ZAKAT PROFESI DALAM PERSPEKTIF FIQIH KON

ZAKAT PROFESI
DALAM PERSPEKTIF FIQIH KONTEMPORER
(Integrasi Fiqih dalam Membangun Stabilitas
Kehidupan Sosial)
Oleh Abd. Hakim Abidin
NIM: 21171200000058
abd_hakim_abidin17@mhs.uinjkt.ac.id
Abstrak
Islam hadir untuk memberikan petunjuk jalan yang benar
dalam menjalani kehidupan. Dengan semangat menjunjung keadilan
di dalam kehidupan, Islam kemudian menyajikan aturan-aturan yang
menjadi panduan setiap umatnya. Dalam rangka mewujudkan
keadilan itu, konsep egaliter dalam hubungan sosial sangat
ditekankan. Adalah rukun Islam yang menjadi panduan untuk
mengatur konsep ibadah. Terdapat hubungan vertikal dengan Tuhan,
sekaligus terdapat hubungan horisontal dengan sesama manusia,
atau dikenal dengan istilah hablun minaLlah dan hablun minannas.
Keduanya harus seimbang dalam penerapanya. Salah satu di antara
rukun Islam yang paling berpengaruh secara langsung dalam
kehidupan sosial adalah zakat. Dan seiring dengan perkembangan
zaman, maka muncullah sebuh gagasan progressif berupa zakat

profesi. Zakat profesi tersebut memiliki dampak positif dalam rangka
mewujudkan keadilan di dalam kehidupan sosial, sebab dengannya
stabilitas ekonomi masyarakat bisa tercipta.
Kata Kunci: Islam, Keadilan, Rukun Islam, Zakat Profesi.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang sangat peduli kepada permasalahan
sosial. Konsep syariah atau aturan yang ada dalam Islam tidak hanya
mengatur tentang hubungan ibadah vertikal antara manusia dengan
Tuhannya saja, namun juga sangat menekankan bagaimana hubungan
horizontal antara manusia dengan sesama. Hubungan horizontal ini

bernilai pula sebagai ibadah. Konsep hablun minaLlah dan hablun
minannas saling terkait dan terikat.
Islam hadir mengatur tatanan sosial agar kehidupan yang
dijalani oleh setiap orang bisa berlangsung stabil. Semangat keadilan
dalam menyemai kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat
merupakan tugas setiap muslim, sebagaimana yang telah diteladankan
oleh Nabi Muhammad SAW.
Dalam rukun Islam ada 5 pilar yang harus ditegakkan bagi
setiap muslim. Seseorang bisa ditegaskan sebagai muslim sejati jika ia

melaksanakan 5 pilar dalam Islam ini, yaitu syahadat, shalat, zakat,
puasa, haji. Rukun Islam ini tidak bisa diletakkan secara tidak
berurutan. Orang yang melaksanakan puasa tetapi tidak mengeluarkan
zakat tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa dianggap sebagai seorang
muslim yang sesungguhnya. Atau orang yang bersyahadat tetapi tidak
pernah menunaikan shalat, maka orang seperti ini tidak bisa pula
dianggap sebagai muslim seutuhnya. Memang siapapun yang telah
bersyahadat, maka secara langsung ia menjadi muslim. Tetapi tidak
cukup sampai di situ, ia juga harus melaksanakan rukun-rukun Islam
selanjutnya. Kecuali haji, pilar ini hanya diwajibkan bagi seorang
muslim yang mampu melaksanakannya saja. Bagi orang yang tidak
mampu tentu tidak wajib. Demikianlah Islam mengatur bagaimana
hubungan horizontal dan vertikal bisa beriringan dan seimbang.
Syahadat adalah penegasan seseorang menjadi muslim secara
lisan, untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya. Jika seseorang telah
mengakui rukun Islam yang pertama ini, selanjutnya ia harus
melaksankan segala hal yang diwajibkan oleh Allah SWT yang telah
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Kewajiban paling utama
adalah shalat. Shalat yang dimaksud adalah shalat wajib lima waktu.

Shalat lima waktu, sebagai pilar kedua ini untuk menegaskan
seseorang sebagai muslim. Dan di dalam setiap shalat itulah
pernyataan syahadat ditegaskan kembali. Dua pilar ini merupakan
hubungan secara verkital seorang muslim dengan Tuhannya.
Kemudian dilanjutkan mengejawentahkan pilar ketiga yang
merupakan hubungan horizontal seorang muslim dengan sesama dan
pada saat yang sama juga terkandung hubungan vertikal kepada Allah
SWT, yakni zakat. Zakat merupakan rukun Islam yang wajib

dilaksanakan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merupakan
semangat Islam itu sendiri. Di samping untuk membersihkan
hartanya dari yang bukan haknya, selain itu juga untuk melaksanakan
perintah Allah SWT sebagai manifestasi ibadah kepada-Nya.
Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang wajib
dibagikan kepada setiap orang yang berhak menerimannya dan telah
diatur dalam syari‟at. Ada delapan orang yang menjadi mustahiq
zakat itu, yakni fakir, miskin, „amil, muallaf, riqob, ghorim, sabilillah,
dan ibnu sabil. Delapan golongan yang berhak menerima zakat itu
bisa menggunakan setiap pemberian zakat untuk survive dalam
kehidupannya. Jika zakat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka

kehidupan sosial akan bisa stabil, kesejahteraan akan tercapai dan
ketimpangan sosial bisa diatasi bersama. Setelah zakat sebagai
manifestasi hubungan horizontal, umat Islam diwajibkan kembali
melaksanakan puasa dan haji (bagi yang mampu) sebagai manifestasi
hubungan vertikal kepada Tuhan agar semakin dekat kepada-Nya.
Pada dasarnya hubungan vertikal dan horizontal dalam beribadah
sebagai manifestasi rukun Islam, tidak lain untuk mengantarkan umat
Islam pada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat (sa‟adatut
darain). Sekali lagi, hubungan dengan Tuhan (hablun minaLlah) dan
hubungan manusia dengan sesama (hablun minannas) tidak bisa
dipisahkan, kedua hal tersebut saling terkait dan terikat.
Zakat adalah poros dan pusat keuangan negara Islam. Zakat
meliputi bidang moral, sosial, dan ekonomi. Dalam bidang moral
zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan. Dalam bidang
sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk
menghapus kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan orang
kaya tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang
ekonomi zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan
dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk
disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya

ditangan para pemiliknya. Ia merupakan sumbangan wajib kaum
muslimin untuk perbendaharaan negara.1 Namun demikian, lembagalembaga konsultasi zakat yang ada belum sepenuhnya mampu men1

Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf, 1993, h. 256.

sosialisasikan pengetahuan tentang zakat kepada masyarakat.
Sementara, perkembangan sistem ekonomi setiap hari terus
berkembang dan bervariasi.2
Perlu ditegaskan kembali bahwa ajaran Islam yang bertujuan
mengatasi kesenjangan dan gejolak sosial pada masyarakat tidak lain
adalah zakat. Zakat membawa misi memperbaiki hubungan horizontal
antara sesama manusia, sehingga mampu mengurangi gejolak akibat
problematika kesenjangan dalam hidup mereka. Selain itu, zakat juga
dapat memperkuat hubungan vertikal manusia dengan Allah, karena
Islam menyatakan bahwa zakat merupakan bentuk pengabdian
(ibadah) kepada Yang Maha Kuasa.
Para ulama menetapkan bahwa harta yang wajib dizakati
hanya lima macam, yaitu binatang ternak, emas, dan perak,
perdagangan, pertanian, barang tambang dan rikaz (harta temuan).

Dalam kerangka ini pula Abd Rahman al-Jaziri dalam kitabnya “alFiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah” menyatakan bahwa tidak ada zakat
diluar yang lima macam tersebut.3 Namun, belakangan ada sebuah
gagasan progressif tentang kategori perihal yang wajib dizakati. Tidak
lain adalah zakat profesi. Zakat yang dirasa sangat relevan untuk
menanggapai perkembangan zaman dan permasalahan sosial-ekonomi
yang terus muncul.
Pada masa sekarang, banya profesi yang dapat menghasilkan
kekayaan semakin berkembang. Hal ini menjadi perlu untuk
dihubungkan dengan kewajiban mengeluarkan zakat. Profesi yang
dimaksud secara substansial bisa dikategorikan sebagai bagian dari
sebuah usaha yang bisa menghasilkan harta yang sangat berpotensi
pula untuk dikeluarkan sebagai zakat. Oleh karena itu, cakupan harta
yang wajib dizakati harus diperluas pada beberapa bentuk kekayaan
yang tidak ada pada masa permulaan Islam. Profesi tersebut antara
lain, pegawai negeri, dokter, notaris, bankir, psikolog, advokat, dan
sebagainya. Kewajiban harta zakat yang diperluas ini didasarkan pada
pengembangan pemahaman secara umum terhadap firman Allah

2


Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani,
2002, h. 66.
3
Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqhi „alal Madzahib al arba‟ah, Lebanon: Darul
Kitab Ilmiyah, 2003, h. 541

dalam suarat At-taubah ayat 103, surat al-Dzariyat ayat 19 dan surat
al-Baqarah ayat 267, yang artinya sebagaimana berikut;
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
(QS. At-Taubah ayat 103).

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian.” (QS. Al-Dzariyat ayat 19).
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu....”. (QS. AlBaqarah ayat 267).

Maka, dengan demikian perlu kiranya mengurai konsep zakat
profesi ini dalam suatu kajian yang komprehensif. Kajian ini menjadi
penting dalam rangka mewujudkan ikhtiar untuk membangun dan
mengembangkan ekonomi umat Islam. Jika ekonomi stabil, maka
akan tercipta kehidupan sosial yang seimbang. Sehingga semangat
yang terkandung dalam maqashidus syari‟ah akan dengan baik
terwujud.
Sebuah Gagasan Zakat Profesi
Dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
modern ini semakin terasa terjadinya perubahan berbagai nilai dan
struktur, terutama di lapangan sosial ekonomi, sehingga setiap orang
terdorong untuk berpacu mendapatkan riski dengan beragam cara,
baik secara tradisional maupun rasional, efektif dan efisien.
Di antara perubahan nilai dan struktur itu adalah perubahan
pada pola struktur ekonomi dari pola struktur agraris ke struktur
industri dan jasa yang sangat menonjol saat ini.
Salah satu contoh nyata atas perubahan tersebut adalah
perubahan fungsi dan peranan berjuta-juta hektar tanah areal pertanian
yang selama ini merupakan lahan persawahan yang menghasilkan
berjuta-juta ton, sekarang telah berubah fungsi dan peranannya

menjadi kawasan sentra-sentra industri dan sumber produksi yang

menghasilkan berbagai barang jadi. Dengan demikian areal
persawahan dan pertanian tadi telah berganti fungsi setelah
dibangunkan pabrik-pabrik, real estate, jalan raya, tol, gudang dan
sebagainya yang tentunya akan menghasilkan beraneka ragam barang
jadi dan membuka berbagai lapangan kerja dan profesi serta penjualan
berbagai jasa.
Perubahan-perubahan struktur ekonomi yang telah terjadi itu
tidak bisa dipungkiri telah mengurangi salah satu jenis sumber
penerimaan zakat yang paling utama, yaitu hasil tanaman seperti
beras, karena semakin ciutnya tanah-tanah areal persawahan yang
telah dialihfungsikan itu, walaupun terdapat pula usaha pencetakan
lahan persawahan baru, namun kenyataan ini tidak mampu
mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang membutuhkan
lapangan pekerjaan. Dan akibatnya adalah terjadinya ketimpangan
sosial yang semakin terasa.
Terhadap fenomena sosial ini, Islam tidak bersikap pasif
membiarkan begitu saja tanpa konsep dan perhatian yang serius.
Keadilan sosial merupakan salah satu konsep yang paling sentral

dalam Al-Quran. Secara umum Islam telah menjawab dan
mengantisipasi problema sosial tesebut dengan mewajibkan zakat
kepada orang-orang yang mampu mengeluarkan zakat, infaq dan
shadaqoh. Kemudian muncullah sebuah pertanyaan yang butuh
ditanggapi secara serius. Apakah semua orang yang mempunyai
kemampuan yang hartanya diperoleh dari penghasilan usaha profesi,
wajibkah baginya mengeluarkan zakat pula, menimbang penghasilan
yang diperolehnya bisa jadi lebih besar jumlahnya dibandingkan
dengan hasil yang diperoleh dari pertanian?
Dari sinilah kemudian dirumuskan sebuah gagasan baru
dalam hukum Islam terkait zakat, sebagai tanggapan serius terhadap
realitas sosial tersebut. Pada dasarnya ada sejumlah prinsip umum
mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, antara lain; QS. AlDzariyat ayat 19, QS. Al-Baqarah ayat 267, QS. Al-Taubah ayat 103,
QS. Ali Imran ayat 180, Hadis Nabi, dan secara logis sosiologis.
Kemudian muncullah gagasan zakat profesi yang dipopulerkan oleh
Dr. Yusuf Qardawi sebagai jawaban atas realitas sosial umat Islam.
Perlu ditegaskan kembali bahwa zakat merupakan
perwujudan dari rasa keadilan dan rasa kemanusiaan yang sejati serta

tiang yang tengah membangun masyarakat. Bahkan, justru zakat

itulah yang merupakan prinsip dasar setiap agama sejak Nabi Ibrahim,
Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Isa, bahkan dalam hukum agama yang
dianut oleh bangsa Israel.4
Ruang Lingkup Pengertian Zakat Profesi
Menurut imam Taqiyuddin al-Husaini menyebutkan dalam
kitabnya Kifayah al-Akhyar, zakat berarti tumbuh, berkah dan banyak
kebaikan”.5 Demikian pula menurut Sayyid Bakri dalam kitabnya
I‟anah al-Tholibin menguraikan penjelasan dari kitab Fathul Mu‟in
karya Sayyid Muhammad Syatho Al-Dimyathi bahwa arti zakat
secara etimologis adalah penyucian atau pembersihan, berkembang,
pujian, berkah dan banyak kebaikan. Sedangkan secara etimologis ada
nama sesuatu yang keluar. Jika dihubungkan dengan pengertian
leksikalnya, sesuatu yang keluar itu disebut zakat. Demikian itu
menjelaskan bahwa sesuatu atau harta itu berkembang sebab adanya
keberkahan dalam mengeluarkannya.6
Menurut Yusuf Qardhawi, secara etimologis kata zakat
berasal dari kata “zaka ”, yang berarti suci, baik, berkah, terpuji,
bersih, tumbuh, dan berkembang. Sedangkan dari segi istilah fikih
berarti “sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada orang-orang yang berhak”, selain juga berarti
“mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”.7
Menurut “Ibn Faris dalam Mu‟jam al-Maqayis fi al-Lughah,
zakat memiliki akar kata yang mengacu pada makna “al-nama‟ dan
“al-ziyadah” yang berarti pertumbuhan dan pertambahan.
Menurutnya, hal ini bukannya tidak beralasan, karena dengan zakat
diharapkan harta seseorang terus tumbuh dan bertambah, baik dalam
bentuk nyata di dunia maupun di akhirat. Ahli bahasa lain, Ibn
Manzhur menambahkan, bahwa zakat juga mengandung makna asal

4

Syed Mohammadennasr, Islam its Concepts and History, terj. Adang Efendi, Islam
Konsepsi dan Sejarah , Bandung: CV Rosda, 1988, h. 469.
5
Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-husaini, Kifayatul Akhyar,
Damaskus: Darul Basyair, 2001, h. 207.
6
Sayyid Bakri, I‟anat al-Tholibin, Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyah, juz II, h. 147.
7
Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakat, juz I, Beirut: Al-Syirkah al-Muttahidah li alTauzi‟, 1973, h. 37.

“al-shalah” yang bermakna kebaikan serta “al-tathir ” yang berarti
penyucian.8
Selanjutnya, pengertian tentang zakat ini dihubungkan dengan
profesi yang kemudian dikenal dengan istilah zakat profesi. Adalah
Dr. Yusuf Qardawi yang secara intens membahas dan merumuskan
secara spesifik pengertiannya. Ia mengatakan bahwa zakat profesi
adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan yang didapat dari
pekerjaan yang dilakukan sendiri dengan kecerdasannya atau
keterampilannya sendiri seperti dokter, penjahit, tukang kayu dan
lainya atau dari pekerjaan yang tunduk pada perseroan atau
perseorangan dengan mendapat upah, gaji atau honorarium seperti
pegawai negeri sipil.9
Dr. Yusuf al-Qardhawi menegaskan, bahwa masalah gaji,
upah kerja, penghasilan wiraswasta termasuk kategori “al-mustafad”,
yaitu harta pendapatan baru, bukan harta yang sudah dipungut
zakatnya. Pengertian al-mal al-mustafad adalah harta yang diperoleh
oleh orang Islam dan baru dimilikinya melalui suatu cara pemiliknya
yang disahkan oleh undang-undang. Jadi, al-mal al-mustafad ini
mencakup segala macam pendapatan, tetapi bukan pendapatan yang
diperoleh dari penghasilan harta yang sudah dikenakan zakat. Seperti
gaji, honor, dan uang jasa itu bukan hasil dari harta benda yang
berkembang (harta yang dikenakan zakat), bukan hasil dari modal
atau harta kekayaan yang produktif, akan tetapi diperoleh dengan
sebab lain. Demikian juga penghasilan seorang dokter, pengacara,
seniman, dan lain sebagainya itu mencakup dalam pengertian al-mal
al-mustafad. Al-mal al-mustafad sudah disepakati oleh mayoritas
ulama untuk wajib dikenakan zakat.10
Menurut Mahjuddin, zakat profesi atau jasa disebut sebagai
kasbun yaitu zakat yang dikeluakan dari sumber usaha profesi atau
pendapatan jasa. Istilah profesi, disebut sebagai profession dalam
bahasa Inggris, yang dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan tetap
dengan keahlian tertentu, yang dapat menghasilkan gaji, honor, upah

8

Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, h. 56-57
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat,...., h.487.
10
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat,...., h. 490.
9

atau imbalan. Ada beberapa profesi yang dapat menjadi sumber zakat;
antara lain:
a.
Profesi dokter yang dapat dikategorikan sebagai the
medical profession.
b.
Profesi pekerja tekhnik (insinyur) yang dapat
dikategorikan sebagai the engineering profession.
c.
Profesi guru, dosen, guru besar atau tenaga pendidik
yang dapat dikategorikan sebagai the teaching profession.
d.
Profesi advokat (pengacara), konsultan, wartawan,
pegawai dan sebagainya11
Kemudian menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 3
Tahun 2003 yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah setiap
pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang
diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai
atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara,
konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari
pekerjaan bebas lainnya.12
Dari defenisi zakat profesi yang dikemukakan oleh sejumlah
pakar hukum Islam tersebut, bisa disimpulkan bahwa zakat profesi
adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan, gaji, jasa, upah atau
honorarium yang diperoleh dengan cara halal. Adapun ketentuan
waktu diwajibkannya mengeluarkan zakat profesi itu terdapat
perbedaan pendapat di antara ulama, apakah harus sampai nishab13
dan haul14-nya ataukah hanya harus sampai nishab saja, tanpa haul.
Tentu, perbedaan pendapat itu muncul karena argumentasi dan
tinjauan sudut pandang yang berbeda pula.
Dasar Pijakan Hukum Zakat Profesi

11

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2007, h. 280
Hikmat Kurnia dan A. Hidayat, Fatwa-Fatwa Tentang Zakat (Fatwa MUI No. 3
Tahun 2003), Jakarta: Qultum Media, 2008.
13
Pengertian dari istilah nishab adalah batas minimum sesuatu atau harta diwajibkan
untuk dikeluarkan zakatnya. Istilah ini disematkan kepada segala hal atau harta yang
wajib dizakati.
14
Haul artinya adalah mencapai batas satu tahun. Istilah ini berkaitan dengan nishab.
Jika nishab adalah batas minimal jumlah suatu harta, haul ini adalah batas minimal
waktu diwajibkannya suatu harta untuk dizakati yakni siklus satu tahun.
12

Para ahli fikih telah membahas secara rinci mengenai sifatsifat dan syarat-syarat menyangkut suatu harta kekayaan yag wajib
dikeluarkan zakatnya. Berdasarkan sifat-sifat dan syarat-syarat itulah
dapat ditetapkan prinsip-prinsip dasar yang menentukan harta-harta
yang dapat dikenakan zakatnya. Prinsip-prinsip dasar itu dapat
dikemukakan sebagaimana berikut;
1. Harta yang bersangkutan telah memiliki jumlah nishab yaitu
jumlah yang mencapai nilai 20 dinar atau 200 dirham.
2. Jumlah nishab mengalami haul.
3. Harta
yang
bersangkutan
benar-benar
mengalami
perkembangan, baik karena didayagunakan atau memang
mempunyai potensi berkembang.
4. Pemilik harta tersebut bebas dari hutang.15
Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab Fiqhu al-Zakat
mengemukakan pandangan para ahli fikih tentang bentuk mata
pencahariaan dan profesi yang wajib dikeluarkan zakatnya serta
pendapat para ulama pada zaman dahulu dan sekarang tentang hukum
zakatnya serta penjelasan pendapat yang dianggap lebih kuat.
Mengenai hal ini ia menampilkan pendapat beberapa ulama mutakhir
seperti Adurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah dan Abdul
Wahhab Khallaf yang pernah mengemukakan persoalan zakat profesi
ini dalam ceramah mereka tentang zakat di Damaskus pada tahun
1952. Ceramah tersebut sampai pada suatu kesimpulan yaitu;
penghasilan yang diperoleh dari pencahariaan dan profesi dapat
diambil zakatnya bila sudah mencapai setahun dan cukup nishabnya.”16
Jika kita berpegang kepada pendapat Imam Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan Muhammad, bahwa jumlah nishab tidak perlu mencapai
waktu satu tahun penuh, tetapi cukup pada awal atau akhir tahun.17
Maka, berdasarkan hal itu dapat ditetapkan bahwa hasil pencaharian
dan profesi merupakan salah satu sumber zakat, karena terdapat

15
Syauqi Ismail Syahhatih, “Al-Tahtbiq al-Mu‟ashir li al-Zakat”. terj. Anshari Umar
Sitanggal , “Penerapan Zakat dalam Dunia Modern”, Pustaka Dian; Jakarta, 1987, h.
127.
16
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 489
17
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 489.

„illat18 sampai satu nishab yang merupakan salah satu syarat wajib
zakat.
Dalam menegaskan gagasan zakat profesi itu, Dr. Yusuf AlQardhawi kembali merujuk ayat 267 surat Al-Baqarah, khususnya
pada kata “ma kasabtum”, yang bisa diartikan sebagai bentuk umum
meliputi semua usaha seperti usaha perdagangan dan usaha-usaha
profesi yang dilakukan secara halal.
Para ulama fiqih lainnya merujuk pada pengertian umum ayat
tersebut sebagai dasar hukum kewajiban zakat perdagangan dan
pertanian. Oleh karena itu tidak perlu diragukan lagi untuk
menjadikan ayat tersebut sebagai landasan hukum mewajibkan zakat
atas penghasilan dari berbagai usaha dan profesi.19
Kata ma (‫ )ما‬pada lafadz ma kasabtum dalam ayat tersebut
menunjukkan pengertian yang umum untuk semua jenis harta benda.
Para Ulama sepakat menyatakan bahwa penggunaa lafadz yang umum
untuk semua pengertian afrad-nya, berlaku sampai ada dalil yang
men-takhsiskan-nya, sesuai pula degan ucapan Ibnu Abbas; Yusannu
fi al-Quran „Amun illa Mukhasshash. Artinya bahwa pengertian
umum ayat-ayat Al-Quran tetap berlaku selama tidak ada hal yang
men-takhsish-kan-nya.20
Dengan demikian dapat dipahami pengertian yang umum ayat
267 surat Al-Baqarah tersebut, bahwa semua jenis harta kekayaan
yang diperoleh melalui berbagai kegiatan dan usaha yang legal yang
dihasilkan dari bumi, demikian pula profesi, wajib dikeluarkan
zakatnya.
Dalam semua nash Hadis21 yang menyinggung tentang
sesuatu yang diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya tidaklah mentakhsish-kan kandungan ayat 267 surat Al-Baqarah, melainkan justru
sebagai penjabarannya dan sekadar menyebutkan afrad-afrad dari
berbagai jenis harta yang wajib dizakatkan, termasuk harta
18

Istilah ini digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang terkait dengannya akan
menyebabkan terjadinya suatu hukum tertentu.
19
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 489.
20
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958. h. 162-163.
21
Seperti hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik menuurut riwayat Bukhari
tentang zakat unta; fi kulli ibilin saimah, fi kulli arba‟iina.... dan banyak lagi hadis
yang menjabarkan tentang suatau harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, akan tetapi
bukan untuk mentakhsis.

penghasilan profesi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi;
Dzikru ba‟dh afradi al„Am al-Muwafiq lahu fi al-Hukmi la yufidhu alTakhsish. Artinya bahwa penyebutan sebagian satuan (afrad) lafadz
umum hukumnya sama dengan yang disebutkan dalam dalil yang
umum dan tidak berarti men-takhsish-kan keumuman lafadz tersebut.
Jika dilihat secara seksama maksud yang terkandung dalam
ayat 267 surat al-Baqarah, sepertinya terdapat dua macam sumber
rizki yang disediakan oleh Tuhan untuk manusia, yaitu dari sumbersumber yang umum dari berbagai jenis usaha yang bukan berasal dari
hasil bumi, dan dari sumber khusus hasil usaha yang berasal dari hasil
bumi. Dalam hal ini Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan
permasalahan dan mengajukan pertanyaan, mengapa kita membedabedakan dua jenis rizki dan penghasilan yang diatur oleh Allah dalam
satu aturan, sedangkan kedua bentuk penghasilan itu adalah rizki dan
nikmat dari Allah. Memang benar bahwa nikmat Allah yang diperoleh
dari hasil bumi berupa buah-buahan dan hasil tanaman-tanaman lebih
nyata. Oleh karenannya lebih utama untuk disyukuri, namun tidak
berarti rizki yang diperoleh dari sumber-sumber lain tidak wajib
disyukuri, atau dibedakan dalam ketentuan wajib zakatnya. Menurut
Al-Qaradhawi kedua jenis sumber rizki ini sama-sama wajib
disyukuri dan sama-sama wajib dizakatkan bila telah memenuhi
syaratnya.22
Lebih jauh Yusuf Al-Qaradhawi mempermasalahkan dan
mengemukakan pertimbangan secara logika dan rasa keadilan, bahwa
seseorang petani kecil di desa yang hanya menghasilkan lima watsaq
makanan pokok (kurang lebih 750 kg beras) yang dikelola dan
dikerjakannya selama 4-6 bulan, dibebani kewajiban zakatnya sebesar
5-10 persen, sementara seorang yang berstatus profesional seperti
dokter, advokat, akuntan, pejabat, guru besar, konsultan dan
sejenisnya dengan penghasilan yang cukup besar, mudah dan dalam
waktu yang relatif singkat, tetapi mereka bebas dari kewajiban
mengeluarkan zakat. Akibatnya timbullah berbagai dampak negatif
berua kesenjangan dan kecemburuan sosial, dan dapat pula
menimbulkan kesan seakan-akan bukum Islam tidak adil dan Tuhan
diskriminatif terhadap hamba-Nya yang tidak beruntung mendapatkan
22

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 489.

lapangan pekerjaan yang mudah dan mendatangkan hasil yang cukup
besar seperti golongan profesional tersebut.
Jawaban yang tepat untuk persoalan di atas adalah melakukan
istidlal dan berbagai metode ijtihad untuk menetapkan ssutau prinsip
bahwa golongan profesional tetap dikenakan kewajiban mengeluarkan
zakat, karena prinsip zakat itu sendiri bertujuan untuk menciptakan
keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. Tuhan tidak bersifat
diskkriminatif terhadap hamba-Nya, tetapi sengaja dibeda-bedakanNya dalam bidang rizki, sebagaimana disebut dalam Al-Quran surat
ah-Nahl ayat 71;
....       
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang
lain dalam hal rezki...”
Ketidaksamaan dalam rizki ini merupakan ujian dan cobaan
bagi iman, khususnya bagi orang-orang yang diberi Allah kemudahan
rizki, apakah mereka sanggup mengeluarkan sebagian rizki yang
diterimanya itu untuk orang-orang yang sangat membutuhkannya
yaitu fakir, miskin dan para mustahiq lainnya.
Selain dari landasan nash Al-Quran dan Hadis serta kaidahkaidah hukum lainnya, kewajiban mengeluarkan zakat profesi juga
berlandaskan historisitas yang pernah terjadi pada masa sahabat dan
tabi‟in berdasarkan penuturan beberapa riwayat;
1. Ibnu Abbas, bahwa Abu Ubaid meriwayatkan darinya
tentang seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan,
ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia memperolehnya.
2. Ibnu Mas‟ud, bahwa Abu Ubaid meriwayatkan pula dari
Hubairah bin Yaryam bahwa Abdullah bin Mas‟ud
memberikan kami keranjang-keranjang kecil berisi
hasiah, kemudian ia menarik zakatnya.
3. Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa‟ dari Ibnu
Syihab meriwayatkan bahwa orang pertama kali yang
mengenakan zakat dari pemberian („atho‟) adalah
Mu‟awiyah bin Abu Sufyan. Yang ia maksudkan dengan
orang pertama adalah khalifah pertama, karena orang

pertama yang memungut zakat penghasilan itu adalah
Ibnu Mas‟ud sewaktu ia berada di Kufah atau yang
dimaksud orang pertama menurut riwayat Ibnu Syihab
adalah Mu‟awiyah, karena beliaulah secara resmi sebagai
seorang khalifah dan penguasa yang memungut zakat dari
harta pemberian.
4. Setelah empat periode kekuasaan Mu‟awiyah berlalu,
datang pula pembaharu yang merupakan orang pertama
setelah berlalu satu abad sebelumnya, yaitu khalifah
Umar bin Abdul Aziz yang terkenal biijaksana.
Pandangan baru yang diterapkannya antara lain
memungut zakat dari pemberian, hadiah, barang-barang
sitaan dan sejenisnya. Abu Ubaid menyebutkan, bila
khalifah Umar bin Abdul Aziz membayar gaji seorang
bawahannya, maka ia pungut zakatnya. Demikian pula ia
pungut zakat dari barang-barang yang ia sita pada saat
dikembalikan kepada pemiliknya.23
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut di atas, Al-Qaradhawi
membanding dan menyamakan pemberian, hadiah, dan sebagainya itu
dengan upah kerja („ummal) yang diterima oleh seseorang sebagai
upah, gaji, honor dan sejenisnya pada masa sekarang.
Sebenarnya persoalan zakat atas harta penghasilan profesi ini
sudah mulai ramai dibicarakan sejak massa periode Imam Madzhab
yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‟i, dan
Imam Hambali), hanya mereka masih berbeda pendapat yang cukup
kisruh tentang rincian hukumnya. Hal ini diungkapkan oleh Ibnu
Hazm (w.1064) dalam kitab Al-Muhalla sebagai berikut;
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta penghasilan itu
wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai masa setahun penuh
pada pemiliknya, kecuali jika pemilik ini mempunyai harta sejenis
yang harus dikeluarkan zakatnya. Untuk itu zakat harta penghasilan
dikeluarkan pada permulaan tahun syarat sudah mencapai nishab.24
Imam Malik mengemukakan pendapatnya bahwa harta
penghasilan tidak diwajibkan zakatnya sampai sebelum cukup waktu
23
24

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 500-502.
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504.

setahun, baik harta penghasilan itu sejenis dengan harta pemiliknya
atau tidak, kecuali jenis binatang piaraan dengan syarat telah
mencapai nishab.25
Imam Syafi‟i mengemukakan pulaa pendapatnya bahwa harta
penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya bila telah mencapai waktu
setahun, meskipun ia memiliki harta sejenis yang sudah cukup
nishabnya, kecuali zakat anak binatang ternak piaraan dikeluarkan
bersamaan dengan zakat induknya yang sudah mencapai nishab.26
Daud Al-Zhahiri mengemukakan pula pendapatnya bahwa
seluruh harta penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya tanpaa
persyaratan setahun.27
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para Imam
Madzhab di atas, pada prinsipnya sama yaitu mewajibkan zakat atas
harta penghasilan yang mereka namakan dengan al-Mal al-Mstafad.
Perbedaan perbedaan pendapat hanya pada persoalan haul (mencapa
satu tahun), sehingga Ibnu Hazm menilai bahwa pendapat-pendapat
itu kurang mempunyai alassan yang kuat, baik dari nash Al-Quran
maupun Hadis shahih atau dari riwayat maupun dari ijma‟ dan qiyas,
tetapi hanya berdasarkan dugaan-dugaan saja. Yang benar
menurutnya adalah bahwa ketentuan setahun berlaku bagi seluruh
jenis harta kekayaan yang wajib dizakatkan, termasuk harta benda
penghasilan.28
Berdasarkan pendapat para ulama madzhab yang
dikemukakan oleh Al-Qaradhawi dalam kitab Fiqh al-Zakat tentang
hukum zakat harta penghasilan dengan membandingkan alasanalasannya masing-masing serta meneliti nash-nash yang berhubungan
dengan status zakat dalam bermacam jenis kekayaan, dan
memperhatikan hikmah dan maksud pembuat syariat (Allah SWT)
yang mewajibkan zakat, serta memperhatikan pula kebutuhan dan
perkembangan umat Islam pada masa sekarang, maka Yusuf AlQaradhawi merasa terpanggil untuk melakukan ijtihad yang
menghasilkan suatau kesimpulan bahwa harta kekayaan yang
diperoleh dari hasil usaha-usaha profesional seperti gaji pegawai,
25

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504.
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504.
27
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 504.
28
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 505.
26

upah karyawan, dokter, insinyur, konsultan, desingner, advokat dan
sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang
diinvestasikan di luar sektor perdagangan seperti jasa angkutan
(mobil, kapal laut, pesawat terbang), percetakan, “tempat-tempat
hiburan” dan sebagainya, wajib dikenakan zakatnya bila mencapai
nishabnya, dan boleh dikeluarkan zakatnya pada saat diterimanya
penghasilan tersebut.29
Ketiadaan nash-nash qath‟i ataupun ijma‟ para ulama dalam
ketetapan hukum zakat harta penghasilan usaha profesi, hal ini
membuat madzhab-madzhab yag ada waktu itu berselisih pendapat,
terutama dalam menentukan persamaan nishabnya, waktu
pengeluarannya dan zakatnya.
Mewajibkan zakat atas harta kekayaan yang diperoleh dari
usaha-usaha profesi seperti tersebut di atas, akan lebih
menguntungkan nasib golongan fakir-miskin dan menambah besarnya
perbendaharaan zakat.
Dalam kitab Musykilat al-Faqr wa Kaifa „Alajaha al-Islam,
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengemukakan pentingnya peranan zakat
dalam usaha untuk memecahkan persoalan sosial-ekonomi umat.
Untuk itu menurutnya perlu diusahakan mencari terobosan baru yang
disebutnya “upaya-upaya mengatasi kemiskinan”, antara lain dengan
cara mengintensifkan pemungutan zakat, pengelolaan zakat dan
pengembangan jenis serta sumber-sumber penerimaan zakat. 30
Harta kekayaan yag diperoleh dari usaha-usaha profesi,
merupakan salah satu jenis kekayaan, sesuai dengan pengertian
kekayaan yang didefinisikan oleh Imam Abu Hanifah, yaitu; semua
jenis harta benda yang dapat memiliki dan memanfaatkan menurut
ghalibnya.31
Dari pengertian kekayaan yang diberikan oleh Imam Abu
Hanifah inilah Yusuf Al-Qradhawi mengembangkannya termasuk
kekayaan yang diperoleh dari berbagai usaha, termasuk usaha-usaha

29

Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 505.
Yusuf Al-Qaradhawi, Musykilat al-Faqr wa Kaifa „Alajaha al-Islam, terj. Umar
Fanany, Problema Kemiskinan, Apa Konsep Islam, Bina Ilmu; Surabaya, 1982, h.
108.
31
Yusuf Al-Qardhawi , Fiqh al-Zakat....,h. 114.

30

pekerjaan keahlian (profesi) sepanjang usaha-usaha tersebut tidak
berasal dari harta yang ghulul.32
Zakat Profesi dalam Perspektif UU No. 23 Tahun 2011
dan Hukum Islam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, merupakan bentuk
perundang- undangan tertinggi yang mengatur ketentuan pengelolaan
zakat di Indonesia, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang No.
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Walaupun UU No 23
Tahun 2011 ini pernah digugat keMahkamah Konstitusi oleh sebagian
kelompok pegiat LAZ pada tahun 2012, akan tetapi eksistensi dari
undang-undang tersebut tetap mengikat dan tetap berlaku, kecuali 3
pasal yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu pasal
yaitu; pasal 18 ayat 02 (huruf a, b dan d) serta pasal 38 dan pasal 41.
Adapun poin-poin penting yang menjadi materi UU No 23
Tahun 2011 tersebut antara lain, tentang asas pengelolaan zakat,
tujuan pengelolaan zakat dan lain lain. Tentang asas pengelolaan
zakat disebutkan dalam pasal 2 UU No. 23 Tahun 2011 menyatakan
bahwa pengelolaan zakat berasaskan:
a. Syariat Islam;
b. Amanah;
c. Kemanfaatan;
d. Keadilan;
e. Kepastian hukum;
f. Terintegrasi; dan
g. Akuntabilitas
Adapun pasal terkait dengan tujuan pengelolaan zakat,
disebutkan dalam pasal 3 UU No. 23 Tahun 2011 menyatakan bahwa
pengelolaan zakat bertujuan:
a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat; dan
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

32

Maksud dari ghulul adalah suatau harta kekayaan yang diperoleh dari usaha-usaha
yang tidak halal, dan termasuk yang tidak wajib dizakatkan adalah harta ghanimah.

Selain itu, salah satu isi dan materi dari UU No 23 Tahun
2011 tersebut, yang menarik lagi untuk dilihat lebih jeli adalah
keberadaan zakat profesi yang termuat dalam pasal 4 ayat (2) bagian
(h), yaitu:
(1) Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Zakat mal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. Uang dan surat berharga lainnya;
c. Perniagaan;
d. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. Peternakan dan perikanan
f. Pertambangan;
g. Perindustrian;
h. Pendapatan dan jasa; dan
i. Rikaz
Memang secara eksplisit tidak disebutkan istilah profesi
dalam pasal tersebut, akan tetapi dalam kolom (h) pasal 4 ayat (2)
tersebut disebutkan bahwa di antara bentuk zakat mal adalah
pendapatan dan jasa, ini artinya memberikan peluang terhadap bentuk
aktifitas-aktfitas dan jasa yang menghasilkan pendapatan materi. Pada
tahap inilah kemudian bermakna, bahwa setiap profesi yang
menghasilkan pendapatan materi harus dikeluarkan zakatnya.33
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bisa ditarik suatu
kesimpulan bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal,
baik yang dilakukan sendiri maupun yang berkaitan dengan pihak
lain, seperti seorang pegawai maupun karyawan, apabila penghasilan
dan pendapatannya mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan
zakatnya. Hal tersebut didasarkan pada: Pertama, ayat-ayat dalam al
Quran yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta untuk
dikeluarkan zakatnya. Kedua, berbagai pendapat para ulama terdahulu
maupun sekarang, meskipun dengan istilah yang berbeda terdapat
kesamaan pemikiran tentang zakat sesuai dengan uraian yang telah
disampaikan sebelumnya mengenai penjelasan Dr. Yusuf Al33

Muhammad Aziz dan Sholikhah, Zakat Profesi dalam Perspektif Undang-Undang
no. 23 Tahun 2011dan Hukum Islam, Jurnal Ulul Albab, volume 15, no. 02 tahun
2014, h. 198.

Qaradhawi. Ketiga, dari sudut keadilan penetapan kewajiban zakat
pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas dibandingkan
dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada hal-hal tertentu.
Keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia
khususnya dibidang ekonomi, kegiatan penghasilan melalui keahlian
dan profesi ini akan semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Dengan demikian dalam konteks seperti ini, memberi
pengertian bahwa keberadaan zakat profesi dalam UU No. 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat telah resmi dan sah terlembagakan
secara formal, mengikat dan yuridis. Termaktubnya zakat profesi
dalam regulasi ini, disamping untuk memberi kepastian hukum pada
setiap orang Islam (khususnya umat Islam Indonesia) dan badan usaha
yang dimilikinya dalam transfer zakatnya kepada mustahiq juga da pat
dijadikan sebagai bagian filantropi Islam yang dapat digunakan untuk
kesejahtraan umat Islam dan umat yang lainnya, yang mana hal
demikian itu merupakan juga bagian dari asas pengelolaan zakat
dalam perpspektif UU No. 23 Tahun 2011 tersebut.34
Dari uraian sejumlah dalil dan beberapa pendapat para ulama
tersebut di atas, bisa disederhanakan, bahwa wajibnya zakat profesi
didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 267 yang bersifat umum dan
hadis-hadis yang bersifat umum pula, baik keumumannya
menyangkut materi hasil usaha, baik yang diperoleh dari
perdagangan, investasi modal, honorarium, gaji, dan sebagainya.
Keumumannya dari segi waktu yang tidak membatasi harus sudah
satu tahun pemilikan harta.
Untuk menetapkan teknis penerapan ketentuan zakat profesi
mulai dari nishab, kadar, dan waktunya menggunakan dalil qiyas
(analogical reasoning). Sudah barang tentu menggunakan dalil qiyas
sebagai dalil syar‟i, harus memenuhi syarat dan rukunnya untuk
menemukan ketentuan hukum yang aktual dan proporsional. Dan
inilah yang dipakai oleh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, seperti yang telah
diuraikan dimuka.
Kesimpulan
34

Muhammad Aziz dan Sholikhah, Zakat Profesi dalam Perspektif Undang-Undang
no. 23 Tahun 2011dan Hukum Islam..., h. 198-199.

Ulasan kajian tentang gagasan zakat profesi di atas, bisa
diambil sejumlah kesimpulan. Namun, perlu ditegaskan kembali,
bahwa gagasan zakat ini tidak bisa dilepaskan dengan cendekiawan
muslim yang telah mempopulerkan dan secara spesifik menguraikan
gagasan zakat profesi ini demi kemaslahatan umat Islam. Tujuan
utama gagasan zakat ini, tidak lain adalah untuk menuntaskan
persoalan ekonomi umat Islam. dengan harapan kehidupan yang lebih
sejahtara bisa tercapai bersama, sehingga kehidupan umat Islam dan
peradaban Islam akan tumbuh lebih baik dan semakin baik. Sebab
ketika ekonomi suatu masyarakat membaik, maka dampaknya juga
akan baik bagi kehidupannya, kebudayaanya, dan lain-lain. Namun,
sebaliknya jika ekonomi memburuk, maka sangat kecil harapan ada
stabilitas dalam setiap lini kehidupannya. Maka, gagasan zakat profesi
ini sangatlah progressif dan memiliki implikasi yang sangat positif,
sebab Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan untuk
menuju kesejahteraan. Jika ini bisa tercapai maka, kebahagiaan di
dunia dan kelak di akhirat bisa diraih pula.
Lebih spesifik, beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari
uraian di atas adalah sebagaimana berikut;
1. Secara tematik Dr. Yusuf Al-Qaradhawi telah
merumuskan pengertian zakat penghasilan profesi dari
pengertian umum nash-nash Al-Quran, Hadis dan Qiyas
atau analogi, dengan menghubungkan fakta historis
terkait pelaksanakan zakat yang menginspirasi gagasan
zakat profesi itu. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
103, ma kasabtum diartikan segala usaha apa saja yang
baik dan legal-halal. Selain itu dalam surat At-Taubah
ayat 103 khudz min amwaalihim shodaqotan, dimaknai
bahwa lafadz amwal dalam bentuk jamak mengandung
arti semua bentuk harta yang wajib dishodakohkan
(dizakatkan).
2. Secara analogis (qiyas) dan berdasarkan rasa keadilan
(tidak bisa dipungkiri bahwa Islam sangat menjunjung
tinggi sifat adil), bahwa sangat tidak wajar bila golongan
profesional seperti dokter, pengacara, konsultan dan lainlain yang sangat memudah memperoleh penghasilan
dalam jumlah yang besar tanpa mendapat beban

kewajiban mengeluarkan zakatnya sebesar 1,5 persen.
Namun sebaliknya, para petani kecil yang hidupnya
miskin masih mendapatkan beban zakat itu, padahal
terkadang hanya mendapatkan hasil panen yang hanya
mencapai satu nishab saja. Hal ini sangat rentan sekali
menimbulkan ketimpangan sosial. Maka muncullah
ijtihad sebuah gagasan tentang zakat profesi tersebut.
3. Zakat profesi dalam perspektif UU No. 23 Tahun 2011
tentang pengelolaan zakat, memberi penegasan bahwa
zakat profesi telah resmi dan sah terlembagakan secara
formal, mengikat dan yuridis dalam regulasi Negara
Indonesia. Termaktubnya zakat profesi dalam regulasi ini,
disamping untuk memberi kepastian hukum pada individu
muslim dan badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam
dalam transfer zakatnya kepada mustahiq juga dapat
dijadikan sebagai bagian filantropi Islam yang dapat
digunakan untuk kesejahtraan umat Islam dan umat yang
lainnya, yang hal demikian ini merupakan juga bagian
dari asas pengelolaan zakat perpspektif UU No. 23 Tahun
2011 tersebut.
4. Sebagaimana yang dikemukakan Dr. Yusuf AlQaradhawi, bahwa zakat profesi dalam perspektif hukum
Islam memberi penegasan akan wajibnya zakat profesi
yang didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 267 yang
bersifat umum, hadis-hadis yang bersifat umum dan
analisis-analisis para ahli hukum Islam (fuqaha) baik
klasik atau kontemporer. Keumumannya tersebut
berimplikasi menyangkut materi hasil usaha, baik yang
diperoleh dari perdagangan, investasi modal, honorarium,
gaji, dan sebagainya atau bahkan keumumannya dari segi
waktu yang tidak membatasi harus sudah satu tahun
pemilikan harta (haul).

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mannan, Muhammad, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani, 2002.
Rahman Al-Jaziri, Abdur, Kitabul Fiqhi „alal Madzahib al arba‟ah,
Lebanon: Darul Kitab Ilmiyah, 2003.
Mohammadennasr, Syed, Islam its Concepts and History, terj. Adang
Efendi, Islam Konsepsi dan Sejarah, Bandung: CV Rosda,
1988.
Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-husaini, Imam, Kifayatul
Akhyar, Damaskus: Darul Basyair, 2001.
Bakri, Sayyid, I‟anat al-Tholibin, Dar Ihya‟ al-Kutub al-„Arabiyah,__
juz II.
Al-Qardawi, Yusuf, Fiqh al-Zakat, juz I, Beirut: Al-Syirkah alMuttahidah li al-Tauzi‟, 1973.
Mujahidin, Akhmad, Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2007.
Kurnia, Hikmat dan A. Hidayat, Fatwa-Fatwa Tentang Zakat (Fatwa
MUI No. 3 Tahun 2003), Jakarta: Qultum Media, 2008.
Ismail Syahhatih, Syauqi “Al-Tahtbiq al-Mu‟ashir li al-Zakat”. terj.
Anshari Umar Sitanggal , “Penerapan Zakat dalam Dunia
Modern”, Pustaka Dian; Jakarta , 1987.
Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958.
Al-Qaradhawi, Yusuf, Musykilat al-Faqr wa Kaifa „Alajaha al-Islam,
terj. Umar Fanany, Problema Kemiskinan, Apa Konsep Islam,
Bina Ilmu; Surabaya, 1982.

Aziz, Muhammad dan Sholikhah, Zakat Profesi dalam Perspektif
Undang-Undang no. 23 Tahun 2011dan Hukum Islam, Jurnal
Ulul Albab, volume 15, no. 02 tahun 2014.