PERKUAT PENGAWASAN DI WILAYAH PESISIR DA

PERKUAT PENGAWASAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL,
KKP BENTUK POLSUS PWP3K
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang rentan mengalami kerusakan
akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam.
Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang
ada sering menimbulkan kerusakan sumber daya.
Mengingat kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut, maka Pemerintah
telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang mengamanatkan pentingnya pengawasan dan
pengendalian pemanfaaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Seiring dengan dengan amanat Pasal 36 ayat (4) dan Pasal 39 UU 27/2007, dan untuk
menjamin terselenggaranya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
terpadu dan berkelanjutan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 12/PERMEN-KP/2013
tentang Pengawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang ditandatangani
pada tanggal 21 Juni 2013.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan ini merupakan payung hukum untuk lebih
memperkuat landasan pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal PSDKP. “Dengan
terbitnya Peraturan Menteri ini, kami akan lebih meningkatkan pengawasan pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”, ungkap Direktur Jenderal PSDKP, Syahrin

Abdurrahman.
Selanjutnya, Syharin, mengutarakan bahwa saat ini masih sering dijumpai berbagai bentuk
pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku, dan cenderung mengakibatkan kerusakan sumber daya,
seperti kegiatan penangkapan ikan dengan bahan beracun, bahan peledak, dan bahan
berbahaya lainnya. Selain itu, pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil sering tidak
mengindahkan zonasi yang telah ditentukan, bahkan melakukan kegiatan yang dilarang di
kawasan konservasi perairan. “Dengan kewenangan kepolisian khusus (Polsus) yang
diberikan kepada Pengawas PWP3K dalam Peraturan Menteri ini, diharapkan masyarakat
akan semakin patuh terhadap peraturan perundang-undangan dibidang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang berlaku”, tegas Syahrin.

Peraturan Menteri KP 13/2013 ini menyebutkan bahwa pengawasan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
berwenang sesuai dengan sifat pekerjaannya, dan diberikan wewenang kepolisian khusus,
dan selanjutnya disebut Polsus PWP3K. Kewenangan yang dimiliki oleh Polsus PWP3K yaitu
mengadakan patroli/perondaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau wilayah
hukumnya, serta menerima laporan/pengaduan yang menyangkut perusakan ekosistem
pesisir, kawasan konservasi, kawasan pemanfaatan umum, dan kawasan strategis nasional
tertentu. Apabila alam patroli/perondaan ditemukan adanya kegiatan yang patut diduga

adanya perusakan/pelanggaran, maka Polsus PWP3K dapat melakukan pemeriksaan
kesesuaian dokumen rencana zonasi dengan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, pengambilan contoh/sampel dari suatu tempat kejadian, meminta informasi dan/atau
keterangan dari berbagai pihak terkait, dan melakukan tindakan pencegahan terhadap
kemungkinan terjadinya pelanggaran peraturan perundang-undangan dibidang PWP3K.

Pentingnya Pengelolaan Tata Ruang Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Dirilis oleh Akom Kusdinar pada Senin, 17 Oct 2011
Telah dibaca 2057 kali

Ilustrasi - Wilayah Pesisir
Sumberdaya pesisir dan lautan, merupakan salah satu modal dasar pembangunan
Banten saat ini, disamping sumberdaya alam darat. Tetapi sumberdaya alam darat
seperti minyak dan gas bumi serta mineral-mineral tertentu, semakin berkurang
akibat eksploitasi yang berlangsung sejak lama.Melihat keterbatasan sumberdaya
alam darat, sudah saatnya melirik dan memanfaatkan potensi sumberdaya lautan.
Didalam lautan terkandung sumber pangan yang sangat besar yakni ikan dan
rumput laut. Sumberdaya laut lainnya adalah bahan tambang lepas pantai yang
berperan penting untuk menyuplai energi, serta masih banyak lagi potensi

sumberdaya hayati dan non hayati laut lainnya sehingga peranan sumberdaya
pesisir dan laut semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan
kebutuhan masyarakat.

Propinsi Banten yang terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota, mempunyai 78 pulau-pulau
(termasuk Kep. Seribu di Kab. Tangerang), diperkirakan 1/3 bagian wilayahnya terdiri dari
lautan dengan luas perairan Propinsi Banten sekitar 11.134,224 km2 dengan panjang
pantai sekitar 501 km.
Posisi garis pantai Banten dapat digambarkan sebagai berikut : bagian barat yang
menghadap Selat Sunda adalah Kabupaten Pandeglang dengan panjang pantai sekitar
182,8 km, dan yang menghadap Samudera Indonesia sekitar 47,2 km, Kabupaten Serang
dengan panjang pantai sekitar 75 km menghadap Laut Jawa dan sekitar 45 km
menghadap Selat Sunda, Kabupaten Lebak yang memiliki panjang pantai sekitar 75 km
menghadap Samudera Indonesia, Kabupaten Tangerang mempunyai panjang pantai 51
km yang menghadap Laut Jawa dan Kota Cilegon mempunyai panjang pantai sekitar 25
km menghadap Selat Sunda sedangkan satu kota yaitu Kota Tangerang yang tidak
mempunyai panjang pantai.
Kekayaan alam kelautan dan sumberdaya pesisir yang dimiliki Banten tersebut antara
lain berupa sumberdaya perikanan, sumberdaya hayati seperti mangrove (hutan bakau),
terumbu karang, padang lamun, serta sumberdaya mineral seperti minyak bumi dan gas

alam (yang masih dalam penelitian) termasuk bahan tambang lainnya yang memiliki nilai
ekonomi tinggi.
Disamping itu, kini banyak terungkap bahwa wilayah lautan Propinsi Banten memiliki
harta karun yang melimpah di dasar laut akibat kapal-kapal pelayaran niaga yang karam
pada masa lalu, selain itu juga wilayah pesisir memiliki potensi keindahan dan
kenyamanan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata.
Dengan karakteristik wilayah pesisir seperti di atas, maka pemanfaatan sumberdaya
pesisir secara optimal dan berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya
dilakukan secara terpadu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan
serta pendekatan pembangunnan secara hati-hati. Pada sisi lain, luasnya sumberdaya
lautan dan pesisir menimbulkan permasalahan, berupa ketidak terpaduan pemanfaatan
ruang di wilayah pesisir.
Pada skala tertentu hal ini dapat menyebabkan/ memicu konflik antar kepentingan
sektor, swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi
juga sering saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan
industri yang polutif dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan.
Permasalahan lain yang merupakan permasalahan klasik meliputi keterbatasan sumber
dana pembangunan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemiskinan masyarakat
pesisir, kurangnya koordinasi antar pelaku pembangunan dan lemahnya penegakan
hukum.Untuk mengatasi permasalahan dalam peman-faatan ruang wilayah pesisir


diperlukan prinsip penataan ruang secara terpadu, termasuk tata ruang pesisir dan
lautan.
Prinsip-prinsip penataan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil
Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan, Penataan ruang dapat dilihat sebagai
kebijakan publik yang mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan
(pemerintah, swasta dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulaupulau kecil, sehingga di dalam proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan
akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan.
Pengalaman-pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perenca-naan yang
prosedural,

normatif

dan

kurang

mengakomodasikan

kepentingan


para

pelaku

pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat
diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana
seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima dan tidak
ditaati didalam pelaksanaannya.
Kompensasi, Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kom-pensasi terhadap konsekuensikonsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat diberlakukannya rencana tata
ruang

pada suatu kawasan,

baik terhadap

timbulnya dampak lingkungan fisik

ataupun sosial-ekonomi.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi, Undang-Undang No.32/2004 tentang pemerintah

daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan
kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat
setempat dan potensi setiap daerah.
Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh dan bulat yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua
bidang.
Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas,
tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun
kesamaan visi-misi secara nasional.
Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku
secara umum.

Penentuan

Zona

Preservasi,

Konservasi


dan

Pemanfaatan

Intensif,

Prinsip

pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu
membagi ruang kedalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif.
Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi
sebagai berikut : Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan publik baik itu rekreasi, ekonomi, estetika maupun daerah pro-teksi banjir,
namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang
dapat merusak ekosistem. Termasuk didalamnya mangrove, rawa yang produktif dan
bernilai bagi masyarakat pesisir.
Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini
dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil.
Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk

dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyanggah antara zona preservasi dan daerah
pemanfaatan intensif.
Penentuan Sektor Unggulan, Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk
dikembangkang pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif.
Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu : penghasil devisa, menyerap tenaga kerja banyak
dll.
Penentuan Struktur Tata Ruang, Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem
jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus
mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan,
khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang
menggunakan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan
memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen,
maupun terhadap perubahan bentang alam, dan lain-lain.
Tata Ruang Sistem Wilayah Aliran Sungai, Perlunya keterpaduan dengan kegiatan
penataan ruang dalam sistem wilayah aliran sungai di lahan atasnya. Kegiatan
pemanfaatan ruang di wilayah aliran sungai tersebut harus mengikuti persyaratan
lingkungan bagi pengembangan sektor unggulan serta persyaratan yang berlaku pada
zona preservasi di wilayah pesisir.
Jarak antar Zona Preservasi dengan Eksternalitas Negatif, Jarak minimal antar
Zona preservasi dengan kegiatan penataan ruang yang mengeluarkan eksternalitas

negatif (pencemaran, sedimen, dlll.) ditentukan berdasarkan daya sebar eksternalitas
tersebut dari sumbernya, yaitu :

St = Vt x t
St = Jarak tempuh pencemardari sumbernya
Vt = Kecepatan sebar pencemar
t = Waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi
antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan
media partisipatif lainnya.
Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional
dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial
setempat.
Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan
kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan
ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang,
baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi
positif dan tidak mengganggu.
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan

faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku
pembangunnan di dalam penyusunan rencana
Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat
makro
Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku
pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan
oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan
fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan
hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya

sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih
didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan. Com/LKTRI