ISU LINGKUNGAN HIDUP DALAM EKSPANSI PERU

ISU LINGKUNGAN HIDUP DALAM EKSPANSI
PERUSAHAAN MULTINASIONAL
(Study Tentang Aktivitas Freeport di Papua)
Galuh Tri Wahyuning Tyas
1516041025

PENDAHULUAN
Indonesia menjadi salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan wilayah laut
yang dimiliki terbentang dari Sabang sampai Merauke seluas lebih dari 17.508 pulau.
Besarnya wilayah Indonesia mengakibatkan Indonesia memiliki sumber daya alam yang
melimpah berupa minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara,
emas dan perak yang tersebar di beberapa wilayah.
Kondisi Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang begitu besar ini mengakibatkan
banyak perusahaan asing untuk menanamkan modalnya dan menjalin kerjasama dengan
Indonesia. Di sektor pertambangan, salah satu perusahaan asing yang telah menjalin dengan
Indonesia adalah PT. Freeport Indonesia, perusahaan tambang yang berasal dari Amerika
Serikat yang melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan
perak yang terletak di Kabupaten Mimika Provinsi Papua Barat, Indonesia. Praktek
eksploitasi tambang secara besar-besaran ini ternyata tidak memperhatikan sisi lingkungan
hidup daerah yang di eksploitasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya yang digunakan untuk
memisahkan konsentrat di biarkan mengalir pada sungai-sungai dan tanah dimana bahanbahan ini tidak sepenuhnya bisa dinetralisir.

Telah jelas bahwa Perusahaan asing hanya ingin mengambil kekayaan yang dimiliki
oleh Indonesia tanpa memperhatikan kesejahteraan kehidupan masyarakat disekitar daerah
Tambang dalam hal pencemaran lingkungan. Hal ini merupakan efek dari hubungan global,
dimana terbentuknya hubungan internasional membuat keleluasaan dan kedalaman
hubungan-hubungan antar negara bangsa dengan intensitas yang meningkat sehingga
hubungan tersebut membuat negara dapat terpengaruh dengan isu-isu yang berkembang
secara global diantaranya isu lingkungan hidup.

A. Rusaknya Tanah Surga
Merusak alam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem kapitalisme,
karena tanpa merusak alam tidak mungkin kapitalisme melakukan akumulasi kapital 1.
Akumulasi kapital adalah jantung yang berdenyut dan darah yang mengalir di dalam sistem
yang sarat dengan eksploitasi buruh dan alam, karena akumulasi kapital merupakan sifat
dasar dari sistem kapitalisme. Tanpa akumulasi kapital sistem kapitalisme akan bangkrut.
Persaingan adalah sifat yang diturunkan dari sifat dasar kapitalisme dalam akumulasi
kapital. Akumulasi kapital dapat dijelaskan sebagai keuntungan yang diperoleh dari proses
produksi akan lebih ditingkatkan lagi dalam proses produksi selanjutnya. Peningkatan ini
terus menerus dilakukan oleh pemilik kapital (modal). Jika hal ini tidak dilakukan pemilik
modal akan dijatuhkan oleh para pesaingnya dan akan mengalami krisis dan terancam
bangkrut. Dengan kata lain, jika pemilik modal tidak ingin dijatuhkan oleh pesaingnya maka

pemilik modal harus melakukan akumulasi kapital (penumpukan keuntungan) hingga pemilik
modal dapat memonopoli semua saingannya maka dari itu pesaing merupakan turunan dari
sifat dasar tersebut.
Perusahaan Freeport sebagai bentuk konkret dari proses produksi dalam sistem
kapitalisme, semenjak awal beroperasinya di Indonesia hingga hari ini telah melakukan
tindakan negatif untuk kepentingan melakukan akumulasi kapital, diantaranya mendikte
negara untuk tunduk pada kepentingannya dapat dicontohkan pada perjanjian antara Freeport
dengan Pemerintahan Indonesia yaitu kontrak karya yang kebanyakan pada isi kontrak
tersebut hanya menguntungkan pihak Freeport saja, persaingan tidak sehat antar mitra
bisnisnya, penindasan terhadap buruh yang dipekerjakan, merampas tanah penduduk dalam
proses akumulasi primitif dan abai terhadap kesejahteraan penduduk setempat dimana
Freeport melakukan proses produksinya.
Selain hal yang terseut di atas, Freeport juga melakukan tindakan lain yang dilakukan
di tanah Papua guna kepentingan akumulasi kapital yaitu dengan tindakan merusak alam
tanah Papua. Freeport melakukan dua jenis penambangan yaitu penambangan terbuka (openpit) dengan menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar dan sistem penambangan
tertutup (block-caving) pada tambang bawa tanah.2 Setelah memperoleh bijih tambang,
kemudian di angkut ke pabrik pengolahan, selanjutnya proses penampungan bagi bahan yang
mengandung alkohol dan kapur, untuk memisahkan konsentrat yag mengandng mineral,
tembaga, emas dan perak. Sisa dari batuan yang tidak memiliki nilai ekonomi, mengendap
sebagai tailing dan dilepaskan ke sungai Ajkwa. Sisa endapan tailing yang dilepaskan

1 Paharizal&Ismantoro.2018.Freeport Fakta-fakta yang disembunyikan.Jakarta:PT Buku Seru. (Hal. 138)
2 Paharizal&Ismantoro.2018.Freeport Fakta-fakta yang disembunyikan.Jakarta:PT Buku Seru. (Hal. 140)

kesungai Ajkwa ini mengandung kadar asam yang tinggi dan tidak sepenuhnya bisa
dinetralisir sehingga menimbulkan pencemaran sungai dan air tanah. Padahal sungai dan air
bawah tanah mengandung nilai sosial-kultural bagi masyarakat Papua.
Fakta lain yang terjadi pada penambangan yang dilakukan Freeport terhadap
perusakan lingkungan , Freeport melakukan kolonialisasi dan penjarahan secara ugal-ugalan
atas sumber daya alam yang dimiliki tanah Papua tanpa memperhatikan dan melestarikan
kelestarian lingkungan. Penambangan terbuka yang dilakukan oleh Freeport di Puncak
Grasberg menghasilkan batuan limbah dan tailing hingga 700 ribu ton. Limbah tailing dan
batuan itu dapat menenggelamkan wilayah seluas 200 km² atau setara dengan luas kota
Bandung.
Proses produksi Freeport tidak menunjukkan tanggungjawab terhadap pengelolaan
lingkungan hidup. Sekitar 1,3 milliar ton limbah tailing dan 3,6 milliar ton limbah batuan
yang dibuag telah mencemari sungai Ajkwa dan pembuangan limbah ini telah mengakibatkan
jebolnya danau Wanagon hingga terkontaminasinya ratusan ribu hektar daratan dan lautan
Arafuru. Tindakan ini sebenarnya telah melanggar hukum yang ditetapkan pemerintah
Indonesia diantaranya pelanggaran terhadap KepMenLH No.5/2004 (hukum yang dibuat
semasa kepemimpinan SBY) yang mengatur tetang Baku Mutu Air Laut dan Peraturan

Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air. (Siti Maimunah, Ibid. Hal. 81)
Perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Freeport dalam proses produksinya terjadi
semenjak awal tambang emas raksasa ini beroperasi di tanah Papua. Perusakan lingkungan
secara masif terjadi dari tahun 1972, hingga hari ini freeport meningkatkan pembuangan
limbahnya dari 75.000 ton hingga menjadi 230.000 ton perhari. Dari hasil kajian dampak
lingkungan hidup pertambangan Freeport menunjukkan bahwa limbah tailing telah merusak
setidaknya 36.000 hektar kawasan sungai Ajkwa, sepanjang 60 km kearah laut. Menurut
menteri kehutanan Freeport telah mencemari 200.000 hektar hutan Papua. Jika tambang
ditutup pada 2041 mendatang, berarti Freeport akan meninggalkan lebih dari 3 milliar ton
limbah tailing dan lebih dari 4 miliar ton limbah batuan.
Selain mencemari sungai dan laut, proses produksi yang dilakukan Freeport
berdampak pada kerusakan permanen pada lingkungan tempat beroperasinya perusahaan
kapitalis ini. Menabung adalah usaha yang berjalan hanya sekali. Setelah bahan yang
ditambang habis yang tertinggal hanyalah lahan yang tak layak huni. Tanah yang telah
digaruk Freeport otomatis akan meninggalkan lubang yang besar, dalam dan luas. Akibatnya
daerah pertambangan tersebut menjadi rawan longsor dan banjir dan Rakyat Papua yang

tinggal di sekitar tambanglah yang terancam bencana potensial terseut. Namun sayangnya,
hal ini tidak mendapat perhaian dari perusahaan kapitalis Freeport tersebut.

B. Ancaman Limbah Freeport Bagi Kesehatan Masyarakat Papua
Limbah yang dibuang oleh perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoran Copper &
Gold dan Rio-Tinto atau yang lebih di kenal dengn PT Freeport sangat berbahaya karena
mengandung zat beracun yang bernama B3 atau akronim dari bahan, beracun, dan berbahaya.
Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk dalam tubuh melalui
pernafasan, mulut dan pori-pori (kulit). Selain bahaya bagi tubuh manusia zat B3 ini juga
sangat bahaya bagi lingkungan hidup. (Ajun Listiatoko d.k.k. 2012.limbah Berbahaya dan
Beracun (B3). Fakultas Hukum UGM-Yogyakarta dalam Jurnal Freeport)
Limbah-limbah tersebut tidak hanya di buang di sungai Ajkwa oleh Freeport, namun
banyak juga limbah yang dibuang di pegunungan sekitar lokasi pertambangan atau ke sungaisungai lainnya yang mengalir turun kedataran rendah basah, yang dekat dengan lokasi
penambangan. Berikut zat-zat beracun dan berbahaya yang dibuang oleh Freeport ke sungai,
laut bahkan pegunungan diantaranya :
 Air raksa/hargentum/Hg/Mercury (memiliki daya rusak terhadap susunan saraf dan
ginjal, menyebabkan kerusakan ginjal dan rusaknya daya ingat)
 Chromium (dapat menyerang sisitem kekebalan tubuh manusia sehingga rentan
dengan berbagai penyakit dan sulit untuk disembuhkan)
 Cadmium/Cd (memiliki daya rusak terhadap ginjal, liver, testis pada pria dan indung
telur pada kaum perempuan , menyerang sistem kekebalan tubuh susunan saraf dan
darah)
 Timah hitam/Pb ( dapat menyerang saraf prifer dan sentral, sel darah, gangguan

metabolisme vitamin D, dan kalsium unsur pembentuk tulang, juga gangguan ginjal
secara kronis)
 Dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dan mengancam kesehatan masyarakat jika
berada di sekitar zat-zat berbahaya tersebut.
Akibat dari limbah yang dibuang Freeport, banyak rakyat Papua yang menjadi korban.
Dari wawancara dengan seorang mantan aktivis Walhi, ribuan orang terhitung semenjak
tahun 1970an sampai dengan 2014 rakyat Papua mengidap penyakit

yang berujung

kematian. Air sungai yang mengalir di sungai pun sudah tak bisa lagi di konsumsi oleh warga
sekitar tambang karena beracun.3

3 Wawancara Paharizal dengan aktivis walhi (wahana lingkungan hidup) pada 15 Desember 2014

Sungai-sungai yang mengalir disekitaran wilayah eksploitasi Freeport sebelumnya
adalah sungai-sungai yang indah dan dijadikan sumber air bersih bagi penduduk setempat.
Seperti halnya dengan tanah, sungai-sungai itu memiliki status hak ulayat atau hak kolektof
suku Kamoro. Namun ketika Freeport beroperasi sungai-sungai itu dirampas oleh Freeport,
dicemari dengan limbah beracun yang memiliki daya rusak terhadap kesehatan manusia dan

makhluk hidup lainnya yang ada di sungai.
Demi pembangunan dan perluasan areal Freeport, perusahaan ini telah merampas hak
ulayat atau lahan milik suku Kamoro seluas 100.000 hektar pada tahun 1967. Beberapa tahun
kemudian antara tahun 1983-1985, orang Amungme dan suku Kamoro kembali lahan mereka
di rebut oleh Freeport seluas 7.000 hektar untuk mendirikan kota Timika. Kemudian lahan
seluas 25.000 hektar direbut kembali untuk pembangunan kota Kuala Kencana. Rakyat Papua
yang menjadi korban lahannya dirampas oleh Freeport tersingkir dan bermukim ditempttempat pembuangan limbah Freeport. Dan ditempat inilah mereka hidup bersama maut (racun
kimia).
Dalam buku yang ditulis oleh Marwan Batubara melontarkan argumentasi bertendensi
“gugatan”, ketika rakyat Papua disingkirkan dari tanah-tanah tempat menggantungkan
hidupnya, “bercumbu” dengan limbah beracun, hidup dalam kemiskinan, kurang gizi, dan
kelaparan yang berujung pada kematian. Sementara para petinggi Freeport mendapatkan
fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai satu huta kali lipat pendapatan
tahunan penduduk Timika-Papua. Di sisi lain, pemerintah Indonesia pun tidak diuntungkan
(dalam ukuran kepentingan nasional tetapi tidak ketika keuntungan tersebut hanya di nikmati
oleh segelintir elite daerah-Papua dan Pusat-Jakarta).4
Tidak banyak kontribusi penambangan Freeport terhadap rakyat Papua bahkan
pembangunan di Papua dinilai gagal. Kegagalan pembangunan di tanah Papua dapat dilihat
angka kesejahteraan rakyat Papua di Kabupaten Mimika. Penduduk Kabupaten Mimika yang
ada di areal eksploitasi Freeport, terdiri dari 35% penduduk asli dan 65% pendatang. Pada

tahun 2002, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 4% penduduk Papua dalam kondisi
miskin, dengan komposisi 60% penduduk asli dan sisanya pendatang. Dan tahun 2005
kemiskinan rakyat di Provinsi Papua mencapai hingga 80,07% atau 1,5 juta penduduk. ( data
BPS Papua tahun 2002-2005)
4 Lihat: Marwan Batubara, “menggugat pengelolaan sumberdaya alam menuju negara berdaulat,” KPK-N
(Komite Penyelamatan Kekayaan Negara), Jakarta, 2009.

C. Rakyat Ibarat Ayam Mati Di Lumbung Padi
Ibarat ayam kelaparan dan mati dilumbung padi, kekayaan alam Papua tidak membuat
rakyat Papua hidup dengan layak. Ditanah Papua masih banyak rakyatnya yang hidup dalam
kemiskinan, kelaparan, dan kurang gizi karena kurangnya pangan.
Dalam buku yang ditulis Hira Jhamtani, mencatat selama bulan November –
Desember 2005, ada sebanyak 55 orang (rakyat Papua) yang meninggak dunia karena
disebabkan oleh gizi buruk dan sedikitnya 112 lainnya terbaring sakit karena kelaparan.
Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Yahukimo, ibu kota Provinsi Papua.5
Kondisi kelaparan dan kurang gizi yang menyebabkan kematian mengindikasikan
keadaan kerawanan pangan yang paling ironis di Indonesia. Pertama, jumlah orang yang
meninggal dunia di Yahukimo itu cukup banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduk
disana yang hanya 55.000 orang.( Hira Jhamtani, Ibid. Halaman 30). Kedua, kelaparan ini
terjadi disalah satu daerah yang memiliki kekayaa sumberdaya alam paling melimpah. Papua

memiliki jutaan hektar hutan tropis yang masih asli, selain laut serta cadangan mineral (dari
gas bumi dan minyak sampai tembaga emas yang dikelola oleh Freeport McMoran Copper %
Gold) yang sungguh berlimpah.
Yahukimo secara goegrafis terletak di wilayah terpencil ,hanya dapat dijangkau
dengan jalan kaki atau pesawat terbang, baik dari Jayapura maupun Wamena kota terbesar di
dataran tinggi Papua yang berketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut. Ini
alasan bagi pemerintah untuk sulit mengakses Yahukimo untuk kepentingan memberikan
bantuan kepada daerah ini. Alasan ini adalah alasan yang dibuat-buat. Karena hambatan
geografis tidak akan menjadi masalah apabila kapitalis domestik dan korporasi-korporasi
asing yang beroperasi di tanah Papua, terutama Freeport dan pemerinah Indonesia sendiri
care terhadap rakyat Papua. Berbagai infrastruktur yang memudahkan orang untuk
menjangkau Yahukimo dapat dibangun oleh Freeport dan pemerintahan Indonesia, tetapi hal
itu tidak dilakukan. Jika Freeport dapat membangun infrastruktur di Garsberg dan Ertsberg
mengapa sulit untuk membangun Yahukimo dengan alasan sulitnya geografis Yahukimo.
Kesulitan geografis atau hambatan goegrafis yang menjadi alasan pemerintah
Indonesia selalu terlambat dalam memberikan bantuan kepada rakyat Papua yang bertempat
tinggal di daerah Yahukimo dan bencana kelaparan telah menyebar di daerah tersebut.
Kelaparan dan gizi buruk tidak hanya ditemui di Yahukimo, kasusu serupa juga
ditemui di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat. Berdasarkan dari data Dinas
Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Tambrauw, jumlah penduduk Kabupaten

tambrauw di 7 Distrk pada taun 2011 sebanyak 9.771 jiwa yang terdiri dari 5.309 penduduk
laki-laki dan 4.462 penduduk perempuan. Dengan jumlah peduduk yang sedikit, seharusnya
5 Hira Jhamtani, “ Lumbung Pangan : Menata Ulang Kebijakan Pangan” insist Press, Yogyakarta, 2008. Hal. 30.

pemerintah setempat lebih memahami kondisi penduduknya dan lebih dapat membuat
program sesuai dengan anggaran yang tersedia. Namun kenyataannya pihak pemerintah
kabupaten justru mengetahui kelaparan diwilayahnya melalui laporan media. Dan respon para
pejabat ialah membantah berita itu, bahkan mengancam membawa kejalur hukum para aktivis
LSM yang mengadukan persoalan tersebut. (Zely Ariane, Ellias, Wilson, Heny, Ibid. Hal. 45).
Pada saat itu penduduk hanya makan satu kali sehari dan itupun hanya memakan
buah-buahan dan dedaunan dari hutan. Bantuanpun akan didatangkan dari pusat kota
menggunakan pesawat. Agar tidak terlambat sampai ketempat tujuan maka diperlukan
pesawat yang dapat memuat makanan dengan kapasitas 3 ton, namun karena tidak adanya
pesawat berkapasitas 3 ton makanan pun diangkut sedikit demi sedikit dan itupun datang
terlambat. Karena kapasitas yang sedikit dan keterlambatan itulah yang menyebabkan banyak
penduduk yang kelaparan. Pdahal perusahaan-perusahaan besar mempunyai pesawat dengan
kapasitas 3 ton yang mampu membawa makanan itu dengan tepat waktu. Namun Freeport
tidak mau mengerahkan pesawat tersebut dengan dalih tidak baik untuk iklim investasi. (Hira
Jhamtani. Op.cit. Hal.33)
Seharusnya sebagai perusahaan yang mengambil kekayaan alam rakyat Papua,

Freeport juga harus memperhatikan kesejahteraan rakyat Papua yang kelaparan khususnya di
daerah Yahukimo dan provinsi Papua Barat. Freeport tidak seharusnya hanya menikmati buah
manis dari penambangan tanah Papua, namun juga harus memperhatikan rakyat Papua yang
berada pada garis kemiskinan, kelaparan dan gizi buruk yang menyebabkan bertambahnya
angka kematian pada rakyat Papua.

D. Ketidakadilan Dalam Pemberian Hak
Selain berbagai masalah kemanusiaan yang disebakan oleh Freeport terhadap
Lingkungan maupun rakyat Papua yang berada di daerah penambangan. Ternyata Freeport
juga tidak memberlakukan keadailan pada para pekerja yang berasal dari dalam negeri.
Tahap awal yang harus dilakukan oleh sebuah perusahaan agar perusahaannya dapat
beroperasi dengan baik adalah menyiapkan berbagai kebutuhan bagi perusahaan itu, seperti
pengadaan alat-alat produksi, berbagai bahan baku, pembebasan tanah, dan mempekerjakan
buruh. Dalam tahap konstruksi, Freeport mempekerjakan sedikit mungkin buruh-buruh ahli

yang didatangkan dari luar negeri (Filiphina, Korea, Australia, Amerika Serikat dan Jepang)
dan sebanyak mungkin buruh-buruh dari Indonesia.
Dalam tahap ini terjadi diskriminasi upah. Upah yang paling besar diperoleh oleh
buruh-buruh ahli yang datang dari Amerika Serikat, sedangkan upah terendah diberikan
kepada buruh-buruh yang berasal dari dalam negeri.
Tidak hanya diskriminasi dalam hal upah, dalam ha perlakuan pun buruh-buruh
Indonesia diberlakukan tidak adil dengan buruh-buruh yang berasal dari luar negeri
khususnya dari Amerika Serikat diperlakukan secara istimewa. Perlakuan rasis pun tidak
jarang dialami oleh buruh-buruh Indonesia.
Perlakuan rasis sengaja dilakukan Freeport agar buruh-buruh Indonesia merasa rendah
diri. Tindakan ini adalah upaya dari Freeport agar mereka tidak akan protes apabila diupah
dengan upah yang sangat rendah. Mereka digiring untuk merasa lebih inferior dari buruhburuh luar negeri yang superior.6
Untuk lebih menekan ongkos produksi, Freeport juga mempekerjakan buruh-buruh
sub-kontrak (outsourching). Pada awal beroperasinya Freeport ditanah Papua, hanya 400
buruh yang dipekerjakan secara permanen oleh Freeport dan itupun buruh-buruh dari
Amerika Serikat. Dengan metode itu, pemilik modal dapat merekrut buruh-buruh yang
dibutuhkannya setiap waktu dan memecatnya saat tidak diperlukan. (Ross Garnaut dan Chris
Manning. Op.cit. Hal 93)
Dalam tahap pembangunan, hampir semua bahan makanan, bahan bangunan, ataupun
alat-alat perlengkapan tidak didatangkan dan dibeli dari Indonesia, semuanya didatangkan
dari perusahaan-perusahaan luar negeri milik Amerika Serikat. Hal ini dilakukan freeport
untuk memberikan kesempatan bagi kapitalis perdagangan Amerika Serikat untuk
mendapatkan keuntungan dari proses akumulatif primitif yang dilakukan Freeport pada
proyek tersebut.
Ketika tahap Produksi telah dilakukan, maka terjadilah pemecatan secara besarbesaran buruh Indonesia yang dipekerjakan sebelumnya. 7 Bagi para buruh yang berasal dari
tanah Papua, yang direkrut setelah tanah miliknya dibebaskan oleh pemerintah, ketika
mendapati dirinya dipecat dari perusahaan itu, mereka mendapati dirinya sebagai manusia
6 Ross Garnaut dan Chris Manning. Ibid. Hal 93
7 Ross Garnaut dan Chris Manning. Ibid. Hal 93

tanpa pekerjaan dan tanah untuk sandaran hidup. Oleh karena itulah tidak heran apabila
sebagian diantara mereka melakukan perlawanan kepada Freeport dan Pemerintah Indonesia.
Rendahnya upah buruh-buruh dari Indonesia dibandingkan dengan penghasilan yang
sangat besar yang dipeoleh Freeport dan buruh-buruh yang berasal dari Amerika Serikat dan
dikekangnya kebebasan dalam berserikat, mendorong buruh-buruh Indonesia melakukan
perlawanan. Namun saat buruh menuntut kebebasan berserikat, perbaikan kondisi kerja,
penghapusan diskriminasi hak dan fasilitas antara pekerja asli Papua dan asing, serta
kenaikan upah mereka justru diintimidasi dan represi. (Siti Maimunah. Ibid. Hal.13).

PENUTUP
Beroperasinya Pertambangan terbesar di Dunia PT Freeport McMoran Copper &
Gold ternyata berbanding terbalik dengan keadaan yang terjadi sesungguhnya terhadap rakyat
Papua. Perusahaan meraup penghasilan yang besar dari penambangan tersebut, namun yang
diperoleh oleh rakyat Papua hanya dampak lingkungan yang tidak sehat lagi, dampak dari
kerusakan tanah yang dijaga oleh leluhur mereka, dampak dari minimnya upah yang
diberikan oleh Freeport kepada buruh-buruh yang berasal dari tanah Papua serta masih
banyak dampak lagi yang merupaka dampak yang sama sekali tidak menguntungkan bagi
rakyat Papua secara khusus dan indonesia secara umum dalam penambangan yang dilakukan

oleh PT Freeport. Lingkungan hidup tidak dihiraukan lagi ketika kapitalisme telah menjarah
Indonesia, kesehatan menjadi terabaikan ketika daratan emas menjadi tujuan utama demi
kemakmuran segelintir orang penguasa namun tidak memakmurkan negeri tempat emas itu
berada.
DAFTAR PUSTAKA
Paharizal&Ismantoro.2018.Freeport Fakta-fakta yang disembunyikan.Jakarta:PT Buku Seru
Markus Haluk, “menggugat freeport” Honai Center, Jayapura,2014