POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WAKTU SATWALIA (1)

Makalah Kelompok
Mata Kuliah Ekologi Kuantitatif

POLA PENGGUNAAN RUANG DAN WAKTU SATWALIAR

Oleh:

1.
2.

IYAT SUDRAJAT
E351160051
HANNY HERZEGOVINA E351160081

Dosen:

Prof. Dr. Ir. YANTO SANTOSA, DEA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2017

I.
A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pergerakan dilakukan untuk mencari pakan, berkembang biak ataupun
menghindarkan diri dari pemangsaan dan gangguan lainya. Wilayah jelajah adalah
daerah tempat tinggal suatu binatang yang tidak dipertahankan terhadap masuknya
binatang lain kedalam daerah tersebut. Apabila daerah tersebut sudah mulai
dipertahankan maka daerah tersebut menjadi daerah teritorialnya. Mason (1968)
dan Bates (1970) diacu dalam Rinaldi (1992) menyatakan bahwa home range atau
wilayah jelajah merupakan areal yang diliputi oleh gabungan-gabungan jelajah
harian suatu kelompok. Sedangkan Alikodra (2002) mendefinisikan home range
sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar secara tetap karena dapat mensuplai
makanan, minuman, tempat tidur, dan kawin serta mempunyai fungsi sebagai
tempat berlindung. Selanjutnya dinyatakan bahwa ukuran dan kestabilan home

range bervariasi menurut sumber dan jenis makanan, topografi, kepadatan
populasi, predator, dan ukuran kelompok.
Pola penggunaan ruang dan waktu sangat penting untuk diketahui oleh semua
pihak terutama pada satwa-satwa prioritas yang dilindungi dan terancam punah.
Para pihak dapat melakukan pengelolaan berdasarkan pola penggunaan ruang dan
waktu satwa sehingga satwa dapat dengan aman hidup dan manusia tidak merasa
terganggu akibat dari keberadaan satwa.
B.

Tujuan

Tujuan umum pola penggunaan ruang dan waktu satwa yaitu:
1.

Mengetahui wilayah jelajah, core area dan territory satwa.

2.

Mengetahui pola kegiatan harian satwa.


3.

Sebagai dasar pengelolaan dan pemantauan satwa.

II.
A.

PEMBAHASAN

Definisi Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

Menurut Legay dan Deboazie (1985); Santosa (1990) dalam Alita (1993), pola
penggunaan ruang merupakan suatu keseuruhan interaksi antara satwa dengan
habitatnya. Daerah jelajah merupakan daerah pergerakan normal satwa dalam
melakukan aktivitas rutinnya. Core Area merupakan bagian dari home range yang
sering dipergunakan dan dengan keteraturan yang lebih besar dibandingkan
dengan bagian lainnya. Territory adalah suatu daerah yang dipertahankan terhadap
serangan dari luar (Chalmers,1980). Didalam hal ini, mobilitas dan luas serta
komposisi daerah jelajah merupakan tiga parameter yang lebih banyak digunakan
sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar.

Mason (1968) dan Bates (1970) diacu dalam Rinaldi (1992) menyatakan bahwa
home range atau wilayah jelajah merupakan areal yang diliputi oleh gabungangabungan jelajah harian suatu kelompok. Sedangkan Alikodra (2002)
mendefinisikan home range sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar secara
tetap karena dapat mensuplai makanan, minuman, tempat tidur, dan kawin serta
mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung. Selanjutnya dinyatakan bahwa
ukuran dan kestabilan home range bervariasi menurut sumber dan jenis makanan,
topografi, kepadatan populasi, predator, dan ukuran kelompok. Alikodra (1990)
menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi yaitu posisi jarak antar pohon
berjauhan, selain itu faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan satwa liar
adalah ketersediaan makanan, predator, dan waktu berkembang biak. Setiap jenis
satwa menunjukan pola kegiatan harian yang tertentu yang telah terpola secara
alami seperti makan, bergerak, istirahat, menelisik dan kegiatan sosial lainnya.
C.

Parameter Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

1.

Parameter Pola Penggunaan Ruang


Ada dua hal yang menentukan perilaku pergerakan satwaliar yaitu fungsi primer
dan sekunder. Fungsi primer adalah faktor-faktor primer yang mendorong satwa
untuk bergerak agar kebutuhan fisiologisnya terpenuhi, seperti rasa lapar, haus,
dan motivasi seksual. Oleh karena itu distribusi pakan, air dan perkawinan diduga
menjadi penentu utama dari penggunaan suatu tempat. Fungsi sekunder sendiri
adalah faktor-faktor yang memodifikasi penggunaan ruang dapat mencakup
sekurang-kurangnya variasi mikro-klimat suatu tempat, keadaan medan, resiko
bertemu predator atau jenis yang sama dan resiko terkena penyakit (Gunawan,
1997). Mobilitas dan daerah jelajah merupakan parameter yang lebih banyak
digunakan sebagai indikator dari strategi pemanfaatan ruang oleh satwaliar
(Santosa, 1990),
Parameter pergerakan harian satwa yang menjadi obyek pengamatan meliputi tiga
aspek yaitu panjang jelajah kelompok satwa target yang dilakukan dalam waktu
aktifnya setiap hari dari mulai meninggalkan lokasi tidur sampai ke lokasi tidur
selanjutnya, jarak terjauh dari rute jelajah harian, dan perbedaan jarak antara
pohon tempat semula dengan tempat tidur pada malam berikutnya (Chivers 1980,

Bismark 1987) diacu dalam Zanuansyah (2013). Parameter dalam menganalisis
Pola Penggunaan ruang pada satwa arboreal yaitu:
a.

Jenis pohon dan posisi ketinggian satwa target di atas pohon
b.

Jenis, bagian-bagian pohon yang dimakan

c.

Lama waktu melakukan aktivitas

d.

Waktu melakukan setiap jenis aktivitas

e.

Pola pergerakan

f.

Komposisi vegetasi secara umum dan vegetasi pakan


1.

Parameter Pola Penggunaan Waktu

Analisis pola penggunaan waktu pada satwa dengan memperhatikan perilaku
satwa mulai dari bangun pagi dan keluar dari sarang sampai dengan aktivitas
terakhir pada sore hari yang ditandai dengan istirahat atau selesai membuat sarang
atau memasuki sarang. Parameter yang digunakan untuk menganalisis pola
penggunaan waktu yaitu:
a.
b.
D.

Alokasi penggunaan waktu dalam aktivitas pada waktu tertentu dan secara
keseluruhan.
Sebaran temporal aktivitas satwa.
Data yang Dikumpulkan dalam Analisis Pola Penggunaan Ruang dan
Waktu


Data yang dikumpulkan dalam analisis pola penggunaan ruang dan waktu satwa
yaitu:
a.
b.
c.
d.

A.

Perilaku satwa dari bangun tidur sampai tidur lagi pada pembagian waktu
tertentu.
Pergerakan satwa.
Nama spesies, jumlah jenis dan individu setiap jenis, diameter batang pada
tiang dan pohon, tinggi bebas cabang pada tiang dan pohon, Tipe vegetasi
Data sekunder meliputi data kondisi fisik (letak dan posisi geografis, iklim,
jenis tanah dan topografi lokasi penelitian, data kondisi biotik (flora dan
fauna, serta data lain yang menunjang pembahasan
Metode Pengumpulan Data dalam Analisis Pola Penggunaan Ruang
dan Waktu


Sebelum melakukan pengumpulan data dalam menganalisis pola penggunaan
ruang dan waktu satwa, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu survey pendahuluan.
Pengamatan pendahuluan untuk menemukan jenis satwa yang akan menjadi fokus
kajian dan Penyesuaian kondisi lapangan agar satwa target terbiasa dengan
kehadiran pengamat. Baru selanjutnya dilakukan pengumpulan data sesuai dengan
metode yang telah direncanakan.

1.

Metode Pengumpulan Data dalam Analisis Pola Penggunaan Ruang

a.

Data Vegetasi dan Diagram Profil

Tujuan pengambilan data vegetasi adalah mengetahui komposisi dan dominasi
suatu jenis vegetasi satwa target di lokasi penelitian. Data vegetasi menggunakan
metode kuadrat berpetak ganda. Pengambilan unit contoh yang dibuat berdasarkan
aktivitas satwa target di setiap tipe habitat. Diagram profil berguna untuk
menyimpulkan suatu hubungan antara derajat kelimpahan satwa dengan tipe

habitatnya.
Analisis Vegetasi untuk mengetahui susunan dan bentuk vegetasi pada setiap tipe
habitat dengan membuat jalur contoh yang dibuat memotong garis kontur. Data
vegetasi diperoleh melalui analisis vegetasi dengan metode Petak Tunggal.
Parameter yang diukur yaitu nama spesies, jumlah individu, diameter pohon pada
ketinggian setinggi dada pada habitus pancang, tiang dan pohon. Diagram profil
berguna untuk menyimpulkan suatu hubungan antara derajat kelimpahan satwa
dengan tipe habitatnya

Gambar 1. Bentuk dan Ukuran petak pengamatan analisis vegetasi dengan
metode petak tunggal
b.

Wilayah jelajah

Data penggunaan ruang diperoleh dengan cara manual melalui mengamati
perilaku dan pola pergerakan satwa, serta jalur lintasan dan wilayah jelajah
individu tertentu dengan metode pencatatan Continuous recording. Pencatatan
posisi satwa target dilakukan dengan metode Absolute positioning menggunakan
GPS pada saat satwa target melakukan aktivitas pada titik tertentu. Pengamatan

individu berdasarkan kelas umur (anak, muda/remaja dan dewasa) dengan
pengulangan sebanyak 5 kali. Data yang dicatat adalah tipe aktivitas yang
dilakukan individu sampel selama waktu pengamatan (frekuensi dan lama), tipe
vegetasi dan karakteristik fisik habitat yang dipakai pada waktu melakukan
aktivitas, serta posisi satwa saat melakukan aktivitas (penandaan menggunakan
GPS). Panjang lintasan diukur dari jalur lintasan dengan menghubungkan titi-titik
posisi lintasan satwa sedangkan luasan wilayah jelajah harian dengan
menghubungkan titik-titik terluar lintasan harian yang membentuk polygon
tertutup. Ada beberapa metode untuk mengukur home range dari satwaliar,
diantaranya adalah:

1)
2)
3)

Metode poligon, penilaian berasal dari peripheral point atau berasal dari
jarak point terjauh.
Metode pusat aktifitas, penilaian berasal dari prediksi bentuk parametrik
fungsi distribusi, dan mencocokkannya dengan aktifitas atau aktifitas radii
Metode non-parametrik, penilaian berasal dari perkiraan penggunaan fungsi
distribusi
menggunakan
robust
(kepadatan)
penilaian
pada
geografik/koordinat lokasi radio tracking atau lokasi trap.

Metode poligon hanya memberi derajat/nilai wilayah jelajah, namun kedua
metode lainnya memberikan juga penjelasan intensitas penggunaan. Identifikasi
wilayah jelajah satwa dengan menggunakan teknologi tinggi dapat dilakukan
dengan dua alat yaitu GPS Radio Collar dan Radio Telemetri.
1)

Teknik Mengidentifikasi Wilayah Jelajah menggunakan GPS Radio
Collar

Teknik mengidentifikasi wilayah jelajah dengan menggunakan GPS Radio Collar
biasanya dilakukan pada satwa yang berkelompok dan memiliki wilayah jelajah
yang luas. Pelaksanaannya dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama
adalah mengidentifikasi dan menentukan satwa target yang akan dipasangkan alat
GPS Radio Collar. Satwa target selanjutnya dibius menggunakan alat bius dan
penangkapan untuk dilakukan pemasangan GPS radio collar dan penyadaran
(recovery). Selanjutnya satwa target yang sudah dipasang alat, diamati dengan alat
receiver radio collar sehingga mampu mendeteksi sinyal dari GPS radio collar
(receiver akan menerima frekuensi gelombang GPS radio collar dengan jarak
maksimal 2 km). Monitoring dilakukan dengan metode triangulasi, untuk
kemudian dicatat kondisi habitat yang dilewati gajah mengacu pada tally sheet
monitoring. Monitoring, dilakukan s untuk melihat kondisi habitat serta jalur yang
digunakan oleh gajah, monitoring juga bertujuan untuk data tambahan apabila
GPS collar tidak beroperasi.
2)

Teknik Menggunakan Bearing Radio Telemetri

Teknik lain untuk mengidentifikasi wilayah jelajah satwa dapat diperoleh dengan
menggunakan metode teknologi tinggi seperti, telemetri radio, telemetri satelit
atau tracking menggunakan GPS. Dalam kasus pengamatan menggnakan metode
teknologi tinggi, telemetri radio menggunakan frekuensi yang tinggi, yaitu VHF,
30-300Mhz. Pemancar yang digunakan dapat berbentuk collar, backpack, maupun
foot band atau perangkat lain yang mentriangulasi posisinya menggunakan
ground-based atau antenna dan pemancar. Telemetri radio memungkinkan
pemantauan hewan dengan jarak yang cukup jauh. Pengamatan dengan metode ini
lebih akurat dibandingkan dengan pengamatan secara langsung, namun jumlah
lokasi yang diperoleh oleh pemancara VHF masih dibatasi oleh waktu dan untuk
melakukan pelacakan posisi hewan. Triangulasi loasi dari satu individu satwa
membutuhkan perolehan setidaknya tiga, empat atau lebih bearing antara receiver
dan transmitter.

Gambar 2. Triangulasi dari lokasi satwa menggunakan 3 bearing radio telemetri
2.

Metode Pengumpulan Data dalam Analisis Pola Penggunaan Waktu

a.

Aktivitas harian

Pengamatan Perilaku terhadap kegiatan satwa target selama sehari penuh dari
awal bangun tidur sampai satwa target tidur kembali. Tekniknya dengan cara
mengambil data perilaku melalui pembagian kategori waktu aktivitas satwa target,
pengamatan karakteristik daerah jelajah (tipe vegetasi) dan posisi individu dalam
ruang dengan menggunakan GPS berdasarkan kategori ketinggian tempat, Data
ritme individu aktif untuk mendapatkan gambaran rutinitas aktivitas pada selang
waktu yang konstan atau temporal, serta penggunaan waktu harian untuk
mengetahui alokasi waktu satwa target dalam beraktivitas.
Pengamatan aktivitas yang umum seperti aktivitas makan, berpindah tempat,
istirahat, dan sosial dengan menggunakan metode Focal animal sampling (Altman
1974 dalam Kartikasari 1986) yaitu metode pengamatan yang dilakukan untuk
mencatat obyek satwa yang menjadi fokus pengamatan dengan cara memilih salah
satu individu dalam suatu kelompok dalam jangka waktu atau periode tertentu.
Pengamatan dilakukan pada individu atau populasi satwa target dengan cara
berselang, dan menjaga jarak dengan satwa target yang diikuti untuk menghindari
gangguan aktivitas hariannya. Jarak pengamat dengan satwa tergantung pada
posisi satwa dan kondisi topografi. Pencatatan aktivitas setiap individu/kelompok
satwa dilakukan dengan cara continuous recording untuk mencatat aktivitas yang
terjadi baik frekuensi maupun durasi aktivitas tersebut. Aktivitas yang diamati
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Aktivitas makan yaitu aktivitas yang meliputi pencarian makan, pemilihan
makan, memasukan ke mulut, mengunyah dan di ikuti dengan menelan.
Aktivitas berpindah yaitu kegiatan pengembaraan atau perjalanan, berpindah
dari satu pohon ke pohon lain.
Aktivitas istirahat, meliputi diam di posisi/tempatnya dan tidur.
Aktivitas sosial meliputi bermain, berkutu-kutuan, kawin, serta konflik
dengan anggota kelompok atau jenis satwa lain.

E.

Metode Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

1.

Metode Analisis Pola Penggunaan Ruang

a.

Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan dominansi suatu
jenis vegetasi pada suatu komunitas. Indeks Nilai Penting (INP) menggambarkan
kedudukan ekologis suatu jenis dalam komonitas dengan kata lain INP digunakan
untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainya. INP yang dihitung
berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR),
dan Dominasi Relatif (DR) berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (2005):
Kerapatan, KR, Dominansi, DR, Frekuensi, FR, INP Tumbuhan Bawah, INP
Tiang dan Pohon.
jumlah individu suatu jenis (ind)
ind
Kerapatan jenis
=
ha
luas total petak contoh(ha)

( )

Kerapatan relatif ( ) =

Kerapatan suatu jenis
× 100
kerapatan seluruh jenis
2

2
luas bidang dasar suatu jenis (m )
m
Dominansi
=
ha
luas petak contoh(ha)

( )

Dominansi Relatif ( )=
Frekuensi=

Dominansi suatu jenis
x 100
Dominansi Seluruh Jenis

jumlah petak contohdiemukan suatu jenis
jumlah total petak contoh

Frekuensi relatif ( ) =

frekuensi su atu jenis
×100
frekuensi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting ( INP ) =KR+ DR+ F R

Kemudian untuk mengetahui keragaman jenis digunakan indeks keanekaragaman
Shannon Wiener (Pileou 1969; Magurran 1988) dan Indeks Kemerataan Hulbert
(1971):
1)

Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener (H’)
S

H ' =∑ ¿ ln ¿
N
i=1 N

( ) ( )

Keterangan:
H’
= Indeks Shannon
Ni
= Jumlah individu atau nilai penting jenis ke-i
S
= Jumlah total spesies yang ditemukan
N
= Total individu atau nilai penting seluruh jenis

2)

Indeks Kemerataan (Evenness)
Evenness
Keterangan:
Evenness

D
Dmax
= Nilai kemerataan (antara 0-1)

D= Nilai Indeks Keanekaragaman Hasil Pengamatan
D max
= Nilai Maksimum Indeks Keanekaragaman

Untuk mengetahui urutan preferensi jenis pakan digunakan nilai indeks Neu
(Bibby et al, 1998). Jika indeks seleksi (preferensi) lebih dari 1, maka jenis pakan
yang bersangkutan disukai karena penggunaan lebih besar daripada ketersediaan.
c.

Analisis Wilayah Jelajah

Analisis wilayah jelajah biasanya dengan menentukan terlebih dahulu satwa target
yang memiliki perilaku yang identik melakukan pergerakan berpindah tempat
untuk mencari pakan, minum, cover dan menghindari mangsa. Namun demikian
perlu diperhatikan dalam penentuan satwa target tersebut agar tidak terjadi salah
penentuan sehingga tidak terjadi keraguan apakah satwa tersebut memiliki
wilayah jelajah atau teritori atau tidak. Atau pada individu satwa tertentu dalam
suatu populasi sulit menentukan individu mana yang dominan dan memimpin
pergerakan kelompoknya. Pada kasus tersebut dapat dilakukan analisis
menggunakan Reformulasi indeks Mitani-Rodman untuk membuktikan apakah
suatu individu satwa merupakan satwa tertori atau satwa non teritori. Mitanirodman berpendapat bahwa kemampuan pertahanan khussnya pada kelompok
primata dari suatu wilayah terkait dengan frekuensi dimana suatu kelompok dapat
memonitor range dari penyusup. Range tersebut dihitung dengan rumus:

Keterangan:
D adalah indeks kemampuan pertahanan, d merupakan panjang perjalanan dalam sehari (km)
dan A merupakan area dari homerange (km 2). Mitani-rodman menemukan bahwa semua spesies
yang memilki daerah pertahanan memiliki nilai D >1. Namun, sebaliknya tidak semua spesies
non-teritori memiliki nilai D < 1.

Wilayah jelajah masing-masing kelompok satwa target dianalisis secara kuantitatif
dan deskriptif kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui luas
wilayah jelajah, dan panjang jelajah. Perhitungan luas wilayah jelajah dilakukan
dengan menggunakan analisis Minimum Convex Polygon (MCP). MCP merupakan
wilayah terkecil berbentuk konveks di mana di dalamnya terdapat titik-titik lokasi
satwa selama periode pengamatan dengan membentuk garis-garis poligon yang
menghubungkan titik-titik terluar dari semua catatan lokasi satwa tersebut. Analisis
wilayah jelajah dilakukan dengan bantuan program komputer ArcView GIS 3.2
(ESRI) atau ArcGIS yang dilengkapi “Projection Utility Wizard” dan “XTools”.
Selanjutnya data faktor-faktor lingkungan yang memengaruhi luas wilayah jelajah
satwa dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk test dilanjutkan uji signifikansi t-test
dan Mann-whitney U-test.
Analisis deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai wilayah
jelajah masing-masing individu/kelompok satwa yang diteliti berupa gambar dan
tabel berdasarkan pengamatan langsung di lapangan. Parameter yang di ukur
meliputi:
1)
2)

Jelajah harian (Daily range) yaitu panjang jelajah kelompok lutung yang
dilakukan dalam waktu aktifnya setiap hari dari mulai meninggalkan lokasi
tidur sampai ke lokasi tidur selanjutnya.
Radius maksimum merupakan jarak terjauh dari rute jelajah harian.

3)

Jarak posisi bermalam (Night Position Shift) merupakan perbedaan jarak
antar pohon tempat semula dengan tempat tidur pada malam berikutnya.

Pendugaan wilayah jelajah juga dapat dilakukan dengan Estismasi kerapatan
kernel (EKD). EKD merupakan perhitungan statistic non parametrik dari
smoothing data dan analisis pola titik. Metode ini merupakan metode yang paling
banyak digunakan dalam mengestimasi homerange. EKD menggunakan rumus:
n

f ( x )=

1
x− Xi
K
2∑
h
nh i=1

(

)

n : titik data (X1, X2, ...., Xn)
h : smoothig parameter
K : Kernel

Gambar 3. Bentuk Estimasi Wilayah Jelajah Populasi
Estimasi kerapatan kernel yang digunakan untuk estimasi home range (kontur
95%) dan area inti (50%) satwa dari lokasi pengambilan sampel.
Kernel Gaussian:

¿
¿
K ( y )=¿
Rumus HREF (apabila data tidak tersebar normal):
−1

HREF=n 6 σ X , Y
Untuk menghitung error dari data sampel menggunakan integrated squared error
(ISE):

f
¿
x
( x ) −f (¿)
¿
¿^
ISE=∫ ¿
Mean integrated squared error (MISE), MISE merupakan integrase dari mean
kuadrat error antar distribusi perkiraan dan distribusi yang sebenarnya pada setip
titik didalam grid.
x
^f ( x )−f ¿
¿
¿2
E¿
MISE ( h )=∫ ¿
Dimana E merupakan kerapatan harapan.
Asymptotic mean integrated squared error (AMISE)
AMISE ( h )=
Dimana

R( K ) 1 4 4
+ σ K h R(f '' )
nh
4

f ''

f)
R¿
R( K ) merupaka integral dari

merupakan derivative kedua dari kerapatan underlaying,

merupakan integral dari derivative kedua dan
fungsi kernel

Selanjutnya adalah Unbiased cross-validation (UCV), disebut juga sebagai
validasi kuadrat silang. UCV menghitung estimasi kerapatan bivariate dengan
rumus:
2√π
¿
¿
¿ 2(n−1)h1 h2
¿
1
UCV ( h1 , h2 )=
¿
n

×∑ ∑
i=1 j ≠ i

[ {

2

}

{

2

−1
−1
2
2
exp
∆ ijk −4 exp
∆ijk


4 k=1
2 k=1

2
Dimana ∆ijk =

( x ik x jk )
hk

}]

Bias Cross-validation (BCV) memiliki pendekatan yang sama dengan UCV yang
berbeda hanyalah BCV meminimalkan angka dari AMISE. BCV memiliki
beberapa formulasi. Formulasi yang digunakan adalah BCV2. Nilai BCV2
dgunakan untuk mengestimasi kepadatan bivariate dengan asumsi gernel Gaussian
dengan paramaeter smoothing yang berbeda untuk setiap dimensi:

Dimana ∅ adalah nilai standar kerapatan normal

3.

Metode Analisis Pola Penggunaan Waktu

a.

Analisis aktivitas harian

Pengamatan aktivitas yang umum seperti aktivitas makan, berpindah tempat,
stirahat, dan sosial dengan menggunakan metode Focal animal sampling (Altman
1974 dalam Kartikasari 1986) yaitu metode pengamatan yang dilakukan untuk
mencatat obyek satwa yang menjadi fokus pengamatan dengan cara memilih salah
satu individu dalam suatu kelompok dalam jangka waktu atau periode tertentu.
Pengamatan dilakukan pada dua kelompok lutung jawa dengan cara berselang,
dan menjaga jarak dengan lutung jawa yang diikuti untuk menghindari gangguan
aktivitas hariannya. Jarak pengamat dengan lutung jawa tergantung pada posisi
lutung jawa dan kondisi topografi. Pencatatan aktivitas setiap individu kelompok
lutung jawa dilakukan dengan cara continuous recording untuk mencatat aktivitas
yang terjadi baik frekuensi maupun durasi aktivitas tersebut. Pengamatan dimulai
pada pukul 05.30-18.00 WIB atau pada saat lutung mulai bangun dari pohon
tidurnya sampai memasuki pohon tidurnya lagi. Aktivitas yang diamati adalah
sebagai berikut:
1.
Aktivitas makan yaitu aktivitas yang meliputi pencarian makan, pemilihan
makan, memasukan ke mulut, mengunyah dan di ikuti dengan menelan.
2.
Aktivitas berpindah yaitu kegiatan pengembaraan atau perjalanan, berpindah
dari satu pohon ke pohon lain.
3.
Aktivitas istirahat, meliputi diam di posisi/tempatnya dan tidur.
4.
Aktivitas sosial meliputi bermain, berkutu-kutuan, kawin, serta konflik
dengan anggota kelompok atau jenis satwa lain.
Analisis aktivitas harian digunakan untuk menjelaskan aktivitas harian lutung
jawa seperti aktivitas makan, berpindah tempat, istirahat, dan sosial. Analisis
menggunakan deskriptif dan kuantitatif. Secara deskriptif untuk menggambarkan
seluruh jenis aktivitas satwa target yang dijumpai, secara kuantitatif untuk
menjelaskan hubungan intensitas atau lamanya aktivitas yang dijumpai menurut
tipe habitatnya. Hubungan-hubungan tersebut diantaranya: Proporsi jenis aktivitas
dan waktu aktivitas dengan proporsi posisi dalam ruang. Dihitung persentasenya
dan digambarkan dalam bentuk histogram dengan menggunakan tabel dan grafik.
Perhitungan persentase aktivitas harian dilakukan dengan menggunakan rumus:
Persentase aktivitas i (%) =
Keterangan:

d.

Waktu Aktivitas i
x 100
Total Waktu Aktivitas

i = jenis aktivitas

Analisis Hubungan antara Perilaku dengan Habitat

Analisis Perilaku untuk mengetahui hubungan habitat dengan perilaku satwa
target menggunakan uji Chi Square terkait dengan (1) Jenis aktivitas dengan
posisi dalam ruang (ketinggian pada pohon/vegetasi), (2) Jenis aktivitas pada
posisi tertentu dalam ruang dengan waktu, serta (3) jenis aktivitas dengan waktu.
Hipotesa yang diuji adalah:

1)
2)
3)
4)
5)
6)

Hipotesa (H°) = Tidak ada hubungan antara aktivitas tertentu dengan
ketinggian pohon
Hipotesa Alternatif (H1) = Ada hubungan antara aktivitas tertentu dengan
ketinggian pohon
Hipotesa (H0) = Penggunaan waktu oleh semua individu adalah sama
Hipotesa Alternatif (H1) = Penggunaan waktu oleh semua individu adalah
tidak sama
Hipotesa (H0) = Penggunaan waktu oleh semua individu pada setiap kelas
ketinggian pada pohon adalah sama.
Hipotesa Alternatif (H1) = Penggunaan waktu oleh semua individu pada
setiap kelas ketinggian pada pohon adalah tidak sama

Untuk menguji hipotesis nol (H0) dengan cara menghitung semua frekuensi
harapan bagi setiap sel menggunakan rumus:

B.

Contoh Analisis Pola Penggunaan Ruang dan Waktu

1.

Orangutan yang Menjadi Obyek Penelitian

Berdasarkan survey pendahuluan, dijumpai lima ekor orangutan dengan
komposisi umur dan jenis kelamin: dua ekor jantan dewasa, satu ekor betina
dewasa, satu ekor betina dewasa induk, dan satu ekor jantan anak yang
selanjutnya akan menjadi fokus penelitian. Untuk mempermudah penyebutan
selanjutnya, masing-masing orangutan diberi nama. Orangutan dan jumlah jam
pengamatan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah jam pengamatan orangutan di Mentoko, TN Kutai

4.

Komposisi Vegetasi

Berdasarkan analisis vegetasi didapatkan 51 jenis pohon yang tercakup dalam 25
famili, 36 jenis tiang dari 19 famili dan 39 jenis pancang dari 22 famili. Jenis
pohon yang paling banyak ditemukan di habitat orangutan adalah ulin
(Eusideroxylon zwageri) dan merupakan jenis tumbuhan dengan INP terbesar
yaitu 21,59, sengkuang (Dracontomelon dao), laban (Vitex pubescens), medang

(Litsea sp.), bayur (Pterospermum diversifolium), maligara (Dillenia borneensis),
katan (Dysoxylum sp.), kenanga (Cananga odorata), simpur (Dillenia excelsa),
dan teja (Ptenandra sp.). Kerapatan pohon di habitat orangutan adalah 167
pohon/ha dengan indeks keanekaragaman jenis 3,75 dan indeks kemerataan 0,95.
5.

Pola Penggunaan Ruang

a.

Sebaran Spasial Aktivitas pada Struktur Vertikal

Aktivitas orangutan lebih banyak dilakukan pada ketinggian antara 20-30 m dari
permukaan tanah (Gambar 1). Dewi, hampir 82,58% dari seluruh waktu aktivitas
hariannya dilakukan pada ketinggian ini, sedangkan aktivitas pada ketinggian di
bawah 20 m dan di atas 30 m masing-masing sebesar 17% dan 0,27%. Demikian
juga dengan Ayu sebanyak 80,43% pada ketinggian 20-30 m, 19% pada
ketinggian di bawah 20 m, dan tidak pernah dijumpai pada ketinggian di atas 30
m. Selanjutanya Dewa, sebesar 79%, 20%, dan 0,83%, Surya sebesar 76%, 22%,
dan 2%, Tole sebesar 72%, 28%, dan sama seperti induknya, tidak pernah
dijumpai beraktivitas pada ketinggian di atas 30 m.

Gambar 4. Proporsi waktu aktivitas berdasar periode pengamatan

Gambar 5. Proporsi waktu aktivitas berdasar ketinggian tempat

Pada Gambar 4 terlihat bahwa aktivitas orangutan terdistribusi secara tidak
merata pada masing-masing ketinggian yaitu pada ketinggian di bawah 20 m,
antara 20-30 m, dan pada persentase yang sangat kecil pada ketinggian di atas 30
m. Pada aktivitas makan, proporsi waktu terbanyak dijumpai pada ketinggian 2030 m di atas permukaan tanah. Berkisar antara 75-88% aktivitas makan dilakukan
pada ketinggian ini, sedangkan pada ketinggian di bawah 20 m hanya berkisar 1225%. Demikian juga dengan aktivitas beristirahat lebih banyak dijumpai pada
ketingian tertentu. Berkisar 81-96% aktivitas isirahat dijumpai pada ketinggian
20-30 m. Sisanya sebesar 2-19% pada ketinggian di bawah 20 m. Pada ketinggian
di atas 30 m tercatat hanya Surya yang dijumpai dengan persentase waktu 2%.
Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat signifikansi 0,05 terbukti bahwa ada
hubungan antara ketinggian tempat dengan jenis aktivitas orangutan. Nilai khikuadrat Х2 hitung = 58,22, sedangkan dengan derajat bebas (df) = 8 dan tingkat
signifikansi 0,05 nilai Х2 tabel adalah 15,507 yang menunjukkan bahwa
ketinggian tempat berpengaruh nyata terhadap aktivitas orangutan. Tempat pada
pohon yang paling disukai untuk beraktivitas adalah pada ketinggian 20-30 m dari
permukaan tanah (72,01-82,58%). Demikian juga dengan distribusi jenis aktivitas
dan ketinggian tempat, secara signifikan bahwa aktivitas makan dan istirahat
terjadi secara dominan pada ketinggian 20-30 m.
e.

Pola Pergerakan dan Jarak Jelajah Orangutan

Ayu mempunyai jarak jelajah terpendek di antara orangutan lain yaitu rata-rata
0,74 km per hari, dengan kisaran antara 0,65-0,80 km per hari. Selanjutnya Dewi
dan Dewa mempunyai jarak jelajah rata-rata 0,90 km per hari, dengan kisaran
antara 0,82-1,17 km per hari. Surya mempunyai jarak jelajah rata-rata 0,96 km per
hari, dengan kisaran antara 0,86-1,11 km per hari.
6.

Pohon Tempat Bersarang

Untuk mengetahui jenis pohon yang disukai orangutan sebagai tempat membuat
sarang digunakan asumsi bahwa semakin tinggi frekuensi jenis pohon tertentu
digunakan, maka pohon tersebut semakin disukai. Selanjutnya untuk menganalisis
hubungan antara frekuensi dengan jenis pohon dilakukan dengan pendekatan
Metode Neu’s (indeks preferensi).
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari tujuh jenis pohon yang dijadikan
tempat bersarang selama penelitian, hanya satu jenis saja yang benar-benar
disukai oleh orangutan yaitu pohon kenanga (Canangium odorotum). Hal ini
ditunjukan dengan w > 1, sebagaimana Bibby et al. (1998) dalam Gunawan
(2004) menyatakan bahwa jika w1 > 1, maka pilihan satwa terhadap sesuatu itu
karena satwa menyukainya.
Dengan demikian orangutan memilih pohon kenanga untuk membuat sarang
karena pohon kenanga disukai walaupun jumlah pohon ini relatif sedikit
sedangkan jenis-jenis lain tetap digunakan sebagai tempat untuk membuat sarang
dalam porsi penggunaan yang rendah.

Tabel 2. Indeks Neu’s untuk preferensi jenis pohon tempat bersarang

7.

Perilaku Makan dan Preferensi Makanan Orangutan

Tingkat kesukaan orangutan terhadap jenis makanan dapat diketahui melalui
proporsi waktu yang digunakan untuk memakan suatu jenis makanan. Sesuai
dengan hasil pengamatan, jenis makanan orangutan dapat dibagi menjadi tiga
kategori yaitu buah, daun, kulit kayu (kulit pohon dan liana), dan lain-lain (bunga,
kuncup). Dari semua jenis makanan yang teramati dimakan orangutan, buah
menempati proporsi tertinggi dengan rata-rata persentase 63,2%; selanjutnya daun
26,2%; kulit kayu 8,48%; dan lain-lain 4,5%. Jantan yang belum dewasa
memakan buah yaitu 66%, sedangkan kebiasaan jantan dewasa makan buah yang
dalam porsi sama antara 62-63%. Selanjutnya proporsi untuk daun persentase
tertinggi juga ditempati oleh Tole yaitu 32%, sedangkan orangutan lain berkisar
antara 23-26%. Persentase ini tidak berbeda jauh dengan orangutan di Bahorok, di
antara berbagai jenis makanan menurut Sinaga (1992), buah menduduki
persentase yang tertinggi dengan rata-rata 55,6%, menyusul daun 35,3%, dan
sisanya untuk jenis makanan lain. Menurut Meijaard dan Rijksen (1999), di
habitat yang berkualitas baik, antara 57% (jantan) dan 80% (betina) waktu
makannya dihabiskan untuk memakan buahbuahan.
8.

Pola Penggunaan Waktu

Lama waktu aktif rata-rata harian orangutan adalah 12 jam 7 menit dengan kisaran
antara 11 jam 42 menit sampai 12 jam 40 menit. Dewa, rata-rata lama waktu aktif
hariannya adalah 12 jam 10 menit, Surya selama 12 jam 12 menit, Dewi selama
12 jam 12 menit, dan Ayu beserta anaknya selama 12 jam 11 menit.

a.

Alokasi Penggunaan Waktu Harian

Proporsi waktu aktivitas makan Dewi paling tinggi dibanding orangutan lain yaitu
46%, beristirahat 43%, dan bergerak 10%. Selanjutnya Dewa persentase aktivitas
makan 46%, bergerak 13%, beristirahat 31%. Ayu mengalokasikan waktunya
untuk makan sebesar 45%, istirahat 44%, bergerak 10%. Surya, aktivitas makan
sebesar 44%, istirahat 42%, dan bergerak 11%. Tole, aktivitas makan sebesar
41%, istirahat 36%, bergerak 11%, dan 20% untuk bermain.
Persentase waktu makan, bergerak, dan berisirahat orangutan di Mentoko
menunjukkan perbedaan yang relative kecil. Misalnya rata-rata proporsi waktu
untuk makan adalah 47% dengan kisaran antara 41% pada Tole sampai 46% pada
Dewi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rodman (1973) di Kutai yang
menyatakan bahwa persentase aktivitas makan orangutan adalah 46%. Di
Bahorok, jantan pra dewasa menghabiskan waktunya untuk makan dalam sehari
50%, jantan dewasa 39%, dan induk betina 32% (Sinaga, 1992). Menurut
Djojosudharmo (1978) orangutan di Ketambe rata-rata aktivitas makan berkisar
antara 4,6-7,6 jam setiap hari.
Pada siang hari aktivitas yang dominan adalah beristirahat, kondisi cuaca yang
cenderung panas pada siang hari menyebabkan orangutan mengurangi aktivitas
makan dan bergerak. Berdasarkan lama keaktifan hariannya, orangutan di
Mentoko menghabiskan waktu rata-rata 12 jam 10 menit dengan kisaran antara 11
jam 27 menit sampai 12 jam 38 menit. Permulaan keaktifan orangutan berada
pada kisaran jam 05.35-06.41, sedangkan mengakhiri aktivitasnya pada sore hari
berada pada kisaran jam 17.44-18.25. Hasil penelitian Sinaga (1992)
menyebutkan bahwa orangutan di Bahorok menghabiskan waktu rata-rata 12 jam
25 menit dengan kisaran 12 jam 22 menit sampai 12 jam 58 menit, sedangkan
Djojosudharmo (1978) menyebutkan bahwa orangutan di Ketambe memulai
keaktifan harian sejak jam 06.00 dan diakhiri jam18.00.
Berdasarkan uji khi-kuadrat pada tingkat signifikansi 0,05 menunjukkan tidak
adanya perbedaan dalam penggunaan waktu oleh masing-masing individu. Nilai
khi-kuadrat Х2 hitung = 6,763, sedangkan dengan derajat bebas (df) = 8 dan
tingkat signifikansi 0,05 nilai Х2 tabel adalah 15,507. Karena Х2 hitung lebih kecil
dari Х2 tabel, menunjukkan bahwa secara statistik, dalam pengalokasian waktu
untuk aktivitas makan, bergerak, dan istirahat tidak ada perbedaan yang
signifikan. Proporsi rata-rata aktivitas makan sebesar 44,65%, untuk istirahat dan
bergerak masing-masing 41,9% dan 11,4%. Berdasarkan penelitian terhadap
orangutan di Bahorok, Sinaga (1992) melaporkan bahwa jantan dewasa, waktu
untuk aktivitas makan sebesar 39,2% dan istirahat 41,6%. Aktivitas makan betina
induk 32,5% dan istirahat 52,3%, sedangkan jantan pra dewasa, aktivitas makan
sebesar 50,4% dan istirahat 23,3%.
f.

Sebaran Temporal Aktivitas

Sebaran temporal aktivitas dipengaruhi oleh distribusi sumber pakan dalam hutan.
Apabila di sekitar sarang terdapat pohon buah, biasanya aktivitas makan akan
dimulai sesaat setelah orangutan bangun tidur, namun apabila tidak terdapat
pohon buah, maka orangutan akan bergerak mencari sumber pakan terdekat.

Aktivitas makan paling tinggi terjadi pada pagi, sedangkan pada siang hari
orangutan lebih banyak menggunakan waktunya untuk istirahat. Sebaran temporal
aktivitas terdistribusi secara tidak teratur sepanjang waktu pengamatan, namun
pada masing-masing individu maupun antar individu secara temporal aktivitasnya
terpola sepanjang hari.

KESIMPULAN
Pola Penggunaan Ruang satwa tergantung pada wilayah jelajah, core area dan
territory serta tumbuhan yang berfungsi sebagai sumber pakan atau cover bagi
satwa. Identifikasi penggunaan ruang satwa pada umumnya dilakukan secara
manual dengan mengamati pergerakan dan aktivitas satwa beserta data pendukung
seperti kondisi fisik, biotik dan data pendukung lainnya. Pola penggunaan waktu
satwa berdasarkan aktivitas harian satwa mulai dari bangun tidur hingga tidur
kembali yang memiliki kecenderungan terpola. Hasil analisis pola penggunaan
ruang dan waktu dapat menjadi dasar pengelolaan dan pemantauan satwaliar agar
satwa dapat hidup dengan aman dan manusia tidak merasa terganggu.

DAFTAR PUSTAKA
Santosa, Yanto., Agustinus Krisdijantoro, Machmud Thohari dan Dede Aulia
Rahman. 2011. Analisis Pola Penggunaan Ruang Dan Waktu Orangutan
(Pongo Pygmaeus Pygmaeus Linneaus, 1760) Di Hutan Mentoko Taman
Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam. Vol. 8 No 2: 109-117, 2011.
Giovana, Dendi. 2015. Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Lutung Jawa
(Trachypithecus Auratus Raffles 1821) Di Resort Bama Taman Nasional
Baluran. Institut Pertanian Bogor [Skripsi]. Bogor
Santosa, Yanto., Delfiandi. 2007. Aktivitas Harian Dan Wilayah Jelajah Lutung
Jawa (Trachypithecus Auratus Raffles 1821) Di Resort Bama Taman
Nasional Baluran
Dwi Adhari Nugraha, Haris Gunawan, Khairijon. 2014. Pola Pergerakan dan
Wilayah Jelajah Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatranus Temminck,
1874) Dengan Menggunakan Gps Radio Collar Di Kawasan Tesso Nilo,
Riau. JOM FMIPA Volume 1 No. 2 Tahun 2014.