PEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PRSPEKTIF H

PEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PRSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM

LATAR BELAKANG MASALAH
Pemerintahan yang baik menurut hukum positif adalah dimana pemerintah dapat
memnjamin kesejahteraan rakyat dan menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan
kepada Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana
dituntut oleh suatu negara hukum sesuai dengan Pasal 34, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat
(3),Pasal 28 F, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek
yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai
ideal dari sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada
warganya dan bukan sebaliknya.Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan
jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek menjadi subjek dalam sebuah
negara hukum yang merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga
Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya, baik secara keseluruhan maupun
sebagian dapat terwujud.
Dan dalam Undang-Undang Pelayanan Publik (secara resmi bernama Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) adalah undang-undang yang mengatur tentang
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan
itu sendiri. perlayanan publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat

memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi
sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam
pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi
publik.
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak
dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, membangun kepercayaan masyarakat
atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang
harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang
peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap
warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara dan korporasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan norma hukum yang memberi pengaturan secara
jelas, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik
sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi
perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam
penyelenggaraan pelayanan public.
Dalam pembahasan pemerintahan yang baik, ada beberapa asas umun yang perlu di
perhatikan, Asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 28
Tahun 1999 adalah: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan

umum, asas keterbuakaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Penjelasan
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu menjadi landasan keteraturan, keserasian,
keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.
3. Asas Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif dan kolektif.
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperolah informasi yang benar , jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.

5. Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir

dari kegiatan penyelenggaraan negera harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintahan yang baik menurut hokum islam adalah; kebijakan pemerintah terhadap
rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan.Dalam memikul tugas kepemimpinan
publik, penyelenggara negara khususnya pemerintah harus memenuhi syarat, antara lain:
Memiliki kemampuan nalar (kecerdasan) untuk menetapkan kebijakan yang menyangkut
rakyat dan kemaslahatan mereka (siyâsah al-ra’iyyah wa tadbîr mashâlihihim);
Memiliki pengetahuan , ketahanan fisik dan mental dengan landasan iman dan taqwa
yang membuatnya mampu untuk menyelesaikan berbagai krisis dan menetapkan hukum serta
kebijakan secara benar (al-ijtihâd fî al- nawâzil wa al-ahkâm).Setiap kebijakan yang diambil
oleh pemegang kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif dan yudikatif harus
didasarkan pada tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat yang bersifat umum serta
menghilangkan kemafsadatan dari mereka (iqâmah al-mashâlih wa izâlah al-mafâsid). Dalam
implementasinya, mencegah terjadinya kemafsadatan harus didahulukan dari pada upaya
mewujudkan kemaslahatan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih). Apabila
terjadi benturan kepentingan kemaslahatan antara berbagai pihak, maka kepentingan
kemaslahatan umum harus didahulukan dari pada kemaslahatan golongan dan perorangan.
Demikian juga, ketika terjadi benturan kepentingan kemafsadatan (kerusakan) antara
berbagai pihak, maka kemafsadatan yang dialami oleh sekelompok orang bisa diabaikan

demi mencegah terjadinya kemafsadatan yang bersifat umum.
Pelaksanaan kebijakan penyelenggara negara (tasharruf al-imâm) harus mengedepankan
prinsip prioritas (alawiyyah) sebagai berikut:

1. Taqdîm al-ahwaj, yaitu mendahulukan atau memprioritaskan rakyat yang lebih
membutuhkan dibandingkan dengan pihak yang kurang membutuhkan;
2. Al-‘adlu fî i’thâi huqûq mutasâwî al-hâjât, yaitu membagi secara adil di antara mereka
yang memiliki kebutuhan yang sama;
3. Mengedepankan sikap amanah dalam mengelola harta kekayaan negara dengan
menjauhkan diri dari berbagai praktek pengkhianatan dan korupsi (ghulul).
Kemaslahatan yang menjadi dasar kebijakan dan tindakan penyelenggara negara harus
memenuhi kriteria (dlawâbith) sebagai berikut:
 Kemaslahatan yang dimaksud adalah tercapainya tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah)
yang diwujudkan dalam bentuk terlindunginya lima hak dasar kemanusiaan (aldharûriyyât al-khams), yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta.
 Kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’ah adalah maslahat yang tidak bertentangan
dengan nash.
 Kemaslahatan yang dapat dijadikan landasan hukum adalah kemaslahatan yang yang
hakiki (benar-benar mendatangkan manfaat dan menolak mudarat).
 Kemaslahatan yang dijadikan landasan hukum harus bersifat pasti (qâthi’ah), terbukti
dalam kenyataan (muhaqqaqah), umum, berkelanjutan dan jangka panjang, bukan bersifat

spekulatif (mawhûmah), individual, dan sesaat.
 Kemaslahatan yang bersifat umum harus diprioritaskan untuk direalisasikan, meskipun
harus mengenyampingkan kemaslahatan yang bersifat individual ataupun kelompok (almashlahah al-‘âmmah muqaddamah ‘alâ al-mashlahah al-khâshshah).
Dalam merealisasikan kemaslahatan, penyelenggara negara dapat menetapkan kebijakan
yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi perorangan atau sekelompok orang, hanya
apabila hal itu benar-benar demi kemaslahatan umum atau untuk mencegah kerugian yang
lebih besar.
Penyelenggara negara sebagai pengemban amanah untuk mengelola urusan publik harus
mendahulukan kepentingan yang bersifat umum dan menjaga kemaslahatan masyarakat
banyak, di atas kepentingan perorangan dan golongan.
Penyelenggara negara yang tidak mematuhi prinsip-prinsip kemaslahatan sebagaimana
disebutkan di atas, berarti telah mengkhianati amanah, dan harus mempertanggungjawabkan

secara etik, moral, dan hukum. Dengan demikian, penyelenggara negara semacam itu tidak
termasuk dalam kategori pemerintahan yang baik (good governance/siyâsah al-hukûmah alfâdhilah).
Firman Allah dalam ayat sbb:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (QS. An-Nisa' : 58)

Hadis-hadis Nabi SAW sbb:
"Barangsiapa yang diberi amanah (berupa kekuasaan) atas umatku, kemudian tidak
bersungguh-sungguh untuk (kemaslahatan) mereka, dan tidak memberi nasihat buat mereka,
maka haram baginya untuk masuk ke dalam surga."
Pendapat-Pendapat Ulama sbb:
Pendapat Imam al-Qarafi al-Maliki dalam Kitab Al-Furuq (4/76):
Ketahuilah bahwa siapapun yang memiliki kekuasaan, mulai dari khilafah hingga yang terkecil
yaitu wasiat, tidak boleh berbuat kecuali yang membawa maslahat atau mencegah mafsadat,
berdasarkan firman Allah (Qs. Al Isra’:34), dan hadits Rasulullah saw.: barangsiapa yang diberi
amanah (berupa kekuasaan) atas umatku, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk
(kemaslahatan) mereka, dan tidak memberi nasihat buat mereka, maka haram baginya untuk
masuk ke dalam surga.

RUMUSAN MASALAH
Adapun mengenai masalah dalam penulisan ini dengan mendasarkan pada latarbelakang yang
terjadi;
1. bagaimana bentuk pemerintahan yang baik menurut hukum positif.?
2. Bagaimana bentuk pemerintahan yang baik menurut hukum islam.?
3. Apa yang menjadi landasan penetapan aturan dalam suatu pemerintahan.?
4. Apa cirri dari sebuah pemerintahan hingga dapat disebut sebagai pemerintahan yang

baik.?