KUANTITAS LOGAM BERAT TIMBAL Pb DAN TEMB (1)

LANGSA KOTA LANGSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Kelautan

Oleh:

CUT MEURAH NURUL A NIM 1111101010023

PROGR ROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN TAN FAKU KULTAS KELAUTAN DAN PERIKAN KANAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM, BANDA ACEH

JULI, 2015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas Pb dan Cu pada ekosistem mangrove dan menganalisis nilai BCF Rhizophora stylosa terhadap logam Pb dan Cu di Kuala Langsa. Penelitian ini dilakukan pada Desember 2014-Januari 2015. Sampel diambil dengan metode purposive sampling dan dianalisis menggunakan AAS dengan metode kurva kalibrasi di BARISTAND, Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan kuantitas Pb pada air di stasiun I, II, dan III adalah <0,0012 ppm, <0,0012 ppm dan 1,6090 ppm, sedangkan kuantitas Cu pada air di stasiun I, II dan III adalah <0,004 ppm, <0,004 ppm dan <0,004 ppm. Kuantitas Pb pada sedimen di stasiun I, II dan III adalah <0,0001 ppm, 109,00 ppm, dan 65,03 ppm, sedangkan kuantitas Cu pada sedimen di stasiun I, II dan III adalah 123,00 ppm, 324,00 ppm dan 58,67 ppm. Kuantitas Pb pada akar dan daun R. stylosa di stasiun I adalah <0,0001 ppm dan <0,0001 ppm, sedangkan kuantitas Cu pada akar dan daun R. stylosa di stasiun I adalah 37,030 ppm dan 13,530 ppm. Kemampuan R. stylosa dalam menyerap Pb dan Cu dianalisis dengan faktor biokonsentrasi (BCF), dimana nilai BCF menunjukkan bahwa akar dan daun R. stylosa mampu menyerap Cu dari sedimen sebanyak 0,30 kali dan 0,11 kali.

Kata kunci : Pb, Cu, Rhizophora stylosa, BCF, AAS

ABSTRACT

The objective of present study was to determine the quantity of Pb and Cu in mangrove ecosystem and analyze BCF of Rhizophora stylosa to absorb Pb and Cu in Kuala Langsa. The research was conducted on December 2014-January 2015. Samples were collected by purposive sampling method and analyzed using AAS by calibration curve method in BARISTAND, Banda Aceh. The results showed the quantity of Pb in water at station I, II, and III were <0,0012 mg/L, <0,0012 mg/L and 1,6090 mg/L, while the quantity of Cu in water at station I, II and III were <0,004 mg/L , <0,004 mg/L and <0,004 mg/L. The quantity of Pb in sediments at station I, II and III were <0,0001 mg/kg, 109,00 mg/kg and 65,03 mg/kg, while the quantity of Cu in sediments at station I, II and III were 123,00 mg/kg, 324,00 mg/kg and 58,67 mg/kg. The quantity of Pb in root and leaf of R. stylosa at station I were <0,0001 mg/kg and <0,0001 mg/kg, while the quantity of Cu in root and leaf of R. stylosa at station I were 37,030 mg/kg and 13,530 mg/kg. The ability of R. stylosa to absorb Pb and Cu was analyzed with a bioconcentration factor (BCF), where the value of BCF showed that the root and leaf of R. stylosa can absorb Cu from sediment were of 0,30 times and 0,11 times.

Keywords: Pb, Cu, Rhizophora stylosa, BCF, AAS

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul Kuantitas Logam Berat Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) di Ekosistem Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan shalawat dan salam kepangkuan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam jahiliyah ke alam yang berilmu pengetahuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas Pb dan Cu di ekosistem mangrove Kuala Langsa dan untuk mengetahui nilai faktor biokonsentrasi (BCF) mangrove jenis Rhizophora stylosa terhadap logam timbal (Pb) dan Tembaga (Cu). Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.

Banda Aceh, Juli 2015

penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Musri, M.Sc dan Ibu Irma Dewiyanti, M.Si sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Ibu Sofyatuddin Karina, M.Sc dan Ibu Maria Ulfah, M,Si sebagai pembahas skripsi.

3. Perangkat gampong Kuala Langsa, bapak Fadli dan Masyarakat Kuala Langsa atas kesediaan membantu selama penelitian.

4. Ayahanda T. Hamzah dan Ibunda Tercinta Triko Ningsih, serta saudara- saudaraku Cut Meurah Fitria Kausa, SP, Teuku Meurah Azrial Hamzah,SP dan Cut Meurah Badriatun Nufus, yang senantiasa memberikan bantuan berupa semangat, materil dan spiritual.

5. Sahabat-sahabatku, Rian Firdaus, Pawit Trimanto, Novita Yuni, Dini Widharni, Dira Yulia, Crisna Akbar dan teman-teman seperjuangan leting 2011 program studi Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Langsa terletak pada koordinat 04º24’35,68” - 04º 33’47,3” LU dan 97º53’14,59”-98º04’42,16” BT dengan ketinggian antara 0–25 m di atas permukaan laut dan luas 262,41 km² (BPS, 2014). Salah satu potensi yang dimiliki oleh Kota Langsa terdapat di bidang kelautan dan perikanan serta wisata. Kegiatan kelautan dan perikanan di Kota Langsa berpusat di Kuala Langsa yang didukung dengan adanya pelabuhan, TPI, dan tambak seluas 2.374 Ha. Kota Langsa menjadikan hutan mangrove di Kuala Langsa sebagai objek ekowisata dengan luas 20,8 Ha (Huda, 2000). Kuala Langsa merupakan wilayah perairan di Kota Langsa yang terletak pada koordinat 04º31’25” LU dan 98º10’9” BT. Kegiatan kelautan dan perikanan serta kegiatan wisata yang berlangsung di Kuala Langsa menimbulkan dugaan adanya logam berat Pb dan Cu di perairan ini (Amin, 2001).

Sumber Pb di perairan Kuala Langsa diduga berasal dari cat anti korosi lambung kapal (Siaka, 2008). Selain itu, Pb juga dapat bersumber dari aktivitas kendaraan yang berbahan bakar bensin (Darmono, 1995). Sumber Cu diduga berasal dari bahan campuran pengawet (anti fouling) pada cat kapal (Palar, 1994). Kegiatan yang dilakukan oleh manusia di darat akan berpengaruh pada perairan. Kegiatan ini mampu meningkatkan kuantitas Pb dan Cu pada perairan. Pb dan Cu akan diakumulasi oleh biota-biota perairan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia (Daud et al., 2012).

1.2 Rumusan Masalah

Kuala Langsa adalah wilayah perairan dengan aktivitas yang tinggi, dimana sebagian besar wilayah ini merupakan hutan mangrove, namun sampai saat ini belum ada informasi tentang kuantitas logam Pb dan Cu di wilayah ini. Oleh sebab itu, penelitian mengenai kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ekosistem mangrove di Kuala Langsa Kota Langsa perlu dilakukan.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. mengetahui kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di ekosistem mangrove di Kuala Langsa.

2. menganalisis nilai faktor biokonsentrasi (BCF) Rhizophora stylosa terhadap logam timbal (Pb) dan Tembaga (Cu).

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai kuantitas Pb dan Cu, serta kemampuan mangrove Rhizophora stylosa menyerap logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di ekosistem mangrove Kuala Langsa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ion di Perairan

Ion adalah penyusun partikel yang terdiri dari atom-atom yang dapat menghantarkan arus listrik, ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan negatif disebut anion. Kation dan anion dapat berupa ion tunggal dan ion poliatom, dimana ion tunggal terdiri dari satu jenis atom, dan ion poliatom terdiri dari dua atau lebih atom yang berbeda (Timm, 1966). Fungsi ion di perairan adalah membantu agar enzim bekerja secara maksimal untuk proses metabolisme organisme air (Murray, 2004). Berdasarkan konsentrasinya di perairan, ion dibagi menjadi 3 bagian (Millero, 2006), yaitu:

1. ion mayor (0,05 2+ –750 mM), contoh kation untuk ion mayor adalah Ca ,

Mg 2- , Na K dan contoh anion untuk ion mayor adalah HCO

2. ion minor (0,05 + –50 μ M), contoh kation untuk ion minor adalah B , Li ,

Rb - dan contoh anion untuk ion minor adalah F , SiO

3 dan N .

3. ion runut (0,05-50 nM), contoh kation untuk ion runut adalah Pb + , Hg ,

Co 3- , Sn , Cu , Ni dan contoh anion untuk ion runut adalah AsO

2.2 Klasifikasi Ion Logam di Perairan

Berdasarkan bentuknya, ion logam di perairan ditemukan dalam 2 bentuk (Hamidah, 1980), yaitu:

1. terlarut, yaitu ion logam bebas air dan logam yang membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik.

2. tidak terlarut, terdiri atas partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kompleks metal yang terjerap pada zat tersuspensi.

Logam adalah unsur alam yang berasal dari tanah. Logam dibagi ke dalam 3 kelompok (Clark, 1986) yaitu:

1. logam ringan (Na, K, Ca), biasanya dibutuhkan dalam proses metabolisme organisme.

2. logam transisi (Fe, Cu, Co, Mn) diperlukan dalam konsentrasi yang rendah, dan menjadi racun dalam konsentrasi yang tinggi.

3. logam berat dan metaloid (Hg, Se, Pb dan As), umumnya tidak dibutuhkan dalam proses metabolisme dan sebagai racun bagi sel dalam konsentrasi rendah.

2.3 Manfaat Ion Logam dalam Air terhadap Biota

Manfaat ion logam dibagi menjadi 2, yaitu:

2.3.1 Ion logam non essensial Ion logam non esensial adalah ion logam di perairan yang peranannya dalam

tubuh makhluk hidup belum diketahui. Contoh ion logam non essensial adalah Pb 2+ (Darmono, 1995). Ion logam seperti Pb 2+ belum diketahui manfaatnya bagi makhluk

hidup, sehingga ion ini di perairan disebut ion logam non essensial (Albion Research Notes, 1996).

2.3.2 Ion logam essensial Ion logam esensial adalah ion logam yang membantu dalam proses fisiologis

makhluk hidup karena membantu kerja enzim, kekurangan ion logam essensial akan mengganggu proses metabolisme organisme dan merusak struktur jaringan, karena ion logam essensial merupakan komponen penting dalam sistem kerja enzim

(Gartenberg et al., 1990). Cu 2+ merupakan ion logam essensial di perairan yang bersifat merugikan jika dalam keadaan berlebih atau kekurangan. Cu 2+ diperlukan dalam pemanfaatan Fe 2+ pada proses pembentukan hemoglobin darah pada krustasea (Gartenberg et al., 1990). Cu 2+ merupakan ion logam essensial di perairan yang bersifat merugikan jika dalam keadaan berlebih atau kekurangan. Cu 2+ diperlukan dalam pemanfaatan Fe 2+ pada proses pembentukan hemoglobin darah pada krustasea

(Dameron dan Howe, 1998). Cu 2+ di badan perairan dapat ditemukan dalam bentuk

persenyawaan ion seperti CuCO 3 dan CuOH (Palar, 1994).

2.4 Efek Ion Logam terhadap Biota

Ion Pb 2+ merupakan ion logam yang sangat rendah daya larutnya, bersifat pasif, dan mempunyai daya transpor yang rendah pada tumbuhan. Ion Pb 2+ memiliki

toksisitas yang tinggi dan menyebabkan racun bagi beberapa spesies akuatik (MacFarlane and Burchett, 2002). Krustasea memiliki sifat bioakumulatif terhadap

Pb 2+ , Pb akan terus diakumulasi oleh krustasea sampai krustasea tidak mampu lagi mentolerir kandungan Pb 2+ dalam tubuhnya ( Connell dan Miller, 1995 ).

Konsentrasi ion Cu 2+ sebesar 0,001 – 0,002 mg/l di perairan telah menunjukkan efek merugikan pada organisme akuatik, hal ini dipengaruhi oleh

perbedaan sensitifitas dan bioavailibilitas terhadap setiap spesies. Pada komunitas fitoplankton alami, klorofil- α dan fiksasi nitrogen berkurang secara signifikan pada kondisi konsentrasi Cu ≥0,02 mg/l dan fiksasi karbon berkurang pada konsentrasi Cu ≥0,01 mg/l. Toksisitas akut pada ikan air tawar dan laut sangat bervariasi, untuk ikan

air tawar LC 50 96 jam berkisar antara 0,003 mg/l (artic grayling) dan 7,340 mg/l (bluegill fish), sedangkan untuk ikan air laut LC 50 96 jam berkisar antara 0,06 mg/l (chinook salmon) sampai 1,4 mg/l (grey mullet). Konsentrasi Cu yang telah melebihi 0,01 mg/l akan mengakibatkan kematian bagi fitoplankton (Palar, 1994).

2.5 Sumber Ion Logam dalam Air

Sumber Pb 2+ di perairan salah satunya melalui gas buang oleh kendaraan

darat yang menggunakan Pb 2+ sebagai zat tambahan bahan bakar bensin. Pb dalam bentuk TEL (tetra etil lead) dibutuhkan sebagai bahan yang dapat menaikkan nilai

kapal juga merupakan sumber masukan ion logam Pb 2+ (Darmono, 1995). Cat yang digunakan dalam proses pengecatan kapal salah satunya bermerk marine paint, cat

ini mengandung timbal (lead chromate) sebagai zat pewarna (Siaka, 2008), contohnya timbal merah (Pb 3 O 4 ) berupa bubuk berwarna merah cerah (Rompas, 2010).

Cu 2+ yang masuk ke badan perairan dapat terjadi secara alamiah maupun sebagai efek samping dari kegiatan manusia. Cu 2+ masuk kedalam perairan secara

alamiah dari peristiwa erosi ataupun pengikisan batuan, sedangkan dari aktifitas manusia Cu 2+ masuk melalui aktivitas industri galangan kapal dan kegiatan di

pelabuhan (Palar, 1994). Sumber Cu 2+ berasal dari cat anti fouling yang digunakan nelayan untuk melapisi cat kapal, cat anti fouling mengandung CuO (tembaga

oksida) digunakan untuk mencegah melekatnya tumbuhan air di badan kapal bagian bawah. Cat tersebut melepaskan biosida dalam konsentrasi tertentu yang dapat membunuh atau menghalangi organisme untuk tumbuh (Gadd dan Marcus, 2012).

2.6 Proses Masuknya Ion Logam ke Perairan

Masuknya ion logam sebagai zat pencemar ke dalam sungai, danau, estuari dan laut berbeda-beda, hal ini karena kondisi hidrodinamikanya juga berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan model percampuran dan dispersi suatu bahan yang berhubungan dengan kadar pencemar dan laju penguraian (Metcalf dan Eddy, 1991). Setelah memasuki perairan, sifat dan kondisi bahan pencemar ditentukan oleh beberapa faktor (Romimohtarto, 1991), yaitu :

1. terencerkan dan tersebarkan oleh adukan dan arus laut.

2. pemekatan melalui proses biologi dengan cara diserap oleh fitoplankton, biota ini pada gilirannya dimakan oleh pemangsanya, dan seterusnya.

3. pemekatan dapat juga terjadi melalui proses fisik dan kimiawi dengan cara diadsorpsi, diendapkan dan pertukaran ion, kemudian bahan pencemar itu baru akan mengendap di dasar perairan. Bahan pencemar dapat masuk dan tinggal di dasar perairan akibat proses sedimentasi dan penggumpalan.

4. terbawa langsung oleh arus dan biota.

2.7 Kelarutan Ion Logam dalam Air

pH dan temperatur merupakan dua variabel penting dalam semua proses kimia dan biologi di perairan. Oleh karena itu, pH dan temperatur erat kaitannya dengan kelarutan ion logam runut (Hoffman, 2012). pH air laut dan temperatur akan mempengaruhi kelarutan dan penjerapan logam. Dengan demikian, konsentrasi ion logam terlarut di laut akan berubah-ubah (Liu dan Millero, 2002). Senyawa logam yang mengendap di sedimen dan ion logam yang masuk ke perairan dapat larut ke kolom air dengan perubahan parameter fisika-kimia seperti pH dan temperatur (Kroupiene, 2007).

1. Derajat keasaman (pH) Penurunan pH di laut secara signifikan mempengaruhi kelarutan ion logam ke badan perairan, juga membantu ion logam berikatan dengan hidroksida dan ion karbonat (Millero et al., 2009). pH air dapat mempengaruhi akumulasi logam dalam tubuh hewan akuatik. Jika pH air turun, logam akan larut ke dalam air dalam bentuk ion, sehingga semakin mudah masuk ke dalam tubuh hewan akuatik. Pada ikan, ion masuk melalui insang, dan pada fitoplankton ion masuk sebagai bahan makanan melalui mulut (Manahan, 2001).

2. Temperatur Penurunan temperatur air laut akan meningkatkan penjerapan ion logam pada sedimen menjadi senyawa logam, sehingga logam akan mengendap di sedimen. Kenaikan temperatur air laut mengakibatkan senyawa logam yang telah terjerap di sedimen akan melarut kembali di air, dengan demikian ion logam hanya akan berada di badan air dalam waktu sesaat dan kemudian mengendap lagi (Palar, 1994).

2.8 Distribusi Ion Logam di Perairan

Ion Pb 2+ dan Cu yang masuk ke perairan akan dipindahkan dari badan airnya melalui beberapa proses yaitu pengendapan, penjerapan dan penyerapan oleh

organisme perairan (Bryan, 1976). Pb dan Cu yang dijerap oleh sedimen tersuspensi

akan mengendap di sedimen dan menyebabkan konsentrasi ion Pb 2+ dan Cu di air menjadi lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasinya di sedimen (Hutagalung,

1997). Tingginya Pb dan Cu di sedimen merugikan organisme yang hidup di sedimen seperti oyster dan kepiting sebagai filter feeder, karena partikel sedimen ini akan masuk ke dalam sistem pencernaannya (White, 1990).

Arus merupakan faktor penting dalam distribusi ion Pb 2+ dan Cu di perairan. Kecepatan arus dipengaruhi oleh kedalaman dan lebar sungai, arus akan

semakin cepat bila perairan semakin sempit dan dangkal (Hidayah, 2003). Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi tekstur sedimen dimana pada arus yang kencang lebih didominasi oleh partikel yang kasar seperti pasir, sedangkan untuk arus yang lambat didominasi oleh partikel lumpur yang lebih halus (Bhatt, 1978). Sedimen dengan tekstur lumpur akan lebih mudah mengikat Pb dan Cu (Hoshika et al., 1991). Mengendapnya Pb dan Cu pada sedimen tersuspensi akan mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga perairan di sekitarnya, karena sewaktu-waktu ion logam yang mengendap tersebut akan melarut lagi ke badan air. Meningkatnya semakin cepat bila perairan semakin sempit dan dangkal (Hidayah, 2003). Kecepatan arus juga dapat mempengaruhi tekstur sedimen dimana pada arus yang kencang lebih didominasi oleh partikel yang kasar seperti pasir, sedangkan untuk arus yang lambat didominasi oleh partikel lumpur yang lebih halus (Bhatt, 1978). Sedimen dengan tekstur lumpur akan lebih mudah mengikat Pb dan Cu (Hoshika et al., 1991). Mengendapnya Pb dan Cu pada sedimen tersuspensi akan mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga perairan di sekitarnya, karena sewaktu-waktu ion logam yang mengendap tersebut akan melarut lagi ke badan air. Meningkatnya

(Waldichuck, 1974).

2.9 Akumulasi Ion Logam oleh Mangrove

Mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap bahan –bahan anorganik dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Proses ini merupakan bentuk adaptasi mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (Panjaitan, 2009). Melalui akarnya, vegetasi ini dapat menyerap ion-ion logam berat yang terdapat pada sedimen maupun kolom air. Satu diantara beberapa spesies mangrove yang memiliki kemampuan menyerap logam berat adalah Avicennia marina (Amin, 2001). Mangrove memiliki upaya penanggulangan materi toksik anorganik diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi ion logam dalam jaringannya sehingga mengurangi toksisitas ion logam tersebut (Rohmawati, 2007)

Akumulasi ion Pb 2+ dan Cu pada ekosistem mangrove terjadi baik pada sedimen maupun perairan (Tam dan Wong, 1996). Struktur komunitas mangrove

memiliki peran dalam pengendalian transport ion logam ke perairan di sekitarnya.

Mangrove menyerap ion Pb 2+ dan Cu yang terdapat dalam lingkungan sehingga mampu mengurangi aliran logam berat tersebut ke perairan lepas pantai (Machado et

al., 2002). Selain dapat terakumulasi dalam sedimen, ion Pb 2+ dan Cu juga dapat terakumulasi dalam mangrove. Dampak dari akumulasi ion logam berat pada

mangrove adalah penurunan laju dekomposisi serasah (Parvaresh et al., 2010). Daun mangrove yang mengandung Pb akan menyebabkan laju dekomposisinya lebih rendah (Ahmed dan Shaukat, 2012). Serasah yang kaya ion essensial umumnya lebih mangrove adalah penurunan laju dekomposisi serasah (Parvaresh et al., 2010). Daun mangrove yang mengandung Pb akan menyebabkan laju dekomposisinya lebih rendah (Ahmed dan Shaukat, 2012). Serasah yang kaya ion essensial umumnya lebih

Akumulasi ion logam oleh akar tumbuhan melalui bantuan transpor ligand dalam membran akar, kemudian akan membentuk transpor ion logam kompleks yang akan menembus xylem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun akan melewati plasma lemma, sitoplasma dan tonoplasma untuk memasuki vakuola, di dalam vakuola transpor ligand kompleks bereaksi dengan akseptor terminal ligand, untuk membentuk akseptor kompleks logam. Transpor ligand dilepas dan akseptor kompleks logam terakumulasi dalam daun yang tidak akan berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan (Baker dan Brooks, 1989).

Konsentrasi ion Pb 2+ dan Cu yang tinggi dalam ekosistem mangrove berdampak pada terjadinya bioakumulasi ion logam tersebut pada biota yang hidup

di ekosistem tersebut (Kruitwagen et al., 2008). Logam berat seperti Pb dan Cu yang terakumulasi di mangrove mengalami bioakumulasi dalam jaringan hewan gastropoda yang berinteraksi dengan mangrove (Wolf et al., 2001).

2.10 Baku Mutu Air Laut dan Sedimen

1. Baku mutu air laut terhadap biota Baku mutu air laut adalah ukuran batas makhluk hidup, zat atau komponen yang ada dan unsur pencemar yang dibolehkan keberadaannya di dalam air laut (KEPMEN KLH No. 51, Tahun 2004). Berdasarkan KEPMEN KLH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, baku mutu Pb dan Cu pada air laut adalah 0,008 mg/l. Untuk lebih jelasnya, baku mutu air laut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah ini:

Tabel 2.1 baku mutu air laut

BAKU MUTU AIR LAUT KEPMEN KLH No. 51 NO

LOGAM

tahun 2004

(mg/l)

2. Baku mutu sedimen terhadap biota Indonesia belum memiliki baku mutu sedimen, negara-negara yang sudah memiliki baku mutu sedimen diantaranya adalah Australia, Newzealand, Swedia, Belanda dan Kanada. Menurut AMECQ-WG (The Asean Marine Environmental Quality Criteria-Working Group), Asean hanya menetapkan baku mutu untuk air laut, sedangkan baku mutu sedimen belum ditetapkan. AMECQ-WG setuju bahwa penentuan baku mutu sedimen mengikuti baku mutu yang ditetapkan oleh Kanada (Canadian Council of Ministers of the Environment approach) (Asean marine water quality criteria, 1999) seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 2.2 Baku mutu sedimen berdasarkan CCME (1999) Guidelines

BAKU MUTU SEDIMEN CCME, 1999 NO LOGAM BERAT

(mg/kg)

108 Sumber : CCME (Canadian Council of Ministers of the Environment approach)

2 Cu

Keterangan : ISQG = interim sediment quality guidelines PEL = probable effect level

2.11 Atomic Absorbtion Spectophotometer (AAS)

Atomic Absorbtion Spectophotometer (AAS), merupakan alat untuk menganalisis logam secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas, metode dari alat ini disebut spektofotometri serapan atom. (Skoog et. al., 1996).

1) Prinsip dasar AAS Prinsip dasar AAS adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan sampel. AAS merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah. Cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan nyala yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, sebagian cahaya akan diserap dan banyak penyerapan berbanding lurus dengan banyaknya atom dalam nyala. Hal ini merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan menggunakan AAS (Khopkar, 1990).

2) Cara kerja AAS Cara kerja AAS berdasarkan atas penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut menyerap radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hallow Cathode Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono,1995).

Secara rinci prosesnya dimulai dari sampel yang akan dianalisis berupa cairan, sampel kemudian diserap ke dalam ruang pengkabutan (nebulizer) untuk diubah menjadi partikel-partikel kecil (aerosol) dengan menggunakan udara bertekanan yang dialirkan dari kompresor. Partikel kemudian dipecah lagi menggunakan baling-baling (flow spoiler) untuk menghasilkan partikel yang lebih kecil dan halus, sedangkan partikel yang ukurannya besar akan dikeluarkan melalui pembuangan (drain). Partikel yang dilewatkan akan dicampur dengan gas pengoksida (udara) dan bahan bakar yaitu gas asetiln (Khopkar, 1990).

3) Keuntungan menggunakan AAS (Khopkar, 1990)

1. AAS dapat menentukan hampir keseluruhan unsur logam.

2. AAS dapat menentukan logam dalam skala kualitatif karena lampunya 1 (satu) untuk setiap 1 logam.

3. Analisis unsur logam langsung dapat ditentukan walau sampel dalam bentuk campuran.

4. Analisis unsur logam dengan AAS didapat hasil kuantitatif.

5. Analisis dapat diulangi beberapa kali, dan akan selalu di peroleh hasil yang sama.

4) Komponen AAS (Khopkar, 1990)

1. Sumber sinar Sumber sinar yang lazim dipakai pada AAS adalah lampu katoda, lampu katoda digunakan untuk menentukan konsentrasi logam dari suatu sampel, dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan atom-atom logam katodanya akan teruapkan. atom akan teruapkan kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang tertentu. Salah satu kelemahan penggunaan lampu katoda adalah satu lampu katoda hanya dapat digunakan untuk satu unsur saja.

2. Sistem pengatoman unsur-unsur yang akan dianalisa akan diubah bentuknya dari bentuk ion menjadi bentuk atom bebas pada sistem pengatoman. Beberapa jenis pengatoman, yaitu : sistem pengatoman dengan nyala api, sistem pengatoman dengan tungku grafit, sistem pengatoman dengan pembentukan hidrida, dan sistem pengatoman dengan uap dingin.

3. Monokromator Monoktomator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radias yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh lampu katoda

4. Detektor Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik.

5. Monitor Monitor merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai sistem pencatat hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi. Pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu perekam yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.

Gambar 2.1. Skema instrumensasi AAS (Slavin, 1987)

5) Gangguan pada AAS

1. Gangguan oleh penyerapan non atomik Gangguan ini terjadi akibat penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Cara mengatasi penyerapan non atomik ini adalah dengan cara memasang panjang gelombang yang lebih besar (Rohman, 2007).

2. Gangguang spektrum Gangguan spektrum dalam AAS timbul akibat terjadinya tumpang tindih antara frekuensi-frekuensi garis resonansi unsur yang dianalisis dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini disebabkan karena rendahnya resolusi monokromator (Mulja, 1995).

6) Validasi metode analisa (Hidayati, 2013)

1. Uji akurasi (ketepatan) Uji ini dilakukan dengan cara menguji larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya dengan menggunakan AAS dan dilakukan uji blanko.

2. Uji linearitas Uji ini dilakukan dengan membuat kurva kalibrasi standar dengan beberapa macam konsentrasi standar Pb dan Cu yang telah diketahui, kemudian dilanjutkan dengan mengukur standar Pb 0, 1, 2, 5 dan 10 ppm da Cu 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm. Setelah itu didapatkan kurva kalibrasi dan harga “r”.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Januari 2015 di perairan Kuala Langsa, Kota Langsa. Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu kegiatan pengambilan sampel di lapangan dan kegiatan analisis logam berat di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Nasional (BARISTAND). Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.1 dan koordinat stasiun penellitian disajikan pada Tabel 3.1

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian

Tabel 3.1 Letak geografis stasiun penelitian Stasiun

Letak geografis

Stasiun 1 4˚31’33,72”N 98˚1’20,96”E Stasiun 2

4˚31’28,13”N 98˚1’17,82”E Stasiun 3

4˚30’22,49”N 98˚0’30 ,74”E

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel

3.2 berikut: Tabel 3.2 Alat dan Bahan

NO Alat dan Bahan

Untuk mengaalisis logam Pb dan Cu pada sampel

2 Botol polietilen

9 unit

Untuk wadah sampel air

3 Plastik sampel

9 unit

Untuk wadah sampel sedimen, akar dan daun mangrove

4 Gayung plastik

Untuk mengambil sampel air bertangkai

1 unit

5 pH meter

1 unit

Untuk mengukur pH dan temperatur air dan sedimen

6 Timbangan

1 unit

Untuk menimbang sedimen, akar, dan daun

7 Gunting

1unit

Untuk mengambil sampel daun mangrove

8 Coolbox

1unit

Untuk wadah pendinginan sampel

9 Kamera digital

1unit

Untuk dokumentasi penelitian

10 Es batu Secukupnya Untuk pengawetan sampel

11 Detergen Secukupnya Untuk mencuci botol polietilen

12 Air bebas analit Secukupnya Untuk mencuci botol polietilen

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Penentuan titik sampel Metode yang digunakan untuk menentukan titik sampel pada penelitian ini

adalah metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah penentuan titik sampel berdasarkan pada survey yang telah dilakukan dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik yang terdapat pada perairan Kuala Langsa (Wahyuni et al,. 2013). Peneliti menentukan 3 stasiun penelitian, kriteria masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 3.3 dibawah ini:

Tabel 3.3 Kriteria Stasiun Pegambilan Sampel

Kapal-kapal

Stasiun Vegetasi mangrove Jalur melintas kapal

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Teknik pengambilan data lapangan

1) sampel air - Sampel pada masing-masing stasiun diambil dengan menggunakan gayung

plastik bertangkai (SNI 6989-57, 2008). - Sampel dimasukkan kedalam botol polietilen 600 mL yang telah dicuci

dengan detergen dan HNO 3 1:1 (SNI 6989-57, 2008).

- Sampel di dalam botol polietilen kemudian dimasukkan ke dalam kotak steroform yang telah diisi oleh bongkahan es (SNI 03-7016, 2004). - Sampel dianalisis di lab lingkungan Balai Riset dan Standardisasi Industri (BARISTAND) Banda Aceh.

2) sampel sedimen (Andarani dan Roosmini, 2009). - Sampel pada masing-masing stasiun diambil dengan bantuan penyelam. - Sampel dimasukkan kedalam plastik sampel 100 g. - Sampel kemudian dimasukkan ke dalam coolbox yang berisi bongkahan es. - Sampel dianalisis di lab kimia Balai Riset dan Standardisasi Industri

(BARISTAND) Banda Aceh.

3) sampel akar dan daun Rhizophora stylosa (Panjaitan, 2009) - Sampel akar dan daun Rhizophora stylosa diambil pada stasiun I, dengan tinggi 4-6 m dan berumur 5 tahun.

- Sampel akar diambil dengan menggunakan parang dan sampel daun diambil dengan menggunakan gunting. - Sampel dimasukkan ke plastik sampel 100 g. - Sampel dianalisis di lab kimia Balai Riset dan Standardisasi Industri

(BARISTAND) Banda Aceh.

3.4.2 Langkah analisis di laboratorium

1) lab lingkungan BARISTAND

a. pembuatan larutan standard - Larutan induk Pb (Pb(NO 3 ) 2 dalam HNO 3 0,5 mol/L) dan Cu (Cu(NO 3 ) 2

dalam HNO 3 0,5 mol/L) 1000 ppm diencerkan menjadi 100 ppm. - Larutan standard Pb 100 ppm kemudian diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 5 ppm dan 10 ppm. - Larutan standard Cu 100 ppm diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm dan 8 ppm.

b. pembuatan blanko

- 0,5 mL HNO 3 ditambahkan aquadest sampai volume 50 mL.

- Blanko dianalisis di AAS Shimidzu AA-6200.

c. preparasi sampel (air) parameter uji : - Pb (SNI 06-6989-8, 2004)

- Cu (SNI 06-6989-6, 2004) - Air disaring dengan menggunakan kertas saring whatman ukuran 41. - Sampel dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL sebanyak 40 mL. - Sampel ditambahkan 0,5 mL HNO 5 N. - Larutan ditambahkan aquadest sampai batas akhir (50 mL).

- Sampel dianalisis dengan menggunakan AAS merk Shimidzu tipe AA-6200.

d. pembuatan kurva kalibrasi, pembacaan konsentrasi regresi sampel, dan pembacaan konsentrasi regresi blanko

- Lampu katoda Pb dengan panjang gelombang 217,0 nm dipasang di AAS. - Larutan standard Pb 1 ppm, 2 ppm, 5 ppm dan 10 ppm dihubungkan ke pipa

kapiler AAS untuk diketahui absorbansinya. - Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Pb terbaca di monitor dan membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Pb adalah 0,9923. - Pipa kapiler AAS dikalibrasi dengan aquadest. - Sampel air I, II dan III dengan parameter Pb di hubungkan ke pipa kapiler

AAS. - Didapatkan konsentrasi regresi dan absorbansi Pb pada sampel. - Pipa kapiler AAS dikalibrasi dengan aquadest. - Larutan blanko dihubungkan ke pipa kapiler dan didapatkan konsentrasi

regresi larutan blanko Pb. - Pipa kapiler dikalibrasi dengan aquadest. - Lampu katoda Cu dengan panjang gelombang 324,8 nm dipasang di AAS - Larutan standard Cu 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, dan 8 ppm dihubungkan ke pipa

kapiler AAS untuk diketahui absorbansinya. - Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Cu terbaca di monitor dan membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Cu adalah 0,9987. - Pipa kapiler dikalibrasi dengan aquadest. - Sampel air I, II dan III dengan parameter Cu di hubungkan ke pipa kapiler

AAS. - Didapatkan konsentrasi regresi dan absorbansi Cu pada sampel.

- Pipa kapiler dikalibrasi dengan aquadest. - Larutan blanko di hubungkan ke pipa kapiler AAS dan didapatkan konsentrasi

regresi larutan blanko Cu.

2) Lab Kimia BARISTAND

a. pembuatan larutan standard - Larutan induk Pb (Pb(NO 3 ) 2 dalam HNO 3 0,5 mol/L) dan Cu (Cu(NO 3 ) 2

dalam HNO 3 0,5 mol/L) 1000 ppm diencerkan menjadi 100 ppm. - Larutan standard Pb 100 ppm kemudian diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 5 ppm dan 10 ppm. - Larutan standard Cu 100 ppm diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm dan 8 ppm.

b. pembuatan larutan blanko - 0,5 mL HNO 3 ditambahkan aquadest sampai volume 100 mL. - Blanko dipindahkan ke kuvet sebanyak 10 mL - Blanko di analisis dengan AAS Shimidzu AA-7000.

c. preparasi sampel • sampel sedimen (EPA Method 200.2, 1994).

- Sampel I , II dan III masing-masing ditimbang 100 g. - Sampel dikeringkan dalam oven 90˚C selama 3 jam untuk menghilangkan

kadar air dan diperoleh berat kering. - Sampel dihaluskan dan diayak dengan ayakan 100 mesh. - Sampel ditimbang dengan berat sampel stasiun I, II dan III adalah 0,2485 g,

0,2254 g, dan 0,2006 g.

- Masing-masing sampel dilarutkan dengan menambahkan 20 mL aqua regia (5 mL HNO pekat+15 mL HClO ). - Larutan kemudian dipanaskan di ruang asam. - Pemanasan dihentikan jika volume larutan sisa tinggal 5 mL. - Sampel kemudian ditambahkan 15 mL aquadest. - Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL sebanyak 20 mL dengan

menggunakan corong yang dilapisi kertas saring whatman nomor 41, sebelumnya kertas saring dibasahi dengan aquadest.

- Sampel yang telah disaring ditambahkan aquadest sampai volume 100 mL. - Sampel dipindahkan ke kuvet sebanyak 10 mL. - Sampel dianalisis dengan menggunakan AAS Shimidzu tipe AA-7000.

• sampel akar dan daun mangrove (EPA Method 200.2, 1994). - Sampel dirajang, lalu dikeringkan dalam oven 90˚C selama 2 jam untuk

menghilangkan kadar air dan diperoleh berat kering. - Sampel dirajang lebih halus lagi dan diayak dengan ayakan 100 mesh. - kemudian ditimbang dengan berat akar dan daun adalah 1,0171 g dan 1,0044

g. - Masing-masing sampel kemudian ditambahkan 20 mL HNO pekat. - Larutan kemudian dipanaskan di ruang asam, pemanasan dihentikan jika

volume sisa tinggal 5 mL, lalu ditambahkan 15 mL aquadest. - Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur sebanyak 20 mL dengan menggunakan corong yang dilapisi kertas saring whatman nomor 41, sebelumnya kertas saring dibasahi dengan aquadest.

- Sampel yang telah disaring ditambahkan aquadest sampai volume 100 mL. - Sampel dipindahkan ke kuvet sebanyak 10 mL.

- Sampel dianalisis dengan menggunakan AAS merk Shimidzu tipe AA-7000.

c) pembuatan kurva kalibrasi, pembacaan konsentrasi regresi sampel dan pembacaan konsentrasi regresi blanko - Lampu katoda Pb dengan panjang gelombang 217,0 nm dan lampu katoda Cu dengan panjang gelombang 324,8 nm dipasang di AAS. - Larutan standard Pb, sampel dan blanko dimasukkan ke vial AAS. - Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Pb terbaca di monitor dan

membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Pb adalah 0,999 . - Konsentrasi regresi Pb pada sampel terbaca oleh monitor. - Konsentrasi regresi blanko terbaca oleh monitor. - Larutan standard Cu, sampel dan blanko dihubungkn ke vial AAS. - Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Cu terbaca di monitor

dan membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Cu adalah 0,999 . - Konsentrasi regresi sampel terbaca oleh monitor. - Konsentrasi regresi blanko terbaca oleh monitor.

3.4.3 Analisis data

1) konsentrasi sebenarnya

a. air (SNI 06-6989, 2004)

)×× Konsentrasi sebenarnya (mg/l) =

b. sedimen, akar dan daun mangrove (EPA Method 200.2, 1994).

)×× Konsentrasi sebenarnya (mg/kg) =

Keterangan :

C reg = Konsentrasi regresi (mg/L) Blanko = Larutan bebas logam P

= Faktor pengencer

V = Volume larutan sampel (L)

V o = Volume awal (L)

V t = Volume akhir (L)

G = Berat sampel (kg)

2) analisis deskriptif Data kuantitas Pb dan Cu pada air yang diperoleh dari hasil penelitian, dianalisis secara deskriptif sesuai dengan baku mutu air laut berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN KLH) Nomor 51 Tahun 2004. Kuantitas Pb dan Cu pada sedimen dianalisis secara deskriptif berdasarkan CCME (Canadian Council of ministers of the environtment) Guidelines tahun 1999, kemudian dianalisis nilai SQG-Q (sediment quality guidelines quotion). Nilai SQG- Q dikembangkan untuk sedimen muara dan dapat mengevaluasi efek kandungan logam pada sedimen terhadap organisme air dan dirancang untuk membantu penafsiran kualitas sedimen. Rumus SQG-Q (Caeiro et al., 2005) :

PEL-Qi =

SQG-Q =

Keterangan : kontaminan

= kuantitas logam

PEL

= probable effect level

= jumlah sampel logam dalam satu stasiun

Dimana, jika nilai SQG-Q < 0,1

= efek negatif logam berat terhadap biota rendah 0,1 < SQG-Q < 1

= efek negatif logam berat terhadap biota sedang SQG-Q > 1

= efek negatif logam berat terhadap biota tinggi

3) analisis faktor biokonsentrasi (BCF) Setelah kandungan logam berat dalam air, sedimen, akar dan daun Rhizophora stylosa sudah diketahui, selanjutnya data tersebut digunakan untuk menghitung kemampuan mangrove mengakumulasi Pb dan Cu melalui tingkat biokonsentrasi faktor (BCF) dengan rumus (Panjaitan, 2009) :

BCF = (

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di ekosistem mangrove Hasil analisis Pb dan Cu dengan menggunakan AAS menunjukkan bahwa

kuantitas Pb pada air paling tinggi terdapat di stasiun III (TPI) dan Cu di stasiun I (vegetasi mangrove). Kuantitas Pb dan Cu pada sedimen paling tinggi terdapat di stasiun II (pelabuhan). Kuantitas Pb pada akar dan daun R. stylosa tidak terdeteksi oleh AAS, sedangkan kuantitas Cu paling tinggi terdapat pada akar. Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 dibawah ini menunjukkan kuantitas Pb dan Cu pada air, sedimen, dan R. stylosa: Tabel 4.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada air

KUANTITAS BAKU

PARAMETER

Keterangan UJI

LOGAM

STASIUN

MUTU AIR

BERAT

(mg/L) (mg/L)

Melebihi baku mutu

- Keterangan : Stasiun I

III

Vegetasi mangrove

Stasiun II

Pelabuhan Kuala Langsa

Stasiun III = Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sumber

: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004

Tabel 4.2 Kuantitas Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada sedimen

KUANTITAS

BAKU MUTU

SQG-Q UJI

STASIUN

BERAT

(mg/kg)

(mg/kg)

Tinggi Cu

Sedang Keterangan : Stasiun I

III

vegetasi mangrove

Stasiun II

pelabuhan Kuala Langsa

Stasiun III =

tempat pelelangan ikan (TPI)

ISQG

interim sediment quality guidelines PEL

probable effect levels

sediment quality guideline quotion Sumber

SQG-Q

: CCME (Canadian Council of ministers of the environtment) 1999 Guidelines

Tabel 4.3 Kuantitas Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada akar dan daun R. stylosa

PARAMETER UJI STASIUN

SAMPEL

(mg/kg)

13,530 Keterangan : Stasiun I

Daun

Kawasan ekosistem mangrove

4.1.2 Faktor biokuantitas (BCF) mangrove R. stylosa Hasil analisis kuantitas Pb dan Cu pada akar dan daun R. stylosa didapatkan nilai

BCF yang menunjukkan bahwa R. stylosa dapat menyerap Cu pada sedimen. Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 menyajikan nilai BCF akar dan daun R. stylosa terhadap Pb dan Cu di air dan sedimen: Tabel 4.4 Faktor biokuantitas (BCF) akar dan daun R. stylosa terhadap logam Pb

KUANTITAS Pb (mg/kg)

BCF AKAR

BCF DAUN

Tumbuhan

Medium

Air Sedimen Air <0,0001 <0,0001 <0,0001 <0,0012

Akar Daun

Sedimen

Air

Sedimen

ND

ND

ND ND

Tabel 4.5 Faktor biokuantitas (BCF) akar dan daun R. stylosa terhadap logam Cu

KUANTITAS Cu (mg/kg)

BCF AKAR

BCF DAUN

Tumbuhan

Medium

Sedimen Air 37,030 13,530

Akar Daun

0,11 ND Keterangan : ND = not detected

4.2.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ekosistem mangrove Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas Pb pada air di stasiun III sudah

melebihi baku mutu KEPMEN KLH No. 51 Tahun 2004, sedangkan kuantitas Cu tidak terdeteksi pada ketiga stasiun pengamatan. Kuantitas Pb pada sedimen di stasiun II dan

III dikategorikan sedang, kuantitas Cu pada stasiun I dan II dikategorikan tinggi dan pada stasiun III Cu di sedimen dikategorikan sedang menurut CCME Tahun 1999. Kuantitas Pb pada akar dan daun mangrove tidak terdeteksi oleh alat dan kuantitas Cu pada akar dan daun mangrove 37,030 mg/kg dan 13,530 mg/kg. Logam di perairan secara umum bersumber dari aktivitas darat, terdistribusi oleh arus dan adukan turbulensi, dan kelarutannya dipengaruhi oleh pH dan temperatur.

Logam yang terdeteksi pada air hanya terdapat di stasiun III (TPI) yaitu logam Pb. Kuantitas Pb yang tinggi pada air di stasiun III disebabkan oleh banyaknya kapal yang ditambat, cat kapal tersebut diduga mengandung Pb, dimana Pb tersebut akan melarut melalui bantuan pH air yang asam, walaupun Pb terdeteksi pada sedimennya, namun Pb diduga tidak melarut karena sinar matahari tidak menjangkau sampai kedalaman ±8 m di stasiun ini. Logam Pb dan Cu pada air di stasiun I dan II tidak terdeteksi, dimana kedalaman dari stasiun ini adalah 2 m dan 12 m. penelitian pada stasiun I bertentangan dengan penelitian Maslukah (2013) yang menyebutkan bahwa perairan yang dangkal akan mengandung logam yang lebih tinggi pada badan airnya, karena arus pada perairan dangkal proses resuspensi sedimen lebih tinggi. Perbedaan Logam yang terdeteksi pada air hanya terdapat di stasiun III (TPI) yaitu logam Pb. Kuantitas Pb yang tinggi pada air di stasiun III disebabkan oleh banyaknya kapal yang ditambat, cat kapal tersebut diduga mengandung Pb, dimana Pb tersebut akan melarut melalui bantuan pH air yang asam, walaupun Pb terdeteksi pada sedimennya, namun Pb diduga tidak melarut karena sinar matahari tidak menjangkau sampai kedalaman ±8 m di stasiun ini. Logam Pb dan Cu pada air di stasiun I dan II tidak terdeteksi, dimana kedalaman dari stasiun ini adalah 2 m dan 12 m. penelitian pada stasiun I bertentangan dengan penelitian Maslukah (2013) yang menyebutkan bahwa perairan yang dangkal akan mengandung logam yang lebih tinggi pada badan airnya, karena arus pada perairan dangkal proses resuspensi sedimen lebih tinggi. Perbedaan

Senyawa logam yang terdeteksi pada sedimen paling dominan adalah Cu, dimana pada stasiun I dan II Cu sudah termasuk dalam kategori tinggi dan pada stasiun

III termasuk dalam kategori sedang, sedangkan Pb yang terdeteksi pada stasiun II dan

III masih termasuk dalam kategori sedang. Kuantitas logam yang lebih rendah di badan air dibandingkan di sedimen pada penelitian ini, sesuai dengan penelitian Rochyatun et al. (2006) yang menyebutkan bahwa di muara arus air sungai bertemu dengan arus pasang dan kondisi arus yang cukup tenang membuat logam yang terjerap di sedimen mengalami pengenceran yang cukup rendah. Kuantitas Cu yang terdeteksi di sedimen tetapi tidak terdeteksi di air, diperkuat oleh penelitian Purwiyanto (2013) yang menyebutkan bahwa Cu merupakan logam berat yang cenderung lebih mudah mengendap di sedimen.

Logam yang terdeteksi di R. stylosa adalah logam Cu, dimana kuantitas Cu di akar lebih besar daripada di daun, hal ini menunjukkan bahwa akar secara langsung berperan dalam proses penyerapan logam Cu (Amin, 2001). Hasil yang didapatkan di lapangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taryana (1995) yang menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana tegakan mangrove jenis R. stylosa dapat menyerap logam Cu sebesar 43,9 mg/kg. Pb tidak terdeteksi pada akar maupun daun R. stylosa mengingat pada air dan sedimen juga mengandung logam Pb.

4.2.2 Faktor biokonsentrasi (BCF) R. stylosa Faktor biokonsentrasi adalah konsentrasi senyawa atau unsur yang terdapat di

dalam organisme. Nilai BCF didapatkan jika kuantitas Pb dan Cu pada mangrove didapatkan terlebih dahulu. Sampel akar dan daun mangrove yang diambil di stasiun I merupakan jenis dari R. stylosa. BCF yang dihitung untuk mengetahui kemampuan mangrove menyerap logam Pb dan Cu dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kemampuan akar dan daun menyerap Pb dan Cu terhadap air dan sedimen.

Berdasarkan perhitungan nilai BCF, tidak diketahui kemampuan R. stylosa dalam menyerap Pb karena Pb tidak terdeteksi pada air, sedimen, akar dan daun mangrove R. stylosa. R. stylosa juga tidak diketahui kemampuannya dalam menyerap Cu dari air, karena Cu tidak terdeteksi pada air. Nilai BCF pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa akar dan daun R. stylosa mampu menyerap Cu dari sedimen, dimana akarnya mampu menyerap Cu sebanyak 0,30 kali dan daunnya 0,11 kali dari sedimen. Hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamzah dan Setiawan (2010) yang mendapatkan nilai BCF akar dan daun R. mucronata adalah 0,43 kali dan 0,07 kali di sedimen, ini menunjukkan bahwa Rhizophora sp. memiliki kemampuan yang sama dalam menyerap Cu. Menurut Hutagalung (1997), Cu lebih memungkinkan diserap oleh tumbuhan, karena Cu merupakan logam essensial bagi pertumbuhan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. kuantitas Pb pada air di stasiun III (TPI) sudah di atas baku mutu, sedangkan Cu pada air di ketiga stasiun masih di bawah baku mutu air laut menurut KEPMEN KLH No.51 tahun 2004.

2. kuantitas Pb pada sedimen pada stasiun II dan III dikategorikan sedang, sedangkan Cu pada sedimen pada stasiun I dan II dikategorikan tinggi dan Cu di stasiun III dikategorikan rendah menurut baku mutu CCME Tahun 1999.

3. akar dan daun Rhizophora stylosa diketahui mampu menyerap Cu dari sedimen sebanyak 0,30 kali dan 0,11 kali.

5.2 Saran

Disarankan bagi pemerintah untuk melakukan penelitian lanjutan pada lokasi pengamatan yang sama agar diketahui perkembangan kuantitas ion logam Pb 2+ dan

Cu 2+ dan mencari solusi agar kuantitas ion logam berat di perairan ini tidak bertambah yang pada akhirnya akan membahayakan masyarakat yang sering

memancing di Kuala Langsa.

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

1. Pengambilan data lapangan

Rhizophora stylosa di stasiun I Pengambilan data di stasiun I

Stasiun II Stasiun II saat pengambilan data

keadaan stasiun III Pengambilan data di stasiun III

Pengambilan data pH dan temperatur

2. Pengambilan data laboratorium

Pendataan sampel Pengamatan di lab lingkungan, BARISTAND

Preparasi sampel di lab kimia, BARISTAND Pengukuran berat sampel

Sampel setelah dipanaskan di oven Sampel di ruang asam

Sampel di AAS Shimidzu AA-7000 Konsentrasi regresi parameter uji Cu

Konsentrasi regresi parameter uji Pb

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, W., S. S. Shaukat. 2012. Effect of heavy metal polluton on leaf litter decomposition of two species of mangroves, Avicennia marina and Rhizophora mucronata. Journal of Basic and Applied Sciences. 8 : 696 –701.

Albion research notes. 1996. A compilation of vital research updates on nutrition. 5:2.

Amin, B. 2001. Akumulasi dan distribusi logam berat Pb dan Cu pada mangrove Avicennia marina di perairan pantai dumai. UNRI press, Riau.

Andarani, P., D. Roosmini. 2009. Profil pencemaran logam berat (Cu, Cr, dan Zn) pada air permukaan dan sedimen di sekitar industri tekstil PT X (sungai cikijing). Program Studi Teknik Lingkungan. ITB-Press, Bandung.

Asean marine water quality criteria. 1999. Contextual framework, principles, methodology and criteria for 18 parameters. ASEAN EVS Environment Consultants Ltd. And Department of Fisheries Malaysia published, Malaysia.