Fenomena hati dalam Musnad Ahmad no. indeks 6577: kajian ma'anil hadis dengan pendekatan psikologis.

(1)

FENOMENA HATI DALAM MUSNAD AHMAD IBN HANBAL

NO. INDEKS 6577

(Studi Ma’anil Hadis dengan Pendekatan Psikologis)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh: USFI NURYANTI

NIM: E03213089

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Abstrak

Usfi Nuryanti, E03213089. Fenomena Hati dalam Musnad Ahmad no. Indeks

6577 (Kajian Ma’anil Hadis dengan Pendekatan Psikologis)

Tempat untuk memahami dan mengendalikan diri itu ada di hati (qalbu). Namun keadaan hati manusia selalu mengalami perubahan. Pada suatu waktu hati manusia terletak pada kebenaran, namun suatu waktu yang lain bisa terletak pada penyimpangan. Padahal dalam fitrahnya, manusia diciptakan untuk selalu condong pada kebenaran. Dari fenomena ini mengindikasikan bahwa dalam hati manusia sering terjadi keterbolak-balikan. Untuk itu, dengan pendekatan ilmu

ma’a>ni al-h}adi>th dan pendekatan psikologis, maka penulis akan menemukan implikasi daripada hadis yang terkait hati dalam kehidupan manusia. Selain itu, yang lebih penting adalah penelitian dan kehujjahan hadis itu sendiri, yakni hadis dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal.

Penulisan ini menggunakan model kualitatif dalam bentuk library research

dengan metode dokumentasi, dimana metode ini dilakukan dengan beberapa tekni pengumpulan data, yakni Takhri>h al Hadi>th, I’tibar al Hadi>th, serta digunakan juga pendekatan kebahasaan, Alquran, dan hadis yang semakna untuk menjawab solusi yang ditawarkan dalam mengendalikan hati. Selanjutnya analisis dilakukan melalui kritik sanad dan matan.

Dari hasil penulis, Hadis tentang hati dalam kitab Musnad Ahmad nomer indeks 6577, dilihat dari segi sanad dan matannya berstatus sahih dan bisa dijadikan sebagai hujjah. Dikarenakan memenuhi syarat yang telah ditentukan dan hadis ini juga di dukung oleh hadisnya sahih Muslim yang membuat kualitasnya semakin tinggi. Kemudian untuk kualitas matannya sendiri, secara redaksional hadis tersebut tidak bertentangan dengan sabab wurud, akal sehat, dan kaedah bahasa, juga Alquran.

Implikasi dari fenomena keterbolak-balikan hati dalam hadis ini adalah pengaruhnya besar terhadap diri sendiri, hubungan dengan lingkungan (sesame manusia) dan hubungan manusia dengan Allah. Untuk itu manusia harus mampu menjaga hatinya agar selalu berada di jalan Allah dengan mengenalNya agar

tercipta perasaan h}usnuz}on terhAdapNya, dan agar manusia tetap berada dalam

fitrahnya, yakni selalu condong terhadap ketauhidan kepada Allah.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...ii

ABSTRAK ...iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iv

PENGESAHAN SKRIPSI ...v

PERNYATAAN KEASLIAN ...vi

MOTTO ...vii

PERSEMBAHAN ...viii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ...xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...9

C. Rumusan Masalah ...10

D. Tujuan Penelitian ...10

E. Manfaat Penelitian ...10

F. Penegasan Judul ………. 11

G. Telaah Pustaka ...12

H. Metodologi Penelitian ...14

I. Sistematika Pembahasan ...17

BAB II: HATI, TEORI HADIS, DAN TEORI PSIKOLOGI A. Hati ...19


(8)

B. Ilmu Ma’a>nil H}adi>th ...21

C. Teori Kesahihan Hadis ...22

D. Teori Kehujjahan Hadis ...37

E. Teori Memahami Hadis ...41

F. Teoti Psikologi ………... 44

BAB III: HADIS FENOMENA HATI DALAM MUSNAD AHMAD A. Kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal ...49

B. Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal ...57

C. Biografi Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘A>sh ...62

D. Data Hadis tentang Hati Manusia ...64

E. Takhri>h H}adi>th ...65

F. Skema Sanad ... ...66

G. Biografi Masing-masing Rawi ...69

BAB IV: ANALISIS HADIS HATI DALAM MUSNAD AHMAD A. Kualitas dan Kehujjahan Hadis ...77

B.Ma’ani al-Hadith ………... 80

C. Implikasi Hadis Hati terhadap Kehidupan Manusia ... .. 82

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ...94

B. Saran ...95 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya fitrah manusia mengandung keyakinan akan kebenaran

dalam ketuhanan dan berakhlak diantara sesama manusia.1 Sayyid Qutb membagi

fitrah kepada dua macam: Pertama, fitrah manusia, yaitu bahwa potensi dasar

yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan selalu condong

kepada kebenaran. Kedua, fitrah agama, yaitu wahyu Allah yang disampaikan

lewat para rasulnya untuk menguatkan dan menjaga fitrah manusia itu. Fitrah manusia dianggap mempunyai nilai lebih dibandingkan makhluk lain, yaitu

makhluk yang membutuhkan agama.2 Sebagaimana firman Allah:

 ا   ا   ا   ا   ا   ا  ا   ا   ا   ا   ا   ا  ا   ا  ا   ا   ا ا   ا  ا  ا   ا   ا   ا  ا  ا   ا  ا  

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"3

Ayat di atas menunjukkan pengakuan ruh manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tiada Tuhan yang lain yang patut

1

Masyhudi Ahmad, Psikologi Islam, (Surabaya: PT Revka Petra Media, 2009), 149.

2

Ibid., 143.

3Al u a , al-A’ra>f

(7): 172 dalam Departemen Agama Republik Indonesia, Al u an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Penerbit J-Art, 2005), 174.


(10)

2

disembah selain Dia. Hal ini berarti bahwa hakikat kejadian manusia didasari atas

ketauhidan terhadap Allah Swt sejak berada dalam kandungan ibunya.4

Terdapat tiga unsur utama dalam penciptaan manusia, yaitu jasmani, rohani, dan nafsani (kejiwaan). Unsur jasmani ialah bentuk fisik manusia yang dapat dilihat dengan mata kasar, mampu bergerak atau digerakkan, mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang bisa diukur. Ia bersifat material dan tidak mampu menanggapi perkara yang bersifat abstrak. Sedangkan unsur rohani mempunyai ciri yang sebaliknya. Roh bersifat ghaib, tidak dibatasi ruang dan

waktu (multidimensi) dan sebagai pengerak utama jasad. Kemudian roh ini terbagi

menjadi dua bagian, yaitu zat roh itu sendiri dan al-Gharizah atau Nafsani. Unsur

Nafsani berperanan sebagai penghubung di antara unsur jasmani dan rohani manusia. Unsur nafsani terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akal, qalbu, dan nafsu.

Di antara ketiga bagian Nafsani ini, qalbu memainkan peranan sebagai pemandu,

pengawal dan pengendali struktur jiwa yang lain.5

Hati (qalbu) adalah salah satu aspek terdalam dalam jiwa manusia yang

senantiasa menilai benar salahnya perasaan, niat, angan-angan, pemikiran, hasrat,

sikap dan tindakan seseorang, terutama dirinya sendiri. Hati itu semacam remote

control sekaligus pemegang komando utama. Sebab semua anggota tubuh berada

di bawah perintah dan dominasinya.6

4

Masyhudi Ahmad, Psikologi Islam, 143

5

Norul Huda Binti Bakar dkk, Potensi Qalbu dalam Membuat Keputusan: Kajian menurut Perspektif Islam , Jurnal Penyelidikan dan Inovasi, BIL 1, No 41-55, (Selangor: Universitas Islam Antarbangsa Selangor (KUIS), 2014), 41-42.

6I a Fi daus,


(11)

3

Tempat untuk memahami dan mengendalikan diri itu ada di hati. Hatilah yang menunjukkan watak dan diri kita sebenarnya. Hati menjadi esensi dari perilaku dan kehidupan manusia. Jika hatinya baik, maka perilaku seseorang akan baik. Tetapi bila hati buruk, maka akan berakibat negatif bagi perilaku manusia. Rasulullah bersabda:

اىلَصاِهّلل اَاَ ُ َراُ َ ََِاُاَ ُ ََ اٍَِْشَباَ َباَا َ َ َ ل اُ َ ََِااَا َ اٍ ِ َ اَ َ اُء ِ كَزا َ ََ َ اٍمَ َ َُ ا ُبَأا َ ََ َ

اُاَ ُ ََ اَملَ َااِهَ َلَ اُهّلل

...

ا َتَ َسَفا ذإَااهلُكاُ َسَج اَحَلَصاَ َحَلَصا ذإا َغَضُ اِ سج ا ِِااِإَاااآ

اُ َلَ ل اَه َاااأاُهلُكاُ َسَج اَ َسَف

.

7

Telah menceritakan kaepada kami Abu> Nu’aim, telah menceritakan kepada kami Zakariyya‟ dari ‘A>mir dia berkata, aku telah mendengar Nu’ma>n ibn Bashi>r yang dia

berkata, aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda:…..Sesungguhnya didalam tubuh

manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka semua anggota tubuh akan baik. (Sebaliknya), jika segumpal daging itu buruk, maka semua anggota tubuh akan menjadi buruk pula. Segumpal daging itu adalah hati.8

Secara tidak langsung, hadis ini menjelaskan bahwa kehidupan manusia akan menjadi baik dan sesuai dengan fitrah asal sekiranya qalbu yang dimiliki berfungsi dengan baik. Ia adalah rentetan daripada ciri qalbu yang mempunyai nilai ketuhanan (fitrah ilahiyyah). Namun begitu, potensi qalbu tidak senantiasa menjadi tingkah laku yang baik. Sebaliknya ia sangat bergantung pada pilihan manusia itu sendiri.9

Hal yang perlu digarisbawahi bahwa segumpal daging (jantung) sebagaimana

digambarkan dalam isi hadis tersebut maknanya lebih pada “simbolis-analogi”.

Artinya, kata qalbu pada hadis itu lebih tepat dimaknai sebagai hati spiritual

(tersirat). Sementara hati (qalbu) jasmani pada hadis tersebut lebih bersifat

7Abi> ‘Ubaidillah Muhammad ibn Isma>’i>l al Bukha>ri>, S}ah}i>h} al bukha>ri>, Kita>b al I>ma>n,

Bab Fad}l min istabra’ lidi>nih, No. 52, (Beirut: Da>r ibn Kathi>r, 2002), 23-24.

8

Lidwa Pusaka, Hati , Lidwa PusakaاHadits – Kitab 9 Imam Hadith, ?)

9

Norul Huda Binti Bakar dkk, Potensi Qalbu dalam Membuat Keputusan: Kajian menurut Perspektif Islam , 48.


(12)

4

metafora (bukan makna sebenarnya). Pilihan diksi “segumpal daging” yang dipakai oleh Rasulullah saw. Dalam sabda tersebut merupakan bentuk kepiawaian

komunikasi beliau dalam menyampaikan risalah.10 Nabi Muhammad saw dalam

hadisnya di atas menyebutkan, bahwa yang menjadi penentu perilaku manusia adalah segumpal daging, dan segumpal daging itu adalah qalbu.

Al Ghazali berpendapat bahwa qalbu memiliki insting yang disebut dengan

al-nur al-ila>hiy (cahaya ketuhanan) dan al-bashi>rah al-bathinah (mata batin) yang

memancarkan keimanan dan keyakinan.11 Untuk itu, menjaga iman sama dengan

menjaga hati, karena di sanalah iman bersemayam. Namun keadaan iman yang ada dihati seseorang tidaklah sekali jadi, sekaligus mantap dan tidak akan pernah berubah. Sekalipun hati nurani ini cenderung menunjukkan hal yang benar dan hal yang salah, tetapi tidak jarang mengalami keragu-raguan dan sengketa batin sehingga seakan-akan sulit menentukan yang benar dan yang salah. Seorang mukmin bisa jadi berubah menjadi kufur, lalu kembali beriman, kemudian kembali lagi kufur. Apabila bolak-baliknya hati berakhir dengan keadaan iman, maka baiklah keadaan mukmin yang bersangkutan. Akan tetapi sebaliknya, apabila berakhir dengan kafir maka celakalah orang yang bersangkutan. Allah berfirman:

اَمُ ََ ِ َ ََ ِلاَاَااَمََُاَ ِ َغََ ِلاُهلل اِ ُ َ اََا ً َ ُكا َاُ َ َز اُا َاُ َ َكاُا َ َُ َ َءاُا َاُ َ َكاُا َ َُ َ َءاَ َ ِذل ااِإ

اَ َ ِ َ

12

10I a Fi daus, Alaa Wa Hiya Al-Qalbu, 25 11

Victor Said Basil, Manhaj al-bahs an al-Ma ifah inda al-Ghazaliy, (Beirut: Dar al-Kitab al-Libananiy, t.t), 155.

12


(13)

5

Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (lagi), kemudian kembali kafir, lalu bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak pula menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus).13

Apa yang disinggung firman Allah tersebut mengisyaratkan bahwa kondisi hati itu tidak tetap, tetapi bergolak dan selalu berubah, selalu dalam keadaan

fluktuatif (naik-turun). Keadaan hati yang selalu bolak-balik perlu memperoleh kewaspadaan yang serius dalam rangka memperoleh hasil akhir (final) yang

menguntungkan dalam arti mencapai husn al-khatimah (akhir yang baik) bukan

su’u al-khatimah (akhir yang buruk). Hati kita terkadang condong pada iman, dilain waktu bisa pula condong pada kekafiran. Kondisi hati senantiasa berubah, seiring kondisi iman di dalamnya. Rasulullah bersabda yang artinya:

Rasulullah s}allalla>hu 'alaihi wasallam bersabda: "Dia dinamakan Qalbu karena mudah terombang-ambing. Sesungguhnya perumpamaan Qalbu, adalah laksana bulu yang menempel di pangkal pohon, kemudian berubah karena terpaan angin yang berhembus.14

Perumpamaan dalam hadis tersebut adalah untuk meningkatkan kewaspadaan

akal dari perubahan hati.15 Karena sesungguhnya hati manusia itu terdapat dusta,

banyak perubahan, dan pujian.16 Hati seperti sehelai bulu yang dirubah oleh angin

dari tempatnya. Semakin kuat angin, maka semakin mudah pula bulu itu berubah tempat. Perumpamaan ini menunjukkan al-muba>laghah li dila>lati ‘ala at Taks}i>r, yaitu bahwa semua angin menampakkan perubahan walapun berada disatu sisi

13

Departemen Agama Republik Indonesia, Al u an dan Terjemahannya, 101.

14

Lidwa Pusaka, Hati , Lidwa PusakaاHadits – Kitab 9 Imam Hadith, ?)

15

Zainuddin Muhammad, al-Taisi>r bi Sharh al-Jami>’ al-S}ogh>ir, (Riyadh: Maktabah al-Imam Al-Shafi’i>, 1988), 2.

16Abu> Bakar Muhammad bin Abi> Isha>q, Bah}r al-Fawa>id al-Masyhu>r bi Ma’a>ni>


(14)

6

yang tidak menampakkan perubahan (bergerak) dan sifat bulu yang jenisnya telah kita ketahui.17

Hadis yang senada terkait bolak-baliknya hati adalah:

اْ ْ َلا اُ ْ َ اْ َُ َ ا َ ََ َ َ

ا,

اْ َ َْ َ ا َ ََ َ َ

ا,

اَعيََاُهَنَ ايلُ ُْْ اْ ْ َلا اُ ْ َ ا َ َ اَعيََاُهَنَ اٍء يِ َاْ َُ َ اْ يَِلََ ْخَ

ولم ا اهّلا ُ ْ َ

ا:

مّلَسَواْهْ َلَ اُهّلا الْ ُسَراَعيََاُهَنَ

اُاَ ُ ََ ا

ا:

اَ ِ اََِْ ََ َصِإاََََْبا َ لُكاَمَ اََِِباَ َ ُلَُ ااِإ

اٍ ِ َاا ٍ َلَ َكاَا َ َاازَ اَاِ ََْ ل اِ ِب َصَأ

ا,

ء َشَ اَفَ َكاُ ِ َ ُ

ا,

اه ل اه اىلصاهلّل ااَ ُ َراَا َ اُ

مل ا

:

اي ْ ُلُ ْا اَ ِلَ ُ اَمُ ّلا

ا,

اَ ي َ َ ا َ ي ا َ ََ اْ ُلَُ اْ يلْا

18

ا

Telah menceritaan kepada kami Abu Abdirrahman telah menceritakan kepada kami Haiwah telah mengkabarkan kepadaku Abu Hani bahwa dia mendengar Abu Abdirrahman Al-Hubuli bahwa dia mendengar Abdullah bin Amr bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya hati-hati anak cucu Adam semuanya beradara diantara jari-jari Ar Rahman azza wajalla seperti hati seseorang yang dipalingkannya sesuai kehendakNya. Kemudian Rasulullah SAW berdo a: Allahumma musharrifal

qulu>b ishrif qulu>bana> ila> tha>’atik (Ya Allah, Dzat Yang Maha memalingkan hati, palingkanlah hati-hati kami untuk ta at kepadaMu).19

Bani a>dam artinya anak keturunan Nabi Adam, yang menunjukkan bahwa

manusia berasal dari Nabi Adam-bapak semua manusia, baik manusia yang terdahulu maupun manusia sekarang dan manusia yang akan datang, semuanya

berasal dari Adam AS.20

Allah memegang kunci dan pengendalian semua urusan. Apa saja tergantung kepada-Nya. Dia-lah yang membolak-balikkan hati manusia menurut kehendak-Nya. Maka siapa yang ditunjuki-Nya, Dia lapangkan dadanya menerima Islam,

17

Muhammad ib Abdi al-Ha>di>, H}ashiyah al-Sanadi> ‘ala> Sunan Ibn Ma>jah, (Beirut: Da>r al-Ji>l), 46.

18Imam Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Vol. 2, (Beirut: Da>r Kutub al-‘alamiyah, 1993), 227.

19

Lidwa Pusaka, Hati , Lidwa PusakaاHadits – Kitab 9 Imam Hadith, ?)

20

Istilah bani A>dam dalam surat al-A’ra>f terulang 5 kali yang termaktub pada ayat 26, 27, 31, 35 dan ayat 172. Istilah ini juga terdapat dalam surat al-Isra>’ ayat 70 dan Ya>si>n dan ayat 60.


(15)

7

dan siapa yang hendak disesatkan-Nya Dia jadikan dada (hati)nya sempit dan berat (menerima Islam) bagaikan mendaki ke langit.

Maka terdapat segolongan orang yang Allah tidak menghendaki hati mereka bersih. Allah menutup hati mereka sampai mereka tidak paham sama sekali (dengan hidayah). Namun ada pula segolongan orang yang ditetapkan Allah

hatinya menerima iman, dan dikaruniai-Nya ruh iman.21

Jari yang dimaksud adalah kiasan dalam kesempurnaan takdir Allah. Sebagaimana ketika dikatakan: si Fulan berada dalam genggaman dan diantara jari-jariku, yang dimaksud adalah si Fulan dipaksa untuk memudahkan pekerjaan yang aku inginkan. Maka seperti itulah juga hadis ini. Perumpamaan ini dilakukan

untuk mencapai suatu pemahaman.22

Doa Nabi saw yang berisi kewaspadaan beliau terhadap kondisi hati yang senantiasa bolak-balik dalam hadis tersebut sebagai pelajaran berharga bagi umat Islam agar mereka terus berdoa, sehingga hati yang selalu bolak-balik ini diteguhkan Allah tetap berorientasi menaati sistem/agama Allah swt.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa manusia senantiasa mengalami perubahan. Perubahan hati sangat cepat dan kadang-kadang tidak mampu dikendalikan dengan baik. Tidak ada seorangpun yang dapat menjamin hatinya tetap dalam sesuatu keadaan, dimana hati akan berubah mengikut perkara yang sedang dihadapi. Hati akan condong kepada perkara yang disukai dan berpaling dari perkara yang tidak disenangi. Dari sinilah dapat diketahui bahwa perbedaan

21

Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad Damshiqi, Asababul Wurud 3: Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, Terj. Suwarta Wijaya dan Zafrulllah Salim, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), 9.

22Muhammad Sa>lim Ha>shim, S}ah}i>h} Muslim


(16)

8

niat atau motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaan ditentukan oleh sudut pandang yang berbeda-beda.

Pada zaman sekarang, banyak orang yang mengutamakan pandangan masyarakat terhadap dirinya (pencitraannya) dalam melakukan sesuatu. Dengan kata lain, mereka melakukan sesuatu bahkan dengan sengaja mengubah dirinya agar mendapat citra yang baik dihadapan masyarakat.

Pada mulanya, mereka benar-benar mempunyai niat yang tulus ikhlas melakukan sesuatu. Akan tetapi, terkadang perasaan itu tiba-tiba berubah dari

yang ikhlas menjadi tujuan lain, seperti riya’ karena merasa senangnya mendapat

pujian dari orang lain, atau ujub/takabbur karena merasa telah mengungguli yang lainnnya. Sebut saja seperti orang yang selalu dengan niat tulus & ikhlas bershodaqah. Suatu saat seseorang mengetahui perbuatannya itu. Kemudian seseorang itu memujinya hingga membuatnya merasa di atas awan. Akhirnya muncullah perasaan ujub dalam dirinya yang kemudian mendorongnya untuk terus bershodaqoh dengan harapan perbuatannya itu akan mendapat pujian dan

sanjungan dari orang lain. Muncul juga perilaku riya‟ dengan menceritakan segala

perbuatan baik yang telah ia lakukan. Pada akhirnya orang ini akan melakukan shadaqoh dengan niat dalam hatinya yang sudah terbelok, dari yang awalnya

ikhlas menjadi ujub dan riya‟. Kecuali apabila dia memperoleh kembali

hidayahnya dalam memperbaiki kondisi hatinya yang telah berpenyakit.

Fenomena lainnya seperti perasaan di dalam hati manusia yang cepat sekali berubah. Saat ini mereka menyukai suatu hal, namun sesaat kemudian dia justru membencinya. Dan sebaliknya.


(17)

9

Fenomena-fenomena seperti ini mengindikasikan bahwa dalam hati manusia sering terjadi keterbolak-balikan. Untuk itu, dengan pendekatan ilmu ma’a>nil

hadi>th dan psikologi, maka penulis akan menemukan implikasi daripada hadis

terkait hati manusia ini dalam kehidupan manusia.

Selain itu, yang lebih penting daripada penjelasan terkait penelitian ini pada tulisan sebelumnya adalah hadis terkait terbolak-balinya hati itu sendiri. Bagaimana kualitas dan kehujjahannya sangat penting diketahui untuk menemukan keotentikan dan kebenaran atas hadis tersebut. Untuk itu, penelitian

ini membahas tentang hadis terbolak-baliknya hati dengan judul: “Fenomena hati

dalam Musnad Ahmad No. Indeks 6577. (Kajian Ma’a>nil Hadith dengan

Pendekatan Psikologis)”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Keadaan hati manusia selalu mengalami perubahan. Pada suatu waktu hati manusia terletak pada kebenaran, namun suatu waktu yang lain bisa terletak pada penyimpangan. Padahal dalam fitrahnya, manusia diciptakan untuk selalu condong pada kebenaran sebagaimana telah dijelaskan dalam permulaan latar belakang di atas. Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi adalah:

1. Apa definisi hati?

2. Bagaimana bunyi dalil hadis tentang hati?

3. Bagaimana kualitas & kehujjahan hadis hati dalam Musnad Ahmad?

4. Bagaimana implikasi hadis tentang hati dalam kehidupan manusia?


(18)

10

C. RumusanMasalah

Untuk memperjelas masalah yang akan dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas & kehujahan hadis hati dalam kitab Musnad Ahmad ibn

Hanbal?

2. Bagaimana ma’a>ni al-hadi>th terkait hadis hati dalam kitab Musnad Ahmad ibn

Hanbal?

3. Bagaimana implikasi hadis dalam kehidupan manusia?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ditekankan diungkapkan selaras dengan rumusan

masalah.23Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kualitas & kehujjahan hadis hati dalam kitab Musnad Ahmad ibn

Hanbal

2. Mengetahui ma’a>ni al-h}adi>th terkait hadis terbolak-baliknya hati dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal

3. Mengetahui implikasi hadis dalam kehidupan manusia

E. ManfaatPenelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

Secara teoritis penelitian ini akan menambah wawasan keilmuwan hadis dan

ulu>m al-h}adit>h serta memperkaya pengetahuan kajian hadis tentang

terbolak-baliknya hati yang terdapat dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal.

23


(19)

11

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan perumusan hipotesis baru dalam penelitian-penelitian selanjutnya.

Dalam aspek agama dan sosial diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan pelajaran dan pedoman kepada kita agar menjadi manusia yang mampu mengendalikan hatinya untuk menjadi manusia yang lebih baik.

F. Penegasan Judul

Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam memahami judul karya ilmiah ini, maka akan dijelaskan istilah-istilah yang terangkai pada judul dalam konteks kebahasaan.

Fenomena : Penampakan realitas dalam kesadaran manusia24; hal-hal yang

dapat disaksikan dengan pancaindra, dan dapat diterangkan serta dinilai secara

ilmiah seperti fenomena alam atau gejala.25

Hati : Sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai

tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian (perasaan-perasaan dsb); sifat (tabiat) batin manusia.26 Dalam penelitian ini, maksud hati yang hendak dibahas adalah al Qalbu. Ada kerancuan dalam Bahasa Indonesia dalam memaknai kata qalbu. Lazimnya, masyarakat Indonesia merujuk

kata “hati” sebagai padanan kata „heart’ dalam bahasa Inggris. Padahal, heart jika dimaksudkan sebagai organ tubuh makna aslinya adalah jantung. Secara khusus

al-Qalbu memiliki dua arti, yaitu pertama adalah hati jasmani (qalb

24

Plus Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Penerbit ARKOLA Surabaya, 2001), 179.

25

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 410.

26


(20)

12

jasmani), yaitu daging khusus yang berbentk seperti jantung pisang yang terletak di dalam rongga dada sebelah kiri dan berisi darah hitam kental atau daging berbentuk kerucut yang tersimpan di bagian kiri dada. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini merupakan sumber ruh hewani. Kedua,

menyangkut jiwa yang bersifat lathif (halus) rabbani (mempunyai sifat

ketuhanan) dan ruhaniyyat.27 Terlepas dari siapa yang pertama kali

menerjemahkan qalbu sebagai hati, dan dari kebenaran akan pemaknaannya,

penulis akan tetap memakai kata hati untuk memaknai qalbu dalam peneltian ini. Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk berkonsentrasi pada pemaknaan hadis terkait fenomena hati dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal.

Penyelesaian penelitian ini dengan menggunakan ilmu ma’a>nil hadi>th dan

pendekatan psikologis.

G. Telaah Pustaka

Setelah dilakukan telaah pustaka, penulis menemukan beberapa karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, yaitu:

1. Terapi Penyakit Hati menurut Ibn Taimiyah dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam oleh Kholil Lur Rahman dalam jurnal KOMUNIKA Dakwah dan Komunikasi, Vol. 3, No. 2, STAIN Purwokerto, Juli-Desember, 2009. Disini menjelaskan mengenai penyakit hati dan cara penyembuhannya.

2. Konsep Hati menurut al-H}>akim al-Tirmidzi oleh Ryandi dalam jurnal KALIMAH, Vol. 12, No. I, Ilmu Aqidah Pascasarjana ISID Gontor, Maret

27

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (t. k.: AMZAH, 2005), 183


(21)

13

2014. Dalam jurnal ini djelaskan mengenai tingkatan-tingkatan hati dan peranannya dalam diri manusia.

3. Pendidikan Hati Perspektif Alqur’an Menuju Pembentukan Karakter oleh Suparlan dalam Thesis, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014. Disini dijelaskan mengenai cara mendidik hati untuk memperbaiki moral dan karakter.

4. Potensi Qalbu dalam Membuat Keputusan: Kajian Menurut Perspektif Islam

oleh Norul Huda Binti Bakar dkk, dalam Jurnal Penyelidikan dan Inovasi, Kolej, No. 41-55, Universitas Islam Antarbangsa Selangor (KUIS) Selangor Darul Ihsan 2014. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa dalam membuat keputusan, antara hati, akal, dan nafsu saling bersaing satu sama lain. Namun walaupun begitu, pada hakikatnya ketiganya saling berinteraksi satu sama lain yang kemudian hasil interaksi inilah yang membentuk kepribadian manusia. 5. Hakikat Hati menurut at-Tirmidzi; Philosophy of hearth according al-Hakim

al-Tirmidzi oleh Ahmad Tajuddin Arafat, dalam jurnal SMaRT, Vol. 1 No. 1, fakultas Ushuluddin UIN Walisongo, Juni 2015. Jurnal ini menjelaskan bahwa

hati ini memiliki maqamat/tingkatan-tingkatan.

6. Relasi Akal dan Hati menurut al-Ghazali oleh Ahmad Arisatul Cholik, dalam jurnal KALIMAH, , Vol. 13, No. 2, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Ponorogo, September 2015. Jurnal ini menjelaskan bahwa Akal dan hati merupakan dua sebutan yang berbeda namun merupakan satu substansi manusia yang sama yang menerima pengetahuan, yang berakal, serta yang memutuskan perbuatan dan tingkah laku.


(22)

14

7. Tasawuf sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan dengan Allah oleh Fahruddin, dalam jurnal Ta‟lim, Vol. 14, No. 1, Pendidikan Agama Islam 2016. Disebutkan bahwa tasawuf sebagai alat untuk membersihkan hati. Namun daripada tentang hati, jurnal ini lebi terfokus pada pembaasan terkait tasawufnya.

8. Kepentingan Qalbu dalam Membuat Keputusan oleh Daud Lin Abdullah dkk,

Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor (KUIS), disebutkan bahwa qalbu tidak hanya membuat keputusan akan tetapi juga melakukan tanggungjawab untuk menjadi hamba Allah. Disini juga dibuktikan bahwa jantung manusia terkait erat dengan emosi manusia.

Dari beberapa karya di atas, menunjukkan bahwasannya belum ada penelitian yang membahas fenomena terbolak-baliknya hati dalam hadis yang akan dijelaskan sebagaimana dalam penelitian ini.

H. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan beberapa langkah guna menyelesaikan masalah yang ada, sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang pembahasan ini. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan model kualitatif dalam bentuk library research

(penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang memanfaatkan sumber

perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.28 Penelitian ini bermaksud

28


(23)

15

mendiskripsikan status kehujjahan dan pemaknaan hadis terbolak-baliknya hati dalam kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal.

2. Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini diambil dari literatur-literatur sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer, yaitu diambil dari kitab Musnad Ahmad ibn Hanbal. b. Sumber Data Sekunder, yaitu sumber data yang diambil dari kitab-kitab

hadis lain dan kitab syarahnya.

c. Buku Penunjang, yaitu diambil dari buku-buku yang berkaitan dengan obyek penelitian. Buku penunjang ini berupa karya ilmiah, artikel-artikel, dan buku-buku penunjang lainnya yang mempunyai kesamaan pembahasan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode ini diterapkan pada seputar laporan tulis seperti buku, jurnal ilmiah atau dokumentasi tertulis lainnya.

Dalam pengkajian hadis, penerapan metode dokumentasi ini dilakukan dengan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

Takhri>j al-H}adi>th secara singkat dapat diartikan sebagai kegiatan untuk

mengeluarkan hadis dari sumber asli. Sehingga Takhri>j al-H}adi>th merupakan

langkah awal untuk mengetahui kualitas jalur sanad dan kualitas suatu hadis.29

Tujuannya adalah untuk mengetahui hadis yang dibahas itu terdapat di kitab apa dan siapa saja imam ahli hadis yang mengeluarkan atau mencatatnya.

29

Bustamin, Metodologi kritik Hadis, Cetakan ke- 1 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 28.


(24)

16

I’tibar al-H}adi>th adalah penelusuran jalur-jalur hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah ada rawi lain yang

menyetujui atau tidak.30

Kritik sanad (al-naqd al-kha>riji) merupakan upaya meneliti kredibilitas seluruh jajaran hadis dalam suatu jalur sanad, yang meliputi aspek kesinambungan (muttas}il), kualitas pribadi dan kapasitas intelektual (d}abit), adil

(‘adalah), serta aspek shaz} dan ‘illatnya.31

Kritik matan (al-naqd al-dakhli) ialah penelitian menurut unsur-unsur kaidah

kes}ah}i>h}an matan yang bersangkutan.32

Dalam pemaknaan hadis digunakan beberapa pendekatan kebahasaan,

menghadapkan hadis dengan Alquran maupun hadis yang semakna33 dan juga

melalui pendekatan psikologis.

4. Metode analisis data

Metode analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui penelitian. Penelitian hadis secara dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan. Maka analisis data hadis akan meliputi dua komponen tersebut.

Dalam analisa sanad dilakukan dengan pendekatan kritik sanad melalui ilmu

rija>l al-h}adi>th dan jarh} wa al ta’di>l, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses penerimaan hadis tersebut (tahammul wa ada>’).

30

Mahmud al-Thahan, Tafsi>r Mus}t}olah al-H}adi>th, (Sangapura: Al-Haramain, 1985), 141.

31

Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Malang, 2008), 31.

32

M. Syuhudi Ismail, Metode Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 86.

33


(25)

17

Sedangkan dalam penelitian matan, analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis isi. Pengevaluasian atas validitas matan diuji pada tingkat

kesesuaian isi hadis (isi beritanya) dengan penegasan eksplisit Alqur‟an, ilmu

ma’a>ni al h}adi>th, logika atau akal sehat, dan informasi hadis-hadis lain yang bermutu sahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai bagian integral ajaran Islam.34 Dalam hadis yang akan diteliti ini, pendekatan keilmuan hadis yang digunakan untuk analisis isi adalah pendekatan psikologi yang digunakan untuk mencapai pemahaman suatu hadis dengan lebih komprehensif, dimana teori psikologi yang digunakan terfokuskan dalam teori psikologi kepribadian.

Semua data yang terkumpul, baik primer, sekunder maupun penunjang diklarifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis isi, yaitu susunan teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengelolanya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.35 Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peniliti.

I. Sistematika Pembahasan

Dengan sistematika yang jelas, hasil penelitian ini akan menjadi lebih baik dan terarah. Oleh karena itu, peneliti membuat sistematika penelitian yang terdiri dalam bentuk bab perbab sebagaimana berikut:

34

Hasjim Abbas, Pembakuan Redaksi, Cet 1, (Yogyakarta: Teras, 2004), 6-7.

35

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta, Rake Sarain, 1993), 76-77.


(26)

18

Bab pertama, adalah pendahuluan yang menjelaskan segala persoalan atau masalah yang melatarbelakangi kajian penelitian ini, meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua, dalam bab ini akan dibahas landasan teori yang meliputi kriteria kesahihan hadis, teori kehujjahan hadis, dan teori ma’a>ni al H}adi>th dan teori psikologi.

Bab tiga, dalam bab ini disajikan data-data yang akan dijadikan sebagai bahan penelitian, diantaranya adalah biografi Ahmad ibn Hanbal dan kitab Musnadnya, serta biografi perawi yang terdapat dalam hadis Musnad Ahmad, skema sanad dan hadis-hadis serupa yang menjelaskan tentang terbolak-baliknya hati, serta kritik atas masing-masing perawi.

Bab empat, dalam bab ini akan dibahas tentang analisa dari hadis Ahmad ibn Hanbal tentang terbolak-baliknya hati, dari segi sanad, matan, kualitas & kehujjahan hadis, serta bagaimana makna pemahaman yang dimaksud oleh hadis tersebut.

Bab V, merupakan akhir dari pembahasan dalam penelitian ini yang berisikan kesimpulan dan saran.


(27)

BAB II

Hati, Teori Hadis, dan Teori Psikologi

A.Hati

Ibn al-Mandzur menjelaskan bahwa kata “qalb” berasal dari akar kata

qa-la-ba yang berarti membalikkan sesuatu (tahwil al-syai’). Kemudian beliau juga

menjelaskan bahwa qalbu adalah segumpal daging dari fu’ad yang tergantung

dengan urat besar tempat ia tergantung.1Selain itu, Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi

mengartikan qalb dengan makna mengubah, membalikkan, dan mengganti.

Sinonim qalb adalah semisal kata ‘aql (akal), lubb (inti), quwwah (kecakapan),

syaja’ah (keberanian), wasath (pusat/center), dan al-mahdh wa al-khalish

(murni).

Al-Qalb merupakan penglihatan dari hati. Al-Qalb merupakan tempat bagi cahaya iman, yakni cahaya yang memberikan keyakinan, ilmu, niat, ketakwaan,

sakinah (ketenangan), kekhusyu’an, dan kesucian. Kesucian dan kebersihan

al-qalb tergantung sejauh mana ia dijaga, dilatih, dan ditambahi dengan

hikmah-hikmah.2

Sebagaimana telah dijelaskan di penegasan judul dalam bab sebelumnya,

bahwa ada kerancuan dalam memaknai kata qalbu dalam Bahasa Indonesia

dimana qalbu diartikan sebagai hati, padahal makna qalbu yang sebenarnya

adalah jantung. Namun walaupun demikian, ada hubungan antara jantung dengan

1

Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Sadar, 1968), 687, dalam Jurnal penyelidikan dan inovasi Norul Huda Bnti Bakar dkk, Potensi Qalbu dalam Membuat Keputusan: Kajian menurut Perspektif Islam, ?, BIL 1, 41-45, (Selangor: KUIS, 2014), , Hal. 42.

2

Ahmad Tajuddin Arafat, Hakikat Hati Menurut al-Hakim al-Tirmizi; Philosophy of Heart According to al-Hakim al-Tirmidzi , ?, Vol. , No. , t.k.: “ art, , 90.


(28)

20

hati spiritual sebagaimana dijelaskan oleh para sufi bahwa keterkaitan antara jantung dan hati spiritual terletak pada fungsinya terhadap tubuh manusia. Jantung manusia berfungsi sebagai pemompa darah yang mengatur peredaran antara darah arteri/darah bersih dengan darah vena/ darah kotor, sedangkan hati spiritual juga berfungsi sebagai alat pengatur arus bolak-balik antara pengaruh ruh yang bersih

dan pengaruh nafsu yang kotor. Inilah alasan qalb yang berarti memutar atau

mengganti.

Selain pemaknaan di atas, makna al-Qalbu juga menyangkut jiwa yang

bersifat lathif (halus) rabbani (mempunyai sifat ketuhanan) dan ruhaniyyat.3Luthf Rabbani Ruhani memiliki hubungan dengan hati yang bersifat jasmani sama seperti hubungan a’radh (accident) dan jisim, serta hubungan sifat dan yang

disifati. Luthf merupakan hakikat manusia yang mengenali, mengetahui, yang

diajak bicara, yang dituntut, diberi pahala dan disiksa.

Sedangkan secara psikis, kalbu berarti bolak-balik antara ya dan tidak, kuat

dan lemah, yakin dan ragu, tenang dan gundah, atau sejenisnya.4

Dari keterangan makna serta kaitannya dengan fisik dan psikis qalb di atas,

menunjukkan bahwa qalb/hati memang mempunyai sifat dominan yang menjadi

karakteristiknya, yaitu selalu berubah-ubah yang selanjutnya memberi pengaruh

pada kejiwaan manusia yang juga berubah-ubah.5

3

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (t.k.: AMZAH, 2005), 183 4Yadi Purwanto,

Psikologi Kepribadian Integrasi Nafsiyah dan Aqliyah Perspektif Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2007), 151.

5

Ah ad Arisatul Cholik, Relasi Akal dan Hati Menurut al-Ghazali”, ?, Vol. 13, No. 2, (t.k: KALIMAH, 2015), 300


(29)

21

Diantara fungsi al-Qalb dalam kajian tasawuf adalah6 sebagai alat untuk menghayati segala rahasia yang ada di alam gaib, alat untuk berusaha beribadah hanya kepada Allah, dan sebagai pancaran dari semua gerak-gerik anggota badan.

B.Ilmu Ma’anil Hadis

Ilmu Ma’anil Hadis adalah ilmu yang membahas prinsip-prinsip metodologi

(proses dan prosedur) memahami hadis Nabi, sehingga hadis tersebut dapat dipahami maksud kandungannya secara tepat dan proporsional. Untuk itu, seseorang yang akan memahami hadis juga harus memperhatikan berbagai aspek

yang berkaitan dengan hadis tersebut.7

Belum ada judul “Ilmu Ma’a>ni al H}adi>th” secara tegas dalam literatur hadis. Istilah yang dipakai oleh para ulama adalah sharh} h}adi>th, sebagaimana Ibn Hajr

al-Asqala>ni dalam kitab Fath al-Ba>ri>: Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri>.8 Ada pula yang

menyebutnya dengan istilah fiqh} al-h}adi>th (pemahaman hadis), seperti Imam al-Hakim al-Nisaburi, beliau menyatakan: “anna fiqh} al-h}adi>th ah}a>d ‘ulu>m a

l-mutafarri’ah min ilm al-h}adi>th.9

Artinya, sesungguhnya fiqh h}adi>th (memahami

hadis) merupakan salah satu ilmu cabang dari ilmu hadis. Sementara

al-Khaththabi menyebutnya dengan istilah fahm al-h}adi>th, beliau menyatakan:

“ba’da ma’rifati s}ih}h}atil h}adi>th yajibu al-ishtighal bi fahmihi idh huwa thamratu

6

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf., 183 7

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’a il Hadis: Paradigma I terko eksi Berbagai Teori da Metode Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta: Ide Press Yogyakarta, 2016), 10.

8

Ibn Hajar al-Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Dar al-Marifah, 1379 H) dalam Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’a il Hadis., 10.

9

Abu Abdullah al-Hakim al-Nisaburi, Ma’rifatul ‘Ulu>m al-H}adi>th (Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyyah, 1997), 63.


(30)

22

hadh al-ilm.10 Artinya, sesudah mengetahui validitas hadis, maka seseorang wajib

menyibukkan diri untuk memahami hadis, karena memahami hadis itu merupakan buah dari ilmu hadis ini.

Ilmu Ma’a>ni al H}adi>th memiliki dua objek kajian, yaitu objek material dan objek formal. Objek material ilmu Ma’a>ni al H}adi>th adalah redaksi hadis-hadis

Nabi Saw, mengingat ilmu Ma‟anil Hadis merupakan cabang ilmu hadis. Karena

ilmu Ma‟anil Hadis berkaitan dengan persoalan bagaimana memberi makna dan

memproduksi makna (meaning) terhadap sebuah teks hadis, maka objek

formalnya adalah matan atau redaksi hadis itu sendiri.11

C.Teori Kesahihan Hadis

Sebagaimana dijelaskan oleh Mahmu>d Taha>n dalam kitab Mus}t}ala>h}-nya, bahwa s}ah}i>h} menurut bahasa adalah lawan kata dari saqi>m (sakit) artinya sehat.12 Sementara hadis, berasal dari bahasa Arab al-h}adi>th yang dari segi bahasa,

kata ini memiliki banyak arti, diantaranya: [1] al-jadid (yang baru), lawan dari

al-qadim (yang lama); dan [2] al-akhbar (kabar atau berita).13Kemudian dari segi

istilah, hadis diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para ulama. Namun pada umumnya para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi

10

Abu Sulaiman Hamd Ibn Muhammad al-Khaththa>bi, Muqaddimah Ma’a>lim al-Sunan: Sharh} Sunan Abu Dawud (Halb: al-Muthaba ah al-Il iyyah, 9 dala Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’a il Hadis., 10.

11Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’a il Hadis., 11.

12Mah}mu>d T}ah}}a>n, Taisi>r Mus}t}ala>h} al-H}adi>th (t.k: Markaz al-Madi> li al-Dira>sa>t, 1405 H),

3.

13Muhammad ibn Mukarram ibn Manz}ur (Selanjutnya ditulis sebagai ibn Manz}ur), Lisan

al-Arab, Juz II (Mesir: Dar al-Mis}riyyah, t.t), 436-439, dalam M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), 26.


(31)

23

Muhammad saw.14Hadis dalam pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan

dengan istilah al-sunnah.15 Dengan demikian, menurut umumnya ulama hadis,

bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah ialah segala berita berkenaan dengan: [1] sabda; [2] perbuatan; [3] taqrir; dan [4] hal-ihwal Nabi Muhammad saw. yang dimaksud hal-ihwal dalam hal ini ialah segala sifat dan keadaan pribadi.

Kriteria ke-s}ah}i>h}-an hadis tidak lepas dari sanad dan matan hadis. Hadis yang sanadnya sahih, belum tentu matannya juga ikut sahih. Kriteria ke-s}ah}i>h}-an hadis dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Kriteria Sanad Hadis

Sanad secara bahasa dapat diartikan dengan sandaran atau sesuatu yang

dijadikan sandaran.16Sedangkan menurut istilah sebagaimana diungkap oleh

al-Badr ibn al-Jama>’ah dan al-Tibbi>, keduanya menyatakan bahwa sanad

adalah pemberitaan tentang munculnya suatu matan hadis.17 Sedangkan ulama

lain memberikan pengertian yaitu silsilah atau rentetan para periwayat yang

14

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah., 27,

15

Sebagian ulama membedakan pengertian hadis dengan al-sunnah. Sufyan al-Sawriy (w. 161 H/778M) dikenal sebagai Imam fiy al-h}adi>th dan bukan Imam fiy al-sunnah. Sedangkan al-Awza iy W. 157 H/774 M) dikenal sebaliknya. Kemudian Malik ibn Anas dikenal sebagai Imam fiy al-h}adi>s} wa al-sunnah. Diantara ulama ada yang menyatakan, pengertian hadis lebih umum daripada al-sunnah, tapi ada juga ulama yang berpendapat sebaliknya. Disamping itu, ada ulama yang berpendapat bahwa hadis berisi petunjuk Nabi untuk tujuan prakis, sedang al-sunnah merupakan hukum tingkah-laku, baik terjadi sekali saja eupu terjadi berula gkali, baik dilakuka oleh Nabi, sahabat Nabi, tabi i , maupun ulama pada umumnya.

16Mahmu>d al-T}ah}h}a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-H}adi>th, (Surabaya, Bungkul Indah, t. th.), 16

dalam Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: POKJA Akademik, 2006), 17.

17

Lihat al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi> fi Sharh} Taqrib al-Nawa>wi >(Beirut: Da>r al-Fikr, 1988), 6. Dalam Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis., 17.


(32)

24

menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.18 Dengan demikian dapat

dikatakan sanad adalah jalan yang menghubungkan matan hadis kepada Nabi

Muhammad saw.19

Keberadaan sanad dalam hadis sangatlah penting. Adanya suatu berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., namun tidak mempunyai sanad maka bukan dianggap sebagai hadis. Demikian juga ada upaya untuk membuat dan memberi jalan melalui orang-orang tertentu, padahal orang tersebut tidak meriwayatkan seperti itu, maka hadis tersebut disebut sebagai hadis maud}u>’ (palsu).

Para ulama hadis telah memiliki teori-teori sanad yang cukup ketat. Namun demikian, jauhnya jarak antara masa Rasul SAW, dengan masa kodifikasi hadis sekitar satu setengah abad atau 150 tahun, menyebabkan teori-teori tersebut dalam praktenya mengalami hambatan-hambatan yang cukup serius. Diantaranya yaitu terbatasnya data-data yang diperlukan dalam proses pembuktian. Dan pada perkembangan selanjutnya

keterbatasan-keterbatasan ini diatasi oleh teori-teori baru, seperti Al-S}ah}aba Kulluhum

‘Udu>l (semua sahabat bersifat adil). Dengan kata lain, validitas satu generasi

pertama (generasi sahabat) tidak perlu ada pembuktian.20

Dalam ukuran modern, teori kritik sanad secara umum mengandung kelemahan interen, seperti anggapan seorang manusia terhormat yang tidak

18

Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muh wa Mus}t}ala>h}uh (Beirut: Da>r al-Fikr, 1989), 32-33. Dalam Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis., 17.

19

Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis., 17.

20

Muhammad Ali Qasi al-U ri, Dira>sat fi Manhaji al-Naqdi ‘Inda ‘l Muhadithi>n, cet. 1, (Yordan: Darun Nafais, 2000), 17.


(33)

25

memiliki keinginan untuk berdusta sehingga mereka pasti bercerita dengan benar. Disamping itu, para peneliti hadis kadang tidak menyadari adanya masalah ingatan yang keliru, pikiran yang mengandung kepentingan, pembacaan kebelakang (dari masa kini ke masa lalu) ataupun tersangkutnya

seseorang dan bahkan tentang adanya berbagai tuntutan mendesak.21

Kelemahan yang terdapat dalam teori krtik sanad ini mencerminkan tingkat kesulitan yang tinggi dalam proses pembuktian validitas suatu hadis.

Menghadapi sanad yang bermacam-macam kualitasnya itu, maka ulama ahli hadis menyusun berbagai kaedah dan istilah untuk mempermudah penilaian terhadap sanad yang bersangkutan. Salah seorang ulama hadis yang

berhasil menyusun rumusan kaedah kesahihan hadis tersebut adalah Abu>

‘Amr ‘Usma>n ibn ‘Abd al-Rah}ma>n ibn al-S}ala>h} al-Syahrazuri>, yang biasa

disebut sebagai Ibn al-S}ala>h} (w. 577 H/1245 M). Menurutnya, hadis s}ah}i>h} ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang ‘adi>l dan d}a>bit} sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat (‘illah).22

Berangkat dari definisi itu, maka unsur-unsur kaedah ke-s}ah}i>h}-an hadis adalah sebagai berikut:

a. Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung (muttas}il) mulai dari

mukharrij-nya sampai kepada Nabi. Ada dua aspek yang dikaji dalam persambungan sanad, yakni:

21

Ibid.

22Muhammad ‘Ajja>j al

-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muh wa Must}t}alah}uh., 32-33. Dalam Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis., 103.


(34)

26

1) Lambang-lambang dalam metode periwayatan (ada>t tah}ammul wa

al-a>da>’) bermacam-macam, dimana setiap lambang memiliki pengertian tersendiri tentang bentuk dan proses transmisi periwayatan hadis. Misalnya sami’tu, sami’na>, h}addasthani>, h}addathana>, dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi karena adanya relasi langsung

antara periwayat. Sedangkan lambang ‘an dan „anna menunjukkan

kurang jelasnya/keraguan penyampaian transmisi antara keduanya secara langsung.

2) Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya. Dalam

menyampaikan riwayat dan hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat lebih dan sangat menentukan. periwayat

yang thiqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya dapat

dipercaya riwayatnya. Sedangkan bagi periwayat yang tidak thiqah, memerlukan penelitian tentang ke-a>dil-an dan ke-d}a>bit}-annya yang

akurasinya di bawah perawi yang thiqah.23 Periwayat yang tidak s}iqah

meski menggunakan metode sami’na> tetap tidak dapat diterima

periwayatannya.

Imam Syafi‟i mensyaratkan bagi rawi yang bisa diterima, hendaknya

thiqah, didalam agamanya terkenal kejujuranya, berakal (mengerti apa

yang diriwayatkannya), ‘alim (menguasai arti-arti hadis dari lafaz} sebagai

mana yang didengarnya) dan tidak meriwayatkan dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna, padahal dia bukan orang alim

23

Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press Anggota IKAPI, 2013), 56.


(35)

27

(tidak mengerti maksudnya) dikhawatirkan akan mengalami kekeliruan, hafal (apabila meriwayatkan dengan hafalannya), dan juga apabila meriwayatkan dari tulisannya terlepas dari sifat mudallis. Adapun

pembuktian dikembangkan oleh Imam Bukhari dengan adanya mu’as}arah

dan liqa>’ (bertemu langsung), sedangkan Imam Muslim sendiri hanya

memberikan penegasan dengan cukup mu’as}arah, sebab hal ini

memungkinkan adanya pertemuan.

Untuk mengetahui bersambung atau tidak bersambungnya suatu

sanad, ulama hadis menempuh langkah-langkah sebagai berikut24:

Pertama; mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti; kedua;

mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat melalui kitab rija>l

al-h}adi>th (kitab yang membahas sejarah hidup periwayat hadis) dengan

tujuan untuk mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat satu zaman dan hubungan guru-murid

dalam periwayatan hadis; Ketiga; meneliti lafaz} yang menghubungkan

antara periwayat dengan periwayat terdekatnya dalam sanad25Al-Khat}i>b

al-Baghda>di> memberikan term sanad bersambung adalah seluruh periwayat thiqah (a>dil dan d}a>bit}) dan antara masing-masing periwayat terdekatnya betul-betul telah terjadi hubungan periwayatan yang sahih menurut ketentuan al-tah}ammul wa ada>’ al-h}adi>th (kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis).

24

Muhid dkk, Metodologi Peneleitian Hadis, 56. 25


(36)

28

Ada beberapa kriteria dasar rawi yang tertolak riwayatnya yang

ditetapkan oleh para ulama‟, yaitu:26

orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW, orang yang suka berdusta dalam berbicara sekalipun

tidak atas nama Rasulullah SAW., Ahli bid‟ah yang selalu mengkuti hawa

nafsunya, orang yang zindiq, fasik, selalu lupa, dan tidak mengerti apa yang dibicarakannya.

b. Seluruh periwayat dalam hadis harus bersifat ‘a>dil dan d}a>bit}. Ke-‘a>dil-an

berhubungan dengan kualitas pribadi, sedang ke-d}a>bit}-annya berhubungan

dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat

hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat thiqah. Untuk

mngetahui seorang periwayat mempunyai sifat adil atau tidak, juga sifat

d}a>bit} atau tidak, diperlukan seperangkat Ilmu al-Jarh}27wa al-Ta’di>l28, yang didefinisikan Muh}ammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b sebagai ilmu yang membahas keadaan para rawi hadis dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.29

Para pakar ‘Ulu>m al H}adi>th menyusun kaedah-kaedah Jarh} dan ta’di>l, yaitu:30 Pertama, penilaian ta’di>l didahulukan atas penilaian jarh}. Kedua,

26

Musthafa as-“iba I, Hadis sebagai Sumber Hukum, vet.3 (Bandung: CV. Diponegoro, 1990), 147-150.

27Jarh}

berarti suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat keadilan atau cacatnya sebuah hafalan dan kesempurnaan ingatannya, hingga menjadi seba gugurnya periwayatan atau tertolaknya periwayatan

28al-ta’di>l

bermakna mensifati perawi dengan sifat-sifat yang baik, sehingga tampak jelas ke’adi>lannya dan karenanya riwayat yang disampaikan dapat diterima.

29Muha ad Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muh wa Mus}t}ala>h}uh (Beirut: Da>r

al-Fikr, 1989), 261. Dalam Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: POKJA Akademik, 2006), 107-108.

30


(37)

29

penilaian jarh} didahulukan atas penilaian ta’di>l. Ketiga, apabila terjadi pertentangan antara kritikus yang memuji dan mencela, maka dimenangkan kritikan yang memuji, kecuali jika kritikan yang mencela

disertai alasan yang jelas. Keempat, apabila kritikus yang mencela itu

lemah, maka tidak diterima penilaian jarh}-nya terhadap orang yang thiqah.

Kelima, penilain jarh} tidak diterima karena adanya kesamaran rawi yang dicela, kecuali setelah ada kepastian. Dan keenam, penilaian jarh} yang muncul karena permusuhan dalam masalah duniawi tidak perlu diperhitungkan.

1) Periwayat hadis haruslah ‘a>dil.31

Kata adil berasal dari bahasa Arab: ‘adl yang menurut bahasa artinya pertengahan, lurus, atau condong kepada kebenaran. Kriteria-kriteria untuk sifat adil adalah:

a) Beragama Islam. Kriteria ini hanya berlaku dalam kegiatan

menyampaikan hadis saja, dan bukan untuk kegiatan menerima hadis.32

b) Mukallaf, yakni baligh dan berakal sehat, merupakan kriteria yang harus dipenuhi bagi periwayat ketika menyampaikan riwayat.

31

Kata adil dalam hal ini tidak sepenuhnya sama artinya dengan kata adil menurut bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa kata adil berarti tidak berat sebelah tidak e ihak atau sepatut ya; tidak sewe a g -we a g .

32


(38)

30

Sedangkan kegiatan penerimaan riwayat, periwayat tersebut dapat

saja masih belum mukallaf, asalkan saja dia telah mumayyiz (dapat

memahami maksud pembicaraan dan dapat membedakan antara sesuatu yang lain).33

c) Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh dalam agama, tidak

berbuat dosa besar, tidak berbuat bid‟ah, tidak berbuat maksiat,

dan harus berakhlak mulia. Lebih tegas lagi bermakna mengerjakan semua kewajiban yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang diharamkannya.

d) Memelihara muru’ah. Muru’ah artinya kesopanan pribadi yang

membawa pemeliharaan diri manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan. Hal itu dapat diketahui melalui adat istiadat yang berlaku dimasing-masing tempat.

Sifat a>dil berkaitan dengan integritas pribadi seseorang diukur menurut ajaran Islam. Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa seluruh sahabat dinilai a>dil berdasarkan Al-Qur’a>n, hadis dan ijma>’. Namun setelah dilihat lebih lanjut, ternyata bahwa ke-a>dil-an sahabat bersifat mayoritas (umum) dan ada beberapa sahabat yang tidak a>dil. Jadi pada dasarnya para sahabat Nabi dinilai a>dil kecuali apabila terbukti telah berperilaku yang menyalahi ketentuan ke‘a>dilannya.34

33

Ibid.

34


(39)

31

Untuk mengetahui ke-a>dil-an perawi, pada umumnya ulama hadis

mendasarkan pada35:

a) Popularitas keutamaan pribadi periwayat dikalangan ulama hadis

b) Penilaian dari para kritikus hadis tentang kelebihan dan

kekurangan pribadi periwayat hadis.

c) Penerapan kaidah al-jarh} dan al-ta’di>l terdapat hadis yang

berlainan kualitas pribadi periwayat hadis tersebut.36

2) Periwayat hadis harus d}a>bit}.

Yang dimaksud d}a>bit} ialah orang yang kuat ingatannya. Seseorang yang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan di mana saja dikehendaki, disebut orang yang

dlabitu’sh-shadri. Namun kalau apa yang disampaikan itu berdasar

pada buku catatannya (teksbook) maka disebut dlabithu’l kitab.

Tingkat ke- d}a>bit}-an yang dimiliki oleh para periwayat tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan ingatan dan kemampuan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Perbedaan tersebut dapat dipetakan sebagai berikut:

a) D}abit, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang mampu menghafal dengan baik hadis-hadis yang diterimanya dan mampu menyampaikanya dengan baik kepada orang lain.

35

Muhid dkk, Metodologi Peneleitian Hadis, 57. 36

Hasbi Ash-Shiddieqie, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, jilid 2, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), 32 dalam Muhid dkk, Metodologi Penelitian Hadis, 57.


(40)

32

b) Tamim al-D}abit, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang hafal

dengan sempurna hadis yang diterimanya, mampu

menyampaikannya dengan baik kepada orang lain dan faham

dengan baik hadis yang dihafalnya itu.37

Adapun cara penetapan ke-d}abit-an seseorang perawi menurut

berbagai pendapat ulama, adalah:

a) Berdasarkan kesaksian atau pengakuan ulama sezaman dengannya.

b) Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan riwayat

para priwayat yang lain yang thiqah atau yang telah dikenal

ked}abit}annya.

c) Apabila dia sekali-kali mengalami kekeliruan, hal tersebut tidaklah

merusak ke d}a>bit}annya. Namun apabila sering, maka dia tidak lagi

disebut sebagai periwayat yang d}abit dan periwayatannya tidak

dapat dijadikan sebagai hujjah.38

Menurut Ibn H}ajar al-‘Asqala>ni>, ada 5 hal yang dapat merusak

ke-d}a>bit}-an, yaitu39 (1) dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya

daripada benarnya; (2) lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalnya; (3) riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan; (4) riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh

orang-orang yang thiqah; (5) jelek hafalannya, walaupun ada juga

sebagian riwayatnya itu yang benar. Hadis yang diriwayatkan oleh

37

Musahadi Yuslem, Ulum al-Hadis (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 363.

38

Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, 138.

39


(41)

33

periwayat yang memiliki sebagian dari sifat-sifat tersebut dinilai oleh ulama hadis yang berkualitas d}a’i>f.

c. Sanad dan matannya terhindar dari kejanggalan (shudhu>dh)

Hadis yang mengandung shudhu>dh} oleh ulama disebut hadis sha>dh. Sedangkan lawan dari hadis sha>dh disebut dengan hadis mahfu>z}.40

Al-sha>dh} (seorang yang janggal) menurut bahasa adalah seseorang yang

memisahkan diri dari jama‟ah. Sedangkan menurut istilah muhaddisin,

hadis sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul yang

menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi hafalannya.

Ada tiga pendapat yang menonjol terkait shudhu>dh41 namun yang

paling banyak diikuti samapai saat ini adalah pendapatnya Ima>m al-Sya>fi’i>

(w. 204 H./820 M.). Dia berpendapat bahwa shudhu>dh adalah hadis yang

diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi riwayatnya bertentangan

dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang thiqah

juga. Berdasarkan pendapat Ima>m Sya>fi’i> tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa kemungkinan suatu sanad mengandung shudhu>dh bila

sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Dengan kata lain, hadis yang hanya memiliki sebuah sanad saja, tidak dikenal adanya kemungkinan

mengandung shudhu>dh. Salah satu langkah penelitian yang sangat penting

untuk meneliti kemungkinan adanya shudhu>dh suatu sanad hadis ialah

dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang

40

Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, 139. 41


(42)

34

topik pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan. Jadi untuk

mengetahui ke-sha>dh-an suatu hadis, harus mengumpulkan semua sanad

hadis yang memiliki kesamaan pokok masalah dalam matannya kemudian diperbandingkan. Pada mulanya mungkin semua sanad dan matan itu kelihatan s}ah}ih, tetapi setelah diadakan terdapat shudhu>dh}.42

d. Sanad dan matannya terhindar dari cacat („illah)

Menurut bahasa, ‘illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan

keburukan.Sedangkan ‘illat menurut istilah adalah sebab tersembunyi

yang merusak kualitas hadis.43‘Illat adalah cacat yang tersembunyi yang tidak terlihat secara langsung dalam penelitian terhadap satu jalur sanad.

Karena mayoritas ‘illat hadis terjadi pada sanad hadis.

Hadis yang ber-‘illat oleh kalangan muhadisin dikenal dengan istilah

mu’allal, ada juga sebagian dari mereka yang menamakan dengan sitilah

ma’lul.44

Ditinjau dari tempat keberadaannya, illat hadis mu’allal itu dibagi

menjadi tiga macam, yaitu mu’allal dalam sanad, mu’allal dalam matan,

dan mu’allal dalam keduanya.45

Untuk meneliti sanad hadis yang mengandung ‘illah (cacat)

diperlukan penelitian yang lebih cermat, sebab hadis yang bersangkutan tampak sanadnya berkualitas s}ah}i>h}.„Abd al-Rah}ma>n ibn Mahdi> (w. 194

H/814 M), berpendapat bahwa untuk meneliti „illah hadis diperlukan

42Syuhudi Ismail, Kaedah Kes}ahihan Sanad Hadis, 170. 43

Muhid dkk, Metodologi Pneleitian Hadis, 58 . 44

Nuruddin ITR, Ulumul Hadis, Jilid 2 (BANDUNG: Remaja Rosdakarya, 1997), 253. 45


(43)

35

intuisi (ilham) dan dilakukan oleh orang yang cerdas, memiliki hafalan hadis yang banyak, paham akan hadis yang dihafalnya, berpengetahuan yang mendalam tentang tingkat ke-d}a>bit}-an para periwayat hadis, serta

ahli di bidang sanad dan matan hadis.46 Karena penelitian ‘illah hadis itu

sulit dilakukan, maka Ibn al-Madi>ni> (w. 234 H/849 M) dan

al-Khat}i>bal-Baghda>di> (w. 463 H/1072 M) memberi petunjuk bahwa untuk meneliti

„illah hadis, maka langkah-langkah yang perlu ditempuh yaitu47: (a) meneliti seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna, bila hadis yang bersangkutan memang memiliki muta>bi’ ataupun sya>hid; (b) seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dikemukakan oleh para ahli kritik hadis.

2. Kriteria Matan Hadis

Secara bahasa, matan adalah punggung jalan, tanah yang keras dan

tinggi.48Sedangkan secara istilah hadis, matan adalah sabda nabi yang disebut

setelah sanad atau penghubung sanad atau materi hadis atau dapat disebut dengan teks hadis.

Matan haruslah memiliki kriteria akan sabda kenabian, tidak bertentangan dengan al-Qur‟an atau hadis mutawa>tir.49Hal yang patut diperhatikan adalah meneliti matan dengan kualitas sanadnya. Maksudnya adalah meneliti matan

46Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis, 116. 47

Ibid., 117. 48

Muhammad ‘Ajja>j al-Khat}i>b, Us}u>l al-H}adi>th ‘Ulu>muh wa Mus}t}ala>h}uh, 33 dalam Suryadi dkk,Metodologi Penelitian Hadis, 17.

49

S}ala>h} al-Di>n al-Idlibi>, Manhaj Naqd al-Mat I da Ulama>’ al-H}adi>th al-Nabawi>, (Beirut: Da>r al-Afaq al-Jadidah, 1983), 236 dalam Suryadi dkk, Metodologi Penelitian Hadis, 23.


(44)

36

sesudah sanad, setiap matan harus bersanad dan kualitas matan tidak harus sejalan dengan kualitas sanad. Mayoritas ulama hadis sepakat bahwa penelitian matan hadis menjadi penting untuk dilakukan setelah sanad bagi matan hadis tersebut diketahui kualitasnya. Ketentuan kualitas ini adalah dalam hal ke-s}ah}ih}-an sanad hadis atau minimal tidak termasuk berat ke-d}a’i>f -annya.50

Muhammad Thahir al-Jawabi menjelaskan ada dua tujuan kritik atau penelitian matan, yaitu untuk menentukan benar tidaknya matan hadis dan untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kandungan yang

terdapat dalam sebuah matan hadis.51

Syuhudi Isma‟il mengutip dari S}ala>h} al-Di>n al-Adhlabi> dalam kitabnya

Manhaj Naqd al-Matn ‘inda Ulama>’ al-H}adi>th al-Nabawi> mengemukakan

beberapa kriteria yang menjadikan matan layak untuk dikritik, antara lain52:

a. Lemahnya kata pada hadis yang diriwayatkan

b. Rusaknya makna

c. Berlawanan pada Al-Qur’a>n yang tidak ada kemungkinan ta’wi>l padanya

d. Bertentangan dengan kenyataan sejarah yang ada pada masa Nabi

e. Sesuai dengan madzhab ra>wi> yang giat mempropogandakan madzhabnya

f. Hadis itu mengandung suatu urusan yang mestinya orang banyak

mengutipnya, namun ternyata hadis tersebut tidak dikenal dan tidak ada yang menuturkannya kecuali satu orang

50

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang), 123.

51

Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Ahmad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), 15.

52


(45)

37

g. Mengandung sifat yang berlebihan dalam soal pahala yang besar untuk

perbuatan yang kecil

Dalam prakteknya, ulama hadis memang tidak memberikan ketentuan yang baku tentang tahapan-tahapan penelitian matan. Karena tampaknya dalam keterikatan secara normatif pada acuan di atas, akan menimbulkan beberapa kesulitan. Namun hal ini menjadi kerancuan juga apabila tidak ada kriteria yang lebih mendasar dalam memberikan gambaran bentuk matan yang terhindar dari sha>dh dan „illat. Aplikasi atas dua kriteria tersebut dapat dilakukan dengan tahap-tahap penelitian hadis, yaitu meneliti susunan redaksi matan yang semakna, serta meneliti kandungan matan.

Dalam menjabarkan dua unsur tersebut (sha>dh dan ‘illat) ulama

berbeda-beda pandangan. Seperti yang diungkap oleh al-Khat}i>b al-Baghda>di>: (1) tidak bertentangan dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan hukum alqur‟an; (3) tidak bertentangan dengan hadis mutawa>tir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan; (5) tidak bertentangan dengan dalil yang pasti dan; (6) tidak bertentangan dengan hadis

ah}a>d yang kualitasnya lebih kuat.53

D.Teori Kehujjahan Hadis

Para sahabat telah sepakat menetapkan wajibu’l-ittiba’ terhadap al-H}adi>th,

baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat.54

53

Sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail.Ibid., hlm. 126.

54


(46)

38

Selain kesepakatan mayoritas umat Islam dalam menerima hadis sebagai sumber perundang-undangan, ada juga sebagai dari golongan umat yang

menolaknya dengan alasan sebagai berikut:55

1. Alquran telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dengan

penjelasan yang sangat jelas, rinci dan detail sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari yang lain seperti hadis. Seandainya alquran masih memerlukan penjelasan, maka sesungguhnya masih terdapat sesuatu yang dilalaikan dari alquran.

2. Andaikata hadis sebagai hujjah, niscara Rasulullah memerintahkan untuk

menulisnya dan para sahabat dan tabi‟in segera mengumpulkannya dalam dewan hadis, demi untuk memelihara dan agar jangan hilang dan dilupakan orang.

Terlepas dari kontroversi tentang kehujjahan hadis, para ulama dari kalangan ahli hadis, fuqaha dan para ulama us}u>l fiqh lebih menyepakati bahwa hadis

merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Alquran. Iman Auza‟i malah

menyatakan bahwa Alquran lebih memerlukan Sunnah (hadis) daripada sunnah terhadap Alquran, karena memang posisi Sunnah (hadis Rasulullah SAW) dalam hal ini adalah untuk menjelaskan makna dan merinci keumuman Alquran, serta

mengikatkan apa yang mutlak dan mentakhsis yang umum dari makna Alquran.56

Penerimaan atas hadis sebagai hujjah bukan lantas membuat para ulama menerima seluruh hadis yang ada, penggunaan hadis sebagai hujjah tetap dengan

55

Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 62-63. 56

Yusuf Qardhawi, Studi Kritis as-Sunnah, ter. Bahrun Abu bakar, Cet. 1, (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 43.


(47)

39

cara yang begitu selektif, dimana salah satunya meneliti status hadis untuk kemudian dipadukan dengan Alquran sebagai rujukan utama. Seperti yang telah diketahui, hadis secara kualitas terbagi dalam tiga bagian, yaitu: hadis s}ahi}>h}, hadis

hasan dan hadis d}a’i>f. Mengenai teori kehujjahan hadis, para ulama mempunyai pandangan tersendiri antara tiga macam hadis tersebut. Bila dirinci, maka pendapat mereka adalah sebagai berikut:

1. Kehujjahan Hadis S}ah}i>h}

Para ahli hadis dan sebagian ulama ahli ushul serta ahli fiqh sepakat

menjadikan hadis-hadis sahih} sebagai hujjah (dasar pedoman) sebagai dalil

syara‟ yang wajib beramal dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan akidah oleh karenanya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.

2. Kehujjahan hadis hasan

Dalam hal kehujjahan hadis hasan, para muhaddisin, ulama ushul fiqh dan para fuqaha juga hampir sama seperti pendapat mereka terhadap hadis sahih, yaitu dapat diterima dan dapat dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam penetapan hukum. Namun ada juga ulama seperti al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah yang tetap berprinsip bahwa hadis sahih tetap sebagai hadis yang harus diutamakan terlebih dahulu karena kejelasan statusnya.57 Hal itu lebih ditandaskan oleh mereka sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak

57


(48)

40

sembarangan dalam mengambil hadis yang akan digunakan sebagai hujjah dalam penetapan suatu hukum.

Istilah hadis yang dipopulerkan oleh Imam al-Tirmidzi ini menjadi berbeda dengan status sahih adalah karena kualitas d}a>bit} (kecermatan dan hafalan) para perawi hadis hasan lebih rendah dari yang dimiliki oleh perawi hadis sahih.58

3. Kehujjahan hadis d}a’i>f

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadis d}a’i>f yang maud}u>’ tanpa menyebutkan kemaud}u>’annya. Adapun kalau hadits d}a’i>f itu bukan

hadits maud}u>’, maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan

untuk berhujjah. Dalam hal ini ada tiga pendapat:59

a. Melarang secara mutlak, meriwayatkan segala macam hadis d}a’i>f, baik untuk mnetapkan hukum, maupun untuk member sugesti amalan utama.

Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakar Ibn al „Arabi.

b. Membolehkan, kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa

menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk member sugesti, menerangkan keutamaan amal (fad}a>’ilul a’mal) dan cerita-cerita, bukan

untuk menetapkan hukum-hukum syari‟at, seperti halal dan haram, dan

bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah (keinginan-jeinginan). Dalam

pada itu, Ibnu Hajar Al-„Asqalany —termasuk ulama ahli hadits yang

58

Ibid. 59


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian terhadap hadis Imam Ahmad ibn Hanbal no indeks

6577 ini, maka peneliti simpulkan sebagai berikut:

1. Hadis tentang hati dalam kitab Musnad Ahmad nomer indeks 6577, dilihat dari segi sanad dan matannya berstatus sahih dan bisa dijadikan sebagai hujjah. Dikarenakan memenuhi syarat yang telah ditentukan dan hadis ini juga di dukung oleh hadisnya sahih Muslim yang membuat kualitasnya semakin tinggi.

2.

Al Qalbu secara khusus memiliki dua arti, yakni jantung dan jiwa. Al Qalb

merupakan salah satu daya rohaniyyah manusia. Qalbu adalah remote Control bagi tubuh manusia. Kemudian yang dimaksud jari-jari Allah dalam hadis Musnad Ahmad adalah kiasan dalam kesempurnaan kuasa Allah. Perumpamaan ini dilakukan untuk mencapai suatu pemahaman. Allah memegang kunci dan pengendalian semua urusan. Hal ini sebagaimana teori psikologi yang digunakan dalam penelitian ini, yakni teori kognitif dan behaviorisme, bahwa manusia selalu belajar dari apa yang dialaminya. Dan setiap hal yang ditangkap oleh panca inderanya ditangkap dan diorganisir untuk kemudian terbentuk dalam wujud tingkahlaku manusia.

3.

Perubahan hati manusia berpengaruh besar terhadap diri, lingkungan dan


(2)

untuk bertaqarrub kepadaNya agar hatinya manusia tetap berada dalam fitrahnya.

B. Saran

Hasil akhir dari penelitian ini belum sepenuhnya sempurna, mungkin ada yang belum dijelaskan atau bakhankan terlupakan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kedepannya penelitian ini bisa lebih baik lagi. Oleh karenanya, penulis mengharapkan penelitian ini dilanjutkan dan dikaji ulang yang tentunya lebih teliti, kritis dan juga lebih mendetail guna menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat.


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Daud Lin. Dkk. “Kepentingan Qalbu alam Membuat Keputusan”. Jurnal Penyelidikan dan Inovasi. No. 69-83. Selangor: Universitas Islam Antarbangsa Selangor (KUIS), 2014.

Ahmad, Masyhudi. PsikologiIslam. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2009. Arafat, Ahmad Tajuddin. “Hakikat Hati Menurut al-Hakim al-Tirmizi; Philosophy

of Heart According to al-Hakim al-Tirmidzi”. ?. Vol. 1, No. 1. t.k.: Smart, 2015.

al-Asqala>ni, Ibn Hajar. Fath} al-Ba>ri> Sharh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1379 H.

Azami, Mustafa. Metodologi Kritis Hadis. ter. A. Yamin. cet 1. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.

Asqalaniy, Ibn Hajar. Tahdh>ib al-Tahdhi>b. jilid I. Hyderes Deccan: Da‟irat al -Ma’a>rif, 1325 H.

Agustina, Nurul. Jurnal Studi-studi Islam al-Hikmah. Bandung: Yayasan Muthari, Maret 1992.

Abbas, Hasjim. Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar. Surabaya: Bagian Penerbitan Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2003.

Abbas, Hasjim. Pembakuan Redaksi. Cet 1. Yogyakarta: Teras, 2004. Alwisol. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press, 2014.

Al-Bukha>ri>, Abi> „Ubaidillah Muhammad ibn Isma>’i>l. S}ah}i>h} al-bukha>ri>. No. 52. Beirut: Da>r ibn Kathi>r, 2002.

Cholik, Ahmad Arisatul. “Relasi Akal dan Hati Menurut al-Ghazali”. ?, Vol. 13, No. 2. t.k: KALIMAH, 2015.

Al-Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi. Latar Belakang Historis

Timbulnya Hadis hadis Rasul. Terj. H. M. Suwarta Wijaya. Jakarta: Kalam

Mulia, 2011.

Al-Damshiqi, Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi. Asababul Wurud 3: Latar

Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul. Terj. Suwarta Wijaya dan


(4)

Departemen Agama Republik Indonesia. Alqur’an dan Terjemahannya. Bandung: CV Penerbit J-Art, 2005.

Dzulmani. mengenal kitab-kitab hadis. Yogyakarta: Insan Madani, 2008. Firdaus, Iqra‟. Alaa Wa Hiya Al-Qalbu. Yogyakarta: Safira, 2016

Ha>shim, Muhammad Sa>lim. S}ah}i>h} Muslim. Juz 1. Beirut: Libanon, 1994

Hanbal, Imam Ahmad Ibn. Al-Musnad li Imam Ahmad Ibn Hanbal. terj. M. A. Fatah, Hadis-hadis Imam Ahmad. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz 1. Beirut: Dar Al-Fikr, 1991. Haque, Ziaul. “Ahmad Ibn Hanbal: The Saint Scholar of Baghdad”. terj. Nurul Agustina. Jurnal Studi-studi Islam al-Hikam. Bandung: Yayayasan Muthahhari, 1992.

Al-Ha>di>, Muhammad ibn „Abdi. H}ashiyah al-Sanadi> ‘ala> Sunan Ibn Ma>jah. Beirut: Da>r al-Ji>l.

Isha>q, Abu> Bakar Muhammad bin Abi>. Bah}r al-Fawa>id al-Masyhu>r bi Ma’a>ni> al

-Akhba>r.Beirut: Da>rul Al-Kutub Al-‟Alamiyah, 1999.

Ismail, M. Syuhudi. Metode Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan pendekatan ilmu sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 2005. ITR, Nuruddin. Ulumul Hadis. Jilid 2. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: PT. Bulan

Bintang, t.t.

Jumantono, Totok. Kamus Ilmu Hadis. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Al-Jauzi, Hafizh Abu Faraj‟ Abdurrahman ibn. Manaqib al-imam Ahmad ibn Hanbal. Kairo: Matha‟at al-Sa‟adah, t.th.

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf. t. k.: Amzah, 2005.

Khaeruman, Badri Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2010.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Lidwa Pusaka, “Hati”, (Lidwa Pusaka Hadits – Kitab 9 Imam Hadith, ?)

Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadis: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta: Ide Press Yogyakarta, 2016.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta, Rake Sarain, 1993.

Muhammad, Zainuddin. al-Taisi>r bi Sharh al-Jami>’ al-S}ogh>ir. al-Riyadh: Maktabah al-Imam Al-Shafi’i>, 1988.

Muhid dkk. Metodologi Penelitian Hadis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press Anggota IKAPI, 2013.

Al-Mizzi>, Ha>fid} Jama>l al-Di>n al-Ha>jjaj Yu>suf. Tahddhi>b al-Kama>l fi Asma>I al-Rija>l. Beirut: Da>r al-Fikr, 1994.

Al-Naisa>bu>ri>, Im>am Muslim bin al-H}ajja>j al-Qushairi.> Shahi>h Muslim. Beirut:

Da>r al-Kutub al-„Alamiyah, 1994.

Norul Huda Binti Bakar dkk. “Potensi Qalbu dalam Membuat Keputusan: Kajian menurut Perspektif Islam”. Jurnal Penyelidikan dan Inovasi Universitas

Islam Antarbangsa Selangor (KUIS). BIL 1. No 41-55. Selangor, 2014.

Partanto, Plus dan M. Dahlan Al barry. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Penerbit Arkola Surabaya, 2001.

Purwanto, Yadi. Psikologi Kepribadian Integrasi Nafsiyah dan Aqliyah Perspektif Islam. Bandung: Refika Aditama, 2007.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Cet. V. Bandung: Penerbit Karisma, 1997.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT al-Ma‟arif, 1974. Sumbulah, Umi. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN

Malang, 2008.


(6)

Suryadi. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Ahmad

al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi. Yogyakarta: Teras, 2008.

Sobur, Alex. Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

Al-Siba‟I, Musthafa. Hadis sebagai Sumber Hukum. vet.3. Bandung: CV. Diponegoro, 1990.

Wahid, Abd. Khazanah kitab Hadis. cet I. Yogyakarta: Al-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh bekerjasama dengan AK Group Yogyakarta, 2008. Yuslem, Musahadi. Ulum al-Hadis. Semarang: Aneka Ilmu, 2000.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Cet 1. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001. Yasir, Muhammad “Kitab Musnan Ahmad ibn Hanbal”. ?. Vol. 12 No. 2. t.k.:

Menara, 2013.

Zed, Mestika. Metode penelitian Kepustakaan. Yogyakarta: Buku Obor, 2008. Zuhri, Muhammad. Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis.