BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Kerangka Teori 1. Konsep Perlindungan Hukum - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Ta

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Kerangka Teori

1. Konsep Perlindungan Hukum

Pada hakikatnya, salah satu ciri negara hukum adalah dengan adanya asas persamaan di depan hukum (equality before the law). Menurut R. Soeroso, SH, hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat, dengan ciri memerintah, melarang, serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum juga dapat diartikan sebagai peraturan yang bersifat memaksa yang dibuat oleh penguasa, yang mengatur tingkah laku manusia, guna tercapainya suatu keteraturan dalam masyarakat.

Perlindungan hukum terhadap setiap warga negara merupakan suatu keharusan, karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Secara umum, perlindungan dapat diartikan sebagai mengayomi seseorang atau sesuatu dari hal-hal yang mengancam maupun membahayakan. Dalam pengertian lain, perlindungan juga diartikan sebagai mengayomi pihak yang lemah, supaya dapat merasa aman. Sehingga perlindungan hukum dapat dikatakan sebagai perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia yang dirugikan Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia yang dirugikan

untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara memberi batas kepentingan pihak lain. Dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah mengayomi hak asasi korban yang telah dilanggar atau dirugikan orang lain, dan supaya hak-hak korban dapat dipulihkan kembali.

Sementara perlindungan hukum menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban atau lembaga lainnya sesuai ketentuan undang-undang. 2 Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum

apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.

2. Adanya jaminan kepastian hukum.

3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.

4. Adanya sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Sebagai negara hukum, korban juga harus mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa

1 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 54. 2 Bambang Waluyo, Op.Cit, h. 100.

saja yang dilindungi hak-haknya, tetapi korban juga wajib dilindungi. 3 Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa perlindungan korban berdasarkan pada :

1. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, Asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan yang memandang setiap manusia, khususnya sebagai saksi dan/atau korban, sebagai makhluk ciptaan Allah, yang harus dihargai dan dilindungi, dan hak-hak tersebut tidak boleh dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun.

2. Rasa aman, Asas rasa aman adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban, berguna untuk menciptakan kondisi dalam suasana tenteram baik lahiriah dan batiniah, baik secara fisik maupun psikis.

3. Keadilan, Asas keadilan adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian hukum kepada saksi dan/atau korban sesuai dengan hak-haknya, secara proporsionalitas, prosedural, sesuai dengan kewajibannya memberikan kesaksian dalam setiap tahap peradilan.

4. Tidak diskriminatif, Asas tidak diskriminatif adalah asas dalam pemenuhan hak dalam pemberian bantuan yang memandang setiap saksi dan/atau korban

3 Bambang Waluyo, Op.Cit, h. 34.

memperoleh pengakuan yang dalam keadaan sama, harus diterapkan secara sama di depan hukum, tanpa membedakan tingkat ekonomi, golongan, ras, agama, suku bangsa, dan sebagainya.

5. Kepastian hukum. Asas kepastian hukum, adalah asas dalam pemenuhan hak dan pemberian bantuan di negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggara negara. 4 Sebagai negara hukum, seharusnya aparat penegak hukum kita

dalam menegakkan hukum tidak semata-mata menegakkan peraturan perundang-undangan saja. Kemampuan untuk menggali pemahaman hukum sebagaimana diajarkan dalam teori hukum progresif oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H, yaitu bukan hanya sekedar memahami hukum positif yang selama ini berlaku, tetapi juga bagaimana seorang penegak hukum itu mampu mengangkat nilai-nilai hukum yang bermuara kepada sebuah keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya keadilan yang didasarkan pada uraian kata-kata peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang sesungguhnya itu sebagaimana tergambar dalam benak dan hati sanubari setiap orang yang menghendaki keteraturan yang mereka butuhkan. Melalui penggalian nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama, atau tujuan yang paling dalam tentang tujuan dan hakikat kebutuhan hukum itu. Tujuan atau inti dari hukum itu harus dilandasi oleh penilaian hati

4 Siswanto Sunarso, Op.Cit, h. 247.

nurani dan makna hukum yang paling dalam. Di sinilah diperlukannya peran hukum progresif. Hukum progresif adalah suatu tinjauan teori yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo tentang makna hukum yang sesungguhnya, yaitu hukum yang benar-benar ingin mewujudkan jati dirinya pada sebuah nilai keadilan yang sebenarnya, bukan hanya keadilan menurut peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih kepada bagaimana seharusnya manusia itu berperilaku.

2. Perlindungan Hak Korban

Membahas mengenai perlindungan perempuan sebagai korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, pertama-tama tentu harus memahami definisi dari korban itu sendiri secara umum. Siapakah yang dimaksud dengan korban? Beberapa sarjana memberikan definisi korban, sebagai berikut :

1. I.S. Susanto mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan. Sedangkan korban dalam arti luas meliputi juga korban dalam berbagai bidang, seperti korban perang,

korban sewenang-wenangan dan lain sebagainya. 5

2. Muladi mengatakan, bahwa korban kejahatan adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai targe t (sasaran) kejahatan (“victim is a person who hast just suffered damage as a result of a crime and/or whose sense

5 I.S. Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, h. 201.

of justice has been directly disturbed by the experience on having been the target of crime 6 ”).

3. Arif Gosita mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan dari orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita. 7 Dapat dikemukakan ruang lingkup pengertian korban, dalam arti

luas maupun sempit. Dalam pengertian arti luas meliputi : penderitaan atau kerugian yang dialami manusia, korporasi, baik secara fisik ataupun psikis dan reduksi nilai-nilai dalam artian psikis secara luas, seperti perwujudan fungsi hukum dalam mengakomodasi nilai hak asasi manusia, antara lain nilai keadilan, nilai perlindungan, dan nilai demokrasi, karena perbuatan kejahatan ataupun penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian korban dalam arti sempit adalah sebagai penderitaan atau kerugian yang dialami orang atau sekelompok orang karena perbuatan jahat sebagaimana yang telah dirumuskan dan dapat dipidana dalam hukum pidana. Untuk mempermudah pemahaman mengenai korban, maka korban adalah seseorang yang mengalami kerugian atau penderitaan akibat perbuatan jahat orang lain maupun seseorang yang hak-haknya dan keadilannya dilanggar oleh orang lain.

6 Bambang Dwi Baskoro, Bunga Rampai Penegakan Hukum Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang, 2001, h. 171.

7 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Prassindo, Jakarta, 1983, h. 41.

Pada hakikatnya, perlindungan terhadap korban sebagai janji-janji hukum oleh sistem peradilan pidana berusaha mewujudkan fungsi primer hukum yang sebagaimana diungkapkan oleh I.S. Susanto dalam tiga hal :

1. Perlindungan Hukum berfungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan yang merugikan dari sesama dan kelompok masyarakat termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai, dan hak asasinya.

2. Keadilan Hukum menjaga, melindungi dari keadilan bagi seluruh rakyat. Secara negatif, dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil yaitu apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-hak yang dipercayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.

3. Pembangunan Hukum dipakai sebagai kendaraan baik dalam menentukan arah, tujuan, dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya, hukum sekaligus digunakan sebagai alat pembangunan namun juga sebagai alat

kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil. 8 Dengan berkembangnya jaman, serta dilatarbelakangi oleh

bergesernya perspektif dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif. Keadilan restoratif (restorative justice) berpijak pada hubungan yang manusiawi antara korban dengan pelanggar dan fokusnya pada dampak

8 C. Maya Indah S, Op.Cit, h. 72.

yang ditimbulkan oleh kejahatan pada semua pihak, baik itu korban, masyarakat, dan pelanggar hukum sendiri. Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan pidana sehingga mendorong terjadinya perdamaian antara korban dan pelaku. Perdamaian itu dilakukan melalui mediasi, pertemuan, program perbaikan ekonomi, dan pendidikan kejujuran. Konsep hukum pidana menurut keadilan restoratif, orientasi keadilan ditujukan kepada orang yang terlanggar haknya yang dilindungi oleh peraturan hukum (korban), pelanggaran hukum pidana adalah melanggar hak perseorangan (korban), dan korban kejahatan adalah orang yang dirugikan akibat kejahatan/pelanggaran hukum pidana, yaitu orang-orang yang menderita langsung akibat kejahatan (korban), masyarakat, negara, dan juga pelanggar itu sendiri. Pergeseran ini merupakan pergeseran filsafat keadilan dari hukum positif yang mendasarkan kepada asas hukum materiil dalam sistem peradilan pidana. Pergeseran tersebut telah membawa cara pandang baru dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana, yakni sebagai berikut :

1. Keadilan dalam hukum pidana berorientasi pada kepentingan atau penderitaan korban (viktimisasi atau dampak kejahatan) dan pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibatnya pada diri korban.

2. Kejahatan atau pelanggaran hukum pidana adalah melanggar kepentingan publik dan kepentingan korban adalah bagian pertama dan utama dari kepentingan publik. Jadi kejahatan merupakan konflik antara pelanggar dengan antarperseorangan (korban) sebagai bagian dari kepentingan publik.

3. Korban adalah orang yang dirugikan karena kejahatan (pelanggaran hukum pidana).

4. Penyelenggaraan peradilan pidana berfungsi sebagai sarana penyelesaian konflik (conflict resolution).

5. Pidana dan jenis pidana yang hendak dijatuhkan kepada pelanggar adalah bagian dari penyelesaian konflik dengan menekankan tanggung jawab pelanggar terhadap perbuatan beserta akibat-akibatnya.

6. Korban, masyarakat, negara, dan pelanggar dalam proses peradilan pidana bersifat aktif. 9

Korban harus mendapat pelayanan hukum berupa perlindungan hukum. Bukan hanya tersangka atau terdakwa saja yang dilindungi hak-hak nya, tetapi juga korban dan saksi wajib dilindungi. Wajar jika ada keseimbangan antara perlindungan korban dan atau saksi.

Menurut Barda Nawawi Arief, bahwa hukum pidana positif saat ini lebih menekankan pada perlindungan korban “in abstrakto”, secara tidak

langsung. Hal ini dikarenakan tindak pidana positif menurut hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara pribadi dan konkret, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran norma/tertib hukum in abstrakto. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana terhadap korban bukanlah pertanggungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkret, tetapi lebih tertuju kepada pertanggungjawaban pribadi.

9 Siswanto Sunarso, Op.Cit, h. 47.

Hak untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan kasus, putusan pengadilan, dan terpidana dibebaskan adalah berkaitan dengan hak untuk memperoleh jaminan perlindungan, dan hak untuk memperoleh kejelasan tentang proses perkembangan kasus tindak pidana yang terjadi dan untuk kepentingan pembelaan diri, bagi korban maupun saksi.

Hak korban lain yakni berhak untuk mendapatkan identitas baru dan mendapatkan kediaman yang baru merupakan bentuk-bentuk perlindungan terhadap tempat-tempat (safe house), untuk kepentingan kepada diri korban supaya terbebas dari ancaman, gangguan, dan kenyamanan agar saksi dan korban dapat memberikan keterangan kesaksian secara bebas tanpa tekanan fisik dan psikis.

Hak untuk memperoleh penggantian biaya transportasi dan memperoleh bantuan biaya hidup merupakan salah satu bentuk wujud bantuan restitusi atau kompensasi tertentu, karena selama proses penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berhubungan dengan dirinya, dipastikan korban telah mengeluarkan biayanya sendiri, dan mempengaruhi terhadap rasa aman dan kenyamanan pada dirinya sendiri. Sedangkan hak untuk memperoleh bantuan hukum merupakan asas untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan bantuan hukum, sebagai salah satu wujud

pengakuan atas hak asasi manusia. 10 Hak-hak korban yang telah disebut diatas, selaras dengan pendapat

Van Boven yang dikutip oleh Rena Yulia : ” Hak-hak para korban adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan,

dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk

10 Siswanto Sunarso, Op.Cit, h. 260.

kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asas i manusia.”

Perlindungan korban khususnya hak korban untuk memperoleh ganti rugi merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang kesejahteraan dan jaminan sosial (social security). Hal ini pun mendapat pengakuan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 25 ayat 1 yang menyatakan :

“Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya serta keluarganya, termasuk makanan,

pakaian, rumah, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan hak atas keamanan pada masa menganggur, sakit, tidak mampu bekerja, menjanda, lanjut usia, atau kekurangan nafkah lainnya

dalam keadaan diluar kekuasaannya. 11

Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and the Abuse of Power yang disetujui oleh Majelis Umum PBB 29 November 1985 (resolusi 40/34) atas rekomendasi Kongres ketujuh, menyatakan perlindungan korban antara lain dalam wujud sebagai berikut :

1. Korban kejahatan harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat terhadap martabatnya, serta diberi haknya untuk segera menuntut ganti rugi. Mekanisme hukum dan administrasinya harus dirumuskan dan disahkan untuk memungkinkan korban kejahatan memperoleh ganti rugi.

11 C. Maya Indah S, Op.Cit, h. 134.

2. Korban kejahatan harus diberi informasi mengenai peran mereka, jadwal waktu, dan kemajuan yang telah dicapai dalam penanganan kasus mereka. Penderitaan dan kepribadian korban kejahatan harus selalu ditampilkan dan disampaikan pada setiap tingkatan proses. Jika ganti rugi yang menyeluruh tidak dapat diperoleh dari pelaku kenakalan, dalam kasus-kasus kerugian fisik atau mental yang parah, negara berkewajiban memberi ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya.

3. Korban kejahatan harus menerima ganti rugi kepada korban kejahatan atau keluarganya. Sebenarnya, perlindungan korban dan/atau saksi tidak serta merta lahir oleh faktor internal dalam negeri. Sedikit banyak dipengaruhi pula oleh dinamika global, baik berupa dinamika masyarakat ataupun memang keharusan bahkan tekanan-tekanan, maupun keterikatan melaksanakan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Landasan hukum, bagi perlindungan korban adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Pasal 1 UUD 1945 yang berbunyi :

1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik ;

2. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD ;

3. Negara Indonesia adalah negara hukum ; Kemudian dengan keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan korban, memberi angin segar atau harapan bagi masyarakat yang menjadi 3. Negara Indonesia adalah negara hukum ; Kemudian dengan keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap saksi dan korban, memberi angin segar atau harapan bagi masyarakat yang menjadi

1. Memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam setiap proses peradilan pidana.

2. Memfasilitasi langkah-langkah pemulihan bagi korban tindak pidana khususnya dalam pengajuan kompensasi atau restitusi.

3. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dan berwenang dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban. Menurut Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008, tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, pengertian tentang kompensasi, restitusi, dan bantuan sebagai berikut :

a. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

b. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

c. Bantuan adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh LPSK dalam bentuk bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko- sosial.

Perlindungan terhadap saksi dan korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, merupakan wujud dari prinsip negara hukum yang menjamin kepastian hukum.

Sedangkan hak-hak dari korban secara yuridis dapat dilihat dalam perundang-undangan, salah satunya adalah UU No. 31 Tahun 2014. Dalam pasal 5 undang-undang tersebut diatur beberapa hak korban dan saksi, yakni sebagai berikut :

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

3. Memberikan keterangan tanpa tekanan.

4. Mendapat penerjemah.

5. Bebas dari pertanyaan menjerat.

6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.

7. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.

8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.

9. Mendapat identitas baru.

10. Mendapatkan tempat kediaman baru.

11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.

12. Mendapat nasihat hukum.

13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. 12

12 Bambang Waluyo, Op.Cit, h. 41.

3. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “straafbaarfeit”. Istilah tersebut diterjemahkan oleh Prof. Mulyatno, S.H., menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana menunjuk pada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat

pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum). 13 Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari

bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan

hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana ”. Sementara Moeljatno mendefinisikan delik sebagai :

“delik sebagai perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangan ini ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian) yang ditimbulkan oleh kelakuan orang sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian tersebut.”

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana apabila memenuhi dua unsur, yakni adanya unsur actus reus atau unsur esensial dari kejahatan (physical element) serta mens

13 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 50.

rea (mental element), yakni keadaan sikap batin. Menurut Zainal Abidin Farid, menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik, sedangkan mens rea termasuk pertanggungjawaban pembuat. Asas legalitas sebagai ukuran tindak pidana, dengan bahasa latin nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege. Asas legalitas menentukan unsur suatu perbuatan dapat dipidana berdasarkan pada aturan-aturan hukum tertulis yang telah menetapkan adanya sanksi pidana. Pendapat Muladi tentang asas legalitas menyatakan bahwa :

1. Memperkuat kepastian hukum.

2. Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa.

3. Mengefektifkan fungsi pencegahan dari sanksi pidana.

4. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

5. 14 Memperkokoh penerapan rule of law. Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, istilah tindak pidana juga digunakan untuk menyebut perbuatan yang melanggar larangan undang-undang tersebut, meskipun dalam tataran

empirik istilah “Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga” kurang dikenal, karena istilah yang memasyarakat untuk menyebut hal tersebut adalah “kekerasan dalam rumah tangga” (KDRT), hal ini terutama karena

judul Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga tidak mencantumkan frasa “tindak pidana” di depan “kekerasan dalam

rumah tangga”, jadi terlihat UU PKDRT penekanannya pada “penghapusan KDRT secara umum” bukan semata penghapusan pada tindak pidana

14 Siswanto Sunarso, Op.Cit, h. 186.

KDRTnya”. KDRT sendiri diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (vide Pasal 1 angka 1 UU PKDRT). Dimana akibat dari kekerasan tersebut tentunya akan menimbulkan korban, yakni orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga (vide

Pasal 1 angka 3 UU PKDRT). Apabila pengertian “Kekerasan dalam Rumah Tangga dan korban” tersebut dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 UU PKDRT maka tindak pidana KDRT terwujud dalam 4 (empat) jenis yakni :

a. Kekerasan fisik;

b. Kekerasan psikis;

c. Kekerasan seksual; atau

d. Penelantaran rumah tangga. Dengan demikian, bahwa “Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga” adalah setiap perbuatan berupa melakukan kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga yang

dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam lingkup rumah tangga”. 15 Yang dapat menjadi pembuat/pelaku/subjek dari tindak pidana

KDRT adalah hanya orang dalam lingkup rumah tangga, dalam hal ini meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak.

15 Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Merkid Press, Yogyakarta, 2015, h. 10.

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan). (Vide Pasal 2 UU PKDRT).

Dalam P asal 5 UU PKDRT menyatakan “setiap orang dilarang melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara :

a. Kekerasan fisik; Kekerasan fisik yang diartikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Vide Pasal 6 UU PKDRT). Pengertian ini serupa tapi tidak sama dengan pengertian “penganiayaan” yang tercantum dalam Pasal 351 KUHP. Perbedaannya karena “kekerasan fisik” diberikan penafsiran otentik dalam Pasal 6 UU PKDRT, sedangkan dalam Pasal 351 KUHP tidak dijelaskan pengertian dari “penganiayaan” tetapi hanya disebut kualifikasi deliknya yakni “penganiayaan”.

b. Kekerasan psikis; Menurut Pasal 5 huruf b UU PKDRT “setiap orang dilarang melakukan kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya b. Kekerasan psikis; Menurut Pasal 5 huruf b UU PKDRT “setiap orang dilarang melakukan kekerasan psikis yakni melakukan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

karena tidak ada padanannya dalam KUHP, berbeda dengan tindak pidana KDRT dalam bentuk lainnya yang ada padanannya dalam KUHP, yakni kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual (kesusilaan) serta penelantaran rumah tangga (penelantaran orang yang perlu diberikan nafkah dan kehidupan ).

c. Kekerasan seksual; atau Menurut Pasal 5 huruf c UU PKDRT, setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual yakni meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Vide Pasal 8).

d. Penelantaran rumah tangga Menurut Pasal 5 huruf d UU PKDRT setiap orang dilarang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 UU PKDRT, bahwa :

a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

b. Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak didalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang

tersebut. 16

4. Perlindungan Korban KDRT dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Orang yang mengalami kekerasan dan/atau kekerasan dalam lingkup rumah tangga, terutama perempuan dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diberikan suatu jaminan untuk mendapat perlindungan. Lembaga ini merupakan perwujudan dari upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan (vide Pasal 1 angka 4 UU PKDRT).

Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2004 yakni :

a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;

b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;

c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;

d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera;

16 Ibid., h. 93.

Melihat latar belakang pembentukan UU PKDRT, dapat dilihat bahwa pembentukan UU ini untuk melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut nampak pada :

- Bagian pertimbangan huruf c UU PKDRT menyatakan bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

- Penjelasan umum UU PKDRT menyatakan bahwa pembaruan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan , menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.

Perlindungan terhadap korban KDRT, bisa dilakukan dalam dua bentuk :

a. Perlindungan sementara yakni perlindungan yang langsung diberikan oleh Kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan (Pasal 1 angka 5 UU PKDRT).

b. Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (Pasal 1

angka 6 UU PKDRT). 17

17 Ibid., h. 114.

Tata cara pemberian perlindungan sementara dan perintah perlindungan sebagai berikut :

1. Apabila terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di lingkup keluarga, korban dan setiap orang yang melihatnya, mendengarnya dan mengetahui peristiwa tersebut dapat melaporkan kepada pihak kepolisian :

 Korban berhak untuk melaporkan secara langsung tindak KDRT kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara (Pasal 26 ayat (1) UU PKDRT).

 Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan tindak KDRT kepada Kepolisian baik di tempat

korban berada maupun di tempat kejadian perkara (Pasal 26 ayat (2) UU PKDRT).

 Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku (Pasal 27 UU PKDRT).

2. Pihak Kepolisian setelah mengetahui atau menerima laporan tentang adanya KDRT maka wajib :

 Memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan (Pasal 18 UU PKDRT).  Segera melakukan penyelidikan (Pasal 19 UU PKDRT).

 Menyampaikan kepada korban tentang :

- Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban ;

- Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan ; dan - Kewajiban Kepolisian untuk melindungi korban (Pasal 20 UU PKDRT).

3. Apabila setelah diberitahukan haknya oleh kepolisian, dan atau apabila korban KDRT merasa ketakutan dan terancam jiwa serta keselamatannya oleh pelaku KDRT (karena masih dalam lingkup rumah tangga) maka korban dan orang-orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut dapat mengajukan perlindungan sementara kepada Kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain (Vide Pasal 1 angka 5 UU PKDRT).

4. Dalam hal permintaan perlindungan sementara diterima oleh Kepolisian maka dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (Vide Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT).

5. Dalam memberikan perlindungan sementara, Kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban (Pasal 17 UU PKDRT).

6. Perlindungan sementara oleh Kepolisian diberikan kepada korban paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani (Pasal

16 ayat (2) UU PKDRT).

7. Kepolisian dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan (Pasal 16 ayat (3) UU PKDRT).

8. Permohonan perintah perlindungan disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan kepada Pengadilan, dalam hal Permohonan diajukan secara lisan, panitera Pengadilan Negeri setempat wajib mencatat permohonan tersebut (Vide Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU PKDRT).

9. Pengadilan memeriksa persyaratan formil dari permohonan perintah perlindungan yakni jika yang mengajukan permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani maka korban harus ada persetujuan dari korban.

10. Permohonan perintah perlindungan yang memenuhi syarat formil tersebut, diajukan kepada Ketua Pengadilan.

11. Ketua Pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan, wajib mengeluarkan surat penetapan (Pasal

28 UU PKDRT).

12. Surat penetapan perlindungan berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain dinamakan dengan Perintah Perlindungan yakni penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (Vide Pasal 1 angka 6 UU PKDRT).

13. Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan dapat diperpangjang atas penetapan Pengadilan (Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU PKDRT).

14. Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya (Pasal 32 ayat (3) UU

PKDRT). 18 Dalam pemberian perlindungan sementara dan perintah perlindungan

terlihat yang sangat berperan adalah pihak Kepolisian dan Pengadilan, tetapi sebenarnya perlindungan sementara dan perintah perlindungan (Vide Pasal 1 angka 4, angka 5 dan angka 6 UU PKDRT), bahwa upaya untuk memberikan rasa aman kepada korban KDRT melibatkan pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya. Jika melihat aturan UU PKDRT maka pihak lainnya adalah dalam kualifikasi sebagai tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani. Pihak-pihak tersebut mempunyai peran dalam memberikan perlindungan kepada korban dengan kewajiban-kewajiban tertentu, yakni :

a. Keluarga Keluarga memiliki kewajiban untuk membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan dalam bentuk membantu membuat permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan.

b. Advokat

18 Ibid., h. 118.

Advokat adalah orang yang berprofesi dalam memberi jasa hukum, seperti konsultasi, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum untuk kepentingan klien di dalam maupun di luar persidangan. Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban Advokat memiliki kewajiban : - Memberikan konsultasi hukum - Mendampingi korban pada tahap-tahap penanganan perkara. - Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.

c. Lembaga Sosial Lembaga sosial adalah lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah KDRT. Kewajiban lembaga sosial dalam memberikan perlindungan yakni : - Memberikan perlindungan langsung kepada korban KDRT sebelum

dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. - Jika dimintai oleh Pihak Kepolisian dapat bekerja sama untuk memberikan perlindungan sementara.

d. Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Kewajiban tenaga kesehatan dalam memberikan perlindungan kepada korban yakni :

- Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara dalam bentuk mendampingi korban. - Memberikan keterangan untuk membantu Pengadilan dalam membuat tambahan perintah perlindungan, dan pemberian tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.

e. Pekerja Sosial Pekerja sosial mempunyai kewajiban yakni : bekerjasama dengan kepolisian dalam memberikan perlindungan sementara dalam bentuk pendampingan, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapat perlindungan dari kepolisian dan perintah perlindungan dari pengadilan, dan mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif.

f. Relawan Pendamping Relawan pendamping adalah orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan konseling, terapi, dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban kekerasan. Kewajiban relawan pendamping dalam memberi perlindungan kepada korban yakni : - Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan

sementara dalam bentuk mendampingi korban. - Meminta persetujuan korban dalam pengajuan Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan. - Memberikan keterangan untuk membantu pengadilan dalam membuat tambahan perintah perlindungan dan tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.

- Mengajukan laporan secara tertulis kepada pengadilan tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.

g. Pembimbing Rohani Pembimbing rohani berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada korban yakni : - Bekerja sama dengan Kepolisian dalam memberikan perlindungan

sementara dalam bentuk pendampingan korban. - Mengajukan permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan, tambahan perintah perlindungan dan tambahan kondisi dalam perintah perlindungan.

Sementara hak-hak korban KDRT yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yakni :

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;

5. Pelayanan bimbingan rohani. Selain hal-hal tersebut diatas, UU PKDRT juga memberikan hak kepada korban setelah terbuktinya tindak pidana KDRT tersebut dalam 5. Pelayanan bimbingan rohani. Selain hal-hal tersebut diatas, UU PKDRT juga memberikan hak kepada korban setelah terbuktinya tindak pidana KDRT tersebut dalam

diatur dengan Peraturan Pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Menurut PP tersebut, tujuan dari upaya penyelenggaraan pemulihan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada dasarnya untuk menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan korban kekerasan dalam rumah tangga, menjamin efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga dan terciptanya kerja sama dan koordinasi yang baik dalam pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga antar instansi, antar petugas pelaksana, dan antar lembaga terkait lainnya. Pemulihan korban diartikan sebagai upaya untuk penguatan bagi diri korban KDRT supaya lebih berdaya, secara fisik maupun psikis. Pemulihan tersebut dilakukan dalam bentuk

“penyelenggaraan pemulihan” yakni segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan kepada korban KDRT yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani. (Vide Pasal 1 angka 1 dan angka 5 PP No. 4 Tahun 2006).

5. Tugas Pokok dan Fungsi Polisi Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2002

Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden. Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

2. Menegakkan hukum.

3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002). Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana diatas, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.

3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.

4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.

5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.

6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.

9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang.

11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta melaksanakan

tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 19 Didalam undang-undang No. 2 Tahun 2002 yang dimaksud fungsi

kepolisian diartikan sebagai tugas dan wewenang, sehingga fungsi kepolisian yang dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang menyebutkan “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan

negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, adalah merupakan tugas dan wewenang kepolisian yang

menjadi tanggungjawabnya secara kelembagaan. Sedangkan perannya untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri,

19 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

merupakan keikutsertaannya dalam menjalankan fungsi pemerintahan, dimana fungsi dimaksud merupakan salah satu fungsi pemerintahan, karena dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia. 20 Dari, konsep fungsi, peran, dan tujuan Kepolisian Negara Republik

Indonesia, bermuara pada terbentuknya suatu negara yang sejahtera, adil dan makmur sebagaimana cita-cita dan tujuan Negara (staatsidee), yang tersurat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga tujuan akhir terselenggaranya fungsi kepolisian, untuk menciptakan dan atau mewujudkan negara yang aman, tertib, sejahtera, adil dan makmur. Disinilah yang dimaksudkan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara, karena tugas menciptakan kondisi dimaksud adalah merupakan tugas dan wewenang serta tanggungjawab Pemerintah atau Negara yang didelegasikan kepada Kepolisian Republik Indonesia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam menjalankan tugasnya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat sebagaimana Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, menyelaraskan dengan teori keadilan restoratif. Teori ini menitikberatkan

20 Sadjijono, Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 214.

bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, dengan melibatkan peran aktif dari korban, pelaku, keluarga korban maupun pelaku serta masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Karena perkara pidana menyangkut kepentingan publik dan merugikan masyarakat, tidak hanya korban saja.

B. HASIL PENELITIAN

1. Tugas Pokok dan Fungsi Unit Pelayanan Perempuan Dan Anak Sat Reskrim Polres Salatiga

Dengan diterbitkan Peraturan KAPOLRI No. 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja, dibentuk unit yang bertugas untuk memberikan pelayanan, perlindungan terhadap perempuan dan anak, yang dinamakan dengan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan KAPOLRI tersebut tugas utama dari Unit PPA adalah memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban tindak kejahatan atau kekerasan serta melakukan penegakan hukum terhadap pelaku. Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, Unit PPA menyelenggarakan fungsi sebagaimana berikut :

1. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum;

2. Penyelenggaraan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana;

3. Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait. Setelah penulis melakukan wawancara dengan Ipda Henri Widyoriani selaku Kepala Unit PPA Polres Salatiga, diketahui bahwa Unit Pelayanan

Perempuan dan Anak (PPA) Polres Salatiga berkedudukan di bawah Sat Reskrim (Satuan Reserse Kriminal) Polres Salatiga. Unit PPA Polres

Salatiga memiliki tugas sebagaimana berikut 21 : “Unit PPA Polres Salatiga dalam menjalankan tugas dan

fungsinya, antara lain : menerima laporan/aduan dari korban KDRT, memberikan bimbingan konseling kepada korban, mengantar dan mengirim korban ke rumah sakit terdekat guna dilakukan visum, memberi penjelasan pada pelapor tentang posisi kasus, hak dan kewajibannya, menjamin kerahasiaan info, menjamin keamanan dan kerahasiaan korban, koordinasi dengan lintas sektor, memberikan SP2HP kepada pelapor, serta membuat laporan kegiatan sesuai prosedur”.

2. Karakteristik KDRT yang Ditangani Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Sat Reskrim Polres Salatiga

Sebagaimana diketahui, tindakan KDRT yang diatur dalam Pasal 5 UU PKDRT meliputi kekerasan secara fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Fokus penulis ditujukan pada kekerasan fisik terhadap perempuan. Kekerasan fisik dalam ranah KDRT yang dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU PKDRT. Dari pasal-pasal terkait dalam undang-undang tersebut, memungkinkan sebagai sarana atau upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan sebagai dasar untuk bertindak. Berikut penulis akan menguraikan karakteristik kasus KDRT yang ditangani oleh pihak kepolisian :

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa Kelas 5 SDN 2 Danyang Kecamatan Purwodadi Tahun

0 0 14

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa Kelas 5 SDN 2 Danyang Kecamatan Purwodadi T

0 0 18

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa Kelas 5 SDN 2 Danyang Kecamata

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa Kelas 5 SDN 2 Danyang Kecamatan Purwodadi Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Project Based Learning(PjBL) terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas 5 Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 23

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Project Based Learning(PjBL) terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas 5 Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Project Based Learning(PjBL) terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas 5 Semester II Tahun Ajaran 20

0 0 28

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Project Based Learning(PjBL) terhadap Hasil Belajar Matematika Kelas 5 Semester II Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 16

LAMPIRAN 1 RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENELITIAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga: Studi di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satuan

0 0 14