BUDAYA DAN DOMESTIKASI WANITA PARADOKS K

BUDAYA DAN DOMESTIKASI WANITA:
PARADOKS KEBEBASAN DI ERA GLOBAL KONTEMPORER
Ester Margaretha, Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
Abstraksi
Domestikasi wanita telah menjadikan eksistensi dan peran wanita sangat minor dan
hanya dianggap sebagai makhluk “dalam rumah”. Budaya yang mengakar kuat dan turuntemurun seolah menjadi alat justifikasi bahwa keberadaan wanita memang seadanya
demikian. Beberapa konsep agama kontemporer pun membawa pandangan pramatis sempit
yang menempatkan wanita dalam kedudukan di bawah laki-laki dan jauh dari segala aktivitas
“luar rumah”. Menjadikan ruang gerak mereka sangat terbatas dan jauh dari konsep
kebebasan.
Sayangnya, budaya tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang tepat untuk
menempatkan wanita dalam posisi yang sedemikian rupa karena budaya dan sejarah pernah
memberikan ruang bagi signifikansi peran wanita. Dalam perkembangannya, wanita
kemudian mencoba menyuarakan hak atas kebebasan dan kesetaraan mereka hingga
menghasilkan berbagai kemajuan signifikan. Namun, realitas domestikasi wanita nyatanya
masih tetap ada dan menjadi paradoks kebebasan tersendiri di era global kontemporer.

Wanita, manifestasi dari apa yang kita sebut halus, lembut, stabilitas dan harmoni.
Selama berabad-abad, sosok ini seringkali menjadi aktor utama dalam pergerakan sejarah
manusia itu sendiri. Wanita dalam sejarah manusia menjadi dilema, sumber konflik dan
kontroversi yang selalu menarik perhatian disadari atau tidak. Mitos dan berbagai streotip

negatif yang disematkan pada wanita pada akhirnya menciptakan distorsi terhadap apa dan
siapa wanita itu 1.
Sudah menjadi paradigma umum kedudukan wanita dalam masyarakat, lazimnya
menempatkan mereka di bawah subordinasi laki-laki. Budaya patriarki yang sangat
menonjolkan peran lelaki sehingga memunculkan konsep domestikasi wanita. Produk yang
menganggap wanita adalah makhluk dalam rumah yang kemudian mengangkat persoalan
hubungan ekuivalensi antara laki-laki dengan wanita; dalam rumah dan luar rumah 2.

1

Misiyah, “Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan”, Jurnal Perempuan: Untuk
Pencerahan dan Kesetaraan No.48 (2006): 44
2
Faruk, Women Womeni Lupus (YogyakartaL Indonesia Tera, 2000, 142.

Padahal ketimpangan gender telah dibahas sejak abad ke-18. Dalam Declaration of
Independence 1776 dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan itu dan tidak seharusnya
menjadi pesoalan minor yang begitu mudah diabaikan. Namun implementasi yang ada justru
sebaliknya, terdapat banyak pelanggaran terhadap hak-hak perempuan seperti hak untuk hidup,
bebas, mencari kebahagiaan dan sebagainya sebagai bukti adanya kekerasan dan

ketidaksetaraan 3.
Hal tersebut menjadikan kaum feminis wanita menolak domestikasi dirinya, mereka
mencoba menerobos keluar “rumah” 4. Secara khusus dalam perspektif liberal memandang
bahwa wanita dapat mengklaim persamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia
sebagai agen moral yang bernalar 5. Akar aliran ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan.
Sehingga mereka menciptakan beberapa strategi yang dianggap mampu menciptakan
kesetaraan.
Menurut Mary Wollstonecraft, seorang pemikir dari aliran feminisme liberal dalam
tulisannya yang berjudul Vindication of The Right of Woman (Mempertahankan Hak-hak
Wanita) menjelaskan prinsip-prinsip feminisme liberal yang sangat mementingkan kebebasan
dan keindividuan manusia. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa perempuan berhak
mendapatkan hak-haknya dan menentukan tindakan-tindakannya secara rasional menurut
dirinya sendiri. Moral feminisme liberal tidak ditentukan oleh negara, agama, ataupun
keluarga, tetapi menurut pilihannya sendiri selama tidak melanggar hukum.
Secara historis, indikasi terhadap pemiskinan peran wanita dalam ruang publik memang
sudah berlangsung sejak lama. Isu ini telah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno dimana
wanita disejajarkan dengan para budak dan termasuk dalam kategori warga negara yang tidak
berhak dalam menentukan nasib negara. Sehingga mereka tidak mendapatkan izin untuk
terlibat dalam pemilu 6.
Bagaimanapun hal ini tidak terlepas dari konsep beberapa agama kontemporer yang

secara eksplisit melandasi paradigma tersebut melalui kisah Adam dan Hawa. Pandangan
pragmatis sempit dari beberapa kalangan beragama yang menyatakan kedudukan laki-laki yang
3

Lally Nurhidayati Argarini, “Feminisme Liberal (Teori)” Iespedia, diperbaharui terakhir 13 Januari 2013,
www.iespedia.com/blog/2013/01/13/282/.
4
Faruk, Women Womeni Lupus (YogyakartaL Indonesia Tera, 2000, 143.
5
Lally Nurhidayati Argarini, “Feminisme Liberal (Teori)” Iespedia, diperbaharui terakhir 13 Januari 2013,
www.iespedia.com/blog/2013/01/13/282/.
6
Sri Djoharwinarlien, Dilema Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Center for Politics and Government Fisipol
UGM, 2012), 69.

harus selalu lebih tinggi dalam segala aktivitas “luar rumah”. Padahal, menilik kembali ke
sejarah manusia itu sendiri, wanita justru pada awalnya memiliki kedudukan sosial yang tinggi
bahkan diangkat ke singgasana Dewi.
Masyarakat sebelumnya cenderung mengikuti pola matrilineal dan diatur dalam sistem
matriarkat. Pola dan sistem ini menjadikan peran wanita sangatlah penting dimana ibu menjadi

kepala keluarga dan garis keturunan anak-anaknya terikat kepadanya. Peradaban Mesir Kuno,
orang-orang Lukia, suku-suku di Jerman dan beberapa suku Arab sebelum memasuki Islam,
beberapa suku di Asia dan Afrika terbukti telah mengimplementasikan pola dan sistem
tersebut 7.
Wanita di masa itu memainkan peranan yang penting tidak hanya dalam aspek sosial,
tapi juga ekonomi dan politik. Tradisi-tradisi dan praktek agama-agama kuno juga sama sekali
tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan 8. Namun setelah beberapa periode
menjelang, kedudukan ini tidak lagi dianggap relevan akibat evolusi budaya yang pada
akhirnya menciptakan sistem patriarki.
Namun kemudian konsep domestikasi wanita mendominasi yang menjadikan ruang
gerak mereka sangatlah terbatas. Konsep wanita sebagai makhluk dalam rumah secara implisit
memengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka tidak hanya politik, tetapi juga dalam
pendidikan, ekonomi maupun kesehatan. Domestikasi wanita seolah menajadi budaya dan
tradisi yang memang sudah ada sejak awalnya, turun-temurun dan begitu adanya.
Selama berabad-abad, budaya dan produk domestikasi wanita menjadi landasan
pemikiran yang terpatri mutlak, doktrin yang dianggap ideal dan paradigma global yang harus
tetap dipertahankan. Hal tersebut tentu menjadikan kehidupan wanita dibatasi oleh sekat-sekat
yang tidak tampak. Kebebasan wanita baik dalam berpikir maupun bertindak sangat dibatasi.
Pelabelan warga “kelas dua” terhadap wanita dalam ranah publik sendiri bukan menjadi
sesuatu yang baru. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya diskriminasi tersebut bahkan


7

Nawal El Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, terj. Zulhilmiyasti. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2001), 187.
8
Nawal El Saadawi, Perempuan dalam Budaya Patriarki, terj. Zulhilmiyasti. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 2001), 188.

telah terjadi sejak zaman Yunani Kuno 9. Konsep demokrasi yang mengusung prinsip
egaliterian nyatanya hanya berlaku pada warga negara laki-laki dewasa.
Dalam ranah pendidikan, wanita di zaman feodal nyatanya tidak diberikan kesempatan
untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Contoh kasus yang paling jelas dan sederhana
adalah Kartini. Ia gagal mendapatkan hak pendidikan yang setara dengan apa yang telah
dicapai kakaknya hanya karena status gender-nya. Begitu pula di bidang ekonomi, justifikasi
wanita “dalam rumah” menjadikan wanita tidak mampu memberi kontribusi untuk pemenuhan
kebutuhan hidup.
Namun di era global kontemporer, kedudukan wanita telah mengalami banyak relegasi
dalam berbagai bidang. Pelabelan warga “kelas dua” ini menjadikan wanita mencoba keluar
dari batas-batas yang mengikatnya. Tindakan tersebut sebenarnya menunjukkan perjuangan

wanita terhadap dua hal 10; pertama, haknya sebagai manusia yang bebas dan juga sebagai
wanita. Kedua, wanita yang memperjuangkan kedudukannya ialah wanita yang sedang
mengukuhkan eksisitensi sebagai perempuan untuk sejajar dengan laki-laki.
Meskipun pada awalnya, kebebasaan untuk menuntut kesetaraan ini dipandang sebagai
pemberontakan atas hakikat wanita itu sendiri. Upaya emansipasi yang dilakukan demi
mencapai kesetaraan sebagai manusi seolah sebuah pembangkangan bagi masyarakt patriarki.
Wanita seolah ingin menghilangkan perbedaan dan batasan yang ada dengan laki-laki, padahal
yang mereka tuntut lebih kepada pengakuan kesetaraan atas segala perbedaan sebagai sesuatu
yang kodrati bagi manusia 11.
Meskipun pada awalnya upaya menuntut kebebasan dan kesetaraan ini dilihat sebagai
sesuatu yang kurang tepat, akan tetapi perlahan tapi pasti masyarakat dunia dibawa untuk
menerima dan mendukung aksi tersebut. Pada tahun 1968, PBB pertama kali meratifikasi HakHak Politik Perempuan. Kemudian pada tahun 1984 terdapat The UN Convention on the
Elimination of all Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang ikut diratifikasi
oleh Indonesia 12.

9

Sri Djoharwinarlien, Dilema Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Center for Politics and Government Fisipol
UGM, 2012), 43.
10

Sri Djoharwinarlien, Dilema Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Center for Politics and Government
Fisipol UGM, 2012), 33.
11
Mariska Lubis, “Perempuan Seks, Emansipasi dan Feminisme”, Filsafat Kompasiana, diperbaharui
terakhir 20 April 2010, www.filsafat.kompasiana.com/2010/04/20/perempuan-seks-emansipasi-dan-feminisme/.
12
Sri Djoharwinarlien, Dilema Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Center for Politics and Government
Fisipol UGM, 2012), 45.

Hal ini berlanjut dengan dukungan di berbagai belahan dunia dimana mulai terdapat
undang-undang yang mengatur tentang hak-hak wanita dan membuktikan adanya pengakuan
secara global atas hak dan kebebasan yang dimiliki wanita. Meski tidak mengulang sejarah di
masa kuno secara persis, pengakuan terhadap wanita setidaknya telah memberikan kedudukan
yang dianggap lebih manusiawi.
Lebih jauh, tingkat kesenjangan gender di berbagai belahan dunia pun semakin
menurun. Berdasarkan data Forum Ekonomi Dunia, WEF yang terungkap dalam Laporan
Kesenjangan Gender Global 2013 banyak terjadi perubahan ke arah positif. Secara umum,
kesenjangan kesetaraan gender di dunia mengecil pada tahun 2013, dengan 86 negara dari total
136 negara yang disurvei. Hal tersebut secara global mencerminkan 93% penduduk dunia telah
memperlihatkan peningkatan dalam kesetaraan gender 13.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa domestikasi wanita tidak dapat dihilangkan
begitu saja. Era global kontemporer mungkin telah membuka paradigma baru mengenai
kedudukan wanita, akan tetapi bagaimanapun juga budaya dan konsep domestikasi wanita telah
berakar dan seolah menjadi sesuatu yang memang hakiki. Hal tersebut membuat wanita
diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang dilematis antara peran publik atau peran privat.

Domestikasi wanita telah mendoktrinisasi wanita bahwa peran wanita memang
seharusnya berada di “dalam rumah”, mulai dari membereskan urusan rumah, melayani
suammi hingga menurus anak. Meskipun tidak lagi ada batasan-batasan yang secara gamblang
menyatakan hal tersebut, namun konsep ini telah mengkonstruksi alam bawah sadar baik lakilaki maupun wanita itu sendiri. Terlepas dari doktrinisasi domestikasi wanita yang ada, wanita
sebenarnya berhak mendapatkan kesetaraan dan kebebasan. Sejarah mencatat, domestikasi
wanita dan budaya patriarki nyatanya hanyalah paradigma yang terbentuk oleh evolusi budaya
yang ada.
Secara implisit, domestikasi wanita telah menjadi tembok pembatas tak tampak
terhadap ruang gerak wanita di ranah publik. Domestikasi wanita seolah menjadi paradoks atas
kebebasan yang seharusnya dimiliki wanita. Secara rasionalitas, wanita seharusnya memang
memiliki hak-hak untuk menentukan tindakan-tindakannya sendiri. Namun realitas lagi-lagi

13


Anonim, “Kesetaraan Gender di Berbagai Belahan Dunia” BBC Indonesia, diperbaharui terakhir 25
Oktober 2013, www.bbc.co.uk/Indonesia/laporan_khusus/2013/10/131025_perempuan_vj_peta.

masih sulit menemukan tempat yang tepat atas apa yang kita sebut kesetaraan dan kebebasan
bagi wanita itu sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Argarini, Lally Nurhidayati. “Feminisme Liberal (Teori)” Iespedia, diperbaharui terakhir 13
Januari 2013, www.iespedia.com/blog/2013/01/13/282/ (diakses tanggal 6 November
2013),
Djoharwinarlien, Dilema Kesetaraan Gender. Yogyakarta: Center for Politics and Government
Fisipol UGM, 2012.
El Saadawi, Nawal. Perempuan dalam Budaya Patriarki. Diterjemahkan oleh Zulhilmiyasti.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001.
Faruk, Women Womeni Lupus. Yogyakarta: Indonesia Tera, 2000.
Misiyah, “Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan yang Membebaskan”, Jurnal
Perempuan: Untuk Pencerahan dan Kesetaraan No.48 (2006): 44

BIODATA PENULIS
Nama Lengkap


: Ester Margaretha

Tempat, Tanggal Lahir

: Bandung, 23 Maret 1995

Nama Instansi

: S1 Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Alamat Domisili

: Jl. Pandega Asih IV Blok D No.2, Sleman, Yogyakarta

E-Mail

: [email protected]

No. Handphone


: 082134870337