DINAMIKA AKTOR KEBIJAKAN DAN INTERVENSI

DINAMIKA AKTOR KEBIJAKAN DAN INTERVENSI ASING
TERHADAP PEMBUATAN RUU BPJS
(Ruu Peleburan 4 Bumn :Asabri, Taspen, Jamsostek, Askes)
Mata Kuliah :Ekonomi Politik dan Manajemen BUMN
Dosen :Syamsul Maarif, S.IP, M.Si.

Oleh
AMELIA ZAHRA
(1116041008)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang


Badan Usaha Milik Negara atau disebut juga BUMN merupakan badan
usaha yang bertugas memupuk pendapatan negara Indonesia dengan mengelola
sektor-sektor yang strategis demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Sejak
pemerintahan Presiden Soeharto BUMN berubah fungsi menjadi alat pemuas
para penguasa dan ketika awal kepemimpinan mantan menteri BUMN yaitu
Tanri Abeng, barulah BUMN direformasi agar kembali pada fungsi yang
sebenarnya dan tidak menjadi alat pemuas keserakahan para penguasa, upaya
reformasi BUMN memang sulit dikala para penguasa dan asing saling
bekerjasama melakukan ekspoitasi besar-besaran ditubuh BUMN.UndangUndang (UU) yang merupakan bagian vital sebagai dasar dan acuan
menjalankan roda pemerintahan indonesia sudah lama pula menjadi alat asing
untuk mengatur kegiatan perekonomian indonesia, tidak tanggung-tanggung
asing bekerjasama dengan oknum-oknum pemerintah di DPR yang berwenang
untuk membuat UU yang mewakili kepentingan asing disini dilihat bukan lagi
kepentingan rakyat yang didengar melainkan kepentingan asing dan keserakahan
para penguasa tersebut.Aktor kebijakan banyak memainkan regulasi dengan
motif ekonomi tersembunyi sehingga berakibat sebagian besar sumber daya
alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing sampai sekarang ini dan sudah
menjadi pemahaman umum juga bahwa resep yang dipakai oleh Indonesia
dalam menangani krisis ekonomi adalah resep dari IMF dan lembaga kreditor

lainnya. Resep yang ditawarkan yang paling utama adalah adanya liberalisasi di
segala bidang melalui skema deregulasi dan SAP (structural adjustment
program). Sedemikian membiusnya resep tersebut sehingga liberalisasi menjadi
tema utama dari semua proses ekonomi-politik Indonesia sejak reformasi.
Liberalisasi menemukan lahannya dalam suasana euforia bangsa ini setelah lepas
dari tekanan orde baru
Sekarang ini kita dihadapkan juga dengan polemik baru tentang UU BPJS
dimana terdapat Peleburan 4 BUMN :Asabri, Taspen, Jamsostek, Askes yang
pengesahannya penuh dengan kontroversi dan terus berlanjut karena disinyalir
melibatkan pihak asing dengan elit-elit parpol di DPR dan juga beragam money
politic menjelang pilpres 2014. Adanya SJSN sebagai pedoman dalam
pelaksanaan program BPJS dimulai dari ide untuk mereformasi sektor
keuangan.Tahun 1998, asian development bank/ADB mengeluarkan dokumen
“Technical Assistance to the Republic of Indonesia for the Reform of Pension
and Provident Funds”, yang menganjurkan adanya reformasi (liberalisasi) dalam
pengelolaan dana pensiun atau jaminan hari tua.Dalam perubahan kedua UUD
1945 ( tahun 2000) ditambahkan pasal antara lain pasal 28H (3), berbunyi:
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Pada perubahan ketiga (
tahun 2001) ditambah lagi pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat

memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dalam

perubahan keempat (2002) pada pasal 34 ditambahkan ayat (2): “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sedangkan Ayat (3) dan (4) dari pasal ini menjelaskan bahwa negara
bertanggungjawab dan diatur dengan undang-undang.
Perubahan atau penambahan pasal-pasal dalam konstitusi diatas bukan
tanpa maksud dan tujuan. Pasal-pasal dan ayat-ayat yang dicontohkan harus
dimaknai sebagai respon atas arahan dari resep yang ditawarkan oleh IMF dan
“kawan-kawannya”. Inilah hidden agenda dari amandeman UUD 1945. Maka,
mereka pun seolah menemukan landasan konstitusionalnya. Skenario ini
menemukan kesesuaiannya dalam proses selanjutnya. Disini penulis ingin
membahas lebih dalam mengenai “Dinamika Aktor Kebijakan dan Intervensi
Asing Terhadap Pembuatan Ruu Bpjs”, dimana dalam judul yang dibuat
penulis, kita akan mengetahui bagaimana BUMN dilihat dari kacamata ekonomi
politik
1.2

Rumusan Masalah

1. Apa faktor-faktor timbulnya polemik RUU BPJS ?
2. Bagaimana intervensi asing dan elite parpol berada dalam pembuatan
RUU BPJS?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan hukum BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial)
Menurut UU SJSN No. 40 tahun 2004, BPJS adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Di dalam pasal 3 UU
SJSN No. 40 tahun 2004 disebutkan bahwa Badan Penyelenggaraan Jaminan
Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang. Sejak berlakunya UU SJSN,
badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial menurut UU SJSN.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(JAMSOSTEK);
b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri (TASPEN);
c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI);

d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES);
BPJS merupakan badan hukum bersifat nirlaba yang harus dibentuk dengan
undang-undang untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Secara teoritis
BPJS merupakan badan hukum yang ingesteld (dibentuk) oleh open baar gezag
(penguasa umum) dalam hal ini oleh pembentuk undang-undang dengan undangundang.
Dasar hukum dari pembentukan UU BPJS
Dalam UU SJSN terdapat beberapa pasal yang menjadi dasar hukum pembentukan
BPJS yaitu:
1. Pasal 1 ayat (6) menentukan : ”BPJS adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
2. Pasal 4 menentukan SJSN diselenggarakan berdasarkan pada prinsip:(a)
kegotong royongan; (b) nirlaba; (c) keterbukaan; (d) kehati-hatian; (e)
akuntabilitas; (f) portabilitas; (g) kepesertaan bersifat wajib; (h) dana
amanat; dan (i) hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar
kepentingan peserta.
3. Pasal 5 menentukan : ”BPJS harus dibentuk dengan undang-undang”.
Pasal 52 ayat (1) pada intinya menyatakan bahwa pada saat UU SJSN
mulai berlaku Persero Jamsostek, Persero Taspen, Persero Asabri dan
Persero Askes tetap berlaku sepanjang belum disesuaikan dengan UU

SJSN. Dalam ayat (2) ditentukan : ”semua ketentuan yang mengatur
mengenai BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
undang-undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini
diundangkan”

Pada saat disusun, RUU BPJS dibuat dengan pertimbangan
1) Sebagai pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005.
2) Untuk memberikan kepastian hukum bagi BPJS dalam melaksanakan
program jaminan sosial berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004.
3) Sebagai dasar hukum bagi pembentukan BPJS tingkat daerah yang dapat
dibentuk dengan peraturan daerah dengan memenuhi ketentuan tentang
sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 40
Tahun 2004.
4) Untuk meningkatkan kinerja BPJS tingkat nasional dan sub sistemnya
pada tingkat daerah melalui peraturan yang jelas mengenai tugas pokok,
fungsi, organisasi yang efektif, mekanisme penyelenggaraan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip good governance, mekanisme pengawasan,
penanganan masa transisi dan persyaratan untuk dapat membentuk BPJS
daerah

2.2 Aktor dalam Formulasi Kebijakan Publik
Menurut Howlett dan Ramesh(1995:50-59) beberapa aktor atau organisasi
yang berpengaruh dalam proses. pembuatan kebijakan, antara lain:
a)

eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui pemilihan umum (elected
officials);
b) pejabat atau birokrat yang diangkat (appointed officials);
c) kelompok kepentingan (interest group)
d) organisasi peneliti; dan
e) media massa.
Selain lima hal tersebut, aspek lain yang berpengaruh dalam kebijakan publik
antara lain:
a)
bentuk organisasi negara;
b)
struktur birokrasi;
c)
organisasi kemasyarakatan;
d)

kelompok bisnis.
Sesuai pendapat Lester dan Steward (2000) dalam Kusumanegara (2010:8889), para aktor perumus kebijakan terdiri dari:
1)
agen pemerintah; yaitu terdiri dari para birokrat karier. Mereka adalah
aktor yang mengembangkan sebagian besar usulan kebijakan (inisiator
kebijakan);
2)
kantor kepresiden; yaitu presiden atau aparat eksekutif. Keterlibatan
presiden dan perumusan kebijakan ditunjukan dengan pembentukan komisi
kepresidenan, task forces dan komite antar organisasi;
3) Konggres (lembaga legislatif); lembaga ini berperan dalam melegislasi
kebijakan baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap keliru.
Dinegara-negara demokrasi, peran legislatif dalam perumusan kebijakan

didasarkan pada keberadaan mekanisme check and balances dengan pihak
eksekutif;
4) Kelompok kepentingan; dinegara demokrasi, kelompok kepentingan
merupakan aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan spesifik.
Sementara Winarno (2007:123) bahwa kelompok-kelompok yang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan publik dibagi kedalam dua kelompok, yakni

para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Kelompok
pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden
(eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan kelompok pemeran serta tidak
resmi meliputi: kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara
individu.
Sedangkan Moore (1995:112) secara umum aktor yang terlibat dalam
permusan kebijakan publik yaitu, aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat
(civil society). Ketiga aktor ini sangat berperan dalam sebuah proses penyusunan
kebijakan publik dan hubungan ketiga aktor tersebut digambarkan di bahwa ini:
 Aktor Publik
 Civil
 Society
 Aktor Privat
Selanjutnyanya Lidblom (1980) dalam Agustino (2008:41) aktor pembuat
kebijakan, dalam sistem pemerintahan demokratis, merupakan interaksi antara
dua aktor besar, yaitu Insede Government Actors (IGA) dan Outside
Government Actors (OGA). Para aktor pembuat kebijakan ini terlibat sejak
kebijakan publik itu masih berupa issu dalam agenda setting hingga proses
pengambilan keputusan berlangsung. Yang termasuk dalam kategori Insede
Government Actors (IGA) adalah presiden, lembaga eksekutif (staf khusus

pemerintahan), para menteri dan aparatur birokrasi. Sedangkan yang termasuk
dalam kategori Outside Government Actors (OGA) diantaranya, lembaga
legislatif, lembaga yudikatif, militer, partai politik, kelompok kepentingan dan
kelompok penekan serta media massa.
Jaringan Aktor Dalam Formulasi Kebijakan Publik: Pendekatan Baru
Dalam Penyusunan Kebijakan Hal yang penting dalam proses kebijakan publik
adalah formulasi (perumusan) kebijakan (policy formulation). Begitu
pentingnya tahap formulasi kebijakan maka tahap ini dianggap sebagai tahap
fundamental dalam siklus kebijakan publik. Mengapa? Karena formulasi
kebijakan publik adalah inti dari kebijakan publik. Formulasi kebijakan bukan
pekerjaan yang main-main tapi sebaliknya sebuah tugas berat karena
membutuhkan mengkajian dan keseriusan dari aktor-aktor yang terlibat dalam
formulasi kebijakan. Kekeliruan atau kesalahan dalam formulasi kebijakan akan
berdampak pada proses implementasi, sehingga apa yang menjadi tujuan
kebijakan dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru hanya
bersifat politis.

Widodo (2007:43) mengatakan manakala proses formulasi kebijakan tidak
dilakukan secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang diformulasikan
tidak akan bisa mencapai tataran optimal. Artinya, bisa jadi tidak bisa

diimplementasikan (unimplementable). Akibatnya, apa yang menjadi tujuan dan
sasaran kebijakan sulit dicapai sehingga masalah publik yang mengemuka
dimasyarakat juga tidak bisa dipecahkan. Bukankah kebijakan publik itu dibuat
hakikatnya untuk memecahkan masalah publik yang mengemuka dimasyarakat.
Oleh karena itu, pada tahap ini perlu dilakukan analisis secara komprehensif
agar diperoleh kebijakan publik yang betul-betul bisa diimplementasikan, dapat
mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, dan mampu memecahkan
masalah publik yang mengemuka di masyarakat.
Tentunya agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, salah satu alternatif yang dilakukan adalah kemauan
pemerintah untuk membangun jaringan dengan aktor diluar pemerintah, yaitu
aktor privat dan aktor civil society. Pemerintah sudah tidak tepat lagi
memandang aktor-aktor tidak resmi sebagai ”lawan politik” tapi sudah saat
pemerintah menjadikan aktor-aktor itu sebagai ”sahabat” dalam membicarakan
produk-produk kebijakan publik di daerah. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa
sebagian kebijakan publik yang dikeluarkan pasti memiliki nilai “politis”. Untuk
menghindari kebijakan yang bersifat “politis” tentu dimulai dari proses
formulasi kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang politis ini lahir karena kebijakan
yang dirumuskan hanya melibatkan kelompok-kelompok tertentu saja. Dalam
pandangan teori elit, kelompok-kelompok tertentu itu adalah dari elit yang
memerintah.
Menurut pandangan teori elite, kebijakan publik dapat dipandang sebagai
nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elite yang memerintah. Argumentasi pokok
dari teori elite ini adalah bahwa bukan rakyat yang menentukan kebijakan
publik, tetapi berasal dari elite yang memerintah dan dilaksanakan oleh pejabatpejabat dan badan-badan pemerintah.Olehnya, padangan teori elit dalam
formulasi kebijakan, tentu tidak dapat memecahkan masalah publik justru hanya
akan melahirkan masalah baru karena tidak diberikannya ruang bagi publik
untuk ikut berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan. Padahal kerangka baru
dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik (good governance) perlu sinergitas antara pemerintah, privat dan civil
society.Oleh karena itu, dalam kerangka good governance, tindakan bersama
(colletive action) adalah sebuah keharusan. Dalam kerangka ini, keinginan
pemerintah untuk memonopoli proses kebijakan dan memaksakan kebijakan
tersebut harus ditinggalkan dan diarahkan kepada proses kebijakan yang
inklusif, demokratis dan partisipatis. Masing-masing aktor kebijakan harus
berinteraksi dan saling memberikan pengaruh (mutually inclusive) dalam rangka
merumuskan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1

Faktor Timbulnya Polemik RUU BPJS

Walaupun banyak yang menentang karena dianggap perangkap neoliberal,
seluruh fraksi di DPR sudah setuju RUU BPJS disahkan menjadi UU, banyak
faktor yang membuat terjadinya pro kontra disyahkannya RUU BPJS menjadi
UU yaitu UU BPJS yang pertama mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) sesuai falsafah gotong-royong dan Pancasila terutama Sila
Kelima, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ada upaya
untuk meneoliberalisasikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial di dalam RUU
BPJS dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Endang Rahayu
Sedyaningsih yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning di
Gedung Nusantara I DPR serta isinya membebani rakyat, tidak sesuai dengan
konstitusi dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi sehingga UU SJSN.
Adapun masalah-masalah yang terkandung dalam RUU BPJS:
A. Meminimalkan Peran Negara
Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang muncul dari sistem
ekonomi kapitalis ini yang kemudian diadopsi dalam UU SJSN adalah negara
tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat, termasuk
dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti
kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Semua urusan masyarakat, khususnya
bidang ekonomi dan sosial, diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itulah,
walaupun namanya Sistem Jaminan Sosial Nasional, isinya adalah menarik iuran
wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin,
dengan cara yang murah. Sekalipun nanti yang miskin akan dibayari Pemerintah,
tetapi atas nama hak sosial ini sebenarnya rakyat ditipu.
Hal ini bisa dilihat pada bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004
tentang SJSN. Ayat I. Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya
berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja
wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi
kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: Besarnya iuran
ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.Untuk
menjustifikasi bahwa UU SJSN ini bukan produk neoliberal mereka
menggunakan dalih falsafah gotong-royong yang ada dalam Pancasila
B. Membebani Rakyat
Menurut Arim Nasim, konsep jaminan sosial merupakan kebijakan tambalsulam untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep keadilan
sosial atau negara kesejahteraan maka negara—yang sejatinya dalam sistem
kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial
kemasyarakatan—dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial. Konsep ini
sebetulnya hanya untuk menutupi kelemahan sistem kapitalis. Berkat konsep
inilah sistem kapitalis masih bisa bertahan.Sistem jaminan sosial sendiri
merupakan program yang bersifat wajib bagi seluruh rakyat. Mereka diwajibkan

terlibat dalam kepesertaan dengan cara membayar iuran atau premi secara
reguler kepada pelaksana, dalam hal ini BPJS. Dengan demikian, pengingkaran
terhadap kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu dianggap
sebagai pelanggaran hukum. Pasal I UU tersebut berbunyi: Asuransi sosial
adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal
dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang
menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Karena itu, sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan juga
diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui pemotongan gaji.
Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, buruh
kasar yang dipandang tidak miskin, mereka juga akan dipunguti iuran.
Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan rakyat, apalagi
definisi orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat beragam. Ada
garis kemiskinan yang dikeluarkan Pemerintah setiap tahun berdasarkan survei
pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar kemiskinan Bank Dunia
sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima
Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang menetapkan orang miskin berbeda dengan
kriteria sebelumnya. Masing-masing standar tersebut menghasilkan jumlah
orang miskin yang berbeda.
Apalagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan Standar
Statistika Negara melalui Badan Pusat Statistik yang menetapkan standar
kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan pengeluaraan sebesar
Rp 7.000 perhari (Pikiran Rakyat, 14/7/201 1). Berarti angka kemiskinan akan
turun drastis dan muncul orang kaya baru? Pasalnya, orang yang berpenghasilan
Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari mereka tidak lagi masuk
kategori miskin. Padahal banyak pekerja di negeri ini termasuk di sektor formal,
sekalipun yang pendapatannya jauh di atas, tidak bisa memenuhi kebutuhan
pokok yang layak. Selain itu, akibat tingginya inflasi yang tidak dapat
dikendalikan Pemerintah, komersialisasi berbagai fasilitas publik, dan perluasan
pungutan palak, membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka
kembali dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat
dipastikan beban hidup yang akan mereka tanggung akan semakit berat.
C. Badan Pelaksana
Meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni
keuntangannya dikembalikan kepada peserta, BPJS memiliki independensi
dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RUU BPJS pasal 8 (b) disebutkan
bahwa BPJS berwenang untuk "menempatkan dana jaminan sosial untuk
investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian keamanan dana dan hasil yang memadai."
Dengan demikian, BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut
pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana tersebut,
seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada berbagai portofolio
investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.

Menurut Siti Fadhilah, meskipun namanya Badan Penyelenggara jaminan
Sosial, isinya bukan tentang jaminan sosial; tetapi cara mengumpulkan dana
masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin, Dana
dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke
segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen,
tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan
digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan
asing, yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari
seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK,
ASKES) digabungkan.
Pemerintah dan DPR kini tengah menggodok UU Badan Pelaksana
Jaminan Sosial (BPJS). UU tersebut akan menjadi payung hukum pelaksana
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang sebelumnya telah ditetapkan dalam
UU SJSN No. 40 tahun 2004. Tidak ada perbedaan antara pemerintah dengan
DPR kecuali perkara-perkara teknis mengenai bentuk dan wewenang badan
pengelola tersebut.
Padahal, jika ditelusuri UU SJSN dan RUU BPJS tersebut sebenarnya
mengandung banyak masalah khususnya ditinjau dari perspektif Islam. Hal
tersebut antara lain:
1) UU ini akan semakin membebani hidup rakyat khususnya kelompok
menengah ke bawah. UU SJSN telah mewajibkan seluruh rakyat untuk
terlibat dalam kepesertaan asuransi ini dengan membayar iuaran/premi
secara reguler kepada BPJS. Khusus bagi yang miskin maka iuran tersebut
ditanggung oleh negara. Pada Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah
suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari
iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang
menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Selanjutnya Pasal 17 (4):
Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu dibayar oleh Pemerintah. Dengan demikian, karena bersifat wajib
maka BPJS memiliki otoritas untuk memaksa orang-orang yang dianggap
mampu untuk membayar iuran/premi asuransi termasuk di dalamnya
paksaan kepada pemilik perusahaan untuk menarik premi kepada
karyawannya melalui pemotongan gaji. Padahal setiap harinya rakyat telah
menanggung derita akibat berbagai pungutan baik pajak maupun non
pajak yang dibebankan kepada mereka. Belum lagi batas orang yang
dikategorikan miskin di negara ini sangat rendah yakni mereka yang
pengeluarannya di bawah Rp 233.000 per bulan. Dengan demikian rakyat
baik petani, nelayan, buruh , karyawan atau siapa saja yang
pengeluarannya lebih dari itu, tidak masuk dalam kategori miskin versi
pemerintah dan oleh karenanya wajib membayar premi asuransi.
2) UU ini telah mengalihkan tanggungjawab negara dalam pelayanan publik
kepada rakyatnya. Dalam penjelasan UU SJSN disebutkan bawah maksud
dari prinsip gotong royong dalam UU tersebut adalah peserta yang mampu
(membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk
kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah

membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang
sakit. Dengan demikian, UU ini telah mengalihkan tanggung jawab
pelananan publik oleh negara kepada rakyatnya khususnya dalam
penyediaan kesehatan. Ini merupakan watak negara kapitalisme yang
mengkomersilkan berbagai pelayanan publik. Selain itu, falsafah asuransi
ini bersifat diskriminatif sebab yang ditanggung oleh negara–yang
dananya berasal dari orang-orang yang dianggap mampu–hanyalah orang
miskin saja. Padahal pelayanan publik merupakan tugas pemerintah yang
tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Lebih dari itu, pelayanan tersebut
harus bersifat menyeluruh dan tidak bersifat diskriminatif. Rasulullah saw
bersabda: “Imam adalah pelayanan yang bertanggungjawab atas
rakyatnya.” (H.R. Muslim)
3) Pengelolaan dan pengembangan dana SJSN pada kegiatan investasi yang
batil dan berpotensi merugikan rakyat. Dana asuransi yang terkumpul pada
BPJS dapat dikelola secara independen oleh BPJS. Dalam RUU BPJS
pasal 8 disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk (b) “menempatkan
dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka
panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai.”Dengan
demikian dana tersebut sebagaimana halnya dana asuransi lainnya dapat
diinvestasikan pada berbagai portfolio investasi seperti saham, obligasi,
deposito perbankan, dan sebagainya. Padahal investasi sendiri bersifat
tidak pasti, bisa untung atau rugi. Jika terjadi kerugian maka bebannya
akan kembali kepada rakyat. Dalam berbagai krisis finansial di negaranegara barat, tidak terhitung lembaga-lembaga asuransi yang mengalami
kerugian besar akibat berinvestasi pada aset-aset finansial yang bersifat
spekulatif. Akibatnya dana nasabah berkurang bahkan lenyap. Sebagian
dari mereka terpaksa mendapatkan bail-out dari pemerintah yang nota
bene berasal dari penarikan pajak dan penambahan utang. Inilah yang
menimpa AS dan negara-negara Eropa. Utang mereka membengkak untuk
menutupi defisit APBN sangat besar akibat besarnya bail-out yang mereka
lakukan terhadap perusahaan-perusahaan finansial termasuk diantaranya
perusahaan asuransi.
4) Pembuatan UU SJSN dan RUU BPJS merupakan pesanan asing sejak
tahun 2002. Hal ini tertuang dalam dokumen Asia Development Bank
(ADB) tahun 2006 yang bertajuk “Financial Governance and Social
Security Reform Program (FGSSR). Dalam dokumen tersebut antara lain
disebutkan: “ADB Technical Assistance was provided to help develop the
SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting
team and other agencies.” (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk
membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah
kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga
lain). Nilai bantuan program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau
Rp 2,25 triliun (kurs 9.000/US$). Dengan adanya SJSN ini maka dana
yang dihimpun oleh BPJS tentunya jumlahnya akan sangat besar. Danadana itu pastinya akan ditanamkan di sektor finansial (perbankan dan pasar

modal) sehingga akan memperbesar nilai kapitalisasi sektor tersebut.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah
untuk mem-bail-out sektor finansial jika mengalami krisis. Ujungujungnya yang menikmati hal tersebut adalah para pemilik modal, investor
dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor
finansial.

Intervensi Asing dan Elite Parpol Berada dalam Pembuatan RUU BPJS
JSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) > BPJS
1. DEFINISI
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN , Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) adalah:Badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial (Pasal 1 angka 6)Badan hukum
nirlaba (Pasal 4 dan Penjelasan Umum)Pembentukan dengan Undang-undang
(Pasal 5 ayat (1)
2. PEMBENTUKAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004, batas
waktu paling lambat untuk penyesuaian semua ketentuan yang mengatur
mengenai BPJS dengan UU No. 40 Tahun 2004 adalah tanggal 19 Oktober 2009,
yaitu 5 tahun sejak UU No. 40 Tahun 2004 diundangkan.Batas waktu penetapan
UU tentang BPJS yang ditentukan dalam UU No. 40 Tahun 2004 tidak dapat
dipenuhi oleh Pemerintah. RUU tentang BPJS tidak selesai dirumuskan.
DPR RI mengambil inisiatif menyelesaikan masalah ini melalui Program
Legislasi Nasional 2010 untuk merancang RUU tentang BPJS. DPR telah
menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Pemerintah pada 8 Oktober 2010
untuk dibahas bersama Pemerintah.DPR RI dan Pemerintah mengakhiri
pembahasan RUU tentang BPJS pada Sidang Paripurna DPR RI tanggal 28
Oktober 2011. RUU tentang BPJS disetujui untuk disahkan menjadi Undangundang. DPR RI menyampaikan RUU tentang BPJS kepada Presiden pada
tanggal 7 November 2011. Pemerintah mengundangkan UU No. 24 Tahun 2011
tentang BPJS pada tanggal 25 November 2011.
Petikan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS
Pasal 5
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. BPJS Kesehatan; dan
b. BPJS Ketenagakerjaan.
Pasal 6
1)
2)

BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat huruf b
menyelenggarakan program:
a. jaminan kecelakaan kerja;
b. jaminan hari tua;
c. jaminan pensiun; dan
d. jaminan kematian.

Pembentukan RUU BPJS
a. Pembentukan RUU Inisiatif DPR RI
- Program Legislasi Nasional 2010 – 2011:Konsep RUU tentang BPJS inisiatif
DPR RI 2010 , Tim Pansus RUU tentang BPJS, DIM RUU tentang BPJS dari
Pemerintah, RUU tentang BPJS (Draft Akhir - tanggal 7 November 2011), UU
No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS
b. Pembentukan RUU Inisiatif Pemerintah
- Periode Tahun 2007-2009:Naskah Akademik RUU BPJS
Konsep RUU BPJS
Tim dan Kelompok Kerja Penyusun Peraturan Perundang-undangan
Pelaksanaan UU No.40 Tahun 2004, SK Menko Kesra No.
14A/KEP/MENKO/KESRA/VI/2006
Izin
Prakarsa
Presiden
No.B540/m.Sesneg/D-4/10/2007, tanggal 2 Oktober 2007

3. TRANSFORMASI BPJS
1) PT ASKES (Persero) :berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai
beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1
Januari 2014 (Pasal 60 ayat (1) UU BPJS)
2) PT (Persero) JAMSOSTEK : berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan
pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 62 ayat (1) UU BPJS)BPJS
Ketenagakerjaan paling lambat mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 2015,
termasuk menerima peserta baru (Pasal 62 ayat (2) huruf d UU BPJS)

3) PT (Persero) ASABRI :menyelesaikan pengalihan program ASABRI dan
program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat
tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS)
4) PT TASPEN (Persero) :menyelesaikan pengalihan program THT dan
program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat
tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS)
Proses selanjutnya adalah pembubaran PT ASKES (Persero) dan PT
(Persero) JAMSOSTEK tanpa likuidasi. Sedangkan PT (Persero) ASABRI dan
PT TASPEN (Persero) tidak secara tegas ditentukan dalam UU BPJS
1.

Ada pergeseran dalam UU BPJS dari UU No 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Berdasarkan SJSN, menurut
Sekjen APINDO Djimanto, negara wajib menjamin setiap warga negara.
Namun, pada UU BPJS ini malah dibalik. Guna mendapatkan jaminan dari
negara, setiap warga wajib mendaftar dan membayar iuran. Djimanto
mengatakan negara tidak lagi menjamin kehidupan warga negaranya,
khususnya fakir miskin. Djimanto menyatakan pada dasarnya pihak
pengusaha tidak anti dengan jaminan sosial. Pengusaha cuma tidak mau
jaminan sosial tersebut menambah beban pengusaha dan buruh.

2.

Dikhawatirkan pula pemberlakuan BPJS ini nantinya akan membuat
investor enggan masuk ke Indonesia. Bukan tidak mungkin berbagai
perusahaan tidak mau berinvestasi secara lebih luas lagi dengan beban
yang semakin bertambah. Pengusaha lebih untung untuk impor daripada
nambah beban lagi dan buruh juga tidak mau. Akhirnya pengusaha juga
yang harus bayar beban buruh. Hal ini belum disadari pemerintah, padahal
permasalahan tersebut sudah dibicarakan selama satu hingga dua tahun
dalam tim yang sudah dibentuk oleh Menko Kesra, wakil buruh, dan
pengusaha yaitu dalam badan penyelenggara. Hingga saat ini, pengusaha
sudah menutup beberapa jaminan sosial seperti Jamsostek, hari tua,
kecelakaan dan kesehatan.

3.

Ia juga mengkritisi rencana transformasi program pada pelaksanaan BPJS
tahun 2014. Terutama terkait peleburan badan penyelenggara jaminan
sosial. Mengenai transformasi yang disyaratkan dalam UU BPJS,
Djimanto menyatakan pengusaha tidak setuju. Pasalnya, pengusaha tidak
mau uang yang dikumpulkan di Jamsostek dipakai untuk menutupi
penyelenggaraan BPJS I pada 2014. BJPS diragukan berjalan baik pada
tahun 2014 ini, karena hingga sekarang, pembentukan single identity
number belum selesai dan belum menunjukkan ketertiban. Ia mengatakan
bahwa program jaminan kesehatan yang dilaksanakan Jamsostek jangan
diintegrasikan jika pelaksanaan jaminan kesehatan belum baik dan tertib.
Terlepas dari pihak yang pro dan kontra terhadap disahkannya UU BPJS
ini, semoga dengan disahkannya UU BPJS ini masyarakat akan
mendapatkan jaminan yang memadai.Dalam sidang paripurna tanggal 28
Oktober 2011, disepakati bahwa untuk BPJS I akan dilaksanakan pada 1

Januari 2014. Sedangkan BPJS II badan hukumnya dibentuk pada 1
Januari 2014 dan selambat-lambatnya pada Juli 2015 harus sudah bisa
dilaksanakan.
Hasil Pengesahan UU BPJS
Di dalam www.hukumonline.com, disebutkan secara subtansi UU BPJS
mengatur kewajiban negara untuk memberi lima jaminan dasar bagi rakyatnya.
1. BPJS I yang akan mengatur tentang jaminan kesehatan di mana PT Askes
nantinya akan ditransformasi menjadi sebuah badan hukum baru yang
bersifat nirlaba.
2. Selain itu ada BPJS II atau yang akan mengatur tentang kecelakaan kerja,
kematian, pensiun dan tunjangan hari tua. Pelaksanaannya nantinya akan
mentransformasi tiga BUMN, yakni Jamsostek, ASABRI dan Taspen.
2.3 Intervensi Asing Dan Elite Parpol Berada Dalam Pembuatan RUU
BPJS
Suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu ada orang-orang yang
merumuskannya, munculnya BPJS dan program JKN tak lepas dari campur
tangan asing. Pihak asing akan selalu mengambil keuntungan dari setiap kebijakan
yang
dirancangnya
dan
digulirkan
kepada
pemerintah.
Dalam tulisan Dr. Erwin Wahid yang berjudul Doctors are Life and
Death menyatakan bahwa dalam buku putih SJSN yang disusun oleh kementerian
keuangan dengan ADB dan Mitchell Wiener (seorang ahli asuransi sosial World
Bank), Program Jaminan Hari Tua (PJHT) akan menghasilkan keuntungan yang
besar. Wiener mengatakan bahwa kalau PJHT 3 persen dari upah maka nantinya
pada tahun 2020 sudah mencapai 17 persen PDB. Kalau PDB Indonesia tidak
pernah naik dari, maka lebih dari Rp 1.000 triliyun. Itu baru PJHT, belum jaminan
kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja, akan sangat besar dana asuransi yang
terkumpul dari hasil pemalakan rakyat, dari sini perusahaan keuangan/investasi
asing masuk.

Asian Development Bank (ADB) memiliki peran penting pada BPJS,
dimana ADB memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia senilai 2,3
triliyun disertai syarat diterapkan Financial Governance and Social Security
Program (FGSSR) atau Program Tata Kelola Keuangan dan Reformasi
Jaminan Sosial.Dalam menyusun dan mengimplementasikan UU SJSN dan
UU BPJS , ADB menggandeng LSM asing, diantaranya GTZ dan FES. GTZ
ikut

aktif

dalam

penyusunan

draft

UU

BPJS

dan

FES

terlibat

melakukan kampanye terhadap organisasi serikat buruh untuk pembentukan
BPJS melalui seminar dan aksi-aksinya. Hal tersebut menunjukan bahwasanya
asing menjadi pemeran tokoh di balik layar kebijakan BPJS, asing
menginginkan untuk menjadi perusahaan asuransi yang mengelola uang jutaan
rakyat Indonesia yang sangat besar, tentu saja ini keuntungan besar bagi
perusahaan asuransi dn kerugian besar bagi masyarakat.