MAKALAH TEORI TEORI BELAJAR BERBASIS PSI

MAKALAH
TEORI-TEORI BELAJAR BERBASIS PSIKOLOGI TINGKAH LAKU VS
TEORI-TEORI BELAJAR BERBASIS PSIKOLOGI KOGNITIF
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah strategi pembelajaran matematika

oleh:
Rozalita Kurani (17205037)

Dosen Pembimbing: Dr. Edwin Musdi, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017

1

KATA PENGANTAR

Ucapan puji serta wujud kesyukuran kehadirat Allah SWT berkat limpahan
rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada penulis, sehingga makalah ini dapat

diselesaikan dengan baik.Terima kasih atas bimbingan, dukungan dan bantuan
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan dan penyelesaian
makalah ini.
Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Dr. Edwin Musdi, M.Pd yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya dalam
pembuatan makalah ini serta secara umum mengajarkan kepada penulis tentang
mata kuliah metodologi penelitian dalam perkuliahan.
Akhirnya harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
kepentingan bersama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Padang, 11 September 2017

Penulis

1

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .....................................................................................


i

DAFTAR ISI ...................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

1

A. Latar Belakang ...............................................................................

1

B. Rumusan Masalah...........................................................................

1

C. Tujuan ............................................................................................


1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

2

A. Pengertian Teori Belajar.................................................................

2

B. Teori Belajar Berbasis Psikologi Tingkah Laku.............................

2

C. Teori Balajar Berbasis Psikologi Kognitif......................................

8

BAB III PENUTUP........................................................................................


15

A. Kesimpulan.....................................................................................

15

B. Saran...............................................................................................

15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

16

2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi guru matematika mempelajari teori pembelajaran berdasarkan aliran psikologi
tingkah laku dan aliran psikologi kognitif ini akan sangat berguna dalam meningkatkan
kemampuan dirinya sebagai guru matematika yang profesional, karena dengan menguasai
materi ini serta aplikasinya akan meningkatkan pula wawasan kemampuan untuk
melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika didalam kelas.
Tidak hanya tingkat kedalaman konsep yang diberikan pada siswa yang harus
disesuaikan dengan tingkat kemampuannya, cara penyampaian materi pun demikian
pula.Guru harus mengetahui tingkat perkembangan mental anak dan bagaimana
pengajaran yang harus dilakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mental siswa
besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa mengalami kesulitan, karena apa yang
disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuannya dalam menyerap materi yang
diberikan.
Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori pembelajaran karena setiap materi
yang disampaikan kepada siswa harus berdasarkan metode yang disesuai dengan teoriteori yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Setelah mempelajari teori ini
diharapkan siswa mampu menerapkan teori psikologi pembelajaran pada saat mengajar
dikelas, khususnya dalam pembelajaran matematika.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.


Apa Pengertian Teori Belajar?

2.

Apa saja Teori Belajar Berbasis Psikologi Tingkah Laku ?

3.

Apa saja Teori Belajar Berbasis Psikologi Kognitif ?

C. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui:
1.

Menjelaskan Pengertian Teori Belajar.
1

2.


Menjelaskan Teori Belajar Berbasis Psikologi Tingkah Laku.

3.

Menjelaskan Teori Belajar Berbasis Psikologi Kognitif.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Teori Belajar
Teori belajar merupakan kumpulan beberapa prinsip umum yang saling berhubungan
untuk menemukan sebuah fakta yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Menurut Suherman
(2003: 27) terdapat dua hal dalam teori belajar :
1.

Uraian tentang apa yang terjadi dan diharapkan terjadi pada
intelektual anak,dan

2.

Uraian tentang kegiatan intelektual anak mengenai hal-hal

yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
Menurut Suherman (2003: 28) menyatakan Psikologi Mengajar atau teori mengajar berisi

tentang petunjuk bagaimana semestinya peserta didik pada usia tertentu, bila ia sudah siap
belajar. Jadi pada teori mengajar terdapat prosedur dan tujuan mengajar. Pada pelaksanaannya
kedua teori tersebut tidak bisa dipisahkan, seperti halnya kata belajar dan mengajar. Peristiwa
mengajar selalu disertai dengan peristiwa belajar, ada guru yang mengajar maka haruslah ada
peserta didik yang belajar. Tetapi jika dibalik, ada peserta didik yang belajar, belum tentu ada
guru yang mengajar, sebab belajar bisa dilakukan secara sendiri. Jadi dalam peristiwa belajar
mengajar, peserta didik merupakan subjek dan bukan objek. Selanjutnya peristiwa belajar
mengajar ini, sesuai dengan istilah dalam kurikulum akan disebut pembelajaran, yang
berkonotasi pada proses kinerja yang sinergi antara setiap komponennya.
B. Teori Belajar Berbasis Psikologi Tingkah Laku
Teori belajar berbasis psikologi tingkah laku (Behaviorisme) berorientasi pada ‘hasil
yang dapat diukur, diamati, dianalisis, dan diuji secara subyektif’. Pengulangan dan pelatihan
dilakukan agar perilaku yang diinginkan menjadi kebiasaan. Penilaian didasarkan atas
perilaku yang tampak. Teori belajar berbasis tingkah laku yaitu:
1.

Teori Thorndike

Menurut Heri (2012: 33) terdapat dua gagasan umum Edward L. Thorndike yaitu:
a. Koneksionisme

2

Menurut Thorndike, terdapat kaitan antara indra pengesan dan impuls-impuls
untuk beraksi disebut bond (Pertalian, ikatan) atau connection (hubungan,
sambungan). Koneksionisme merupakan upaya untuk mengaitkan kejadian-kejadian
inderawi

terhadap

perilaku,

selain

memperhatikan

kondisi


stimulus

dan

kecenderungan untuk beraksi, thorndike juga melihat persoalan hal-halyang membuat
stimulus dan respon bersatu. Dia percaya bahwa keduanya terhubung oleh ikatan
saraf.
b. Belajar Coba dan Salah
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respons (R). Stimulus
merupakan suatu perubahan yang terjadi dilingkungan luar yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme agar beraksi dan berbuat, sedangkan respon adalah tingkah
laku yang mucul karena adanya perangsang. Untuk tercapainya hubungan antara
stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat
serta melaui percobaan-percobaan (trial) dan kegagalan-kegagalan (error). Hal ini
disebut juga dengan “belajar coba dan salah”.
Thorndike melakukan eksperimen pada kucing yang telah dilaparkan dan
diletakkan pada sangkar yang tertutup dan pintunya akan terbuka secara otomatis
apabila tombol yang terletak didalam sangkar tersentuh. Dalam percobaan tersebut
apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk

mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak sengaja kucing
lalu menyentuh tombol, maka terbukalah pintu dan kucing segera lari ketempat
makanan. Percobaan ini dilakukan berulang kali dan setelah kurang lebih 10 sampai
12 kali kucing baru dapat dengan sengaja menyentuh tombol tersebut apabila di luar
diletakkan makanan.
Thorndike menggagas beberapa ide penting berkaitan dengan hukum-hukum
belajar yaitu hukum kesiapan, hukum latihan, hukum akibat dan hukum sikap (Heri,
2012: 35).
1) Hukum Kesiapan
Hukum kesiapan menerangkan bagaiman kesiapan seorang anak dalam
melakukan suatu kegiatan. Masalah pertama hukum kesiapan yaitu ketika
seseorang telah siap untuk melakukan sesuatu, maka upaya melakukan hal itu
akan memuaskan, masalah kedua ketika seseorang telah siap untuk melakukan
sesuatu, maka jika ia ta jadi melakukannya akan muncul kekecewaan. dan
3

masalah ketiga yaitu ketika seseorang tidak siap untuk melakukan sesuatu, maka
jika ia dipaksa melakukannya juga akan muncul kekecewaan.
2) Hukum Latihan
Dalam hukum latihan (law od exercise), semakin sering tingkah laku diulang,
dilatih dan dipraktikan, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. karena
hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat ketika keduanya
digunakan (law of use). dan sebaliknya jika hubungan antara stimulus dan respons
akan semakin melemah ketika latihan tidak dilanjutkan. atau disebut dengan
‘hukum penidakgunaan’(law of disuse).
3) Hukum Akibat
Hukum ini menunjukkan semakin kuat atau semakin lemahnya koneksi sebagai
hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung
dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang
mengakibatkan hal yang tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak
diulangi.
4) Hukum sikap
Hukum sikap (Attitude) menjelaskan bahwa perilaku belajar seseorang tidak
hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon saja, tetapi juga ditentukan
keadaan yang ada dalam diri individu, baik menyangkut aspek kognitif, emosi,
sosial maupun psikimotornya.
2.

Teori Skinner
Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai
peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan
penguatan. Ganjaran merupakan respon yang menggembirakan dan merupakan tingkah
laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang
mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada
hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
Dalam teorinya Skinner menyatakan bahwa penguatan terdiri atas :
a. Penguatan Positif
Penguatan dapat dinaggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut
seiring dengan meningkatnya perilaku anak dalam melakukan pengulangan
perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang diberikan diberikan pada anak
memperkuat tindakan anak, sehingga anak semakin sering melakukannya. Yang
4

termasuk contoh penguatan positif diantaranya pujian yang diberikan pada anak.
Sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan, merupakan
penguatan positif pula.
b. Penguatan Negatif
Untuk mengubah tingkah laku anak dari negatif menjadi positif, guru perlu
mengetahui

psikologi

yang

dapat

digunakan

untuk

memperkirakan

(memprediksi) dan mengendalikan tingkah laku anak. Guru di dalam kelas
mempunyai tugas untuk mengarahkan anak dalam aktivitas belajar, karena pada
saat tersebut, kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan instruksi
ataupun larangan pada anak didiknya. Penguatan negatif ini bisa berupa teguran,
peringatan, atau sangsi (hukuman edukatif).
Penguatan akan berbekas pada diri anak. Mereka yang mendapat pujian setelah
berhasil menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan biasanya akan berusaha
memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah
atau pujian akan memotivasi anak untuk rajin belajar dan memeprtahankan prestasi yang
diraihnya. Penguatan seperti ini sebaiknya segera diberikan dan tak perlu ditunda-tunda.
3.

Teori Ausubel
Menurut Suherman (2003: 32) teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan
pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ia membedakan belajar menemukan
dan belajar menerima. Pada belajar menerima peserta didik hanya menerima, jadi tinggal
menghapalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh peserta didik,
jadi tidak menerima pelajarn begitu saja. Selain itu, pada Teori Ausubel juga
membedakan antara belajar menghapal dengan belajar bermakna.
a. Belajar Menghapal
Pada belajar menghapal, peserta didik mengahapl materi yang sudah diperolehnya.
b. Belajar Bermakna
Pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan
keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.

4.

Teori Gagne
Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoleh
peserta didik, yaitu :
5

a. Objek Langsung
Objek langsung berupa :
1) Fakta
Fakta adalah objek matematika yang tinggal menerimanya, seperti lambang
bilangan, sudut, dan notasi-notasi matematika lainnya.
2) Keterampilan
Keterampilan berupa kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan
tepat, misalnya melakukan pembagian bilangan yang cukup besar dengan
bagi kurung, menjumlahkan pecahan, melukis sumbu sebuah ruas garis.
3) Konsep
Konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan
objek ke dalam contoh dan non contoh. Misalnya, konsep bujur sangkar,
bilangan prima, himpunan, dan vektor.
4) Aturan
Aturan adalah objek yang paling abstrak berupa sifat atau teorema.
b. Objek Tak Langsung
Objek tak langsung antara lain kemmapuan menyelidiki dan memecahkan masalah,
belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya
belajar.
Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu :
1) Belajar Isyarat
Belajar isyarat adalah belajar yang tingkatnya paling rendah, karena tidak ada
niat atau spontanitas. Contohnya menyenangi atau menghindari pelajaran karena
akibat perilaku gurunya.
2) Stimulus Respon
Stimulus-respon merupakan kondisi belajar yang ada niat diniati dan responnya
jasmaniah. Misalnya peserta didik meniru tulisan guru di papan tulis.
3) Rangkaian Gerak
Rangkaian gerak adalah perbuatan jasmaniah terurut dari dua kegiatan atau lebih
dalam rangka stimulus-respon.
4) Rangkaian Verbal

6

Rangkaian verbal adalah perbuatan lisan terurut dari dua kegiatan atau lebih
dalam rangka stimulus-respon. Contohnya dalam mengemukakan pendapat,
menjawab pertanyaan guru secara lisan.
5) Belajar Membedakan
Belajar membedakan adalah belajar memisah-misah rangkaian yang bervariasi.
6) Pembentukan Konsep
Pembentukan konsep disebut juga tipe belajar pengelompokkan, yaitu belajar
melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan suatu
kelompok.
7) Pembentukan Aturan
Dalam hal tertentu diperlukan tipe belajar yang mengharapkan peserta didik
untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus dengan segala macam
perbuatan. Kemampuan disini terutama adalah kemampuan menggunakannya.
Misalnya pemahaman terhadap rumus kuadratis dan menggunakannya dalam
menyelesaikan persamaan kuadrat.
8) Pemecahan Masalah
Belajar pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena lebih
kompleks dari pembentukan aturan.
Dalam pemecahan masalah, biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan,
yaitu :
a) Menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas.
b) Menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional.
c) Menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan
baik.
d) Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.
e) Mengecek kembali hasil yang diperoleh.
Lebih jauh Gagne mengemukakan bahwa hasil belajar harus didasarkan pada
pengamatan tingkah laku, melalui stikulus-respon dan belajar bersyarat. Alasannya
adalah bahwa manusia itu organisme pasif yang bisa dikontrol melalui imbalan dan
hukuman.

7

5.

Teori Pavlov
Pavlov terkenal dengan teori belajar klasik. Ia melakukan percobaan terhadap
seekor Anjing. Anjing itu dikurung, dalam suatu kandang dengan waktu tertentu dan
diberi makan. Selanjutnya setiap akan diberi makan Pavlov membunyikan bel. Ia
memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka waktu tertentu Anjing itu
mengeluarkan air liurnya, meskipun tidak diberi makan.
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning). Dalam hubungannya
dengan kegiatan belajar mengajar, agar peserta didik dapat belajar dengan baik maka
harus dibiasakan. Misalnya agar peserta didik mengerjakan pekerjaan rumah dengan
baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau memberi nilai terhadap
hasil pekerjaannya.

6.

Teori Baruda
Baruda mengemukakan bahwa peserta didik belajar itu melalui meniru. Pengertian
meniru disini bukan berarti mencontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang
lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan
menggunakan bahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan
dengan jelas dan sistematis, maka peserta didik akan menirunya. Jika contoh-contoh
yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi
manusia model yang profesional.

C. Teori Belajar Berbasis Psikologi Kognitif
Salah satu kebutuhan manusia yang paling penting adalah belajar yang bertujuan
untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Hal yang paling pokok dalam dunia
pendidikan adalah belajar, karena dalam proses belajar terselenggara suatu proses yang
disebut dengan belajar-mengajar. Tujuan dari belajar adalah agar seseorang dapat memahami
suatu konsep yang baru atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap dan keterampilan ke
arah yang lebih baik.
Cara-cara seseorang dalam menggunakan pemikirannya untuk belajar, mengingat, dan
menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya merupakan tujuan utama diterapkannya
teori belajar kognitif. Psikologi kognitif menyatakan bahwa perilaku manusia tidak
ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada
8

dirinya sendiri. Faktor-faktor intern ini berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk
mengenal dunia luar dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon
terhadap stimulus. Berdasarkan pandangan tersebut teori belajar psikologi kognitif
memandang belajar sebagai proses perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata
lain bahwa aktivitas belajar pada diri manusia ditentukan pada proses internal dalam pikiran
yakni proses pengolahan informasi.
Ciri – ciri aliran belajar kognitif :
1. Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia.
2. Mementingkan peranan kognitif
3. Mementingkangkan kondisi waktu sekarang
4. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
5. Mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia
6. Mengutamakan insight (pengertian, pemahaman)
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang
baru beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa. (Jainuri, 2010: 9).
Menurut Suherman (2003: 36) terdapat beberapa teori belajar berbasis psikologi
kognitif, yaitu :
1. Teori Piaget (1896-1980)
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu
kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungannya, sehingga individu yang lebih dewasa memliki struktur kognitif yang
lebih lengkap dari pada ketika ia masih kecil.
Piaget mengatakan bahwa kita melampui perkembangan melalui empat tahap dalam
memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir
yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:
a. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2
tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini, perkembangan mental
ditandai

oleh

kemajuan

yang

besar

dalam

kemampuan

bayi

untuk

mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar)
melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik.
9

b. Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun,
merupakan tahap kedua piaget, Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak
berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia
melihat objek-objek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda
pula.
c. Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage), yang berlangsung dari usia 7
hingga 11 tahun yang umumnya sudah berada di SD, merupakan tahap ketiga piaget.
Pada

tahap

ini

anak

mampu

mengikat

definisi

yang

telah

ada

dan

mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri
definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbaldan
ide-ide abstrak.
d. Tahap Operasi Formal (Formal Operational Stage), yang terlihat pada usia 11 hingga
15 tahun, merupakan tahap keempat dan terakhir dari piaget. Anak-anak pada tahap
ini sudah mampu melakukan penlaaran dengan menggunakan hal-hal abstrak.
Penggunaan benda-benda konkret tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa
perlu berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi
dalam struktur kognitifnya telah mampu menggunakan simbol-simbol, ide-ide,
abstraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk
melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan diantara hubunganhubungan, memahami konsep promosi.
Karakteristik lain dari anak pada tahap ini adalah telah memiliki kemampuan untuk
melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun
serangkaian hipotesis dan mengujinya (Child, 1977: 127). Jadi, anak pada operasi
formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya benda-benda konkrit, tetapi
berhubungan dengan tipe berpikir. Apakah situasinya disertai oleh benda-benda
konkrit atau tidak, bagi anak pada tahap berpikir formal tidak menjadi masalah.
2. Teori Bruner
Jerome Brunner menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajaran anak diarahkan pada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat
dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsepkonsep dan struktur-struktur tersebut. Bruner menyarankan keaktifan anak dalam proses
belajar secara penuh agar anak dapat mengenal konsep dan struktur yang tercakup
10

dalam bahan yang sedang dibicarakan, sehingga anak akan memahami materi yang
harus dikuasainya itu. Tiga tahap pembelajaran yang akan dilewati oleh peserta didik
adalah sebagai berikut :
a. Tahap enaktif
Tahap ini merupakan tahap dimana peserta didik belajar dengan memanipulasi
benda atau obyek konkret.
b. Tahap ikonik
Pada tahap ini peserta didik belajar dengan menggunakan gambar.
c. Tahap simbolik
Pada tahap ini peserta didik belajar matematika melalui manipulasi lambang atau
simbol.
Dalil-dalil yang didapatkan Bruner setelah mengadakan pengamatan kesekolahsekolah:
a. Dalil Penyusunan (construction the orem)
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai kemampuan menguasai
konsep, teorema, definisi dan semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan
penyusunan representasinya. Ini berarti, jika anak aktif dan terlibat dalam kegiatan
mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi
tersebut, maka anak akan lebih memahaminya.
b. Dalil Notasi (notation the orem)
Notasi memiliki peranan penting dalam penyajian konsep. Penggunaan notasi
dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap
perkembangan mental anak. Penyajiannya dilakukan dengan pendekatan spiral,
dimana setiap ideide matematika disajikan secara sistematis dengan menggunakan
notasi-notasi yang bertingkat.
c. Dalil Kekontrasan dan Keanekaragaman (contrasand variation the orem)
Pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan
konsep dipahami dengan mendalam, diperlukan contoh-contoh yang banyak,
sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut.
d. Dalil Pengaitan (connectivity the orem)
Dalam matematika itu satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan erat,
bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan.

11

Materi yang satu merupakan prasyarat bagi yang lainnya atau konsep yang studi
perlukan untuk menjelaskan konsep lainnya.
3. Teori Gestalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal
berikut ini:
a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian.
b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual
peserta didik
c. Mengatur suasana kelas agar peserta didik siap belajar.
Dari ketiga hal diatas, dalam menyajikan pengajaran guru jangan memberikan
kkonsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan
pemahaman terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir.
Untuk hal ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan proses melalui metode induktif.
4. Teori Brownell
W.Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan belajar pengertian. Dia juga menegaskan bahwa belajar pada
hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna.
5. Teori Dienes
Zoltan P.Dienes adalah seorang matematikawan yang memfokuskan perhatiannya
pada cara pengajaran. Dienes menekankan bahwa dalam pembelajaran sebaiknya
dikembangkan suatu proses pembelajaran yang menarik sehingga bisa meningkatkan
minat peserta didik terhadap pelajaran matematika. Dienes mengungkapkan bahwa
dalam proses pembelajaran sangatlah penting untuk menyajikan konsep-konsep atau
prinsip-prinsip matematika dalam bentuk yang konkrit. Hal ini dilakukan agar konsep
dan prinsip tersebut dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik. Ini mengandung
arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat
berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.

12

6. Teori Van Hiele
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele
(1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam
pengajaran geometri. Menurut Van Hiele ada tiga unsur dalam pengajaran
matematika yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran, jika ketiganya
ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan kemampuan berfikir anak kepada
tingkatan berfikir lebih tinggi.
Van Hiele menyatakan terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu :
a. Tahap pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara
keseluruhan, namun belum mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri
yang dilihatnya itu.
b. Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda
geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang
terdapat pada benda geometri itu. Dalam tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya. Misalnya anak belum mengetahui bahwa bujursangkar adalah
persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c. Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan,
yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum
berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap
ini sudah mulai mampu mengurutkan.
d. Tahap Deduksi
Dalam tahap ini, anak sudah mampu menarik eksimpulan secara deduktif, yakni
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang
bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang iddefinisikan.
Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu pada tahap ini anak sudah
mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam
pembuktian.

13

e. Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui
pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap
akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan komplek. Oleh karena
itu tidak mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk dibangku
sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.

14

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teori belajar merupakan kumpulan beberapa prinsip umum yang saling berhubungan
untuk menemukan sebuah fakta yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Menurut Suherman
(2003: 27) terdapat dua hal dalam teori belajar :
1.

Uraian tentang apa yang
terjadi dan diharapkan terjadi pada intelektual anak,dan

2.

Uraian tentang kegiatan
intelektual anak mengenai hal-hal yang bisa dipikirkan pada usia tertentu.
Menurut Suherman (2003: 28) terdapat beberapa teori belajar berbasis psikologi

tingkah laku, yaitu :
1. Teori Thorndike
2. Teori Skinner
3. Teori Ausubel
4. Teori Gagne
5. Teori Pavlov
6. Teori Baruda
Menurut Suherman (2003: 28) terdapat beberapa teori belajar berbasis psikologi
kognitif, yaitu :
1. Teori Piaget
2. Teori Bruner
3. Teori Gestalt
4. Teori Dienes
5. Teorema Van Hiele
B. Saran
Semoga makalah tentang teori belajar psikologi tingkah laku dan kognitif ini menjadi
referensi bagi penulis selanjutnya.

15

DAFTAR PUSTAKA

Heri Rahyubi.2012.Teori-teori Balajar dan aplikasi Pembelajaran Motorik.Bandung:Nusa
media.
Jainuri, Muhammad. 2010. Psikologi Tingkah Laku VS Psikologi Kognitif [online]. Tersedia :
http://www.academia.edu/7216172/Psikologitingkahlakuvspsikologikognitif.
[diakses tanggal 27 Agustus 2015]
Suherman, Erman dkk.2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.

16

Dokumen yang terkait

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

DIVERSIFIKASI PRODUK MAKANAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH (UMKM) BERBASIS INOVASI DI KOTA BLITAR

4 89 17

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62