PERBEDAAN KEMAMPUAN KELUARGA DALAM PERAW

PERBEDAAN KEMAMPUAN KELUARGA DALAM PERAWATAN USIA
LANJUT PADA ETNIS JAWA DAN MADURA

Minarti, Siti Nur Kholifah, Heru Sulistijono

Program Studi D III Keperawatan Kampus Sutopo Jurusan Keperawatan
Poltekkes Kemenkes Surabaya
Penulis Korespondensi:
Minarti, Poltekkes Kemekes Surabaya, Alamat email: minartiivan@gmail.com
ABSTRAK
Latar Belakang
Keluarga adalah masyarakat yang paling dekat dengan usia lanjut. Keluarga merupakan
pendukung utama dalam pemberian perawatan kepada usia lanjut di rumah.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan kemampuan keluarga dalam merawat
usia lanjut pada etnis Jawa dan Madura.
Metode
Desain penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional. Besar sampel adalah
36 responden yaitu 18 responden dari etnis Jawa dan 18 responden dari etnis Madura. Cara
pemilihan sampel adalah simple random sampling. Kemampuan keluarga dalam merawat
usia lanjut dinilai dari aspek aktifitas fisik, psikologis, spiritual dan interaksi sosial. Uji

statistik yang digunakan adalah uji Chi Square.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada kemampuan keluarga dalam
merawat usia lanjut dari aspek aktifitas fisik (p=0,229) dan aspek psikologis (p=0,60).
Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut dari aspek spiritual dan interaksi sosial
terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai masing-masing p=0,002 dan p=0,042. Hal
ini menunjukkan bahwa keluarga perlu memperhatikan dan mengingatkan usia lanjut
terutama aspek spiritual dan aspek interaksi sosial pada etnis Jawa dan meningkatkan
dukungan pada etnis Madura.
Simpulan
Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut etnis Jawa baik pada aspek psikologis dan
etnis Madura baik pada aspek spiritual dan interaksi sosial. Terdapat perbedaan antara etnis
Jawa dan Madura yaitu pada aspek spiritual dan interaksi sosial, sedangkan pada aspek
aktifitas fisik dan psikologis tidak ada perbedaan. Perawat perlu melakukan promosi
kesehatan tentang perawatan usia lanjut dari berbagai aspek holistik dan mempunyai
pengetahuan tentang budaya dari berbagai etnis.
Kata Kunci : kemampuan keluarga merawat, usia lanjut, etnis Jawa, etnis Madura
181

Latar Belakang

Indonesia telah memasuki kawasan penduduk berstruktur usia lanjut (Aging Structured
Population) dimana populasi usia lanjut berusia di atas 60 tahun mencapai 7,18%
(Kemenkokesra 2005). Berkaitan dengan umur usia lanjut tersebut, Lueckenotte (2000)
menyatakan bahwa semakin tua umur seseorang maka prosentase untuk mengalami
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga semakin meningkat. Keluarga adalah
masyarakat yang paling dekat dengan usia lanjut (Wiarsih, 1999).
Pola perawatan dan persepsi terhadap keberadaan usia lanjut pada masyarakat modern
mengalami perubahan yang sangat mendasar.Keluarga di Indonesia memandang bahwa usia
lanjut merupakan orang yang harus dihormati dan dihargai. Deskripsi etnografi suku bangsa
di Indonesia memberi gambaran tentang kedudukan orang tua dalam sistem kekerabatan dan
masyarakatnya. Orang usia lanjut merupakan kelompok sosial yang dihormati dan dihargai.
Sikap dan perlakuan terhadap orang-orang tua dinyatakan secara simbolik dalam upacara
perkawinan (Swasono, 1989). Pada suku bangsa Jawa orang-orang tua dipandang berhak
atas penghormatan yang tinggi dan banyak yang hidup menghabiskan umurnya semata-mata
dengan menerima penghormatan, karena kelebihan pengetahuan orang tua akan masalah
kebatinan dan masalah praktis.
Pandangan hidup orang Madura tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru
rato. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian
pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut
birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi

kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal. Sebagai aturan normatif yang
mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu –
akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus cultural (Wiyata, 2007). Dari pandangan ini dapat
diasumsikan bahwa penghormatan dan kepatuhan kepada orang tua akan tercermin pula pada
bagaimana anak melakukan perawatan kepada orang tua yang sudah usia lanjut. Ketaatan
dan kepatuhan menjadi urat nadi bagi suku Madura dan bertanggungjawab dalam
menghidupi, memelihara dan menjadikan orang anak keturunannya.
Keluarga yang memberikan perawatan pada usia lanjut di rumah dengan menjalankan fungsi
keluarga diantaranya sebagai pemberi perawatan kesehatan (Friedman, 1998). Fungsi
perawatan kesehatan merupakan kesanggupan keluarga dalam pemeliharaan kesehatan pada
182

anggota keluarga. Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut di rumah diartikan
sebagai kemampuan keluarga dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan fisik,
psikis, sosial dan spiritual/keagamaan pada usia lanjut (Miller, 2004; Mc Murray, 2003;
Friedman, 1998).

Terjadinya pergeseran pandangan di masyarakat tentang perawatan lansia sebagai akibat
dari perubahan sosial. Perubahan sosial di masyarakat, misalnya adanya kecenderungan
perubahan struktur keluarga dari keluarga luas (extended family) ke keluarga inti (nuclear

family). Kondisi ini ikut membawa perubahan terhadap orang usia lanjut dimana sebelumnya
orang usia lanjut tinggal bersama dalam satu rumah dengan anggota keluarga lainnya.
Namun, perubahan itu menyebabkan orang usia lanjut tinggal terpisah dengan anak-anak.
Kondisi ekonomi orang usia lanjut juga mengalami perubahan apabila dibandingkan ketika
masih muda. Maka orang usia lanjut hendaknya mampu beradaptasi dengan keadaan yang
baru ini. Penduduk usia lanjut secara individual merupakan penduduk yang potensial
menjadi “beban” keluarga.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengetahui perbedaan kemampuan keluarga
dalam perawatan usia lanjut pada etnis Jawa dan Madura (aspek fisik, psikologis, spiritual,
dan interaksi sosial).

Metode penelitian
Desain penelitian menggunakan analitik dengan pendekatan cross sectional, populasi
penelitian seluruh keluarga yang mempunyai anggota usia lanjut dan tinggal serumah yang
berada di wilayah RW 5 Kelurahan Kemayoran Surabaya yang berjumlah 40 orang, dengan
besar sampel sebanyak 36 responden yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 18 responden
kelompok etnis Jawa dan 18 responden kelompok etnis Madura. Variabel penelitian adalah
variabel dependen yaitu kemampuan keluaraga dalam perawatan lanjut usia, sedangkan
variabel independen adalah etnis Jawa dan Madura. Alat pengumpul data menggunakan

kuesioner. Analisa data yang dilakukan adalah analisis univariat dan bivariat yaitu uji Chi
Square. Batas kemaknaan uji yang digunakan adalah 0,05 sehingga bila pα = 0,05 artinya tidak
ada perbedaan kemampuan perawatan aspek aktifitas fisik pada etnis Jawa dan Madura

Tabel 2 Kemampuan keluarga merawat usia lanjut pada aspek psikologis etnis
Jawa dan Madura
Etnis

Psikologis

Total

Cukup

Baik

Jawa

10 (55,6%)


8 (44,4%)

18 (100%)

Madura

16 (88,9%)

2 (11,1%)

18 (100%)

Total

26 (72,2%)

10 (27,8%)

36 (100%)


X² = 0,60

Dari kemampuan perawatan aspek psikologis dapat dilihat bahwa pada etnis Jawa 44,4%
berada pada kategori baik, sedangkan pada etnis Madura hanya 11,1%. Mayoritas keluarga
mampu merawat dari aspek psikologis kategori cukup sebesar 88,9%, pada etnis Jawa
55,6%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa H0 diterima, p=0,60 >α = 0,05 artinya tidak
ada perbedaan kemampuan perawatan aspek psikologis pada etnis Jawa dan Madura

184

Tabel 3 Kemampuan keluarga merawat usia lanjut pada aspek spiritual etnis
Jawa dan Madura

Etnis

Spiritual

Total

Cukup


Baik

Jawa

12 (66,7%)

6 (33,3%)

18 (100%)

Madura

2 (11,1%)

16 (88,9%)

18 (100%)

Total


14 (38,9%)

10 (61,1,8%)

36 (100%)

X² = 0,002

Kemampuan perawatan keluarga pada usia lanjut dilihat dari aspek spiritual 88,9% etnis
Madura lebih baik dibandingkan etnis Jawa (33,3%). Pada etnis Jawa yang tertinggi berada
pada kategori cukup sebesar 66,7%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa H0 ditolak,
p=0,002 < α = 0,05 artinya ada perbedaan kemampuan perawatan aspek spiritual pada etnis
Jawa dan Madura.

Tabel 4 Kemampuan keluarga merawat pada aspek interaksi sosial usia lanjut
etnis Jawa dan Madura

Etnis


Jawa
Madura
Total

Interaksi sosial

Total

Cukup

Baik

5 (27,8%)

13 (72,2%)

18 (100%)

0 (0%)


18 (100%)

18 (100%)

5 (13,9%)

31 (86,1%)

36 (100%)

X² = 0,042

Ditinjau dari kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut dari aspek interaksi sosial
dapat diketahui bahwa etnis Madura lebih baik dibandingkan dengan etnis Jawa yaitu 100%
dibanding dengan 72,2%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa H0 ditolak, p=0,042 < α =
0,05 artinya ada perbedaan kemampuan perawatan aspek interaksi sosial pada etnis Jawa
dan Madura.

185

Pembahasan
Kemampuan keluarga dalam merawat lansia diukur dengan menilai aspek aktifitas fisik
lansia, aspek psikologis lansia, aspek spiritual dan aspek interaksi sosial lansia.
1.

Kemampuan merawat aspek aktifitas fisik
Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut terkait dengan aktifitas fisik tidak ada
perbedaan antara kedua etnis merupakan hal yang wajar terjadi. Hal ini karena secara
fisiologis seseorang yang berusia lanjut akan terjadi proses menua (ageing process).
Proses menua merupakan suatu proses alami dan komplek, berjalan sepanjang hidup
tidak dimulai dari suatu waktu yang pasti. Masing-masing individu mempunyai
manifestasi yang berbeda dari proses penuaan yang terjadi dan belum ditemukan secara
pasti fenomena yang melandasi mekanisme penuaan tersebut(Lefrancois, 1996, dalam
Hitchock, Schubert & Thomas, 1999; Rochmah dan Aswin, 2001). Usia lanjut terjadi
proses menurunnya daya tahan fisik ditandai dengan semakin rentannya tubuh pada
serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena
perubahan anatomis dan fisiologis, sehingga usia lanjut mengalami gangguan
(impairment),

ketidakmampuan

(disability),

tidak

dapat

menjalankan

fungsi

(disfunction), dan timbulnya rintangan (handicap) (Rochmah dan Aswin, 2001).

Hasil penelitian Rustika (1997) didapatkan semakin lanjut usia seseorang akan
berpengaruh terhadap kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari (Rustika
dan Riyadina, 2000). A Profil of Older Americans, Washington DC (1997, dalam
Lueckenotte, 2000) menyatakan semakin tua umur seseorang maka prosentase untuk
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga semakin meningkat.
Kondisi ini akan meningkatkan tingkat ketergantungan usia lanjut pada keluarga untuk
memenuhi kebutuhannya.
2.

Kemampuan merawat aspek psikologis
Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut pada etnsi Jawa dan Madura dari
aspek psikologis mayoritas pada rentang katagori cukup dan hampir setengahnya
kemampuan keluarga merawat usia lanjut pada etnis Jawa pada kategori baik lebih
tinggi dibandingkan dengan etnis Madura. Etnis Jawa terkenal sebagai bangsa yang
penuh dengan tata krama, berbudi pekerti halus, ulet mengerjakan sesuatu. Memiliki
kecenderungan tertutup dan tidak berterus terang adalah salah satu watak yang paling
terkenal pada etnis Jawa. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan orang Jawa yang
186

menghindari konflik dan ingin memelihara hubungan yang harmonis. Etnis Jawa
mendidik anak untuk berperilaku dan bertindak yang baik terhadap orang tua.

Masyarakat Jawa, dalam berinteraksi dan berkomunikasi memiliki aturan‐aturan yang
baku dalam penggunaan bahasa, tutur kata dan etika. Misalnya, ketika orang yang lebih
muda berbicara dengan orang yang jauh lebih tua, maka orang yang lebih muda harus
menggunakan bahasa kromo inggil sebagai penghormatan terhadap orang yang lebih
tua. Lebih lanjut lagi, dalam budaya Jawa orang harus berbicara pelan/halus, sedapat
mungkin menyembunyikan perasaan asli mereka sebagai

pengejawantahan

dari

prinsip isin dan sungkan (Suseno, 2001). Kedua prinsip keselarasan itu sebagai pedoman
bagi masyarakat Jawa dalam pergaulan sehari‐hari.

Masyarakat Jawa banyak mempunyai aturan normatif perilaku sosial dan psikologis.
Aturan

normatif tersebut mengatur

masyarakatnya dalam melakukan

hubungan

dengan sesama, seperti sopan santun, etika, dan tata cara yang pantas dalam pergaulan
sehari‐hari. Semua itu dilakukan dalam usaha menjaga keharmonisan dan keselarasan
hidup. Hal ini tertanam secara turun temurun dan berusaha dilakukan semenjak individu
berusia anak‐anak, remaja, dewasa hingga tua (Elip, dalam Handayani, 2004). Status
umur lebih menunjukkan aturan dan kewajiban normatif yang harus diemban terkait
dengan etika pergaulan masyarakat Jawa

sesuai dengan tingkat usianya masing‐

masing. Kondisi tersebut adalah suatu keadaan ideal yang harus terjadi dan dicapai
oleh masyarakat Jawa pada semua golongan usia (Suseno, 2001).

Etnis Madura juga berpandangan hidup bahwa orang Madura mempunyai ungkapan
bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada
kedua orangtua, kemudian pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato. Kepatuhan
atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’) sebagai orangtua kandung
sudah jelas, tegas, dan diakui. Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang
kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan durhaka akan
ditimpakan kepada anak oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam
konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi
seharusnya secara mutlak, artinya kepatuhan tersebut tidak dapat dinegosiasi, maupun
diganggu gugat. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat
187

ini seorang anak patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti ketika anak
menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Itulah salah satu bentuk
pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan
berkesinambungan itu akan berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar,
dan alamiah, kecuali kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan
yang disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luar biasa.

Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur utama tersebut
sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi religiusitas budayanya.
Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%) muslim, Madura menampakkan
ciri khas keIslamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif
agamanya. Kepatuhan kepada kedua orangtua merupakan tuntunan Rasulullah SAW
walaupun urutan hierarkisnya mendahulukan Ibu (babbu’) kemudia Ayah (Buppa’).
Rasulullah menyebut ketaatan anak kepada Ibunya berlipat 3 daripada Ayahnya. Selain
itu juga dinyatakan bahwa keridhaan orangtua “menjadi dasar” keridhaan Tuhan. Oleh
karena secara normatif religius derajat Ibu 3 kali lebih tinggi daripada Ayah maka
seharusnya produk ketaatan orang Madura kepada ajaran normatif Islam melahirkan
budaya yang memosisikan Ibu pada hierarki tertinggi. Namun pada etnis Madura secara
kultural hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu. Posisi Ayah dalam sosiokultural
masyarakat etnik Madura memegang kendali dan wewenang penuh lembaga keluarga
sebagai sosok yang diberi amanah untuk bertanggung jawab dalam semua kebutuhan
rumah tangganya, di antaranya pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan, kesehatan,
dan keamanan seluruh anggota keluarga, termasuk di dalamnya Ibu sebagai anggota
dalam kepemimpinan lelaki.

3.

Kemampuan merawat aspek spiritual
Aspek spiritual pada etnis Madura lebih baik. Sesuai dengan ajaran Islam yang
dianutnya, pandangan hidup orang Madura menuntunnya untuk menjalani kehidupan
demi pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk itulah kegiatan aèkhtèyar
(berikhtiar, berupaya) menjadi sangat penting bagi orang Madura, sebab pendekatan ini
akan memperbesar kemungkinan pencapaian semua keinginan dan tujuan (Munir 1985
dalam Wiyata 2008). Orang Madura sangat sadar bahwa hidup itu tidak hanya
berlangsung di dunia sekarang ini tetapi juga diteruskan kelak di akhirat. Itu sebabnya
188

orang Madura sangat yakin bahwa amal mereka di dunia ini akan dapat dijadikan bekal
buat kehidupannya di akhirat kelak. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh
ketekunan dan ketaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa ngajhi
bandhana akhèrat (mengaji bekal atau modal di akhirat).

Simbol keagamaan yang seringkali digunakan etnis Madura adalah kyai. Itulah yang
menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Kyai bukan
hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai
dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah
pikirannya mudah sekali untuk disepakati. Kepemimpinan yang disandang para kyai
adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya
dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga
politik.

Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat
Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang
bertempat tinggal di luar pulau Madura namun tidak hanya itu karakter orang Madura,
masih banyak yang sering melahirkan perbedaan mencolok dengan etnis lain salah
satunya adalah harga diri. Sifat ini masyhur dan juga paling penting dalam kehidupan
orang Madura. Etnis Madura memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang,
atembang Pote Mata", artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata),
sehingga tradisi carok juga berasal dari sifat itu.

Religiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian dari
keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada ajaran Islam
dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun begitu, kekentalan
dan kelekatan keIslaman etnis Madura tidak selalu mencerminkan nilai-nilai normatif
ajaran agamanya. Hasil penetrasi Islam ke dalamnya kemudian menampakkan
karakteristik tertentu yang khas dan sekaligus juga unik. Keberagamaan etnisitas
komunal Madura menampakkan diri dalam bentuk local tradition di mana Islam
sebagai great tradition (ajaran dan praksis normatif) membentuk konsepsi tentang
realitas yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural masyarakatnya.

189

Spiritualitas etnis Jawa berbeda dengan etnsi Madura. Proses masuknya agama lain di
Jawa juga tidak terlepas dari tradisi leluhur yang masih menganut agama Hindu, seperti
tembang ilir-ilir, melalui tembang ini walisanga mencoba menanamkan Islam secara
halus dan

estetis (Endraswara, 2010). Wijayanti dan Nurwianti (2010) dalam

penelitian mengenai kekuatan karakter dan kebahagiaan pada suku Jawa menyatakan
spiritualitas termasuk dalam sepuluh besar kekuatan karakter orang Jawa yang paling
kuat. Kebutuhan untuk menyalurkan spiritualitas ini juga terlihat pada orang Jawa
yang gemar dalam melakukan pemenuhan spiritualitasnya (Endraswara, 2010).

Adat istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketenteraman
hidup lahir batin dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritualnya. Ada beberapa
kegiatan “mistis” yang ditempuh untuk memenuhi spiritualitasnya (Endraswara, 2010).
Contohnya menjelang bulan Ramadhan masih banyak masyarakat yang suka mandi
keramas ke berbagai sumber air, sendang, atau telaga yang legendaris. Pada malammalam tertentu, misalnya Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, banyak orang Jawa yang
melakukan ziarah ke berbagai petilasan yang akrab dengan pribadi dan kepercayaannya
(Santosa, 2011).

Keberagaman nilai-nilai agama maupun budaya di Jawa mengakibatkan terjadinya
pengelompokan sejumlah aliran, keyakinan, dan pemikiran tentang sejumlah ide dasar
spiritualisme (Mulyana, 2006). Selain itu, terjadi juga penggabungan tradisi budaya
dengan syariat agama. Setiap orang mempunyai kepercayaan, keyakinan, dan pandangan
pribadi yang berasal dari agama, budaya, adat istiadat, serta ilmu pengetahuan yang
didapatnya. Nilai-nilai kepercayaan tersebut perlu dimiliki karena akan menjadi
pedoman hidup serta acuan membentuk sifat perilaku masing-masing. Maka dari itu,
baik dalam mewujudkan cita-cita hidup, mendapatkan rezeki untuk menyejahterakan
keluarga, serta mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, mereka menggunakan
cara atau strategi sesuai dengan keyakinan masing-masing.
4. Kemampuan merawat aspek interaksi sosial
Bagi masyarakat Jawa tata krama berfungsi sebagai kontrol sosial dan lebih ditekankan
sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih tua. Sikap ini karena pada dasarnya
sangat sangat berhubungan dengan prinsip hidup orang Jawa yang selalu berpijak pada

190

sikap hormat dan rukun. Sikap tersebut bertujuan untuk menciptakan suatu keselarasan,
keharmonisan dan menjauhkan dari timbulnya konflik /pertentangan (Ariani, 2002).
Tata krama Jawa sesuai dengan perkembangan jaman juga mengalami perubahan atau
bergeser, terutama tata krama yang berkaitan dengan berbicara, mengeluarkan pendapat,
tata cara makan dan minum serta cara bertegur sapa. Sekarang terdapat kecenderungan
pemakaian bahasa Jawa halus mulai berkurang, sebagai pengganti bahasa Jawa ngoko
atau bahkan bahasa Indonesia. Dalam hal mengemukakan pendapat sekarang lebih
terbuka, apa adanya sebatas tidak menyinggung orang lain. Tata cara bertegur sapa lebih
bersifat santai, tidak terlalu banyak basa-basi dan berbicara langsung pada pokok
persoalan (Ariani, 2002).
Sistem pengendalian yang paling utama pada masyarakat Jawa adalah menempatkan
masyarakat beserta adat istiadatnya secara dominan yang menentukan arah perilaku
individu-individu warganya. Otonomi individu beserta penampilan kepribadian nya
memainkan peran agak sekunder. Kepentingan individu diserasikan secara harmonis
dengan kepentingan kolektif atau masyarakat keseluruhan. Masyarakat Jawa
dikategorikan dalam sistem budaya yang mengutamakan nilai keserasian hidup kolektif.
Institusi sosial ada atau diadakan agar berfungsi untuk memainkan peran yang
mengkontribusi kepada kepaduan formasi keseluruhan masyarakat yang utuh.
Kebutuhan-kebutuhan individu dengan sendirinya akan terpenuhi langsung terkait
dengan berfungsinyalembaga-lembaga sosial itu.
Perwujudan dari nilai keserasian hidup dapat dilihat dalam praktek kerja bersama yang
disebut gotong royong. Kerukunan semacam ini didasari oleh empat sifat dasar manusia
yakni simpati, keramahan, rasa keadilan dan kepentingan pribadi yang selaras dengan
tatanan sosial menurut adat istiadat. Dengan demikian konsep keserasian hidup
bermasyarakat di kalangan masarakat Jawa diwujudkan dalam nilai-nilai hormat dan
rukun.
Berdasarkan cara berfikir tertentu, manusia jawa memandang nilai hormat dan rukun
memiliki makna amat penting dan berharga dalam hubungan interaksi dengan sesamanya.
Hildred Geertz menyatakan “…kedua-duanya bukan saja merupakan petunjuk moral
yang mendasari tindak-tanduk kekeluargaan Jawa, melainkan malah merupakan pusat
pengertian baginya. Yang pertama ialah sekelompok nilai yang berkenaan dengan
191

pandangan. Kejawen tentang tata krama penghormatan, dan yang kedua adalah nilai-nilai
yang berkenaan dengan pengutamaan orang Jawa terhadap terpeliharanya penampilan
sosial yang harmonis”. Hal-hal ini yang mendorong masyarakat Jawa untuk
merealisasikan nilai sosial yang dibawanya sehingga dapat terwujud keserasian dan
keharmonisan masyarakat.
Pada etnis Madura interaksi lebih baik hal ini karena adanya pandangan bahwa hidup
tidak akan ada artinya jika orang Madura dipermalukan atau harus menanggung malu
(malo) terutama yang menyangkut harga diri (Wiyata, 2002, 2006 dalam Wiyata 2008).
Ini sejalan dengan pepatah ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata (lebih baik mati
berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu). Bila demikian, secara tersirat
orang Madura pada dasarnya tidak akan mempermalukan orang lain selama mereka juga
diperlakukan dengan baik (ajjha’ nobi’an orèng mon aba’na ta’ enda’ ètobi’).

Hubungan sosial yang sangat akrab dapat pula dibangun oleh orang Madura dengan
orang-orang di luar lingkungan kerabat tanpa memperhatikan asal-usul kelompok etnik.
Biasanya hubungan sosial itu selain didasarkan pada adanya kesamaan dalam dimensi
primordial, tidak jarang terjadi juga karena faktor kesamaan kepentingan di bidang
ekonomi dan politik. Bila kualitas hubungan sampai mencapai tingkatan yang sangat
akrab, mereka akan dianggap dan diperlakukan sebagai keluarga atau kerabat (taretan).
Sebaliknya, ada kalanya anggota keluarga (taretan termasuk taretan ereng) justru
dianggap dan diperlakukan sebagai oreng (bukan keluarga atau kerabat) jika kualitas
hubungan kekerabatannya sangat rendah, misalnya karena adanya perselisihan tentang
harta warisan. Dalam ungkapan Madura, hal yang demikian disebut oreng daddi taretan,
taretan daddi oreng. Artinya, orang lain yang bukan keluarga dapat dianggap sebagai
saudara, sebaliknya saudara sendiri dapat dianggap sebagai bukan keluarga. Dalam
konteks ini, unsur kekerabatan orang Madura mengandung makna inklusivitas sehingga
memberi ruang bagi terwujudnya integrasi sosial dengan kelompok etnik lain.

Simpulan :
1. Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut pada etnis Jawa baik pada aspek
psikologis
2. Kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut pada etnis Madura baik pada aspek
spiritual dan interaksi sosial
192

3. Apabila dibandingkan kemampuan keluarga dalam merawat usia lanjut terdapat
perbedaan antara etnis Jawa dan Madura yaitu pada aspek spiritual dan interaksi sosial,
sedangkan pada aspek aktifitas fisik dan psikologis tidak ada perbedaan.

Saran :
1. Untuk pengembangan keilmuan keperawatan keluarga dan gerontik praktisi perlu
melakukan asuhan keperawatan terkait dengan aspek fisik, psikologis, spiritual dan
interaksi sosial. Perlu juga melakukan promosi kesehatan tentang perawatan usia lanjut
dari berbagai aspek holistik.
2. Perawat komunitas khususnya pada pelayanan keperawatan gerontik mempunyai
pengetahuan tentang budaya dari berbagai etnis.
3. Keluarga sebaiknya meningkatkan dan memperhatikan perawatan pada usia lanjut dari
aspek fisik, psikologis, spiritual dan interaksi sosial.

Referensi

Darmojo, B., &Martono, H. (1999).Geriatri, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Depkes R.I. (2003). Pedoman pengelolaan kegiatan kesehatan di kelompok usia lanjut,
Jakarta.

Doane, G.W. &Varcoe, C. (2005).Family nursing as relational inquiry : Developing health
promotion practice, Philadelphia : Lippincott.
Friedman, M.M. (1998) Family nursing : Research, Theory & Practice. (4th ed.), California
: Appleton and Lange.
Geertz, Hilded. 1985. KeluargaJawa. Jakarta: Grafiti pers.
Harrefors, C., S. Savenstedt(2009). "Elder People's Perceptions of How They Want to be
Cared: an Interview Study with Healthy Elder Couples in Northern Sweden."
Scandinavian Journal of Caring Studies23: 353-360.
193

Hitchock, J.E., Schubert, P.E., & Thomas, A. (1999).Community health nursing caring in
action, California : An International Thompson Publishing Company.
Hunt, R. (2005). Introduction to community-based nursing. (3thed.), Lippincott : A Wolters
Kluwer company.

Handayani, B.R. 2004. Pemahaman

Moral

Remaja

Hubungan

Antara

Perilaku

Pengendalian Diri Dengan Perilaku Rukun Pada Remaja Jawa. Laporan
Penelitian.Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM

Kemenkokesra (2005).LansiaMasakinidanMasaMendatang, Kemenkokesra.
Koentjaraningrat. 1994. KebudayaanJawa. Jakarta: BalaiPustaka.
Khairuddin, H. S.S. (2002). Sosiologi keluarga, Yogyakarta : Liberty.
Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic nursing. (2th ed.), St. Louis: Mosby.
Mc. Murray, A. (2003). Community health and wellness: A sosioecological approach. (2th
ed.), Philadelphia: Mosby.
Miller, C. A. (2004). Nursing for wellness in older adults: Theory and practice.

(4th

ed.), Philadelphia : Lippincott
Eliopoulos, C.E. (2005). Gerontological nursing. (6 th ed.), Philadelphia ; Lippincott.

Purwanto, H. (2002). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perawatan yang dilakukan
keluarga pada usia lanjut di Kecamatan Pesisir-Lamongan. Jurnal Penelitian
Politeknik Kesehatan Surabaya, 1(1), 33-39.

Riasmini, N. (2002). Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan usia
lanjut dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari di Kelurahan Palmeriam

194

Kecamatan Matraman Jakarta Timur. Tesis Master tidak dipublikasikan. Universitas
Indonesia. Jakarta.

Rustika & Riyadina, W. (2000). Profil penduduk lanjutusia di Indonesia. Media Litbang
Kesehatan. 10(2). 16-26.

Swasono, Meutia Farida Hatta. (1989). Proses Menua di Barat danTimur: Suatu Tinjauan
Antropologis.Makalah diajukan pada Seminar Sehari Tentang Usia Lanjut oleh
Pusat Pengembangan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa. Jakarta 14 Januari 1989.

Stanhope, M., & Lancaster, J. (2002).Foundation of community health nursing : community
oriented practice, Philadelphia : Mosby

Stanley. M., Blaire, K.A. &Beare, P.G. (2005).Gerontologicalnursing : Promoting
succesfull aging with older adults. (3 th ed.), Philadelphia : F.A. Davis Company

Sutarna, I. M. (2002). Alternatif model asuhan keperawatan keluarga dengan lanjut usia.
Tesis Master tidak dipublikasikan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Suseno,F,M. 2001.Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wiyata.AL., (2007). Manusia Madura: Pandangan hidup, perilaku dan etos kerja. Makalah
dipresentasikan

dalam

Semiloka

“Penguatan

Identitas

Budaya

Lokal”

diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi JawaTimur, di Hotel Inna Tretes, Prigen,
Pasuruan, tgl. 5-6 September 2007.

Widyatuti. (1999). Dimensi spiritual dalam asuhan keperawatan. Jurnal Keperawatan
Indonesia. 2(7). 258-263.

Wahyuni. D, 2005, Identifikasi kebutuhan lansia, http://www.bkkbk.go.id, diperoleh tanggal
21 Januari 2006

195

Watkins, D., Edward, J., &. Gastrell, P. (2003). Community helathnursing : Framework for
practice. (2 nd ed.), London :Bailliere Tindall.

Wiarsih, W. (1999).Peran keluarga dalam meningkatkan kesehatan jiwa lansia di
rumah.Jurnal Keperawatan Indonesia. 2(7).254-257.

196