POTENSI FISIK DAN BUDAYA LOKAL SEBAGAI D (1)

POTENSI FISIK DAN BUDAYA LOKAL
SEBAGAI DAYA TARIK DESA WISATA YANG LESTARI DI YOGYAKARTA
1

2

Anna Pudianti V. Reni Vitasurya
Program Studi Arsitektur
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
e-mail: pudiantianna@yahoo.com, reni792003@yahoo.com

Abstrak
Perkembangan desa wisata adalah trend baru yang saat ini berkembang di kabupaten Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini tidak lepas dari kecenderungan wisatawan yang saat ini lebih banyak
tertarik pada wisata minat khusus seperti menikmati alam bebas dan live in (hidup bersama) dengan warga
dalam suasana tradisional. Sebagai tujuan wisata, potensi fisik merupakan hal penting untuk mendukung
keberlangsungan suatu desa wisata. Unsur alam menjadi dominan, sehingga partisipasi masyarakat untuk
memelihara lingkungan yang asri merupakan kunci utama keberhasilan desa wisata tersebut. Budaya menjadi
faktor pendukung yang memperkuat pelestarian melalui adat dan tradisi warga desa. Pembahasan dalam
tulisan ini akan menilai dengan membuat perbandingan 3 (tiga) contoh desa wisata yang mempunyai unsur
alam sebagai potensi fisik yang didukung budaya local sebagai tradisi untuk memperkuat pelestarian desa.

Tulisan ini memberi gambaran nilai dari karakter lokalitas desa yang diangkat agar tetap menjadi desa wisata
yang lestari dan berkelanjutan.
Kata kunci: desa wisata, potensi alam, budaya lokal, pelestarian.

Pendahuluan
Perkembangan pariwisata beberapa tahun terakhir terlihat peningkatan yang
pesat. Hal ini ditandai oleh beragam obyek unik yang dikunjungi wisatawan. Obyek
unik yang merupakan lingkungan fisik alam ataupun buatan. Jika di perkotaan
banyak ditandai dengan pembangunan wahana wisata buatan dengan ciri
penggunaan teknologi dalam wahana-wahana permainan, maka di perdesaan juga
menjadi obyek wisata yang justru menawarkan lingkungan alam yang masih asli.
Minat kunjungan wisata alam perdesaan terus meningkat dari tahun ke
tahun. (Dinas Pariwisata, Kabupaten Sleman, 2011). Selain itu ada kecendrungan
baru dalam berwisata yang semula berorientasi pada pariwisata massal, yang
menyediakan atraksi wisata yang diminati dan dinikmati umum, saat ini bergeser
ke pariwisata kelompok kecil, yang lebih menekankan pada pengalaman pribadi
secara mendalam sesuai dengan minat kelompok. Obyek wisata lebih ditekankan
pada kedalaman pengalaman yang terkait dengan alam dan budaya. Obyek wisata
yang dituju direncanakan sendiri oleh wisatawan (tailor made) dengan bantuan
atau tanpa bantuan pihak lain (agen perjalanan misalnya).

Kegiatan wisata
semacam ini merupakan wisata minat khusus atau ekowisata (Fandeli, 2000) yang
perkembangannya perlu dicermati secara mendalam.
Ekowisata memang merupakan pengembangan pariwisata yang relatif baru
dikembangkan di Indonesia, walaupun secara internasional sejak Oktober 1999
sebenarnya World Tourism Organization (WTO) telah mengeluarkan “Global Code
of Ethics for Tourism” yang berupaya untuk mendorongan negara-negara di dunia
untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Diantaranya wisata perdesaan
1
2

Staf Pengajar, Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Staf Pengajar, Prodi Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta
1

yang menjadi salah satu bentuk pariwisata berkelanjutan. Indonesia memiliki
potensi keindahan dan kekayaan alam yang bernilai tinggi dalam industry wisata
alam, sehingga ekowisata menjadi hal khusus yang dapat dikembangkan.
(Nugroho, 2011)
Secara historis wisata perdesaan di Indonesia berkembang dengan cara

yang beragam. Ada yang bermula dari ketertarikan terhadap aktifitas pertanian
(seperti contohnya perkebunan salak Turi, perkebunan kopi Tuntang dan
sebaginya). Ada pula yang berawal dari penggalian pengetahuan tentang budaya
yang lebih fokus pada penelitian aktivitas berkehidupan pada suatu masyarakat
terisolir dengan budayanya yang asli dan khas (seperti contohnya Kampung Naga,
Baduy,
kampung Betawi dan sebagainya). Selain itu juga ada yang
perkembangannya diawali dari daerah dengan potensi historis sebagai obyek
utama (seperti Masjid Demak dan Kudus, Sangiran, Borobudur dan sebagainya).
Dalam kelompok ini sebagian besar jenis atraksi wisata yang ditawarkan
merupakan bentuk wisata minat khusus yang berorientasi pada pendidikan. Bentuk
wisata minat khusus ini berkembang dengan obyek kehidupan pada lingkungan
asli seperti di perdesaan sebagai fokus utamanya. Setelah sekian lama
berkembang model wisata ini lebih dikenal sebagai wisata perdesaan.
Yogyakarta sebagai kota budaya dan pendidikan tidak lepas dari pengaruh
trend baru wisata minat khusus tersebut. Obyek wisata berbasis budaya atau yang
biasa disebut desa wisata baru mulai terkumpul datanya sejak tahun 2005 (lihat
table 1). Sejak sekitar tahun 2005 di Sleman memang banyak bermunculan Desa
Wisata baru, yang mengandalkan potensi suasana perdesaan dengan hamparan
sawah, rumah yang sederhana dengan segala kehidupan berciri khas agraris. Saat

ini pengalaman berwisata di desa wisata yang ditawarkan sangat beragam, dari
kesempatan untuk mengalami budaya hidup orang-orang perdesaan dengan
tinggal bersama dalam satu rumah sebagai salah satu anggota keluarga selama
beberapa hari (disebut juga excursion, Royo-Vela, 2009) atau hanya berkunjung
untuk waktu lebih singkat dan mempelajari budaya lokal (disebut juga tourist,
Royo-Vela 2009). Orang-orang desa beraktifitas seperti yang biasa dilakukan
dalam kehidupan sehari – hari dan para wisatawan ikut beraktifitas dengan
penghuni. Aktifitas yang dapat diikuti berupa menanam padi di sawah, memetik
buah-buahan untuk dijual, membuat kerajinan lokal, berkesenian lokal dan
sebagainya. Dari data tabel dibawah ini terlihat pertumbuhan minat masyarakat
untuk menikmati jenis pariwisata model baru ini. Minat pemerintah untuk
mendorong pengembangan desa wisata dapat terlihat dari diadakannya berbagai
lomba dan penghargaan desa wisata. Hal ini ditunjukkan melalui tabel 1 berikut ini.
Tabel 1: Jumlah Wisatawan Obyek Desa Wisata di Sleman
ASAL WISATAWAN
TAHUN
JUMLAH
DOMESTIK
ASING
2005

40.055
384
40.439
2006
34.964
1.880
36.844
2007
30.557
607
31.164
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Sleman, diunduh 2011
2

Mengingat model wisata perdesaan ini merupakan wisata minat khusus yang
dirancang sendiri oleh wisatawan, maka data formal sulit untuk dideteksi karena
sangat tergantung pada ketertiban masing-masing desa wisata dalam mengelola
data kedatangan wisatawan. Walaupun belum ada data formal yang menunjukkan
kecenderungan dari tahun 2008 sampai dengan 2009, namun dari data salah satu
desa wisata terbaik di Sleman yaitu desa Pentingsari, dari tahun 2009 hingga 2011

cukup memperlihatkan kecendungan kenaikan yang sangat pesat (lihat tabel 2).
Desa wisata Pentingsari adalah desa wisata yang baru terbentuk ( diresmikan 15
April 2008). Walaupun relatif baru, prestasi desa wisata ini telah melebihi desa
wisata lainnya. Pertengahan 2008 meraih juara II Tingkat Kabupaten Sleman,
kemudian akhir 2009 menjadi juara I “Alam yang unik dan pelestarian budaya”
mewakili Sleman di tingkat Provinsi DIY. Tahun 2011, desa Pentingsari meraih
penghargaan dari PBB untuk “Pelestarian Alam dan Budaya”. Oleh karena itu desa
Pentingsari ini sedikit banyak dapat memberi gambaran mengenai meningkatnya
minat wisata perdesaan sejak 2008 hingga 2012. Gambaran kenaikan kunjungan
wisatawan dapat dilihat pada table 2 berikut ini.
Tabel 2. Kunjungan Wisatawan di Desa Wisata Pentingsari, Sleman
Tahun
Jumlah
Kenaikan
2008
1.293
- (baru terbentuk)
2009
5.008
287%

2010
9.576
91%
2011
13.156
37%
2012
20.479
56%
Sumber: Data lapangan desa wisata Pentingsari per September 2012, diolah oleh
peneliti Desember 2014
Kabupaten Sleman terletak di wilayah utara Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) yang berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, dengan
Kabupaten Klaten di sebelah timur, dengan Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung
Kidul dan kota Yogyakarta di sebelah selatan, dan berbatasan dengan Kabupaten
Kulon Progo, dan Kabupaten Magelang di sebelah barat.
Keadaan topografi Kabupaten Sleman di bagian selatan relatif datar kecuali
daerah perbukitan di bagian tenggara Kecamatan Prambanan dan sebagian
kecamatan Gamping. Semakin ke utara kondisi tanah semakin miring dan berpusat
ke arah Gunung Merapi. Di wilayah Gunung Merapi sendiri relatif terjal dan

terdapat sekitar 100 sumber mata air. Hampir setengah dari luas wilayah
merupakan tanah pertanian yang subur dengan didukung irigasii teknis di bagian
barat dan selatan, dengan jenis tanah dibedakan atas sawah, tegal, pekarangan,
hutan. Tanah sawah dalam lima tahun terakhir turun rata-rata pertahun 0,96%,
tegalan naik 0,82% dan pekarangan naik 0,31% (Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Sleman, 2007).
Kabupaten Sleman merupakan kawasan strategis bagi Daerah Istimewa
Yogyakarta, karena merupakan kawasan pertanian dan sebagai sumber
3

konservasi air Yogyakarta, namun sekaligus merupakan daerah yang cepat
berkembang karena daerah ini merupakan pusat pendidikan (dengan 39
Perguruan Tinggi di Sleman). Proses urbanisasi terjadi sangat cepat akibat
konversi lahan dari pertanian menjadi permukiman yang dipicu oleh adanya
kampus-kampus sebagai pusat pertumbuhan. Munculnya desa-desa wisata di
sebelah utara Sleman diharapkan dapat membatasi konversi lahan tersebut
mengingat perilaku masyarakat perdesaan yang sangat dimungkinkan akan
mempertahankan keberlanjutan pengembangan potensi wisata yang mereka miliki
(Hwang, 2012). Oleh karena itu fenomena desa wisata ini sangat didukung
perkembangannya oleh pemerintah Kabupaten Sleman.


(a)

(d)

(f)

(b)

(e)

(c)

a. Wisata budaya
“Jathilan” desa
Pentingsari
b. Wisata
pertanian
“Mbajak sawah”
desa

Pentingsari
c. Wisata Agro
“Petik Salak”
desa Garongan
d. Wisata
pendidikan
“Ngolah
Sampah” desa
Sukunan
e. Wisata Fauna
“Teropong
Burung” desa
Ketingan
f. Wisata kerajinan
“Anyam Bambu”
desa Krajan
g. Wisata Lereng
Merapi “Jelajah
Merapi” desa
Turgo


(g)

Gambar 1. Foto Tujuh Jenis Wisata Perdesaan Sleman
(a. wisata budaya, b. wisata pertanian, c. wisata agro, d. wisata pendidikan, e. wisata fauna,
f. wisata kerajinan, g. wisata lereng merapi)
Diolah dari sumber : leaflet desa wisata dan dokumentasi riset, 2014

Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman mengidentifikasi terdapat tiga puluh
tujuh desa wisata di Kabupaten Sleman yang terbagi atas tujuh jenis wisata yaitu
wisata budaya, wisata pertanian, wisata agro, wisata pendidikan, wisata fauna,
wisata kerajinan dan wisata lereng Merapi. Gambaran masing – masing atraksi
wisata dari tujuh jenis tersebut seperti terlihat pada Gambar 1. Potensi yang
berbeda-beda dari ke tujuh jenis wisata tersebut dapat menjadi keunggulan
tersendiri bagi pariwisata Sleman.
Royo-Vela (2009) mengklasifikasikan atraksi wisata menjadi empat
kelompok yaitu atraksi natural (hutan, sungai dan sebagainya), atraksi kesejarahan
(candi, istana, prasasti dan sebagainya), atraksi budaya (atraksi relijius, museum,
4

kerajinan dan sebagainya), dan aktraksi buatan (taman tematik, wahana
permainan dan sebagainya). Desa wisata di Sleman memiliki keempat macam
klasifikasi tersebut dengan fokus obyek menyangkut potensi fisik (alam) dan
potensi budaya. Pertanyaan yang muncul adalah kekhasan apakah sebenarnya
yang dimiliki desa wisata yang ditawarkan?. Jika budaya lokal yang akan menjadi
fokus pembeda, apakah budaya lokal unik yang dimiliki mampu bertahan dari
pengaruh budaya modern yang dapat menyebabkan keunikan budaya akan
menjadi sangat umum dijumpai? Jika kondisi fisik alamnya yang akan ditawarkan,
maka permasalahan lain yang timbul adalah seberapa besar pembeda budaya dan
fisik alam memiliki keunikan dengan daerah lain?.
Dengan memperhatikan pertanyaan tersebut maka tulisan ini bertujuan
untuk melakukan identifikasi elemen fisik yang menjadi ciri khas sebuah desa
wisata khususnya di daerah Sleman dan menganalisis nilai pembeda lokasi
dengan memadukan ciri fisik dengan kekhasan budaya lokalnya, sehingga
keunikan yang akan dibahas di sini adalah keunikan yang berfokus pada fisik dan
budaya lokal.
Permukiman Perdesaan dan Desa Wisata
Menurut Doxiadis (1968) permukiman selalu terkait dengan lima elemen
yaitu manusia (man), masyarakat (society), lingkungan buatan (shell), jaringan
(network) dan sumber daya alam (nature). Permukiman secara garis besar terdiri
atas content dan container (Doxiadis, 1968). Isi dan tempat merupakan satu
kesatuan. Manusia sebagai isi atau content, sedangkan sumber daya alam serta
lingkungan buatan dengan segala aktivitasnya sebagai wadah atau contaniner atau
disebut juga physical settlement. Kesatuan keduanya dalam arti luas adalah bumi
itu sendiri. Manusia juga merupakan bagian dari alam, namun Doxiadis
menempatkan manusia sebagai obyek utama atau pusat dari elemen yang lain.
Oleh karena itu manusia merupakan bagian yang paling utama dalam permukiman.
Definisi desa menurut Rondinelly (1978) dapat dikaitkan dengan luasan,
fungsi utama, fungsi pendukung, besaran dari sisi jarak tempuh, dan jumlah
penduduk yang membedakannya dengan kota. Namun yang paling mendekati
dengan definisi settlement menurut Doxiadis adalah pengertian desa menurut
Adisasmita 2006 yaitu suatu kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan
permukiman, pemerintahan, sosial dan ekonomi. Pengertian tersebut mengandung
wadah atau container menurut Doxiadis. Oleh karena itu pengertian permukiman
perdesaan secara spesifik menyangkut wadah yang memiliki kegiatan atau
aktivitas manusia yang khusus yaitu pertanian.
Pengertian desa wisata adalah keterpaduan akan adanya atraksi,
akomodasi dan fasilitas pendukung yang berada dalam suatu struktur kehidupan
masyarakat dan kehidupan masyarakat menjadi atraksi utamanya. (Nuryanti,1993,
Lane 1994). Aktivitas pariwisata bertumpu pada potensi perdesaan sebagai daya
tariknya (Royo-Vela, 2009). Secara konseptual desa wisata merupakan upaya
diversifikasi ekonomi perdesaan yang mengandalkan pada aktivitas pariwisata
(Barlybaev, 2009). Atraktifitas wisata budaya perdesaan yang ditawarkan
5

menyangkut atraksi alam/natural, historis dan budaya seperti suasana perdesaan
dengan hamparan sawah, rumah yang sederhana dengan segala kehidupan berciri
khas agraris.
Metode kajian yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah membandingkan
kekhasan dari beberapa desa wisata yang menjadi daya tarik utama. Makna wisata
perdesaan sendiri sangatlah beragam dan masih menjadi dilema (Fagence, 1997).
Menurut Royo-Vela, 2006 jika dilihat dari kajian tujuan wisata (destination study)
makna tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan lima fokus yang berbeda
yaitu daur hidup, nilai kontingen, pengalaman wisata, kualitas tujuan, dan citra
tujuan (life cycle, contingent value, tourist experience, destination quality, and
destination image). Jika dikaitkan dengan tujuan makalah ini maka fokus
pembahasan menggunakan dasar kualitas tujuan wisata untuk mengidentifikasi
nilai pembeda obyek wisata. Kualitas dari tujuan wisata perdesaan dapat
dibedakan dengan melihat keunikan obyeknya, yaitu dari ciri fisik dan ciri
budayanya. Keduanya mewakili container dan content (Doxiadis, 1968).
Elemen fisik dianalisis dengan menggunakan dasar genius loci (Trancik,
1986), bahwa setiap tempat memiliki keunikan yang bermakna, untuk menemukan
keragaman dan kesamaan dalam struktur formal desa wisata. Elemen fisik
diidentifikasi dengan melihat 1) lokasi desa wisata 2) topografi lingkungan 3) iklim
lingkungan 4) fasilitas aktifitas wisata 5) keindahan alam dan lingkungan. Elemen
budaya dianalisis dari cara berkehidupan masyarakat desa wisata yang menjadi
obyek utama wisata Sedangkan analisis pembeda dilakukan dengan
menggunakan matriks perpaduan elemen fisik dengan elemen budaya.
Pembahasan akan daya tarik wisata dilakukan dengan membandingkan potensi
perpaduan elemen fisik dan kekhasan budayanya dengan tuntutan wisatawan
terhadap wisata perdesaan.
Desa Wisata dan Elemen Kunci Dalam Pariwisata
Dalam pariwisata ada empat elemen kunci (Cooper, 1998), yang sangat
penting untuk diperhatikan yaitu permintaan (demand), tujuan (destination),
industri dan organisasi pemerintah, pemasaran (marketing). Keempat elemen ini
saling berkaitan satu dengan yang lain, sehingga pembahasan mengenai salah
satu elemen akan menyinggung pula elemen lainnya.
Pembahasan mengenai desa wisata di sini sangat terkait dengan
permintaan (demand). Dalam elemen demand ini terkait dengan : 1)pasar
wisatawan yang menentukan pihak-pihak yang tertarik dengan obyek tersebut,
2)faktor kekayaan yaitu faktor yang mempengaruhi anggaran yang disisihkan untuk
melakukan perjalanan wisata, 3)faktor waktu senggang yaitu faktor yang terkait
dengan waktu atau jangka waktu yang akan digunakan untuk berwisata dari sejak
awal berangkat, beraktifitas wisata hingga kembali pulang dan juga saat
dilakukannya wisata (waktu libur ataupun waktu lain tanpa mengenal saat tertentu),
4) faktor demografi yaitu struktur umur keluarga , struktur keluarga dan tata
kehidupan kota yang terkait dengan tujuan wisata tertentu, 5) segmentasi pasar
yaitu golongan atau kelompok orang yang karena kondisinya harus didekati secara
berbeda untuk tertarik pada suatu obyek wisata, 6) tingkat kegiatan pariwisata yaitu
6

banyaknya potensi suatu daerah dalam melakukan perjalanan wisata (contohnya
orang Jakarta lebih berpotensi melakukan aktifitas wisata dibandingkan dengan
kota kecil lainnya seperti Ambarawa misalnya). Oleh karena itu dalam
mengidentifikasi karakteristik desa wisata akan terkait dengan keenam hal
tersebut.
Aspek permintaan (demand) kaitannya dengan elemen tujuan (destination)
adalah pada jenis atraksi wisata dan motif wisata. Wisata perdesaan terkait dengan
motif kebudayaan mengingat wisatawan desa wisata datang tidak hanya untuk
menyaksikan dan menikmati atraksi akan tetapi mereka biasanya melakukan
penelitian. Oleh karenanya desa yang dapat menjadi tujuan wisata perdesaan
adalah desa yang memiliki keunikan menurut sisi pandang wisatawan.
Sementara itu aspek industri dan organisasi pemerintah terkait dengan
demand adalah sebagai pihak yang memberi sarana prasarana menuju wisata
perdesaan. Infrastruktur dan angkutan wisata adalah fasilitas minimal yang
dibutuhkan agar obyek wisata dapat diakses oleh wisatawan, namun jika dikaitkan
dengan motif kebudayaan justru seringkali aspek ini dapat mengubah daya tarik
wisata yang ditawarkan. Dengan demikian aspek akses juga merupakan aspek
fisik yang penting untuk diidentifikasi sebagai karakteristik obyek wisata perdesaan.
Aspek pemasaran (marketing) merupakan aspek aktualisasi perjalanan
wisata. Kebutuhan obyek wisata untuk dikenali merupakan hal pokok sebagai awal
proses dimulainya kegiatan wisata, namun pada obyek desa wisata kegiatan
pemasaran ini tidak terlalu diharapkan intervensinya dari wisatawan mengingat
keaslian budaya merupakan keunikan yang dipertahankan. Cara pemasaran yang
dilakukan agar tidak terlalu mengganggu nilai keaslian budaya perdesaan,
merupakan salah satu isu penting untuk dibahas. Terkait dengan identifikasi
karakteristik desa wisata, aspek pemasaran merupakan salah satu aspek yang
akan mempengaruhi kecepatan tingkat perubahan desa wisata.
Mengenali Kekhasan Desa Wisata
Jika kekhasan mengacu pada pendekatan tipologi, maka penelusuran akan
dibatasi berdasarkan standar yang sudah pernah digunakan sebelumnya. Kata
‘tipologi’ jika dibandingkan dengan kata ‘tipe’ memiliki arti yang ambigu. Tipe
merupakan konstruksi baik produk maupun proses dari model dasar atau cara
pikir, sedangkan tipologi dalam arti yang paling sederhana mengandung makna
kajian atau teori dari tipe dan sistem klasifikasi.
Sistem klasifikasi biasa digunakan untuk memberi kejelasan dan
menyederhanakan fenomena dengan menggunakan sesedikit mungkin variabel
untuk menjelaskan suatu fenomena (Lang, 2005). Pada tulisan ini mengenali
kekhasan desa wisata digali dengan pendekatan naturalistik agar budaya lokal
yang terkandung dalam kasus-kasus dapat dikenali karakteristiknya secara lebih
mendalam sesuai dengan maksud menangkap sedekat mungkin fenomena yang
ada.
Desa wisata yaitu suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat
yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Untuk membedakannya
7

dengan wisata kota, maka struktur kehidupan masyarakatnyalah yang dapat
digunakan untuk mengklasifikasikannya dengan lebih jelas. Struktur kehidupan
masyarakat desa sangat dipengaruhi oleh struktur fisik desa dan pola permukiman
desa. Struktur fisik desa sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik dengan berbagai
aspeknya terutama lingkungan geografis seperti iklim, curah hujan, keadaan atau
jenis tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi dan lainnya,
karena akan sangat mempengaruhi jenis tanaman, sistem pertanian dan pola
perilaku petaninya. Jadi jelaslah bahwa pada kawasan perdesaan ada dua elemen
utama yang mempengaruhi yaitu lingkungan fisik terkait lokasi dan budaya
penduduknya.
Dengan pendekatan naturalistik, desa wisata di Sleman dianalisis dengan
menggunakan aspek fisik desa di Sleman yang di dalamnya menyangkut isi yaitu
budaya petani dan lokasi tempat petani beraktifitas, sehingga dapat dilihat
gambaran secara lebih menyeluruh. Desa wisata di Sleman didominasi oleh lokasi
desa dengan potensi pertanian sawah, kebun salak, serta kebun buah-buahan lain.
Gambaran potensi perkebunan dan pertanian dapat dilihat pada gambar 2 ini.

a.

Kebun buah – buahan di desa
Pentingsari

b.

Lahan pertanian di desa Brayut

Gambar 2. Potensi perkebunan dan pertanian di desa wisata Pentingsari dan
Brayut, Sleman Yogyakarta. Sumber : dok. Survey, 2015
Salak banyak dibudidayakan di Sleman mengingat jenis tanah dengan tekstur
pasir atau lempung berpasir yang banyak tersebar di sekitar lereng Merapi. Salak
dapat pula tumbuh pada jenis tanah yang lain teutama yang subur, gembur dan
mengandung banyak bahan organis. Iklim sedang 20 0-300 sangat sesuai dengan
tanaman salak, namun salak tidak tahan terhadap genangan air walaupun perlu
cukup air. Akan lebih baik jika salak ditanam pada air tanah dangkal. Kawasan
lereng Merapi sangat sesuai dengan persyaratan tumbuh salak. Kondisi khas
perkebunan salak inilah yang tidak dijumpai di banyak daerah lain, oleh karena itu
lokasi Sleman sangat sesuai untuk melakukan studi mengingat keunikan
budidayanya yang juga akan mempengaruhi pola kehidupan masyarakatnya.
Untuk mencari karakteristik desa wisata di Sleman perlu ditelusuri terlebih
dahulu desa manakah yang akan menjadi studi kasus. Dari ketiga puluh tujuh desa
wisata yang terdapat di kabupaten Sleman, akan dipilih dengan menggunakan
kriteria desa wisata menurut Dinas Pariwisata yaitu pertama melihat jumlah
kunjungan wisatawan yang menjadi penentu utama dan kemudian dilengkapi
dengan persyaratan kedua yaitu pada saat dilakukannya penelitian lapangan
masih aktif menerima kunjungan wisatawan.
8

Berdasarkan tahap seleksi pertama ada 22 desa wisata yang telah hidup yang
dikenal dengan klasifikasi desa wisata berkembang dan desa wisata mandiri,
sedangkan desa wisata tumbuh tidak dapat memenuhi kriteria tersebut karena
masih dalam tahap pengembangan identitas dan belum memiliki karakteristik yang
cukup mapan. Pada pemilihan tahap kedua hanya tersisa 8 desa wisata saja yang
memenuhi syarat. Untuk menghasilkan karakteristik unik yang lebih mendalam
dipadukan aspek keunikan fisik dan budayanya sebagai basis pengembangan
wisatanya sehingga hanya dibahas tiga desa wisata yang mewakili tiga
karakteristik yang berbeda yaitu desa Kembang Arum, desa Pentingsari dan desa
Gabugan. Desa Kembang Arum dan Desa Pentingsari mewakili desa wisata
mandiri sedangkan desa Gabugan mewakili desa wisata berkembang. Suasana
desa Kembang Arum dan Pentingsari dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini

a.

Salah satu suasana desa yang
terdapat di desa Kembang Arum.

b.

Salah satu suasana desa yang
terdapat di desa Pentingsari

Gambar 3. Suasana pedesaan yang ditawarkan desa wisata Kembang Arum
dan desa wisata Pentingsari (dok. Leaflet wisata dan riset 2014)
Desa wisata mandiri diwakili oleh dua desa mengingat karakteristiknya yang
sangat berbeda, desa wisata Kembang Arum mewakili atraksi buatan yang sangat
menarik karena memiliki anomali jumlah kunjungan wisata yang cukup tinggi
walaupun atraksi buatan yang ditawarkan. Desa Pentingsari mewakili atraksi
natural pada karakter desa wisata mandiri. Desa wisata Gabugan mewakili desa
wisata berkembang yang potensi budayanya tidak terlalu menonjol namun
mendapat kunjungan wisatawan yang tidak kalah banyak dengan dua desa
sebelumnya.
Karakteristik Desa Wisata Dengan Kenyamanan Akses dan Budaya DesaKota
(Karakteristik 1)
Karakteristik 1 diwakili oleh Desa Kembang Arum, desa wisata ini terletak
kurang lebih 16 km dari kota Yogyakarta dan memiliki akses sangat dekat dengan
jalan arteri Tempel Pakem. Desa ini termasuk desa wisata mandiri yaitu desa
wisata yang telah mengembangkan potensi wisatanya secara mandiri, yang artinya
sudah dapat bertahan dengan kemampuan dan upaya desa tersebut sendiri
melalui lembaga yang dibentuk desa wisata. Sedangkan istilah mandiri perkotaan
diberikan setelah melihat kondisi lapangan desa wisata yang menunjukkan
9

pengembangan wisatanya yang berorientasi pada aktifitas yang bersifat kekotaan.
Jika dilihat secara fisik ciri lansekap maupun arsitektur rumahnya mengacu pada
kebutuhan wisatawan kota lengkap dengan kenyamanan kota.
Secara umum tipologi ini tetap berada di lingkungan perdesaan asli, namun
ada perbedaan yang cukup mencolok dari sisi pola persebaran permukimannya
(Gambar 4). Permukiman berpola terpencar, aktifitas wisata berpusat pada satu
titik tertentu, fasilitas pendukung wisata sangat beragam dan telah mengacu
standar inap setaraf hotel. Terlihat dari gambar jalan masuk menuju pusat aktifitas
wisata yang berada di utara desa. Jalan masuk sempit dan suasana perkebunan
salak sangat terasa, namun ketika berada di halaman kompleks wisata terasa
berada di sebuah resort yang tertata. Begitu pula lingkungan homestay dengan
berbagai tipe telah tersedia.

a. Jalan masuk desa wisata

Peta Blok Plan desa Kembang Arum
b. Halaman depan

Legenda:
 Rumah dan homestay
Jalan akses utama
Jalan lingkungan desa
Sungai/kali
a. Fasilitas Homestay

10

b. Fasilitas aktivitas outdoor
Gambar 4. Desa Wisata Kembang Arum
Sumber: analisis penulis 2014.
Pada awal perkembangan desa wisata ini homestay yang digunakan masih
menggunakan rumah tempat tinggal penduduk, namun pada perkembangannya
investor telah membeli atau menyewa lahan di desa dan dibangun rumah-rumah
baru untuk homestay. Walaupun rumah penduduk juga masih dapat digunakan,
namun sebagian besar aktifitas berada di resort yang telah berubah menjadi desa
bernuansa kota. Perubahan ini tidak dapat dihindari mengingat telah masuknya
investor yang sekaligus membawa konsep pemasaran dengan memperhitungkan
nilai keuntungannya. Oleh karena itu akan mempercepat proses perubahan.
Aktivitas budaya utama yang ditawarkan pada desa wisata ini bermula dari
aktifitas sanggar lukis yang mengambil tempat pada lokasi perdesaan agar
memberikan inspirasi obyek lukis melalui pemandangan kehidupan sehari-hari
masyarakat perdesaan saat mereka melakukan aktifitas pertanian padi dan
perkebunan salak. Desa ini kemudian berkembang dengan adanya aktifitas inap
pada rumah penduduk. Tahap berikutnya adalah desa ini kemudian dilengkapi
dengan fasilitas inap/homestay pada lingkungan tersendri, fasilitas outbound
seperti flying fox, jembatan goyang dan sebagainya. Aktivitas lain adalah belajar
seni budaya, tracking alam perdesaan, mempelajari aktivitas perdesaan. Aktivitas
lukis sebagai daya tarik terlihat pada gambar 5 berikut ini.

a.

Sanggar Lukis Pratista Desa
Kembang Arum

b.

Pratista desa Wisata Kembang
Arum sebagai daya tarik wisata

Gambar 5. Sanggar lukis Pratista di desa wisata Kembang Arum
(sumber : olahan leaflet wisata desa Kembang Arum, 2015)

11

Partisipasi masyarakat juga terlihat dengan melibatkan masyarakat sebagai
pendamping kegiatan kelompok wisatawan dan pelaku aktifitas upacara-upacara
adat perdesaan. Pengelolaan dilakukan oleh lembaga tersendiri yang menjadi satu
dengan pengelolaan sanggar lukis yang ada di kota Yogyakarta, sehingga tidak
melibatkan secara langsung masyarakat desa.
Keunikan fisik pada desa ini adalah pada akses yang mudah menuju desa
wisata dengan kualitas jalan yang sangat baik karena hanya berjarak 400 m dari
jalan alternatif Tempel-Pakem. Sementara itu akses di dalam desanya sendiri
terpisah dari akses utama, sehingga dari sisi lokasi secara spasial sangat
menguntungkan untuk membentuk suasana perdesaan. Akses kemudian diperkuat
dengan lingkungan permukiman yang menyatu dengan kebun salak dan
keberadaan sungai dangkal yang sangat jernih airnya. Suasana perdesaan di desa
Kembang Arum saat ini telah dikembangkan dengan kehadiran kompleks
homestay yang dibangun oleh investor dengan kualitas setara fasilitas di kota.
Oleh karena itu peminat desa wisata ini adalah orang-orang yang tuntutan
alamiahnya juga tidak terlalu tinggi.
Karakteristik Desa Wisata Lokasi Terisolir dan Budaya Lokal
(Karakteristik 2)
Karakteristik 2 diwakili desa wisata Pentingsari, desa ini berada kurang lebih
20 km dari kota Yogyakarta di lereng gunung Merapi dan berada lebih dekat
dengan kawasan Kaliurang. Desa ini merupakan kawasan yang berbentuk seperti
semenanjung, karena di sebelah timur dan baratnya merupakan daerah yang relatif
curam dengan batasan dua buah kali /sungai yaitu kali kuning di sebelah barat dan
kali pawon di sebelah timur, dan kedua kali itu bertemu di sebelah selatan desa.
Satu-satunya akses menuju desa ini melalui jembatan menyeberangi kali Pawon,
sehingga lokasinya agak terisolir dari daerah lainya. (lihat gambar 7).
Lokasi desa wisata Pentingsari yang agak terisolir inilah yang membentuk
suasana perdesaan dengan wisata alam sangat terasa. Hutan dengan berbagai
macam tanaman diselingi dengan tanaman buah seperti alpokat, durian, salak dan
tanaman coklat sangat rapat dijumpai di sana. Daerah berupa dataran tinggi
berbentuk linier sehingga pola permukimannyapun tersebar secara linier.
Lokasinya yang khas inipun membentuk hubungan masyarakatnya yang erat dan
akrab satu dengan lainnya. Potensi alam dapat dilihat pada gambar 6 berikut.

a.

Pancuran Sendang

b.

Wisata alam bersepeda menelusuri desa

Gambar 6. Wisata Alam yang terkait dengan unsur sejarah Pancuran Sendang
yang disajikan bersama dengan wisata jelajah desa (dok. Leaflet wisata, 2015)
12

Selain wisata alam desa inipun dikenal dengan sejarahnya karena konon
daerah ini merupakan persembunyian Pangeran Diponegoro saat berperang tahun
1825-1830 menyerang penjajah yang berada di daerah Kaliurang. Suasana mistis
juga sangat terasa dengan adanya beberapa mitos seperti mitos pancuran
Sendangsari yang dihuni Ratu Kidul, mitos Sunan Kalijaga yang pernah datang di
desa ini, mitos tempat bertemunya para wali dan sebagainya. Mitos dan legenda
itulah yang sampai kini mewarnai desa wisata Pentingsari. Kepercayaan
masyarakat inilah yang menyebabkan desa ini tetap bertahan untuk melindungi
pohon-pohon yang ada di desa tersebut. Oleh karena itu desa ini diminati oleh
terutama wisatawan yang sangat perduli pada kelestarian alam.

Legenda:
 Rumah dan homestay
Jalan akses utama
Jalan lingkungan desa
Sungai/kali
alan tanah

a.

Jalan masuk desa

b.

Joglo untuk latihan seni

a.

Rumah/Homestay

13

b. Dam penahan lahar Merapi

Gambar 7. Desa Wisata Pentingsari
Sumber: Analisis penulis 2014.
Kunjungan wisata yang cukup tinggi frekuensinya dan didukung pengelolaan
yang merupakan partisipasi murni dari masyarakat, maka desa Pentingsari
termasuk ke dalam kelompok desa wisata yang telah mandiri. Padahal desa ini
merupakan desa wisata yang termasuk baru (dibentuk tahun 2008). Kekuatan
partisipasi masyarakat merupakan modal untuk menghambat masuknya investor
dalam pengelolaan obyek wisata, sehingga pihak luar yang dapat terlibat di
dalamnya adalah jasa wisata yang lebih berfungsi sebagai agen pemasaran.
Karakteristik Desa Wisata Akses Terbuka dan Budaya Lokal
(Karakteristik 3)
Karakteristik 3 diwakili desa Gabugan, desa wisata ini lokasinya juga berada
kurang lebih 16 km dari kota Yogyakarta, hanya 1 km dari desa wisata Kembang
Arum. Permukiman tersebar di sekitar akses utama dengan jalan beraspal, namun
pusat aktifitas wisata yang mengambil tempat di sekitar pendopo yang berada di
utara desa. sangat kental dengan suasana perdesaan. Walaupun demikian potensi
fisik desa ini masih berada di bawah desa pentingsari. Adat menjadi kekuatan desa
ini seperti terlihat pada gambar 8 berikut ini.

b. Barisan pemuda mengawali prosesi Merti Bumi

a.

Hasil bumi yang sebagai symbol c. Gunungan hasil bumi diarak pada prosesi Merti
Bumi
ucapan syukur

Gambar 8. upacara adat Merti Bumi di desa Gabugan (dok. Warga desa, 2013)
14

Suasana perdesaan di desa ini dengan budaya berkehidupan masyarakatnya
masih sangat kental budaya pendesaan walaupun sebenarnya dari persebaran
permukimannya dipotong oleh akses utama menuju desa lain. Inilah yang menjadi
keunikan desa ini. Lebih terasa lagi uniknya karena dengan keterbukaan akses ini
ternyata tidak mempengaruhi kehidupan sosial masyarakatnya yang masih sangat
kuat memegang budaya leluhur seperti mempertahankan penghargaan cikal bakal
atau leluhur desa, mempertahankan kepemilikan lahan pada keluarga dalam
(keluarga yang masih memiliki garis darah dengan cikal bakal atau leluhur desa).

a. Akses utama desa

Peta Blok Plan Desa Gabugan

Legenda:
 Rumah dan homestay
Jalan akses utama
Jalan lingkungan desa
Sungai/kali

b. Jalan menuju pendopo pertemuan

a.

Contoh Homestay

15

b.

Sungai

Gambar 9. Desa Wisata Gabugan
Sumber: Analisis penulis 2014.
Partisipasi masyarakat di desa ini juga cukup tinggi. Semua pengelolaan
wisata dilakukan oleh pemuda karang taruna dan beberapa orang pemuka
masyarakat. Terlihat melalui gambar 9. Dengan keunikannya ini, desa wisata ini
lebih diminati oleh wisatawan dari kalangan pendidikan (terutama sekolah
menengah pertama dan atas) untuk tujuan pendidikan luar sekolah dengan fokus
pembelajaran penelitian. Potensi unik dari desa ini adalah pada keberagaman
obyek yaitu pertanian padi, perkebunan salak, perikanan, peternakan puyuh, dan
pembelajaran membatik.
Tingginya partisipasi masyarakat dan kuatnya kepercayaan masyarakat
untuk mempertahankan tanah leluhur, maka desa ini juga memiliki kekuatan untuk
mencegah intervensi pihak luar untuk ikut mengembangkan desa wisata. Jasa
wisata yang terlibat di desa ini adalah agen perjalanan yang memiliki misi
pendidikan, oleh karena itu pemasaran yang dilakukan adalah pemasaran pada
lingkup yang terbatas.
Kesimpulan
Keterkaitan potensi fisik dan budaya local pada desa wisata lestari
Pembahasan yang dilakukan pada 3 desa wisata yang menjadi contoh dari
3 karakter desa wisata lestari mengarahkan pada satu kesamaan, yaitu adanya
unsur keterlibatan warga desa untuk mempertahankan keberlanjutan desa
wisatanya sehingga menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Tabel
perbandingan dari ketiga desa tersebut dikaitkan dengan minat wisatawan dapat
dilihat sebagai berikut :
Tabel 4. Matriks Keterpaduan Fisik dan Budaya Terhadap Tuntutan
Wisatawan
Keterpaduan fisik
dan budaya lokal
Kemudahan
akses

Tuntutan Wisatawan
(berdasarkan intepretasi minat terhadap tipologi)
Karakteristik 1
Karakteristik 2
Karakteristik 3
Kemudahan akses
Kemudahan akses Kemudahan
menjadi prioritas
tidak menjadi
akses tidak
utama
prioritas
menjadi kriteria
16

Standar
kenyamanan
Keunikan lokasi
/fisik

Keunikan budaya

Standar kebersihan
setara penginapan di
kota
Penting sebagai
obyek inspirasi
lukisan

Perlu ada sebagai
bahan inspirasi,
dengan standar
kenyamanan saat
menikmati budaya
Sumber: analisis penulis 2014.

Standar budaya asli Standar budaya
desa
asli desa
Penting sebagai
bagian dari budaya
asli
Penting sebagai
bagian konservasi
dan keunikan
budaya

Penting sebagai
obyek lokasi
penelitian
perdesaan
Penting sebagai
bahan penelitian
soSial budaya

Karakteristik 1 adalah yang paling rentan dipengaruhi oleh kekuatan budaya
global mengingat orientasi pada pasar yang lebih memprioritaskan pada standar
kenyamanan, masuknya investor dan partisipasi masyarakat yang tidak terlalu
tinggi, sehingga lebih mudah terkena dampak pemasaran modern dengan target
pasar wisatawan golongan menengah ke atas dengan segala tuntutan modern.
Selain itu karakteristik spasialnya yang dekat dengan akses utama juga sangat
memungkinkan untuk terkena dampak modernisasi. Sedangkan karakteristik 3
berada pada kekuatan yang cukup tingi untuk bertahan dari pengaruh luar selama
masih menghormati tuntutan yang disampaikan oleh leluhurnya masih tinggi. Hal
ini disebabkan karena tingginya partisipasi masyarakat yang masih menjunjung
budaya leluhur. Walaupun karakteristik fisik desa ini sangat terbuka terhadap
akses jalan kolektor, namun kekuatan mempertahankan tanah leluhur menjadi
modal yang sangat kuat dalam mempertahankan keaslian budayanya. Sedangkan
karakteristik 2 adalah tipologi yang paling memiliki kekuatan terbesar untuk
melindungi dirinya dari pengaruh budaya global selain karena kekuatan
mempertahankan kebanggaan terhadap nilai sejarah lokasi tersebut yang berawal
dari tingginya partisipasi masyarakat, juga didukung oleh kekuatan lokasinya yang
terisolir dan jauh dari pengaruh modernisasi.
Dari karakteristik ketiga desa yang dikaji tersebut terlihat bahwa karakteristik
desa wisata dengan akses terbuka dan memiliki potensi budaya lokal (karakteristik
3) adalah desa wisata yang perlu dikaji lebih dalam kekuatan yang dimilikinya
dalam mempertahankan diri dari kekuatan modernisasi. Fenomena yang biasa
terjadi adalah suatu tempat dengan akses yang baik maka akan sangat mudah
terkena dampak modernisasi. Karakteristik desa 3 ini justru sebaliknya, walaupun
aksesnya baik namun pengaruh modernisasinya belum atau tidak terlalu cepat dan
bahkan ada kecenderungan untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya
leluhurnya.
Perpaduan Budaya Lokal dan Potensi Fisik Dalam Era Globalisasi
Dari pembahasan tersebut terlihat bahwa keunikan desa wisata di Sleman
terletak pada potensi fisik yang dipadukan dengan potensi sosial budaya
masyarakat. Unsur daya tarik wisata dikembangkan dari modal kesederhanaan
17

kehidupan masyarakatnya dengan dipadukan dengan kekuatan fisiknya, namun
dari studi kasus desa wisata dengan tiga tipologi yang berbeda, ternyata terdapat
perbedaan tuntutan wisatawan yang sangat mungkin berimbas pada perubahan
ketahanan budaya lokal dalam menghadapi tekanan budaya global.
Potensi fisik yang ditunjang dengan adanya unsur tradisi menjadi kekuatan
bagi keberlangsungan suatu desa wisata.
Perpaduan kondisi fisik yang memiliki akses terbuka dengan budaya leluhur
yang masih dipegang teguh oleh penduduknya merupakan suatu hal yang unik
untuk dikembangkan dalam penelitian yang lebih mendalam melalui pertanyaanpertanyaan penelitian, contohnya seperti: Apa kekuatan yang dimiliki desa
tersebut? Apa makna kekuatan tersebut bagi penduduk desa sehingga mereka
masih mempertahankan kepercayaan terhadap leluhur? Dan pertanyaan lain yang
masih dapat dieksplorasi.
Dengan demikian desa wisata dengan perpaduan budaya lokal yang kuat
namun memiliki potensi lokasi dengan akses terbuka memang merupakan daya
tarik tersendiri bagi wisata perdesaan. Selain itu fenomena yang dimiliki juga patut
untuk dikembangkan ke dalam penelitian lebih lanjut mengingat fenomena tersebut
merupakan fenomena lain dari yang biasa terjadi.
Daftar Pustaka
Barlybaev, AA; Akhmetov V.Ya; Nasyrov GM, (2007), “Tourism as a Factor of Rural
Economy Diversification”, Studies on Russian Economic Development 2009,
Vol 20 no 6, pp 639-643.
Cooper, Fletcher, Gilbert, Shepperd, and Wanhill, (1998), “Tourism Principle and
Practice”, Prentice Hall, London.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kabupaten Sleman, (2007), “Profil Desa Wisata
di Kabupaten Sleman”, tidak dipublikasikan.
Doxiadis, Constantion A., (1968), “Ekistic: An Introdusction to the Science of
Human Settlement”, London: Hutchinson and Co.
Fandeli, C., (2000), “Pengusahaan Ekowisata”, Penerbit Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Fagence, Michael, (1997), “Ancangan Perencanaan Pariwisata Desa dan
Pariwisata Perdesaan : Upaya Mewujudkan Potensi Desa dan Daerah
Perdesaan’, dalam “Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan“, Prosiding
Pelatihan dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan, Penerbit
ITB, Bandung, pp 90-102.
Hwang, Doohyun ; Stewart, William P., and Ko, Dong-wan, (2012), “Community
Behaviour and Sustainable Rural Tourism Development“, Journal of Travel
Research 51(3) (2012) pp. 328-341.
Lang, Jon, (2005), ”Urban Design : A Typology of Procedures and Products“,
Elsevier, Architectural Press, Oxford, UK and Burlington USA, pp 42-43.
18

Liu, Abby, (2006), “Tourism in Rural Areas: Kedah Malaysia“, Tourism
Management 27(2006) pp 878-889.
Nuryanti, Wiendu, (1993), “Concept, Perspective and Challenges”, makalah bagian
dari Laporan Konferensi Internasional “Pariwisata Budaya”. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, pp.2-3.
Nugroho, Iwan, (2011), “Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan”, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Rondinelly, Dennis A., (1978), “Urbanization and Rural Development: A Spacial
Policy for Equitable Growth“, Praeger Publishers, New York.
Royo-Vela, Marcelo, (2009), “Rural-Cultural Excurtion Conseptualization: A Local
Tourism Marketing Management Model Based on Tourist Destination Image
Measurement”, Journal Tourism Management 30 (2009) pp. 419-428,
Journal online Elsevier.
Soetomo, Sugiono, (2009), “Urbanisasi dan Morfologi”, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Trancik, Roger, (1986), “Finding Lost Space”, Van Nostrand Reinhold Company,
New York.

19