INTEGRATED CORPORATE FARMING DI TANAH UL

INTEGRATED CORPORATE FARMING DI TANAH ULAYAT
MINANGKABAU
http://marrosorganoferti.blogspot.com/2013/04/integrated-corporate-farming-di-tanah.html

PENDAHULUAN
Kenapa
saya
memilih
judul
ini....??. Tidak lain karena saya prihatin,
di Sumatera Barat yang merupakan
tanah leluhur saya sebagai orang
Minangkabau, berkembang opini bahwa
sistem tanah ulayat menghambat
pembangunan. Opini yang sangat tidak
saya sukai. Saya ingin melawan opini,
yang dibentuk entah oleh siapa ini. Bagi
saya, hilang tanah ulayat hilang
Minangkabau. Dan saya tidak ingin itu
terjadi. Disamping itu, terdapat usahausaha baik oleh perorangan, maupun oleh kelompok, untuk menguasai Tanah
Ulayat milik masyarakat Minangkabau di tanah leluhur mereka sendiri. Usaha-usaha ini

menyebabkan terjadinya sengketa tanah yg berkepanjangan. Supaya Tanah Ulayat
tidak dituding sebagai Tanah Terlantar, yang sering di jadikan alasan oleh Pihak-Pihak
yang ngiler untuk mencaplok tanah ulayat tersebut, saya ingin mengajukan sebuah
usulan, agar Kaum atau Nagari yang secara adat merupakan pemilik dari Tanah Ulayat
tersebut, menghidupkan tanahnya dengan megelolanya sesuai prinsip-prinsip
Corporate Farming.
TANAH ULAYAT
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal-1
Ayat (2) mendefinisikan :
Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya
terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat
tertentu.
Sedangkan Hak Ulayat didefinisikan pada Pasal-1, Ayat
(1), sbb :
Hak ulayat dan yang serupa itu dari mesyarakat hukum
adat (untuk selanjutnya disebut hak
ulayat), adalah kewenagan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum
adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya
untuk


mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahirian dan
batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut
dengan wilayah yang bersangkutan.

Menurut Peraturan ini, selanjutnya dinyatakan :
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada
apabila :
a) terdapat sekelompok orang yang masih merasa
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari- hari;
b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari, dan
c) terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan

hukum tersebut.
Menurut kepemilikannya banyak juga para ahli mendifinisikan jenis-jenis tanah ulayat
ini, seperti menurut Burhan, (1977: 304, dalam Azwar, 2005: 60), tanah ulayat menurut
kepemilikannya dapat dibagi atas 3 (tiga) yaitu:
1. Tanah Ulayat Kaum : Tanah ulayat kaum ialah tanah ulayat yang dimiliki oleh suatu
kaum dengan penguasaan kepala kaum atau mamak kepala waris
2. Tanah Ulayat Suku : Tanah ulayat suku adalah tanah ulayat yang dimiliki oleh suatu
suku dengan penguasaan kepala suku, penghulu suku.
3. Tanah Ulayat Nagari : Tanah Ulayat Nagari adalah tanah ulayat yang dimiliki oleh
seluruh ”anak nagari” atau “anak kemenakan”, dengan penguasaan penghulupenghulu suku yang ada di nagari bersangkutan. Biasanya ulayat nagari ini masih
merupakan hutan yang belum digarap yang berfungsi sebagai cadangan .
INTEGRATED CORPORATE FARMING
Integrated Corporate Farming adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi dari sekelompok
petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan
dan peternakan serta unsur keterpaduan lainnya, dengan tetap menjamin kepemilikan
lahan pada masing-masing petani, sehingga efisiensi usaha, standarisasi mutu, dan
efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya dapat dicapai.
Ciri
(1)


pokok

dari

Integrated

Corporate

Farming

adalah

sebagai

berikut

:

sekelompok petani dan peternak (atau Petani yg sekaligus Peternak)
sehamparan mempercayai pengelolaan lahannya kepada suatu lembaga

agribisnis dengan suatu perjanjian kerjasama ekonomi tertentu, dimana petani
bertindak sebagai pemegang saham sesuai dengan perluasan kepemilikannya;

(2)

Integrated Corporate Farming dibentuk melalui musyawarah/mufakat antar para
anggotanya dengan memperhatikan sosial dan budaya setempat;

(3)

Integrated Corporate Farming dipimpin oleh manajer profesional, yang dipilih
oleh petani serta dikelola secara transparan, demokratis sesuai dengan kaidah
bisniskomersial;

(4)

Integrated Corporate Farming mensyaratkan skala usaha optimal, sesuai dengan
kondisi dan kapasitas sumberdaya setempat, potensi dan kapasitas
pengembangan agroindutri dan pemasaran, dan ketersediaan teknologi untuk
meningkatkan efisiensi, serta kemampuan teknis pengelolaan dalam satu

manajemen; dan

(5)

Cakupan kegiatan Integrated Corporate Farming tetap bertumpu pada komoditas
unggulan di wilayahnya, dan memperhatikan peluang pengembangan dan
diversifikasi, baik secara vertikal maupun horizontal.

Keberhasilan Integrated Corporate Farming akan lebih cepat dicapai apabila didukung
oleh berbagai faktor antara lain: (1) Pengembangan Integrated Corporate Farming
Corporate Farming dilaksanakan secara terpadu dengan pengembangan ekonomi
wilayah setempat; (2) Tersedianya lapangan pekerjaan alternatif lain bagi petani yang
mempercayakan pengelolaan lahannya kepada Integrated Corporate Farming
Corporate Farming; (3) Tersedianya dana khusus untuk memulai usaha (start-up
business) dan seed capital bagi petani untuk memulai kegiatan baru; dan (4) Terdapat
lembaga (pemerintah/non pemerintah) yang mampu berfungsi sebagai fasilitator.
Berbagai hambatan yang diduga akan dapat timbul dalam pelaksanaan Integrated
Corporate Farming, apabila antara lain : (1) Petani tidak berkeinginan mempercayakan
lahannya untuk dikelola secara korporasi karena alasan ikatan emosional dan kultural;
(2) Pada tahap awal Integrated Corporate Farming cenderung mengurangi lapangan

pekerjaan, terutama bagi petani yang tidak memiliki lahan; (3) Adanya perbedaan
persepsi antar petani dalam satu hamparan terhadap Integrated Corporate Farming ;
(4) Kesulitan mencari alternatif usaha bagi para petani kecil yang masih melibatkan
kelembagaan tradisional seperti bawon, ceblokan, kedokan, tebasan dan lainnya; (5)
Pembentukan Integrated Corporate Farming dapat menjadi sumber konflik pranata
sosial di pedesaan antara buruh dan manajer; dan (6) Adanya kemungkinan ketidakterpaduan dalam pembinaan sistem agribisnis termasuk pengembangan prasarana dan
penyediaan sarana agribisnis.
Dalam pelaksanaannya, bentuk Integrated Corporate Farming tersebut, tetap mengacu
kepada bagan produksi umum sebagai berikut :

MENERAPKAN INTEGRATED CORPORATE FARMING
PADA TANAH ULAYAT MINANGKABAU
Mungkinkah menerapkan Integrated Corporate Farming pada Tanah Ulayat di
Minangkabau Sumatera Barat ?. Mungkin..., bahkan Sangat Mungkin, tergantung
kepada kemauan Kaum Pemilik Tanah Ulayat tersebut. Untuk itu lakukanlah
musyawarah kaum untuk mendapat kesepakatan bahwa Tanah Ulayat Kaum, sebagian
atau seluruhnya, akan di kelola dengan sistem manjemen modern. Tuangkan
kesepakatan tersebut dalam bentuk hitam diatas putih, agar mempunai kekuatan
hukum formal berupa Akta Kesepakatan Kaum di depan Notaris. Dalam kesepakatan ini
juga sudah harus ditentukan/disepakati apakah akan dikelola sendiri atau di serahkan

kepada pihak lain secara profesional. Bentuk sebuah perusahaan berbadan hukum.
Saya menganjurkan perusahaan ini berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pemegang
sahamnya adalah anggota kaum yg ditunjuk sebagai Dewan Komisaris dalam
PT tersebut.
Rapat
Komisaris
dapat
menunjuk Badan Eksekutif
yang dipimpin oleh seorang
profesional dengan jabatan
Presiden
Direktur
dan
beberapa Direktur lainnya,
sesuai
dengan
bentuk
organisasi yang akan di
bangun. Jabatan direktur in
bisa

merupakan
salah
seorang anggota kaum, yg
menurut Niniak Mamak di
Dewan Komisaris layak untuk
menjadi Presiden Direktur
dan Direktur-Direktur lainnya.
Tentu saja kriteria layak tidak
layaknya didasarkan atas
profesionalisme.

Pengembangan Integrated Corporate Farming harus dilakukan secara bertahap mulai
dari konsolidasi manajemen secara parsial, konsolidasi pengelolaan secara penuh
menuju kepada penataan lahan untuk mencapai skala pengelolaan ekonomis. Tahaptahap pengembangan adalah:
(1)

Tahap persiapan yang meliputi:
(a) Studi Diagnostik untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik
wilayah dan
(b) Perancangan model untuk membangun aturan dan organisasi Integrated

Corporate Farming dimana dicantumkan kesepakatan hak dan kewajiban pemilik
dan pengelola;

(2)

Tahap pengembangan model yang meliputi perancangan konsolidasi
manajemen produksi untuk mencari manfaat (nilai tambah) dari kesatuan
manajemen produksi (on-farm) dan mengupayakan alternatif sumber
penghasilan lain (off farm dan non-farm) dan perancangan konsolidasi
manajemen olah hasil dan pemasaran; (3) Tahap penataan lahan, dimana
diharapkan anggota kaum telah mempercayakan pengelolaan usaha kepada
Integrated Corporate Farming; dan (4) Tahap pemantapan model,
dimana anggota kaum sudah melakukan konsolidasi manjamen secara penuh
dan telah terjadi perluasan kesempatan kerja (di dalam atau di luar Integrated
Corporate Farming).

PENUTUP
Rasanya (hmmm...terpaksa saya main perasaan...he..he..he..), Integrated Corporate
Farming Kaum atau Nagari ini, akan dapat dijalankan dengan baik, apabila semua
anggota kaum atau Para Niniak Mamak Pengurus Nagari, mendukung kesepakatan

pembentukkan Integrated Corporate Farming ini. Sedangkan keberhasilan komersial,
akan sangat tergantung kepada bagaimana Para Eksekutif menjalankan perusahaan,
mulai dari kejelian menangkapa peluang pasar, proses produksi mulai pengadaan bibit,

penanaman komoditi pertanian/perkebunan dan pembesaran ternak, sampai
pemasarannya. Integrated Corporate Farming akan sangat bisa bersaing dengan
perusahaanperusahaan perkebunan swasta besar, yang selalu mengincar Tanah
Ulayat Masyarakat Minangkabau. Kalau Tanah-Tanah Ulayat tersebut telah
dimanfaatkan oleh Kaum, tidak ada lagi peluang bagi pihak luar untuk mencaplok
Tanah Ulayat Minangkabau di Sumatera Barat dan sekitarnya.