baru sedangkan penyakit IMS
merupakan penyakit yang masih menimbulkan stigma
di masyarakat. Perlu adanya persiapan yang matang
agar sistem ini dapat diterima oleh masyarakat.
“...kalau sekarang IMS nya sendiri sedangkan
untuk pemeriksaan pap smear dari penggerak
PKK yang lebih gencar akan tetapi tidak terkaver
kalau ada dana baru di kerjakan mungkin kita
setiap tahun kita adakan sosialisasi kemudian
ada pengambilan itu mungkin ke depannya
kalau sekarang perlu sosialisasi IMS dan pap
smearnya ini menyangkut seksual karena

Kajian Kebijakan Penggunaan Data Pap-smear Ibu Rumah Tangga (Arief Hargono, dkk.)

menurut masyarakat dia sudah ketakutan karena
menyangkut hubungan suami istri”. (Bali)
“Selama ini kalau ada permintaan mungkin dalam
hasil IMS yang positif mungkin bisa kita laporkan
perlu sosialisasi mungkin ada formnya kirim atau di
fax ke mana diminta oleh siapa dan kegunaannya
untuk apa kalau di beri tahu mereka akan senang”.
(Jawa Timur)
“...ada tatanan khusus dengan tenaga yang
khusus selain itu alat yang cukup untuk program
pap smear”. (Bandung)
“Harus dipikirkan logistik, biaya pap-smear,
kesulitan mengumpulkan data, kalau bisa
menggunakan petugas perempuan, ada
standarisasi pelaksanaan dan kemampuan
konseling untuk petugas layanan pap-smear.”
(Kepulauan Riau)
“Belum semua wanita di Jakarta mau melakukan
pap smear mungkin perlu sosialisasi saja belum
sadar itu penting agak sulit melakukan pap smear
belum semua puskesmas melakukan pap smear
semua puskesmas wajib melakukan pap smear”.
(Jakarta)
“Harus ada pelatihan dulu dan tenaganya harus
terlatih, bisa perawat atau bidan biasanya petugas
BKIA”. (Jakarta)
Hasil FGD memaparkan perlunya sosialisasi
program dan kebijakan agar masyarakat dapat
menerima dan berperan aktif dalam kegiatan
ini. Faktor lain yang harus dipersiapkan adalah
manajemen sistem, persiapan sumber daya dan
dukungan logistik.
Isi Kebijakan yang Mengatur Pelaksanaan
Surveilans IMS
Penyusunan isi kebijakan membutuhkan identifikasi
data yang dibutuhkan oleh program surveilans IMS.
Kebutuhan data tersebut meliputi informasi yang
dihasilkan dari pemeriksaan pap-smear dan laporan
rutin. Kebutuhan data IMS dari kegiatan pap-smear
diidentifikasi dari hasil studi dokumen dan FGD.
Berdasarkan studi dokumen dan hasil FGD diperoleh
bahwa selain kanker cervix, kegiatan pap-smear juga
menghasilkan data tentang kejadian IMS.

“Tujuannya selain deteksi dini kanker mulut rahim
juga untuk keputihan terkait KB IUD lalu di lakukan
pap-smear”. (Jawa Timur)
“...kita (PKBI) tulis biasanya IMS, Ca cervik, jamur,
bakteri, perkembangannya IMS ada peningkatan
datanya”. (Jawa Timur)
“...pemeriksaan speculum ada normal, asam,
keputihan, erosi kemudian secara mikroskopis
ada kelas I, II, III, IV, V...”. (Jawa Timur)
“Yang kita (BKKBN) baca hanya epitel kalau
memang ada lainnya kalau lebih berat lalu mereka
di kasih surat rujukan atau hasilnya normal ya
normal”. (Bandung)
Pengumpulan data rutin dilakukan di puskesmas,
rumah sakit dan klinik kesehatan yang melayani
penderita IMS. Data yang dihasilkan dari laporan rutin
adalah kasus IMS berdasarkan kelompok umur, jenis
kelamin dan kelompok risiko. Data lain yang dapat
diperoleh dari laporan rutin adalah kasus IMS menurut
pendekatan sindrom/klinis dan menurut pendekatan
laboratorium.
Data yang diperoleh dari pengumpulan data rutin
dianalisis dan direkapitulasi oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota kemudian dikirim ke dinas kesehatan
propinsi. Dinas kesehatan propinsi menggabungkan
dengan data kejadian kasus IMS dari kegiatan
surveilans sentinel. Data IMS melalui surveilans
sentinel meliputi sentinel site, jenis kelamin, jumlah
yang diperiksa IMS dan jumlah yang positif IMS.
Hasil analisis data dari laporan rutin dan sentinel di
diseminasikan ke sumber data dan supra sistem.
PEMBAHASAN
Aktor Pengeloladan Pelaksana Kebijakan
Surveilans merupakan sistem mengubah data
menjadi informasi yang dibutuhkan untuk upaya
penanggulangan masalah kesehatan. Definisi
sur veilans menurut WHO merupakan proses
pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi
data secara sistematis dan terus-menerus serta
penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan
untuk dapat mengambil tindakan. Thacker dan
Berkelman mendefinisikan surveilans sebagai upaya
pengumpulan, analisis dan interpretasi data yang

385

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 4 Oktober 2012: 381–389

dilakukan secara terus-menerus dan sistematis
untuk perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi upaya
kesehatan masyarakat.
Surveilans epidemiologi atau surveilans kesehatan
masyarakat mengutamakan analisis data secara terusmenerus. Definisi sistem surveilans epidemiologi
menurut Kepmenkes no 1116/2003 adalah: “... tatanan
prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi
yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggaraan
surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data,
pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara
program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans
epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, provinsi
dan pusat”.
Prinsip umum sur veilans adalah kegiatan
pengalihbentukan data menjadi informasi yang dapat
digunakan untuk upaya penanggulangan masalah
kesehatan. Kegiatan surveilans melibatkan intitusi
yang berperan sebagai pelayanan kesehatan dan
otoritas kesehatan. Prinsip dasar surveilans disajikan
pada gambar 2.
Dasar hukum kebijakan surveilans respons adalah
UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah
dan PP no. 38/2007 pengganti PP 25/2000 tentang
pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah,
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/
kota. Dasar hukum lainnya adalah PP 41 2007
sebagai pengganti PP 08/2003 tentang organisasi
perangkat daerah, PP 65/2005 tentang pedoman
penyusunan dan penerapan standar pelayanan
minimal, Keputusan Meteri Kesehatan no. 276/2008
tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas
Kesehatan Daerah, Keputusan Menteri Kesehatan
no. 1116/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans, Keputusan Menteri Kesehatan

Health Care System

Public Health Authority
Reporting

Data

Information

Evaluation

Analysis &
Interpretation

Feedback
Action

Decision

Gambar 2. Prinsip dasar surveilans epidemiologi

386

no. 1479/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Penyakit Menular dan Penyakit
Tidak Menular serta Keputusan Menteri Kesehatan
nomor 564/2006 tentang Desa Siaga dan Permenkes
741/2008 tentang standar pelayanan minimal bidang
kesehatan kabupaten/kota.
Institusi yang berperan sebagai otoritas kesehatan
dalam kegiatan surveilans adalah kementerian
kesehatan. Kementerian kesehatan sebagai otoritas
kesehatan memiliki kewenangan untuk membuat
kebijakan berupa peraturan, pedoman dan prosedur
tetap pelaksanaan surveilans yang dilaksanakan
secara nasional.
Unit pada kementer ian ke sehat an yang
berperan penting dalam kebijakan surveilans adalah
unit surveilans epidemiologi. Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 1116/Menkes/
SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan mengatur
peran unit surveilans epidemiologi pusat, propinsi
dan kabupaten. Peran unit surveilans epidemiologi
pusat adalah mengatur penyelenggaraan surveilans
epidemiologi nasional, menyusun pedoman
pelaksanaan surveilans epidemiologi nasional
dan menyelenggarakan manajemen surveilans
epidemiologi nasional. Unit surveilans epidemiologi
pusat juga berperan untuk melakukan pembinaan
dan asistensi teknis, monitoring dan evaluasi serta
pengembangan kompetensi sumber daya manusia
surveilans epidemiologi nasional.
Kewenangan pelaksanaan surveilans di tingkat
propinsi berada di unit surveilans tingkat propinsi.
Peran unit sur veilans tingkat propinsi adalah
melaksanakan surveilans epidemiologi nasional di
wilayah propinsi, menyelenggarakan manajemen
surveilans epidemiologi propinsi dan membuat
pedoman teknis operasional surveilans epidemiologi
sesuai dengan pedoman yang berlaku.
Unit surveilans kabupaten/kota berperan dalam
pelaksanaan surveilans di wilayah kabupaten/kota.
Peran unit surveilans kabupaten/kota berikutnya
adalah menyelenggarakan manajemen surveilans
epidemiologi serta melakukan monitoring dan
evaluasi.
Institusi dan komponen masyarakat yang dapat
memberikan data dan informasi epidemiologi diatur
oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1479/
Menkes/SK/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular

Kajian Kebijakan Penggunaan Data Pap-smear Ibu Rumah Tangga (Arief Hargono, dkk.)

dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. Kepmenkes
tersebut menyebutkan bahwa jejaring surveilans
epidemiologi adalah pertukaran data dan informasi
epidemiologi, analisis dan peningkatan kemampuan
surveilans epidemiologi. Jejaring tersebut terdiri dari
jaringan kerja sama antara unit surveilans dengan
penyelenggara kesehatan, laboratorium dan unit
penunjang lainnya.
Faktor Kontekstual yang Memengaruhi
Kebijakan
Faktor kontekstual yang mempengaruhi sistem
mengacu pada faktor sistemik, politik, ekonomi,
sosial, nasional dan internasional yang memiliki
pengaruh pada kebijakan kesehatan. Leichter
dalam Buse mengelompokkan faktor tersebut dalam
empat kelompok. Kelompok tersebut adalah faktor
situasional, faktor struktural, faktor budaya dan faktor
internasional.
Faktor situasional merupakan kondisi yang dapat
mempengaruhi kebijakan. Kondisi yang mempengaruhi
kebijakan terkait pelaksanaan surveilans IMS dari
kegiatan pap smear adalah kejadian IMS pada
kelompok risiko rendah yaitu ibu rumah tangga. Data
departemen kesehatan tahun 2005 menyebutkan
bahwa pada 312 perempuan klien KB di Jakarta
terdapat kejadian klamidia sebanyak 9%, gonorea 1%
dan herpes genitalis 3%. Pada 599 perempuan hamil
di Surabaya didapat infeksi virus herpes simpleks
sebesar 9,9%, klamidia 8,2%, trikhomonas 4,8%,
gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Angka kejadian infeksi
HPV pada ibu rumah tangga dengan umur kurang
dari 35 tahun cukup tinggi dan mempunyai hubungan
yang signifikan. Analisis data di PKBI Jawa Timur
2004–2009 menunjukkan peningkatan kasus IMS
melalui pemeriksaan pap-smear pada ibu rumah
tangga. Hasil penelitian Wahyuni (2006) menemukan
bahwa prevalensi infeksi HPV 16/18 dengan PCR
(polymerase chain reaction) pada ibu rumah tangga
adalah 30,7% dan dengan pap smear didapatkan
91,3%-nya disertai keradangan infeksi lain.
Faktor struktural yang memengaruhi kebijakan
merupakan kondisi dari masyarakat yang relatif
tidak berubah. Faktor ini meliputi faktor politik, faktor
ekonomi dan peran serta masyarakat. Faktor struktural
yang memengaruhi kebijakan surveilans IMS dari
kegiatan pap smear diidentifikasi dari Focus Group
Discussion.

Pelaksanaan surveilans epidemiologi yang efektif
dipengaruhi oleh hubungan dan koordinasi yang
baik antara pelaksana surveilans dengan komponen
masyarakat yang dilayani sebagai sasaran surveilans.
Jenis surveilans pada penyakit yang menimbulkan
membutuhkan pendekatan kepada masyarakat
sehingga menimbulkan kepercayaan bagi masyarakat
untuk ikut serta berperan dalam sistem surveilans
tersebut (Snider dan Stroup, 2000).
Surveilans epidemiologi yang berjalan diharapkan
memberi manfaat bagi masyarakat. Surveilans bukan
hanya untuk penelitian kesehatan namun juga harus
memberikan dampak positif bagi masyarakat. Hakhak masyarakat yang ikut serta dalam pelaksanaan
surveilans juga harus dilindungi. Hak tersebut meliputi
kerahasiaan status kesehatan, keamanan terhadap
risiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan surveilans
(Snider dan Stroup, 2000).
Isi Kebijakan yang Mengatur Pelaksanaan
Surveilans IMS
Isi kebijakan yang mengatur pelaksanaan
surveilans respons IMS dari kegiatan pap smear
merupakan policy memoranda yang dibuat berdasarkan
hasil round table discussion, studi pustaka dan studi
dokumen. Policy memoranda yang dihasilkan meliputi
issue utama, opsi kebijakan dan rekomendasi.
Issue Utama yang menjadi dasar isi kebijakan
yang mengatur pelaksanaan surveilans IMS adalah: 1)
Kasus IMS telah terjadi pada kelompok risiko rendah.
Data departemen kesehatan tahun 2005 menyebutkan
bahwa pada 312 perempuan klien KB di Jakarta
terdapat kejadian klamidia sebanyak 9%, gonorea 1%
dan herpes genitalis 3%. Pada 599 perempuan hamil
di Surabaya didapat infeksi virus herpes simpleks
sebesar 9,9%, klamidia 8,2%, trikhomonas 4,8%,
gonore 0,8% dan sifilis 0,7%. Angka kejadian infeksi
HPV pada ibu rumah tangga dengan umur kurang dari
35 tahun cukup tinggi dan mempunyai hubungan yang
signifikan. Analisis data di PKBI Jawa Timur 20042009 menunjukkan peningkatan kasus IMS melalui
pemeriksaan pap-smear pada ibu rumah tangga.
Hasil penelitian Wahyuni (2006) menemukan bahwa
prevalensi infeksi HPV 16/18 dengan PCR (polymerase
chain reaction) pada ibu rumah tangga adalah 30.7%
dan dengan pap smear didapatkan 91,3%-nya disertai
keradangan infeksi lain; 2) Data pap smear dapat
menunjukkan kejadian IMS. Kegiatan pap smear

387

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 4 Oktober 2012: 381–389

adalah salah satu alat skrining untuk kanker serviks
yang juga dapat menentukan infeksi dan inflamasi
mulut rahim (Depkes, 2007). Data hasil pap smears
dapat menunjukkan infeksi yang ditularkan melalui
perilaku seksual. Beberapa patogen berkaitan erat
dengan kanker serviks uteri, terutama virus papiloma
humanus (HPV), virus herpes simplex tipe HH (HSV
II), sitomegalovirus humanus (HCMV), klamidia dan
erosi portio; 3) Sejumlah penelitian yang bermakna
menunjukkan bahwa IMS yang menyebabkan ulkus
seperti herpes simpleks dan sifilis meningkatkan
risiko menularkan dan tertular HIV. Penelitian yang
diterbitkan dalam jurnal AIDS edisi 1 juni 2009
menyebutkan bahwa HPV juga meningkatkan risiko
infeksi HIV (Highleyman, 2009); 4) Angka kasus AIDS
pada ibu rumah tangga lebih tinggi dari WPS (data
KPAN dan KPA Kota Surabaya, 2010)
Opsi Kebijakan yang dihasilkan untuk pelaksanaan
surveilans IMS adalah: 1) Fokus upaya pencegahan
dan mengatasi penyebaran penyakit IMS diperluas
bukan hanya pada kelompok risiko tinggi saja namun
juga memperhatikan kelompok risiko rendah; 2)
Pemanfaatan data dan informasi dari berbagai
kegiatan yang bertujuan untuk deteksi dini IMS dan
HIV/AIDS pada kelompok risiko rendah; 3) Memperkuat
sistem surveilans epidemiologi IMS dan HIV/AIDS
sebagai upaya pemantauan terus-menerus pada
masalah kesehatan masyarakat; 4) Meningkatkan
kualitas sumber daya surveilans meliputi sumber daya
manusia, dana, material dan metode surveilans; 5)
Memperkuat jejaring sistem surveilans yang dapat
menjamin pertukaran informasi tentang IMS dan
HIV/AIDS; 6) Melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap pelaksanaan surveilans termasuk fungsi
kontrol terhadap kualitas data
Rekomendasi policy memoranda meliputi: 1)
Pengembangan sistem surveilans IMS yang mampu
mengumpulkan dan melakukan analisis kejadian
IMS pada kelompok risiko rendah; 2) Penggunaan
data IMS dari kegiatan pap-smear sebagai salah
satu sumber data surveilans IMS pada kelompok
risiko rendah; 3) Melakukan sosialisasi tentang IMS
dan HIV/AIDS berikut upaya pencegahannya untuk
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, sikap dan
tindakan masyarakat serta menurunkan stigma.

388

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Aktor yang berperan ditingkat pusat adalah
kementerian kesehatan atau lebih spesifik adalah unit
surveilans epidemiologi pusat sedangkan di tingkat
propinsi adalah unit surveilans epidemiologi propinsi
di dinas kesehatan propinsi dan di tingkat kabupaten
adalah unit surveilans epidemiologi kabupaten di
dinas kesehatan kabupaten. Unit tersebut dalam
melaksanakan tugasnya perlu didukung oleh institusi
yang terkait dengan pelaksanaan surveilans IMS dari
kegiatan pap-smear. Institusi tersebut meliputi institusi
pemerintah, swasta dan komponen masyarakat.
Faktor yang berperan dalam faktor kontekstual
adalah faktor situasional dan struktural. Secara
situasional menunjukkan bahwa dari data kesehatan
dan penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan
kejadian IMS pada ibu rumah tangga. Secara struktural
di masyarakat diidentifikasi dari hasil FGD bahwa
surveilans IMS sudah dilaksanakan dan merasakan
pentingnya data dan informasi kejadian IMS pada
kelompok risiko rendah.
Isi kebijakan meliputi fokus upaya deteksi dini
dan pencegahan IMS pada kelompok risiko rendah
terutama ibu tumah tangga, penggunaan data dan
informasi dari kegiatan pemeriksaan pada ibu rumah
tangga dan pengembangan surveilans respon IMS
menggunakan data pap-smear.
Saran
Fokus upaya pencegahan dan mengatasi
penyebaran penyakit IMS diperluas bukan hanya pada
kelompok risiko tinggi saja namun juga memperhatikan
kelompok risiko rendah. Kelompok risiko rendah yang
perlu mendapat perhatian salah satunya adalah ibu
rumah tangga.
Memperkuat sistem surveilans epidemiologi IMS
dan HIV/AIDS melalui pengumpulan data yang tidak
hanya melakukan pemantauan namun juga mampu
melakukan identifikasi faktor risiko untuk deteksi
dini IMS dan HIV/AIDS. Salah satu upaya untuk
memperkuat sistem surveilans adalah melalui jejaring
sistem surveilans yang dapat menjamin pertukaran
informasi tentang IMS dan HIV/AIDS. Keterlibatan
stakeholder kesehatan dan peran serta masyarakat

Kajian Kebijakan Penggunaan Data Pap-smear Ibu Rumah Tangga (Arief Hargono, dkk.)

dapat meningkatkan kelengkapan data sehingga
penanggulangan IMS dan HIV/AIDS diharapkan lebih
komprehensif.
Melakukan sosialisasi tentang IMS dan HIV/AIDS
berikut upaya pencegahannya untuk meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, sikap dan tindakan
masyarakat serta menurunkan stigma. Menurunnya
stigma akan mempermudah program kesehatan
dalam penemuan kasus dan deteksi dini HIV/AIDS.
Peningkatan penemuan kasus akan mengurangi
fenomena gunung es pada HIV/AIDS sehingga
upaya pencegahan dan pengobatan menjadi lebih
menyeluruh.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada jajaran
dinas kesehatan propinsi, dinas kesehatan kota,
rumah sakit, rumah sakit bersalin, puskesmas, balai
pengobatan, PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia), YKI (Yayasan Kanker Indonesia) dan klinik
swasta di tempat penelitian yaitu Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Timur, Kepulauan Riau dan Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Buse K, Nicholas Mays, Gilt Walt, Making Health Policy,
Understanding Public Health.
Departemen Kesehatan, RI, 1998, Prosedur Tetap
Surveilans Sentinel HIV, Departemen Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial RI, Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Pemukiman, Jakarta.
Departemen Kesehatan, RI, 2000, Pedoman dan Prosedur
Tetap Surveilans Infeksi Menular Seksual, Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2003, Keputusan Menteri
Kesehatan no. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans.
Departemen Kesehatan RI, 2004. Pedoman Penatalaksanaan
Infeksi Menular Seksual, Jakarta, Direktorat jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan.
Departemen Kesehatan, RI, 2004, Surveilans HIV
Generasi Kedua, Pedoman Surveilans Sentinel
HIV, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Kebijakan Nasional
Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Jakarta. Kerja
sama dengan UNFPA.
Departemen Kesehatan RI., 2007. Buku Acuan Pencegahan
Kanker Leher Rahim dan Kanker Payudara. Jakarta;
Direktorat Jenderal PP & PL.
Departemen Kesehatan, RI, 2009, Pedoman Nasional
Monitoring dan Evaluasi Program Pengendalian HIV
dan AIDS, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
Highleyman L. 2009. Infeksi HPV dikaitkan dengan
peningkatan risiko tertular. Yayasan Spiritia. www.
hivandhepatitis.com 28 September 2010.
National Seminar & Workshop. 2008. Strengthening
Surveillance System in the Era of Decentralization &
The International Health Regulation 2005, Denpasar,
11nd April, 2008.
Thacker, S.B., 2000, History of Public Health surveillance,
dalam: Teutch, S.M., R.E., Churchil (eds): Principle
and Practice of Public Health Surveillance, Second
Edition, Oxford University Press Inc, New York.
Wahyuni, CH.,U. 2006. Perbedaan pemeriksaan sitologi
Pap-Smear dengan PCR infeksi HPV 16/18 serta
factor determinan pada ibu rumah tangga di Surabaya.
Info Kesehatan Masyarakat Vol. X no. 1 Juni 2006.
WHO, 2002. Sevical Cancer Screening in Developing
Country.

389