SEORANG PEREMPUAN 49 TAHUN DENGAN STROKE
Presentasi Kasus
SEORANG LAKI-LAKI 42 TAHUN DENGAN LOW BACK PAIN
Periode 5 Juni 2017- 2 Juli 2017
Anggota Kelompok:
Avicena Hafsah P
G99162097
Devi Ratna Sari
G99161004
Lisana Shidqi
G99161098
Pratiwi Indah Palupi
G99161074
Raden Ismail Hafidh A
G99162096
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
: Tn. W
Usia
: 42 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Punggawan, Banjarsari, Surakarta
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Tanggal Masuk : 18 Mei 2017
Tanggal Periksa : 27 Mei 2017
No RM
: 0137xxxx
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak kanan sejak 4
jam SMRS secara mendadak. Anggota gerak kanan tidak bisa digerakkan.
Pasien juga tidak bisa bicara tetapi masih bisa mengerti pembicaraan.
Dalam perjalanan menuju RS pasien muntah. Nyeri kepala (-), kejang (-),
demam (-), kesemutan (+) anggota gerak kanan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa
: (-)
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: (+) > 5 tahun, tidak tekontrol
Riwayat Stroke
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan serupa
: disangkal
Riwayat sakit gula
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat sakit jantung
: disangkal
5. Riwayat Gizi
Pasien makan sehari 3 kali dengan porsi sedang. Pasien makan dengan
nasi, sayur dan lauk-pauk bervariasi.
6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum alkohol
: disangkal
Riwayat pengobatan
: disangkal
Riwayat olahraga
: jarang berolahraga
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien
merupakan
seorang
ibu
rumah
tangga.
Pasien
berobat
menggunakan BPJS
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan status gizi kesan baik
(IMT=25)
2. Tanda vital
Tekanandarah
: 210/110 mmHg
Nadi
: 90x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 36.0 C
VAS
: sde
3. Status Neurologis
a. GCS E4VxM6
b. Fungsi luhur
: afasia motorik
c. Meningeal sign
: Kaku kuduk (-), brudzinsky I - IV (-)
d. Nn cranialis :
N.I
: tidak dilakukan
N. II, III
: pupil isokhor (3mm/3mm), reflex cahaya (+/+)
N.III, IV, VI
: gerak bola mata dalam batas normal
N. V
: reflek kornea (+)
N.VII
: parese (dextra) UMN
N. IX , X
: dalam batas normal
N.XI
: dalam batas normal
N.XII
: parese (dextra)
e. Fungsi Motorik
Kekuatan
Tonus
Refleks Fisiologis
Refleks Patologis
000 555
n
n
+2 +2 +2/+2
-
-
000 555
n
n
+2/+2 +2/+2
+
-
Kesan : bihemiparese
f. Fungsi sensorik
: hemihipestesi dextra
g. Fungsi koordinasi
: sde
h. Fungsi otonom
: BAK dan BAB dbn
i. Fungsi columna vertebralis
: dbn
j. Siriraj score
(2.5x0) + (2x1) + (2x0) + (0,1x110) – 3(0) – 12
= +1
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM
• Hb
: 11.2
•
Hct
: 39
•
AL
: 5.6
•
AT
: 403
•
AE
: 5.85
•
PT
: 12.2
•
APTT : 23.9
•
INR
: 0.960
•
HbA1c
: 5.3
•
GDP
: 97
•
GD2PP
: 141
•
As. Urat
: 3.2
•
Choles total
: 194
•
LDL
: 131
•
HDL
: 60
2. Foto MSCT Brain Tanpa Kontras
ICH di thalamus kiri dengan herniasi ke kiri sejauh 0.2 cm
IVH di cornu posterior ventrikel lateralis kiri
3. Foto Thorax AP
Cardiomegaly dengan edema pulmo
E. DIAGNOSIS
K: hemiplegi (dextra), parese N. VII XII (dextra) UMN, hemihipestesi dextra,
afasia motorik
T: Capsula interna + ventrikel
E: ICH + IVH
F. Plan
1. Head up 300
2. IVFD Asering 20 tpm
3. Inj. Citicolin 250 mg/12 jam
4. Inj. mecobalamin 500 mg/12 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/12jam
6. KSR 3x600 mg
7. Asam folat 1x1 tab
8. NAC 3x200 mg
BAB II
FOLLOW UP
Tanggal
23/04/2017
DPH
Follow Up
S : Kelemahan anggota gerak kanan
O:
Tekanan darah
Denyut nadi
Respirasi
Suhu
VAS
Kesadaran
Fungsi luhur
Meningeal sign
Nn. Craniales
N.II, III
cahaya (+/+)
N.III, IV, VI
N VII , XII
Fungsi motorik
Kekuatan
Tonus
n
n
000 555
000 555
n
n
Fungsi sensorik
Fungsi koordinasi
: 188/108 mmHg
: 71x/menit
: 20x/menit
: 36,2 oC
:: GCS E4VxM6
: kesan afasia motorik
: (-)
: pupil isokor (3mm/3mm), refleks
: dalam batas normal
: parese dextra UMN
:
R. Fisiologis R. Patologis
+2/+2 +2/+2
+
+2/+2
+2/+2
+
-
: hemihipestesi dextra
: sulit dievaluasi
A:
K: hemiplegi (dextra), parese N. VII XII (dextra) UMN,
hemihipestesi dextra, afasia motorik
T: Capsula interna + ventrikel
E: ICH + IVH
P:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Head up 300
IVFD Asering 20 tpm
Inj. Citicolin 250 mg/12 jam
Inj. mecobalamin 500 mg/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12jam
KSR 3x600 mg
Asam folat 1x1 tab
8. NAC 3x200 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Stroke
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global dengan
gejal-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa danya penyebab yang jelas selain vaskular.
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro
Vascular Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di
Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat
gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Bustan, 2000)
2.2. Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel
penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan
pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar
100 miliar, tetapi koneksi diantara berbagi neuron berbeda-beda. Pada
orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari
berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50%
glukosa yang ada di dalam darah arterial (Feigin, 2006).
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu
sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar
berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah
arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri),
yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi
arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang
memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu
dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus
willisi (Price & Wilson, 2005). Ada dua hemisfer di otak yang memiliki
masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan
pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area
broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat
bicara sensoris,
sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan
tempat jalan serabut- serabut saraf ke target organ (Bambang, 2003).
Gambar 2.1. Sel Glia Pada Otak
Gambar 2.2. Pembuluh Darah di Otak
Gambar 2.3. Bagian Otak dan Fungsi Otak
Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan
kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam
pengaturan nafas dan tekanan darah.
Klasifikasi Stroke
2.3.
Stroke dibagi menjadi 2 kategori yaitu stroke hemoragik dan infark.
2.3.1.
Klasifikasi Stroke Hemoragik
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problem 10
th
Revision, stroke hemoragik
dibagi atas:
a.
Hemoragik Intraserebral (ICH)
Hemoragik Intraserebral (ICH) adalah perdarahan yang primer
berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia,
leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa
dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis
serebrovaskular (Lumbantobing, 2003).
Subarakhnoidal H e m o r a g i k (SAH)
b.
Subarakhnoidal
Hemoragik
(SAH)
adalah
keadaan
terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subarakhnoidal.
Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma (50%), pecahnya
malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari ICH (20%) dan
25% kausanya tidak diketahui (Harsono, 2003).
Perdarahan Subdural
c.
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau
karena robeknya araknoidea (Lumbantobing, 2003).
2.3.2.
a.
Gejala Stroke Hemoragik
Gejala Hemoragik Intraserebral (ICH)
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah:
nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga
subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala
penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu
beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun
dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam,
23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3
jam)
(Lumbantobing, 2003).
b.
Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat,
nyeri di leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku
kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan
selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada
fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam
setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena
pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah,
glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG (Harsono,
2003)
c.
Gejala Perdarahan Subdural
Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri
kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi,
tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala
ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah
terjadinya trauma kepala (Lumbantobing, 2003).
2.3.3.
a.
Diagnosis Stroke Hemoragik
Hemoragik Intraserebral (ICH)
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil
pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan
dengan
Computerized
Tomography
Scanning
(CT-Scan),
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Elektrokardiografi (EKG),
Elektroensefalografi
(EEG),
Ultrasonografi
(USG),
dan
Angiografi cerebral (Lumbantobing, 2003).
b.
Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis.
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Multislices CTAngiografi,
MR
Angiografi
atau
Digital
Substraction
Angiography (DSA) (Lumbantobing, 2003).
c.
Perdarahan Subdural
Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan yaitu dilakukan foto
tengkorak antero- posterior dengan sisi daerah trauma. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan CT-Scan dan EEG (Bustan, 2000).
d.
Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:
1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragik (Djoenaidi, 1988)
Tanda/
Gejala
1. Tia sebelum serangan
Skor
1
2. Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)
6,5
Mendadak (beberapa menit-1 jam)
6,5
Pelan-pelan (beberapa jam)
1
3. Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)
6,5
Waktu istirahat/duduk/tidur
1
Waktu bangun tidur
1
4. Sakit kepala waktu serangan
Sangat hebat
10
Hebat
7,5
Ringan
1
Tak ada
0
5. Muntah
Langsung habis serangan
10
Mendadak (beberapa menit-jam)
7,5
Pelan-pelan (1 hari atau lebih)
1
Tak ada
0
6. Kesadaran
Hilang waktu serangan (langsung)
10
Hilang mendadak (beberapa menit-jam)
10
Gejala/Tanda Klinis dan Skor
1. Derajat kesadaran 24 jam setelah
MRS Mengantuk + 7.3
Tak dapat dibangunkan + 14.6
2. Babinski bilateral + 7.1
3. Permulaan serangan
Sakit kepala dalam 2 jam setelah serangan atau kaku kuduk: + 21.9
4. Tekanan darah diastolik setelah 24 jam + (tekanan darah diastolik x 0.17)
5. Penyakit katub aorta/mitral -4.3
6. Gagal jantung - 4.3
7. Kardiomiopati - 4.3
8. Fibrilasi atrial - 4.3
9. Rasio kardio-torasik > 0.5 (pada x-foto toraks) - 4.3
10. Infark jantung (dalam 6 bulan) - 4.3
11. Angina, klaudikasio atau diabetes - 3.7
12. TIA atau stroke sebelumnya - 6.7
13. Anemnesis adanya hipertensi - 4.1
2. Guy's Hospital Score (1985)
Pembacaan:
Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik)
> + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik)
+ 14: Kemungkinan infark dan
perdarahan 1:1
< + 4: Kemungkinan perdarahan 10%
Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik
(infark) 76-82%. Ketetapan keseluruhan: 76-82%.
3. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)
Pembacaan:
Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan
darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.
Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah
diastolik) – (3 x atheroma) – 12.
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma
= 2 Muntah:
tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam:
tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma:
Skor > 1 : Perdarahan otak
Skor < -1: infark otak
Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostik: 90.3%.
2.5. Epidemiologi Stroke
2.5.1. Determinan Stroke
Faktor risiko stroke terdiri dari dua kategori, yaitu:
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
i. Usia
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setiap
penambahan usia tiga tahun akan meningkatkan risiko dari
semua stroke, orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki
risiko paling tinggi yaitu 71%, sedangkan 25% terjadi pada
orang yang berusia 65-45 tahun, dan 4% terjadi pada orang
berusia 200 mg/dl
meningkatkan risiko stroke 1,31-2,9 kali (Lumbantobing,
2003).
vii. Merokok
Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam
Malik Medan dengan desain case control, kebiasaan merokok
meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 4 kali (Siregar,
2002). Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan
arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada di otak dan
jantung),
sehingga
merokok
mendorong
terjadinya
aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan
darah mudah menggumpal (Feigin, 2006).
viii. Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu
metabolisme tubuh, sehingga terjadi dislipidemia, diabetes
melitus, mempengaruhi berat badan dan tekanan darah, dapat
merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lain- lain. Semua ini
mempermudah terjadinya stroke. Konsumsi alkohol berlebihan
meningkatkan risiko terkena stroke 2-3 kali (Shimberg, 2008).
ix. Stress
Hampir
setiap
orang
pernah
mengalami
stres.
Stres
psiokososial dapat menyebabkan depresi. Jika depresi
berkombinasi
dengan
faktor
risiko
lain
(misalnya
aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi)
dapat
memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko
terkena stroke sebesar 2 kali (Feigin, 2006).
x. Penyalahgunaan Obat
Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis
suntikan akan mempermudah terjadinya stroke, akibat dari
infeksi dan kerusakan dinding pembuluh darah otak. Di
samping itu, zat narkoba itu sendiri akan mempengaruhi
metabolisme
tubuh, sehingga mudah terserang stroke.
Pencegahan Stroke
2.5.2. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor
risiko
stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko.
Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke
(Bustan, 2000).
2.5.3. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor
risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain:
a.
Menghindari rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan,
obat-obatan
golongan
amfetamin,
kokain
dan
sejenisnya.
b.
Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan.
c.
Mengendalikan Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya
fibrilasi atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik),
dan penyakit vaskular aterosklerotik lainnya.
d.
Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan
banyak sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna,
minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang
rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta
dianjurkan berolah raga secara teratur.
2.5.4. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah
menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap
penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan
yang dilakukan adalah:
a.
Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil
salisilat)
digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama
dengan dosis berkisar antara 80-320 mg/hari, antikoagulan oral
diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung
(fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi
koagulopati yang lain.
b.
Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat
antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan
atau mempunyai kontra indikasi terhadap asetosal (aspirin).
c.
Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya
mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita
hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita
diabetes,
diet
rendah
lemak
dan
mengkonsumsi
obat
antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok,
berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan
dan kurang gerak.
2.5.5. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah
menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat
dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan
dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan
diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli
terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta
keluarga.
a.
Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat
membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang
diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk
mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah
kekuatan
otot,
duduk,
berdiri,
berjalan,
koordinasi
dan
keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua
adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT),
diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan
buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa,
diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan
makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi
dengan orang lain.
b.
Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional
yang dapat mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih,
mudah tersinggung, tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah
emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita
kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh
sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan
melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis.
c.
Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu
penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi
perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan
aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan memberikan
informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan
bantuan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Americant Heart, 2004. Stroke Statistic. http://www.americantheart.org/
Bambang, M, Suhartik, K.S., 2003. Pencegahan Stroke Dan Jantung Pada
Usia Muda. Balai Pustaka FKUI, Jakarta
Bustan, Mn, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Feigin, V, 2006. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan Dan
Pemulihan Stroke. PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Henderson, L, 2002. Stroke Panduan Perawatan. Penerbit Arcan, Jakarta.
Lumbantobing, S.M, 2003. Neurogeriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Lumbantobing, S.M, 2003. Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Shimberg, EF, 2004. Stroke petunjuk Penting Bagi Keluarga. Alih Bahasa
Anne Rozana. PT. Pustaka Delapratasa, Jakarta.
Siregar, FA, 2002 . Determinan Kejadian Stroke Pada Penderita Rawat
Inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
27
SEORANG LAKI-LAKI 42 TAHUN DENGAN LOW BACK PAIN
Periode 5 Juni 2017- 2 Juli 2017
Anggota Kelompok:
Avicena Hafsah P
G99162097
Devi Ratna Sari
G99161004
Lisana Shidqi
G99161098
Pratiwi Indah Palupi
G99161074
Raden Ismail Hafidh A
G99162096
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2017
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama
: Tn. W
Usia
: 42 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Punggawan, Banjarsari, Surakarta
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Tanggal Masuk : 18 Mei 2017
Tanggal Periksa : 27 Mei 2017
No RM
: 0137xxxx
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak kanan sejak 4
jam SMRS secara mendadak. Anggota gerak kanan tidak bisa digerakkan.
Pasien juga tidak bisa bicara tetapi masih bisa mengerti pembicaraan.
Dalam perjalanan menuju RS pasien muntah. Nyeri kepala (-), kejang (-),
demam (-), kesemutan (+) anggota gerak kanan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa
: (-)
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat Hipertensi
: (+) > 5 tahun, tidak tekontrol
Riwayat Stroke
: disangkal
Riwayat Alergi
: disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit dengan keluhan serupa
: disangkal
Riwayat sakit gula
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat sakit jantung
: disangkal
5. Riwayat Gizi
Pasien makan sehari 3 kali dengan porsi sedang. Pasien makan dengan
nasi, sayur dan lauk-pauk bervariasi.
6. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum alkohol
: disangkal
Riwayat pengobatan
: disangkal
Riwayat olahraga
: jarang berolahraga
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien
merupakan
seorang
ibu
rumah
tangga.
Pasien
berobat
menggunakan BPJS
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan status gizi kesan baik
(IMT=25)
2. Tanda vital
Tekanandarah
: 210/110 mmHg
Nadi
: 90x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 36.0 C
VAS
: sde
3. Status Neurologis
a. GCS E4VxM6
b. Fungsi luhur
: afasia motorik
c. Meningeal sign
: Kaku kuduk (-), brudzinsky I - IV (-)
d. Nn cranialis :
N.I
: tidak dilakukan
N. II, III
: pupil isokhor (3mm/3mm), reflex cahaya (+/+)
N.III, IV, VI
: gerak bola mata dalam batas normal
N. V
: reflek kornea (+)
N.VII
: parese (dextra) UMN
N. IX , X
: dalam batas normal
N.XI
: dalam batas normal
N.XII
: parese (dextra)
e. Fungsi Motorik
Kekuatan
Tonus
Refleks Fisiologis
Refleks Patologis
000 555
n
n
+2 +2 +2/+2
-
-
000 555
n
n
+2/+2 +2/+2
+
-
Kesan : bihemiparese
f. Fungsi sensorik
: hemihipestesi dextra
g. Fungsi koordinasi
: sde
h. Fungsi otonom
: BAK dan BAB dbn
i. Fungsi columna vertebralis
: dbn
j. Siriraj score
(2.5x0) + (2x1) + (2x0) + (0,1x110) – 3(0) – 12
= +1
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM
• Hb
: 11.2
•
Hct
: 39
•
AL
: 5.6
•
AT
: 403
•
AE
: 5.85
•
PT
: 12.2
•
APTT : 23.9
•
INR
: 0.960
•
HbA1c
: 5.3
•
GDP
: 97
•
GD2PP
: 141
•
As. Urat
: 3.2
•
Choles total
: 194
•
LDL
: 131
•
HDL
: 60
2. Foto MSCT Brain Tanpa Kontras
ICH di thalamus kiri dengan herniasi ke kiri sejauh 0.2 cm
IVH di cornu posterior ventrikel lateralis kiri
3. Foto Thorax AP
Cardiomegaly dengan edema pulmo
E. DIAGNOSIS
K: hemiplegi (dextra), parese N. VII XII (dextra) UMN, hemihipestesi dextra,
afasia motorik
T: Capsula interna + ventrikel
E: ICH + IVH
F. Plan
1. Head up 300
2. IVFD Asering 20 tpm
3. Inj. Citicolin 250 mg/12 jam
4. Inj. mecobalamin 500 mg/12 jam
5. Inj. Ranitidin 50 mg/12jam
6. KSR 3x600 mg
7. Asam folat 1x1 tab
8. NAC 3x200 mg
BAB II
FOLLOW UP
Tanggal
23/04/2017
DPH
Follow Up
S : Kelemahan anggota gerak kanan
O:
Tekanan darah
Denyut nadi
Respirasi
Suhu
VAS
Kesadaran
Fungsi luhur
Meningeal sign
Nn. Craniales
N.II, III
cahaya (+/+)
N.III, IV, VI
N VII , XII
Fungsi motorik
Kekuatan
Tonus
n
n
000 555
000 555
n
n
Fungsi sensorik
Fungsi koordinasi
: 188/108 mmHg
: 71x/menit
: 20x/menit
: 36,2 oC
:: GCS E4VxM6
: kesan afasia motorik
: (-)
: pupil isokor (3mm/3mm), refleks
: dalam batas normal
: parese dextra UMN
:
R. Fisiologis R. Patologis
+2/+2 +2/+2
+
+2/+2
+2/+2
+
-
: hemihipestesi dextra
: sulit dievaluasi
A:
K: hemiplegi (dextra), parese N. VII XII (dextra) UMN,
hemihipestesi dextra, afasia motorik
T: Capsula interna + ventrikel
E: ICH + IVH
P:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Head up 300
IVFD Asering 20 tpm
Inj. Citicolin 250 mg/12 jam
Inj. mecobalamin 500 mg/12 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12jam
KSR 3x600 mg
Asam folat 1x1 tab
8. NAC 3x200 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Defenisi Stroke
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global dengan
gejal-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa danya penyebab yang jelas selain vaskular.
Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro
Vascular Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di
Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat
gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Bustan, 2000)
2.2. Anatomi Pembuluh Darah Otak
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel
penunjang yang dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan
pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang sama sekitar
100 miliar, tetapi koneksi diantara berbagi neuron berbeda-beda. Pada
orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari
berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50%
glukosa yang ada di dalam darah arterial (Feigin, 2006).
Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu
sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar
berfungsi normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah
arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri),
yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi
arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler, yang
memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu
dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus
willisi (Price & Wilson, 2005). Ada dua hemisfer di otak yang memiliki
masing-masing fungsi. Fungsi-fungsi dari otak adalah otak merupakan
pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat sensibilitas, sebagai area
broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke atau pusat
bicara sensoris,
sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan
tempat jalan serabut- serabut saraf ke target organ (Bambang, 2003).
Gambar 2.1. Sel Glia Pada Otak
Gambar 2.2. Pembuluh Darah di Otak
Gambar 2.3. Bagian Otak dan Fungsi Otak
Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan mengakibatkan
kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan dalam
pengaturan nafas dan tekanan darah.
Klasifikasi Stroke
2.3.
Stroke dibagi menjadi 2 kategori yaitu stroke hemoragik dan infark.
2.3.1.
Klasifikasi Stroke Hemoragik
Menurut WHO, dalam International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problem 10
th
Revision, stroke hemoragik
dibagi atas:
a.
Hemoragik Intraserebral (ICH)
Hemoragik Intraserebral (ICH) adalah perdarahan yang primer
berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan
disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh
hipertensi, selain itu faktor penyebab lainnya adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemofilia,
leukemia, trombositopenia, pemakaian antikoagulan angiomatosa
dalam otak, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis
serebrovaskular (Lumbantobing, 2003).
Subarakhnoidal H e m o r a g i k (SAH)
b.
Subarakhnoidal
Hemoragik
(SAH)
adalah
keadaan
terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subarakhnoidal.
Perdarahan ini terjadi karena pecahnya aneurisma (50%), pecahnya
malformasi arteriovena atau MAV (5%), berasal dari ICH (20%) dan
25% kausanya tidak diketahui (Harsono, 2003).
Perdarahan Subdural
c.
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau
karena robeknya araknoidea (Lumbantobing, 2003).
2.3.2.
a.
Gejala Stroke Hemoragik
Gejala Hemoragik Intraserebral (ICH)
Gejala yang sering djumpai pada perdarahan intraserebral adalah:
nyeri kepala berat, mual, muntah dan adanya darah di rongga
subarakhnoid pada pemeriksaan pungsi lumbal merupakan gejala
penyerta yang khas. Serangan sering kali di siang hari, waktu
beraktivitas dan saat emosi/marah. Kesadaran biasanya menurun
dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam,
23% antara 1/2-2 jam, dan 12% terjadi setelah 3
jam)
(Lumbantobing, 2003).
b.
Gejala Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Pada penderita PSA dijumpai gejala: nyeri kepala yang hebat,
nyeri di leher dan punggung, mual, muntah, fotofobia. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pemeriksaan kaku
kuduk, Lasegue dan Kernig untuk mengetahui kondisi rangsangan
selaput otak, jika terasa nyeri maka telah terjadi gangguan pada
fungsi saraf. Pada gangguan fungsi saraf otonom terjadi demam
setelah 24 jam. Bila berat, maka terjadi ulkus pepticum karena
pemberian obat antimuntah disertai peningkatan kadar gula darah,
glukosuria, albuminuria, dan perubahan pada EKG (Harsono,
2003)
c.
Gejala Perdarahan Subdural
Pada penderita perdarahan subdural akan dijumpai gejala: nyeri
kepala, tajam penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi,
tanda-tanda defisit neurologik daerah otak yang tertekan. Gejala
ini timbul berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah
terjadinya trauma kepala (Lumbantobing, 2003).
2.3.3.
a.
Diagnosis Stroke Hemoragik
Hemoragik Intraserebral (ICH)
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda-tanda klinis dari hasil
pemeriksaan. Untuk pemeriksaan tambahan dapat dilakukan
dengan
Computerized
Tomography
Scanning
(CT-Scan),
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Elektrokardiografi (EKG),
Elektroensefalografi
(EEG),
Ultrasonografi
(USG),
dan
Angiografi cerebral (Lumbantobing, 2003).
b.
Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Diagnosis didasarkan atas gejala-gejala dan tanda klinis.
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan dengan Multislices CTAngiografi,
MR
Angiografi
atau
Digital
Substraction
Angiography (DSA) (Lumbantobing, 2003).
c.
Perdarahan Subdural
Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan yaitu dilakukan foto
tengkorak antero- posterior dengan sisi daerah trauma. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan CT-Scan dan EEG (Bustan, 2000).
d.
Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:
1. Skor Stroke Hemoragik dan Non-Hemoragik (Djoenaidi, 1988)
Tanda/
Gejala
1. Tia sebelum serangan
Skor
1
2. Permulaan serangan
Sangat mendadak (1-2 menit)
6,5
Mendadak (beberapa menit-1 jam)
6,5
Pelan-pelan (beberapa jam)
1
3. Waktu serangan
Waktu kerja (aktivitas)
6,5
Waktu istirahat/duduk/tidur
1
Waktu bangun tidur
1
4. Sakit kepala waktu serangan
Sangat hebat
10
Hebat
7,5
Ringan
1
Tak ada
0
5. Muntah
Langsung habis serangan
10
Mendadak (beberapa menit-jam)
7,5
Pelan-pelan (1 hari atau lebih)
1
Tak ada
0
6. Kesadaran
Hilang waktu serangan (langsung)
10
Hilang mendadak (beberapa menit-jam)
10
Gejala/Tanda Klinis dan Skor
1. Derajat kesadaran 24 jam setelah
MRS Mengantuk + 7.3
Tak dapat dibangunkan + 14.6
2. Babinski bilateral + 7.1
3. Permulaan serangan
Sakit kepala dalam 2 jam setelah serangan atau kaku kuduk: + 21.9
4. Tekanan darah diastolik setelah 24 jam + (tekanan darah diastolik x 0.17)
5. Penyakit katub aorta/mitral -4.3
6. Gagal jantung - 4.3
7. Kardiomiopati - 4.3
8. Fibrilasi atrial - 4.3
9. Rasio kardio-torasik > 0.5 (pada x-foto toraks) - 4.3
10. Infark jantung (dalam 6 bulan) - 4.3
11. Angina, klaudikasio atau diabetes - 3.7
12. TIA atau stroke sebelumnya - 6.7
13. Anemnesis adanya hipertensi - 4.1
2. Guy's Hospital Score (1985)
Pembacaan:
Skor : < + 25: Infark (stroke non hemoragik)
> + - 5: Perdarahan (stroke hemoragik)
+ 14: Kemungkinan infark dan
perdarahan 1:1
< + 4: Kemungkinan perdarahan 10%
Sensivitas: Untuk stroke hemoragik: 81-88%; stroke non hemoragik
(infark) 76-82%. Ketetapan keseluruhan: 76-82%.
3. Siriraj Hospital Score (Poungvarin, 1991)
Pembacaan:
Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x tekanan
darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.
Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah
diastolik) – (3 x atheroma) – 12.
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma
= 2 Muntah:
tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam:
tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma:
Skor > 1 : Perdarahan otak
Skor < -1: infark otak
Sensivitas: Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostik: 90.3%.
2.5. Epidemiologi Stroke
2.5.1. Determinan Stroke
Faktor risiko stroke terdiri dari dua kategori, yaitu:
a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi:
i. Usia
Risiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setiap
penambahan usia tiga tahun akan meningkatkan risiko dari
semua stroke, orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki
risiko paling tinggi yaitu 71%, sedangkan 25% terjadi pada
orang yang berusia 65-45 tahun, dan 4% terjadi pada orang
berusia 200 mg/dl
meningkatkan risiko stroke 1,31-2,9 kali (Lumbantobing,
2003).
vii. Merokok
Berdasarkan penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam
Malik Medan dengan desain case control, kebiasaan merokok
meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 4 kali (Siregar,
2002). Merokok menyebabkan penyempitan dan pengerasan
arteri di seluruh tubuh (termasuk yang ada di otak dan
jantung),
sehingga
merokok
mendorong
terjadinya
aterosklerosis, mengurangi aliran darah, dan menyebabkan
darah mudah menggumpal (Feigin, 2006).
viii. Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu
metabolisme tubuh, sehingga terjadi dislipidemia, diabetes
melitus, mempengaruhi berat badan dan tekanan darah, dapat
merusak sel-sel saraf tepi, saraf otak dan lain- lain. Semua ini
mempermudah terjadinya stroke. Konsumsi alkohol berlebihan
meningkatkan risiko terkena stroke 2-3 kali (Shimberg, 2008).
ix. Stress
Hampir
setiap
orang
pernah
mengalami
stres.
Stres
psiokososial dapat menyebabkan depresi. Jika depresi
berkombinasi
dengan
faktor
risiko
lain
(misalnya
aterosklerosis berat, penyakit jantung atau hipertensi)
dapat
memicu terjadinya stroke. Depresi meningkatkan risiko
terkena stroke sebesar 2 kali (Feigin, 2006).
x. Penyalahgunaan Obat
Pada orang-orang yang menggunakan narkoba terutama jenis
suntikan akan mempermudah terjadinya stroke, akibat dari
infeksi dan kerusakan dinding pembuluh darah otak. Di
samping itu, zat narkoba itu sendiri akan mempengaruhi
metabolisme
tubuh, sehingga mudah terserang stroke.
Pencegahan Stroke
2.5.2. Pencegahan Primordial
Tujuan pencegahan primordial adalah mencegah timbulnya faktor
risiko
stroke bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko.
Pencegahan primordial dapat dilakukan dengan cara melakukan promosi
kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke
(Bustan, 2000).
2.5.3. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mengurangi timbulnya faktor
risiko stroke bagi individu yang mempunyai faktor risiko dengan cara
melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara lain:
a.
Menghindari rokok, stress, alkohol, kegemukan, konsumsi garam
berlebihan,
obat-obatan
golongan
amfetamin,
kokain
dan
sejenisnya.
b.
Mengurangi kolesterol dan lemak dalam makanan.
c.
Mengendalikan Hipertensi, DM, penyakit jantung (misalnya
fibrilasi atrium, infark miokard akut, penyakit jantung reumatik),
dan penyakit vaskular aterosklerotik lainnya.
d.
Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang seperti, makan
banyak sayuran, buah-buahan, ikan terutama ikan salem dan tuna,
minimalkan junk food dan beralih pada makanan tradisional yang
rendah lemak dan gula, serealia dan susu rendah lemak serta
dianjurkan berolah raga secara teratur.
2.5.4. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah
menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan terhadap
penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronis. Tindakan
yang dilakukan adalah:
a.
Obat-obatan, yang digunakan: asetosal (asam asetil
salisilat)
digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama
dengan dosis berkisar antara 80-320 mg/hari, antikoagulan oral
diberikan pada penderita dengan faktor resiko penyakit jantung
(fibrilasi atrium, infark miokard akut, kelainan katup) dan kondisi
koagulopati yang lain.
b.
Clopidogrel dengan dosis 1x75 mg. Merupakan pilihan obat
antiagregasi trombosit kedua, diberikan bila pasien tidak tahan
atau mempunyai kontra indikasi terhadap asetosal (aspirin).
c.
Modifikasi gaya hidup dan faktor risiko stroke, misalnya
mengkonsumsi obat antihipertensi yang sesuai pada penderita
hipertensi, mengkonsumsi obat hipoglikemik pada penderita
diabetes,
diet
rendah
lemak
dan
mengkonsumsi
obat
antidislipidemia pada penderita dislipidemia, berhenti merokok,
berhenti mengkonsumsi alkohol, hindari kelebihan berat badan
dan kurang gerak.
2.5.5. Pencegahan Tertier
Tujuan pencegahan tersier adalah untuk mereka yang telah
menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat
dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan tersier dapat dilakukan
dalam bentuk rehabilitasi fisik, mental dan sosial. Rehabilitasi akan
diberikan oleh tim yang terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli
terapi wicara dan bahasa, ahli okupasional, petugas sosial dan peran serta
keluarga.
a.
Rehabilitasi Fisik
Pada rehabilitasi ini, penderita mendapatkan terapi yang dapat
membantu proses pemulihan secara fisik. Adapun terapi yang
diberikan yaitu yang pertama adalah fisioterapi, diberikan untuk
mengatasi masalah gerakan dan sensoris penderita seperti masalah
kekuatan
otot,
duduk,
berdiri,
berjalan,
koordinasi
dan
keseimbangan serta mobilitas di tempat tidur. Terapi yang kedua
adalah terapi okupasional (Occupational Therapist atau OT),
diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam melakukan
aktivitas sehari-hari seperti mandi, memakai baju, makan dan
buang air. Terapi yang ketiga adalah terapi wicara dan bahasa,
diberikan untuk melatih kemampuan penderita dalam menelan
makanan dan minuman dengan aman serta dapat berkomunikasi
dengan orang lain.
b.
Rehabilitasi Mental
Sebagian besar penderita stroke mengalami masalah emosional
yang dapat mempengaruhi mental mereka, misalnya reaksi sedih,
mudah tersinggung, tidak bahagia, murung dan depresi. Masalah
emosional yang mereka alami akan mengakibatkan penderita
kehilangan motivasi untuk menjalani proses rehabilitasi. Oleh
sebab itu, penderita perlu mendapatkan terapi mental dengan
melakukan konsultasi dengan psikiater atau ahli psikologi klinis.
c.
Rehabilitasi Sosial
Pada rehabilitasi ini, petugas sosial berperan untuk membantu
penderita stroke menghadapi masalah sosial seperti, mengatasi
perubahan gaya hidup, hubungan perorangan, pekerjaan, dan
aktivitas senggang. Selain itu, petugas sosial akan memberikan
informasi mengenai layanan komunitas lokal dan badan-badan
bantuan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Americant Heart, 2004. Stroke Statistic. http://www.americantheart.org/
Bambang, M, Suhartik, K.S., 2003. Pencegahan Stroke Dan Jantung Pada
Usia Muda. Balai Pustaka FKUI, Jakarta
Bustan, Mn, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Feigin, V, 2006. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan Dan
Pemulihan Stroke. PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Henderson, L, 2002. Stroke Panduan Perawatan. Penerbit Arcan, Jakarta.
Lumbantobing, S.M, 2003. Neurogeriatri. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Lumbantobing, S.M, 2003. Stroke Bencana Peredaran Darah di Otak. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta.
Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Shimberg, EF, 2004. Stroke petunjuk Penting Bagi Keluarga. Alih Bahasa
Anne Rozana. PT. Pustaka Delapratasa, Jakarta.
Siregar, FA, 2002 . Determinan Kejadian Stroke Pada Penderita Rawat
Inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
27