TUGAS AKHIR DAN SOSIOLOGI KESEHATAN

TUGAS AKHIR SOSIOLOGI KESEHATAN
GENDER DALAM KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

Oleh :
Muhammad Akmal
(201110310311065)

JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia yang harus diperjuangkan demi

tercapainya hidup yang damai, tentram, dan sejahtera. Kesehatan wajib dimiliki oleh setiap orang
demi menjaga kelangsungan hidupnya. Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa,

dan sosial yang memungkin setiap orang produktif secara ekonomis (Ps. 1 point (1) UU Nomor
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat
kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa
kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang
tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan
menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan berkumpul
serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya.
Singkatnya, seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai manusia.
Kesehatan reproduksi perempuan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan
mengingat IMS yang korbannya adalah banyak dari kalangan perempuan. Bukan hanya itu,
Angka Kematian Ibu (AKI) pun semakin tahun semakin menurut salah satu data penelitian yang
dilakukan di jember.
Terkait dengan kesehatan reproduksi perempuan tidak hanya bisa dikaji secara biologis
saja, tetapi juga secara sosial merupakan suatu hal yang harus menjadi perhatian. Adanya
kesenjangan gender dalam kesehatan reproduksi yang selalu saja memojokkan perempuan
sebagai korban sekaligus penyebab dari adanya penyakit seperti HIV/AIDS dan lain sebagainya.
1.2.

Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi?

b. Bagaimana perspektif gender dalam melihat kesehatan reproduksi perempuan?
c. Apa saja yang menyebabkan adanya kesenjangan dalam hal kesehatan reproduksi?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kesehatan Reproduksi
Menurut UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 kesehatan adalah keadaan sejahtera badan,
jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiaporanghidup produktif secara sosial dan ekonomi
(Dewi, 2012).
Di Indonesia, pada Lokakarya Nasional tentang Kesehatan Reproduksi di Jakarta (1996),
telah disepakati bahwa definisi kesehatan reproduksi mengacu pada definisi WHO, keadaan
sejahtera fisik, mental, dan sosial secara utuh, yang tidaksemata-mata bebasdari penyakit atau
kecacatan, dalam semua hal yang berkaitan dengansistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya
(Depkes, 2001).
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat mental, fisik dan kesejahteraan sosial
secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses danbukan
hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan serta dibentuk berdasarkan
atasperkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan material yang
layak,bertakwa pada Tuhan yang Maha Esa,spiritual memiliki hubungan yang serasi, selaras,
seimbang antara anggota keluarga dan antara keluarga dan masyarakat dan lingkungan (BKKBN,

1996).
Hak kesehatan reproduksi
a. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yangberkualitas
b. Hak untuk memperoleh informasi lengkap tentang seksualitas,kesehatan reproduksi dan
manfaat serta efek samping obat-obatan ataualat maupun tindakan medis yang digunakan
untuk mengatasi
c. Hak untuk memperoleh palayanan KB yang aman, efektif, terjangkau,sesuai pilihan,
tanpa paksaan dan tidak melawan hukum

d. Perempuan

berhak

memperoleh

palayanan

kesehatan

yang


dibutuhkan,yang

memungkinkannya sehat dan selamat dalam menjalani kehamilandan persalinan, serta
memperoleh bayi yang sehat.
e. Hubungan suami istri didasari penghargaan terhadap pasangan masing-masing dan
dilkaukan dalam situasi dan kondisi yang diinginkan bersama,tanpa unsur paksaan,
ancaman dan kekerasan remaja, laki-laki maupun perempuan, berhak memperoleh
informasi yang tepat dan benar tentang reproduksi remaja, sehingga dapat berperilaku
sehat dan menjalani kehidupan seksual yang bertanggungjawab.
f. Laki-laki dan perempuan berhak mendapat informasi yang mudah diperoleh, lengkap dan
akurat mengenai penyakit menular seksual (PMS),termasuk HIV/AIDS

Faktor-Faktor Penyebab Berkurang atau tidak terpenuhinya hak-hak kesehatan reproduksi
1. Ancaman, paksaan, tindakan kekerasan atau penghilangankeberdayaan (perkosaan,
pemasungan, aborsi, kerusuhan, dsb)
2. Terputus, hilang, tidak tersedia atau tidak terjangkaunya akses(bencana alam, daerah
terpencil/terisolir, kemiskinan, biaya mahal, dsb)
3. Kurangnya pengetahuan, kebodohan (rendahnya tingkat pendidikan,tidak adanya
penyuluhan atau pelatihan, tertutup atau tidak adanyasumber informasi, dsb)

4. Apatisme atau ketidakpedulian, kurangnya kegiatan advokasi dan tidakadanya dukungan
sosial (dari
5. Sistem dan nilai-nilai sosial (bisa gender, stigma sosial, dsb)
6. Aspek legal (hukum, peraturan, tata-tertib, dsb.

2.2. Gender dalam Kesehatan Reproduksi Perempuan
a. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s
New World, gender diartikan sebagai “perbedaan yang tampak anatara laki-laki dan perempuan
dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah “suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional anatara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Gender berbeda seks dan seksualitas. Seks adalah perbedaan badani atau biologis
perempuan dan laki-laki, yang sering disebut jenis kelamin yaitu penis untuk laki-laki dan vagina
untuk perempuan.
Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis,
sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi
dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal
organ reproduksi dan dorongan seksual (BKKBN, 2006).

Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi
sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis (BKKBN, 2006). Dari dimensi sosial dilihat
pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh
lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku
seks (BKKBN, 2006). Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual,
yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual (BKKBN, 2006).
Dimensi kultural menunjukan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat
(BKKBN, 2006).
Budaya yang Mempengaruhi Gender

a. Sebagian besar masyarakat banyak dianut kepercayaan yang salah tentang apa arti
menjadi seorang wanita, dengan akibat yang berbahaya bagi kesehatan wanita.
b. Setiap masyarakat mengharapkan wanita dan pria untuk berpikir, berperasaan dan
bertindak dengan pola-pola tertentu dengan alasan hanya karena mereka dilahirkan
sebagai wanita/pria.
c. Gender dan kegiatan yang dihubungkan dengan jenis kelamin tersebut, semuanya adalah
hasil rekayasa masyarakat. Beberapa kegiatan seperti menyiapkan makanan dan merawat
anak adalah dianggap sebagai “kegiatan wanita”.
d. Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah ke daerah lain di seluruh dunia, tergantung pada
kebiasaan, hokum dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.

e. Peran jenis kelamin bahkan bisa tidak sama di dalam suatu masyarakat, tergantung pada
tingkat pendidikan, suku dan umurnya.
f. Peran gender diajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anaknya. Sejak anak
berusia muda, orang tua telah memberlakukan anak perempuan dan laki-laki berbeda,
meskipun kadang tanpa mereka sadari.
Intinya, gender dipengaruhi oleh konstruk budaya dari masing-masing daerah. Di jawa,
laki-laki dianggap lebih tinggi derajatnya daripada perempuan karena di jawa paham yang anut
adalah paham patriarkhi di mana laki-laki lebih mendominasi atas perempuan. Sedangkan di
daerah minangkabau berbeda lagi dengan di jawa, perempuan dianggap lebih mendominasi
karena memang paham yang dianut adalah paham matriarkhi.
Gender menyangkut konstruksi sosial masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Di
dalam dunia sekarang ini banyak digunakan sistem patriakhat (menurut kekuasaan ayah). Pada
zaman dahulu diawali dengan sistem matriarkhat (menurut kekuasaan ibu). Gender ini berbeda
dengan kodrat. Perbedaan kodrat hanya terjadi secara alamiah saja dan cenderung condong ke
bentuk fisik. Contoh: tulang pria lebih kuat daripada tulang wanita, alat reproduksi pria terletak
di luar dan wanita di dalam. Gender issue tidak menyangkut kodrat alam. Hal ini dipengaruhi
agama, budaya lokal, dan kebiasaan masyarakat. Contoh: pria harus maskulin, wanita harus
feminin. Selama ini, gender issue banyak memengaruhi proses medis. Contohnya, dalam
penggunaan KB. Wanita lebih ditekan untuk menerima keinginan laki-laki. Hal ini membuktikan


bahwa masyarakat lebih permisif terhadap laki-laki. Pihak wanita hampir selalu lebih
dipersalahkan.

Diskriminasi Gender dalam Kesehatan Reproduksi Perempuan
Diskriminasi gender adalah adanya perbedaan, pengecualian/pembatasan yang dibuat
berdasarkan peran dan norma gender yang dikonstruksi secara social yang mencegah seseorang
untuk menikmati HAM secara penuh.
Deskriminasi gender dalam hal kesehatan reproduksi perempuan memang sangat
diperhatikan oleh masyarakat karena konstruk yang sudah terbangun memang sudah
menempatkan perempuan sebagai the second class di mana ia seringkali menjadi yang
dipersalahkan atas kesehatan reproduksinya. Dari contoh yang sudah sedikit disinggung di atas
tentang program KB, perempuan selalu menjadi bulan-bulanan kebijakan yang kadangkala
sangat merugikan kaum perempuan. Atas permintaan laki-laki yang hanya menginginkan 1-2
anak saja, perempuan harus berjuang dan ‘menyiksa’ diri mereka dengan berbagai macam alat
kontrasepsi. Anggap saja pil KB yang harus senantiasa mereka minum untuk mencegah
kehamilan. Selain itu ada juga suntik dan sebuah alat yang ditanamkan ke dalam alat kelamin
perempuan sehingga mencegah dia untuk hamil. Hal ini tidak hanya menyebabkan pada
terganggunya kesehatan reproduksi perempuan tetapi juga beresiko pada kematian.
Bentuk diskriminasi yang lainnya adalah dari IMS (Infeksi Menular Seksual). Penyakit
seperti HIV/AIDs, Hepatitis, sipilis, dan lain sebagainya seringkali dianggap penyebabnya dalah

dari kaum hawa. Padahal faktanya tidak demikian, adanya penularan penyakit seperti itu lebih
rawan kepada laki-laki yang sering “jajan” dan gonta-ganti pasangan seks. Hal yang paling
memprihatikan adalah ketika seorang perempuan melahirkan dan anaknya terkena HIV/AIDs,
maka seseorang yang pertama kali menjadi sorotan utama adalah perempuan sebagai orang yang
melahirkan padahal penyakit menular seperti itu tidak mesti dari pihak perempuan tetapi juga
lebih banyak pada pihak laki-laki.

Adanya ketidakadilan, kekerasan, beban kerja ganda, dan lainnya juga menyebabkan
kesehatan reproduksi perempuan menurun. Dalam sebuah penelitian tentang angka kematian ibu
(AKI) menunjukkan bahwa AKI mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini bisa saja
disebabkan karena adanya beban kerja ganda, kekerasan baik itu dalam bentuk fisik maupun non
fisik, ketidakadilan dan lain sebagainya.
Dampak lainnya dari ketidaksetaraan gender adalah kurangnya tingkat pendidikan
perempuan. Di indonesia, konstruk tentang laki-laki dan perempuan sangat berbeda, laki-laki
dipahami sebagai pemenuh kebutuhan dalam suatu rumah tangga sehingga pendidikannya harus
juga lebih diutamakan sedangkan perempuan lebih pada ranah domestik saja sehingga tidak perlu
belajar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena ujung-ujungnya mereka hanya
akan mengurus rumah, memasak, merawat anak dan suami, mencuci dan sebagainya.
Dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan pun sangat terlihat dengan banyak
perempuan yang tidak mengenali gizi yang baik untuk dirinya sendiri, pemilihan pembalut yang

sembarangan yang bisa menyebabkan terjadinya kanker serviks, tidak tahunya perempuan
tentang apa itu penyakit menular sehingga mereka gampang menerima seorang suami tanpa
pilih-pilih dan sebagainya.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesehatan reproduksi menurut definisi WHO adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan
sosial secara utuh, yang tidaksemata-mata bebasdari penyakit atau kecacatan, dalam semua hal
yang berkaitan dengansistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.
Kesehatan reproduksi perempuan berkaitan erat dengan gender, di mana dalam kesehatan
reproduksi perempuan banyak ditemui adanya diskriminasi karena adanya konstruk budaya dari
masyarakat sehingga menyebabkan adanya ketimpangan.

3.2. Kritik dan Saran
Karena adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam bidang kesehatan yaitu
terkait dengan gender, maka diharapkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak berat
sebelah atau memihak pada salah satu antara laki-laki dan perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Creasoft.files.wordpress.com/2008/04/1seksualitas.pdf. Dikutip pada tanggal 08 januari 2014
Repository.upi.edu/operator/upload/s_pls_0709018_chapter2.pdf. Dikutip pada tanggal 08
januari 2014
http://hendracliquerz001.blogspot.com/2011/05/makalah-budaya-yang-berpengaruh.html.
Dikutip pada tanggal 08 januari 2014
http://lenteraimpian.wordpress.com/2010/02/13/gender-dalam-kesehatan-reproduksi/. Dikutip
pada tanggal 10 April 2013