TATA KELOLA ASET DAERAH DALAM KERANGKA R
TATA KELOLA ASET DAERAH DALAM KERANGKA REFORMASI
BIROKRASI
A. Pendahuluan
Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi
ekonomi
bermakna
adanya
manfaat
finansial
dan
ekonomi
yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi
pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Pemahaman
akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen keuangan, dan akuntansi.
Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Aset atau
barang daerah dapat berasal :
Pertama , Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome
dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran.
Kedua , Aset
yang
bersumber
dari
luar
pelaksanaan APBD.
Dalam
hal
ini, pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran
belanja modal maupun belanaj pegawai dan belanja barang & jasa. Pengelolaan asset
daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah , yang
kemudian
ditindaklanjuti
dengan
Permendagri No.17/2007
tentang
Pedoman
Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sedangkan lingkup pengelolaan aset dimaksud
meliputi:
(1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
(2) pengadaan,
(3) penggunaan,
(4) pemanfaatan,
(5) pengamanan dan pemeliharaan,
(6) penilaian,
(7) penghapusan,
(8) pemindahtanganan,
(9) penatausahaan,
(10) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
Meskipun sudah ada aturan yang sangat rinci, persoalan aset daerah hingga saat ini masih
mengalami beberapa kendala. Salah satu persoalan yang muncul terkait dengan proses
perencanaan
dan
penganggaran.
Dalam
praktek pengelolaan aset daerah sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan,
sedangkan yang dibutuhkan tidak dianggarkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya
kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente, yang diterima oleh aparatur daerah
sebelum pengadaan barang dilaksanakan. Persoalan lainnya seperti pada kasus pengadaan
barang atau jasa. Tahapan ini
paling sulit karena selain rawan dengan praktik korupsi, “ancaman” menjadi
(lalu
menjadi
terpidana)
cukup
besar.
Oleh
karena
tersangka
itu,
masalah
yang paling sering muncul adalah: mekanisme pengadaannya penunjukan langsung, pemi
lihan langsung, atau tender bebas?. Beberapa aparatur daerah sering tidak bersedia
menjadi panitia pengadaan karena takut terjerat kasus korupsi. Meskipun aparatur daerah
telah
mengikuti
ujian
sertifikasi
(sebagai
syarat
panitia pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres No.80/2003), umumnya
menjadi
mereka lebih
senang untuk tidak lulus sehingga tidak bertanggungjawab terhadap proses pengadaan
barang dan jasa. Diamping itu terjadi pula di beberapa daerah kabupaten/kota dalam
setiap pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan
ternyata
salah
satu
objek
belanja
yang
paling
sering
difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran(L
RA), atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaanterealisasi
100%. Habis tak bersisa. Berdasarkan penelitian (World Bank, 2008)fenomena
ghost expenditures
merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara
incremental
meskipun banyak aset yangsudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak
adanya transparansi dalam penghapusan dan pemidahtanganan aset-aset pemerintah.
Persoalan yang tidak kalah penting dalam pengelolaan asset daerah ini terletak pada
penghapusan aset daerah.
Penghapusan aset bermakna tidak adalagi nilai suatu aset yang akan dicantumkan di
neraca. Penghapusan dari buku
besar dilakukan setelah kepemilikan aset tersebut tidak lagi di daerah, tetapi di pihak lain
atau dimusnahkan atau dibuang. Dalam persepktif akuntansi, penghapusan dilakukan den
gan cara membuat jurnal, misalnya: mendebit rekening Ekuitas Dana-Di investasikan
dalam Aset Tetap dan mengkredit Aset Tetap. Sebagai contoh dari 36 pemerintahan di
Jateng, yakni 35 kabupaten/ kotadan pemprov, yang laporan keuangan tahun 2010 sudah
diperiksa oleh BadanPemeriksan Keuangan (BPK) Perwakilan Jateng, baru 2 yang
menerima opiniwajar tanpa pengecualian (WTP), yakni Kota Surakarta dan Kabupaten
Jepara.Status WTP adalah opini audit yang diberikan jika laporan keuangan dianggap
memberikan
informasi
yang
bebas
dari
salah
saji
material.
Dengan
opini
ini berarti auditor meyakini pemerintah daerah telah menyelenggarakan prinsipakuntansi
yang berlaku umum dengan baik. Kalaupun ada kesalahan, dianggap tidak berpengaruh
signifikan terhadap pengambilan keputusan. Sejak pemberlakukan PP Nomor 24 Tahun
2005 tentang StandarAkuntansi Pemerintahan (SAP), salah satu tolok ukur kinerja pemda
dapat dilihatdari laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), yang harus terlebih
dahulu
diaudit
oleh
BPK.
Informasi
dalam
LKPD
harus
dapat
memenuhi
kebutuhan penggunanya, yang menurut SAP adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga p
engawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, dan pemerintah.
B. Pembahasan
U r g e n s i manajemen aset
Sejak
tahun
1970-an
pemerintah
mengeluarkan
ketentuan
terkait
dengan pengelolaan aset, akan tetapi sampai sekarang manajemen aset kita masih
terpuruk, masih dalam proses pembenahan, artinya belum sampai kepada tahap dimana
setiap saat pimpinan dapat memantau keberadaan aset di bawah penguasaannya secara
cepat dan akurat. Hal ini terbukti, diantaranya bahwa belum seluruhnya unit kerja dalam
suatu instansi telah melakukan inventarisasi aset, sehingga otomatis nilai aset secara
keseluruhan tidak diketahui yang pada akhirnya penyajian di dalam Laporan Keuangan
tidak dapat diyakini kewajarannya. Kondisi seperti ini terjadi hampir seluruhnya pada
instansi yang memiliki aset besar seperti Departemen Agama, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Sosial,
Kementerian Kesehatan dan Kementerian lainnya yang pada umumnya mempunyai
ratusan unit kerja dibawahnya. Aset diperoleh dari pengadaan barang melalui mekanisme
APBN atauAPBD yang menjadi cikal bakal penyajian aset di Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP). Memasuki tahun ke empat sejak LKPP diterbitkan oleh
pemerintah pada tahun 2004, opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum beranjak
dari Disclaimer atau Tanpa Memberikan Pendapat. Dari berbagai alasan inti tentang
konsideran BPK memberikan pendapat seperti tersebut di atas salah satunya terkait
dengan tidak terinventarisasinya aset pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara
transparan. Jadi, bagaimana sebenarnya manajemen aset bias mengatasi kondisi ini
sehingga aset dapat tercatat dan terpelihara dengan baik melalui manajemen aset yang
memadai.
Tahapan Manajemen Aset
Pengadaan aset ,
proses
manajemen
asset
tahun
berjalan
dimulai
dengan pengadaan barang yang dilakukan berdasarkan rencana pengadaan menurut
belanja modal dalam DIPA tahun berjalan. Bukti pendukung terjadinya transaksi aset
harus
diperoleh
dengan
lengkap
yaitu
SPP,
SPM,
bukti pendukung aset tetap berupa dokumen tender, kontrak,
SP2D
serta
progress report,
BA pemeriksaan, BA serah terima barang bahkan kebenaran fisiknya. Serah terima aset.
Serah terima kepada rutin instansi dimaksudkan untukkeperluan database sebagai dasar
pemantauan
fisik
aset
baik
luas
tanah, bangunan,
jumlah
kendaraan
dan
inventaris termasuk nilainya sebagai bagian darimanajemen aset Sesudah proses
pengadaan barang selesai, segera aset diserah terimakan kepada rutin instansi untuk
dicatat dan diakui sebagai di bawah penguasaan instansi tersebut.
Pencatatan dan pelaporan aset.
Pencatatan dan pelaporan aset merupakansatu kesatuan, artinya dalam proses aplikasi
begitu proses input data transaksidilakukan, maka secara otomatis akan tercatat pada
buku harian, buku besar dan langsung ke Neraca, dan Laporan Realisasi Anggaran
(LRA). Sesudah proses serah terima kepada rutin instansi selesai, maka berdasarkan
dokumen pendukung transaksi seperti SPM, SP2D dilakukan pencatatan dengan
menggunakan aplikasi. Dalam pelaksanaanya dapat saja terjadi belanja barang tetapi
hasilnya berupa aset. Dalam proses ini sudah harus benar-benar diyakini
outputnya
apakahfisik yang berbentuk aset tetap atau barang habis pakai. Contohnya dalam DIPA
sebuah instansi merencanakan pembuatan anjungan pameran hasil bumi. Karenasifatnya
tidak
dimaksudkan
untuk
permanen,
diusulkan
sebagai
belanja
barang. Namun dalam pelaksanannya pimpinan instansi merasa perlu untuk sekaligus
dibuat permanen saja supaya dapat digunakan untuk pameran tahun depan tanpa
mengeluarkan
biaya
anjungan
lagi.
Sehingga
menjadi
sebuah
anjungan
secara permanen. Hasil audit menyatakan itu adalah aset tetap, karena menurut Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP), kategori yang dapat dikatakan aset tetapdiantaranya adalah
mempunyai umur teknis dan ekonomis lebih dari 12 tahun,dapat disusutkan, nilainya
material. Tetapi karena dalam DIPA tercantum belanja barang maka dicatat dalam aplikasi
sebagai barang bukan aset tetap. Tetapi karena
outputnya
berupa aset tetap, auditor akan melakukan koreksi. Kondisi sepertiinilah
yang
harus
dicermati dalam pengadaan barang dan proses pencatatan hasilaset. Kondisi tersebut
seharusnya tercantum sebagai aset di Neraca.Beberapa tahun yang lalu, proses
manajemen aset dilakukan secarasederhana, yaitu selesai pengadaan barang, dilakukan
serah terima kepada rutininstansi, diberi nomor registrasi, dibuatkan kartu barang, dicatat
dalam laporanmutasi barang/aset (LMBT) dan selesai begitu saja, tidak dilakukan
inventarisasisehingga tidak ada Database yang dapat diandalkan. Namun seiring
dengan perkembangan teknologi sekarang untuk setiap pengadaan barang dilakukan penc
atatan melalui aplikasi , yaitu sistim yang mengakomodasi pencatatan barang secara
langsung
mulai
dari
proses
input,
pencacatan
dalam
buku
besar,
neraca percobaan sampai jadi neraca instansi. Namun proses inipun tidak serta merta berl
angsung cepat, masih banyak kendala di lapangan dalam penerapannya.
tahun
semenjak
dikeluarkannya
PP
nomor
6
Setelah
tahun
dua
2006
proses perubahan pola pikir pengelolaan aset dari semula fokusnya pendekatan
administrasi aset menuju pendekatan manajemen aset ternyata belum dapat dilakukan.
Sampai saat ini belum semua instansi mempunyai database yang memadai, database
dapat diandalkan (reliable) yang dapat membuat kita yakin bahwa suatu kementerian
memiliki total nilai aset yang tersebar di beberapa lokasi terutama yang banyak unit
kerjanya masih terdapat aset yang belum dikelola dan ditatausahakan sesuai PP nomor 6
tahun 2006. Masih terdapat aset yang belum diamankan baik secara fisik, administrasi
dan hukum serta masih terdapat asetyang tidak digunakan sesuai tupoksi Kementerian
lembaga
dan
juga
mengabaikan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mungkin dihasilkan. Perubah
anyang diperlukan dalam mengimplementasikan manajemen aset adalah terkait dengan
pihak pengelola barang, pengguna barang dan pihak ketiga yang akanmemanfaatkan/
memindahtangankan
aset
dengan
cara
memperkuat
partisipasi publik (diwakili oleh masyarakat), privat (diwakili pihak ketiga/swasta) danko
munitas (Pengelola dan Pengguna Barang) dengan menciptakan accountability
(akuntabilitas), transparency (transparan) dan rule of law (ketaatan peraturan)yang
konsisten, openness (terbuka/fokus kepada stakeholder) sehingga stakeholder dapat
menilai kinerja masing-masing pihak yang terlibat dalam manajemen aset, fairness
(perlakuan yang adil) yang dapat meyakinkan berbagai pihak, terutama pihak
swasta, bahwa
tidak
ada korupsi,
kolusi dan
nepotisme dalam
pemanfaatanatau
pemindahtanganan aset.
Opini D i s c l i m e r BPK
Sebagai salah satu tolok ukur yang paling riil dalam menilai kinerja pihak
pihak yang terkait dengan manajemen aset adalah opini yang di dapat oleh
Kementerian/Lembaga dari aparat pengawas eksternal yaitu BPK. Dalam rilis resmi yang
dikeluarkan oleh lembaga ini terdapat 16 Kementerian/Lembaga yang telah mendapatkan
opini
Wajar
Tanpa
kementerian/lembaga
Pengecualian
ini
adalah
(WTP).
Yang
kementrian
patutdi
lembaga
garisbawahi
adalah
yang baru dibentuk yang
asset atau BMN nya secara kuantitas tidak terlalu besar. Hal ini tentu saja mempermudah
dalam pengelolaan dan penatausahaan atas aset atau BMN yang mereka miliki. Lain hal
pada Kementerian Agama yang mempunyairibuan unit kerja yang mempunyai aset yang
tersebar dan yang wajibmelaksanakan aplikasi aset tentunya wajar saja apabila masih
mempunyai beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Di lain pihak, tidak kurang dari
60 lebih kementerian/lembaga yang masih mendapatkan opini disclaimer terkait dengan
manajemen aset yang mereka kelola dan tatausahakan. Tolak ukur pemberian Opini yang
disampaikan
oleh
BPK
sejak pemberlakukan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP). Salah satu tolok ukur kinerja pemda dapat dilihat darilaporan keuangan
pemerintah daerah (LKPD), yang harus terlebih dahulu diauditoleh BPK. Informasi
dalam
LKPD
harus
dapat
memenuhi
kebutuhan penggunanya, yang menurut SAP adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga
pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, dan pemerintah.
Untuk mendapatkan opini WTP atas LKPD dari tim audit BPK memangcukup sulit
mengingat
biasanya
pengelolaan
cash
flow
tidak
dikontrol
dengan baik, sistem pengendalian intens pemerintah (SPIP) daerah atas pengelolaan
keuangan
masih
lemah,
dan
pengelolaan
aset
daerah
tidak
dilengkapi
dengan bukti administrasi lengkap.
Hasil pendalaman BPK terdapat beberapa kelemahansignifikan dalam penyajian aset
tetap antara lain :
1. Pencatatan kartu inventaris barang (KIB) tidak didukung pencatatan pendukung
seperti kartu inventaris ruangan (KIR).
2. Sebagian besar fisik barang tidak bisa langsung diidentifikasi karena tidakdiberi
nomor register barang atau nomor register yang menempel padafisiknya,
3. Ada barangnya tetapi tidak terdata dalam KIB
4. Kartu
inventaris
tidak
dibuat
berdasarkan
data
realisasi
fisik
barang
tetapimengikuti data dari DPPAD.
5. Adanya ketidaksamaan nilai perolehan antara KIB dan neraca.
Manajemen aset yang memadai seharusnya meliputi proses pengadaan aset, serah terima
aset, inventarisasi aset, akuntansi aset sistem informasi manajemen dan akuntansi barang
milik daerah, dan penyusunan laporan keuangan. Kalau semua proses berjalan dengan
baik maka informasi mengenai aset suatu daerah akan akurat dan laporan keuangannya
terhindar dari opini disclaimer. Kelemahan yang harus diperbaiki terkait kelemahan yang
berhubungan dengan aset yang bisa memengaruhi opini BPK antara lain :
1. Belum semua SKPD/ dinas menginventarisasi dan menilai kembali asset tetapnya.
2. Pencatatan aset yang hanya dari belanja modal tahun berjalan sehingga aset yang
berasal dari belanja modal tahun sebelumnya tidak secara akumulasi dilaporkan,
3. Saldo awal aset tetap pada neraca belum disesuaikan dengan saldo akhir hasil
audit BPK tahun sebelumnya sehingga saldo akhir neraca sesudah ditambah
dengan mutasi tahun berjalan akhirnya tetap menampilkan kesalahan data.
S t a r t e g i Pe n i n g k a t a n O p i n i
Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan Opini “Wajar denganPengecualian” (WDP)
dapat dilakukan antara lain dengan:
1. Menyelesaikan masalah aset dengan cara melanjutkan validasi dan nventarisasi
seluruh aset SKPD secara komprehensif;
2. Memantapkan sistem dan prosedur pengelolaan anggaran yang terkait dengan
pengadaan aset; dan
3. Mensosialisasikan
tata
kelola
keuangan
yang
baik
pada
seluruh
jajaran pemerintahan sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No
13
Tahun
2006
dengan
pola
bimbingan
teknis
serta
diklat
yang berkesinambungan.
4. sistem teknologi informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Tengah harus
mempunyai fasilitas e-audit yang terintregasi seperti Sistem Layanan Pengadaan
Secara Elektronik (LPSE) yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan
Informatika Pemprov. Sedangkan sistem yang lain belum dikembangkan secara
terintegrasi, antara lain : Sistem Informasi Management Pembangunan
Daerah(Simbangda); SistemInformasi Keuangan Daerah (SIPKD); Sistem
Informasi Management Hasil Pengawasan (SIMHP); Sistem Pengelolaan Barang
Milik Daerah
Referensi
Undang-Undang No. 7 tahun 2003 tentang keuangan negara (ps 3) : keuangannegara
dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab denganmemperhatikan rasa keadilan dan
kepatuhan.Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara (ps 55 ayat
2) :menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/ pengguna barangmenyusun
dan menyampaikan laporan keuangan;Undang-Undang No.15 tahun 2004 tentang
pemeriksaan dan tanggung jawabkeuangan negara
BIROKRASI
A. Pendahuluan
Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Potensi
ekonomi
bermakna
adanya
manfaat
finansial
dan
ekonomi
yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi
pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat. Pemahaman
akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen keuangan, dan akuntansi.
Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Aset atau
barang daerah dapat berasal :
Pertama , Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome
dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran.
Kedua , Aset
yang
bersumber
dari
luar
pelaksanaan APBD.
Dalam
hal
ini, pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran
belanja modal maupun belanaj pegawai dan belanja barang & jasa. Pengelolaan asset
daerah diatur dalam PP No.6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah , yang
kemudian
ditindaklanjuti
dengan
Permendagri No.17/2007
tentang
Pedoman
Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sedangkan lingkup pengelolaan aset dimaksud
meliputi:
(1) perencanaan kebutuhan dan penganggaran,
(2) pengadaan,
(3) penggunaan,
(4) pemanfaatan,
(5) pengamanan dan pemeliharaan,
(6) penilaian,
(7) penghapusan,
(8) pemindahtanganan,
(9) penatausahaan,
(10) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
Meskipun sudah ada aturan yang sangat rinci, persoalan aset daerah hingga saat ini masih
mengalami beberapa kendala. Salah satu persoalan yang muncul terkait dengan proses
perencanaan
dan
penganggaran.
Dalam
praktek pengelolaan aset daerah sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan,
sedangkan yang dibutuhkan tidak dianggarkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya
kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente, yang diterima oleh aparatur daerah
sebelum pengadaan barang dilaksanakan. Persoalan lainnya seperti pada kasus pengadaan
barang atau jasa. Tahapan ini
paling sulit karena selain rawan dengan praktik korupsi, “ancaman” menjadi
(lalu
menjadi
terpidana)
cukup
besar.
Oleh
karena
tersangka
itu,
masalah
yang paling sering muncul adalah: mekanisme pengadaannya penunjukan langsung, pemi
lihan langsung, atau tender bebas?. Beberapa aparatur daerah sering tidak bersedia
menjadi panitia pengadaan karena takut terjerat kasus korupsi. Meskipun aparatur daerah
telah
mengikuti
ujian
sertifikasi
(sebagai
syarat
panitia pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres No.80/2003), umumnya
menjadi
mereka lebih
senang untuk tidak lulus sehingga tidak bertanggungjawab terhadap proses pengadaan
barang dan jasa. Diamping itu terjadi pula di beberapa daerah kabupaten/kota dalam
setiap pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan
ternyata
salah
satu
objek
belanja
yang
paling
sering
difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran(L
RA), atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaanterealisasi
100%. Habis tak bersisa. Berdasarkan penelitian (World Bank, 2008)fenomena
ghost expenditures
merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara
incremental
meskipun banyak aset yangsudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak
adanya transparansi dalam penghapusan dan pemidahtanganan aset-aset pemerintah.
Persoalan yang tidak kalah penting dalam pengelolaan asset daerah ini terletak pada
penghapusan aset daerah.
Penghapusan aset bermakna tidak adalagi nilai suatu aset yang akan dicantumkan di
neraca. Penghapusan dari buku
besar dilakukan setelah kepemilikan aset tersebut tidak lagi di daerah, tetapi di pihak lain
atau dimusnahkan atau dibuang. Dalam persepktif akuntansi, penghapusan dilakukan den
gan cara membuat jurnal, misalnya: mendebit rekening Ekuitas Dana-Di investasikan
dalam Aset Tetap dan mengkredit Aset Tetap. Sebagai contoh dari 36 pemerintahan di
Jateng, yakni 35 kabupaten/ kotadan pemprov, yang laporan keuangan tahun 2010 sudah
diperiksa oleh BadanPemeriksan Keuangan (BPK) Perwakilan Jateng, baru 2 yang
menerima opiniwajar tanpa pengecualian (WTP), yakni Kota Surakarta dan Kabupaten
Jepara.Status WTP adalah opini audit yang diberikan jika laporan keuangan dianggap
memberikan
informasi
yang
bebas
dari
salah
saji
material.
Dengan
opini
ini berarti auditor meyakini pemerintah daerah telah menyelenggarakan prinsipakuntansi
yang berlaku umum dengan baik. Kalaupun ada kesalahan, dianggap tidak berpengaruh
signifikan terhadap pengambilan keputusan. Sejak pemberlakukan PP Nomor 24 Tahun
2005 tentang StandarAkuntansi Pemerintahan (SAP), salah satu tolok ukur kinerja pemda
dapat dilihatdari laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), yang harus terlebih
dahulu
diaudit
oleh
BPK.
Informasi
dalam
LKPD
harus
dapat
memenuhi
kebutuhan penggunanya, yang menurut SAP adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga p
engawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, dan pemerintah.
B. Pembahasan
U r g e n s i manajemen aset
Sejak
tahun
1970-an
pemerintah
mengeluarkan
ketentuan
terkait
dengan pengelolaan aset, akan tetapi sampai sekarang manajemen aset kita masih
terpuruk, masih dalam proses pembenahan, artinya belum sampai kepada tahap dimana
setiap saat pimpinan dapat memantau keberadaan aset di bawah penguasaannya secara
cepat dan akurat. Hal ini terbukti, diantaranya bahwa belum seluruhnya unit kerja dalam
suatu instansi telah melakukan inventarisasi aset, sehingga otomatis nilai aset secara
keseluruhan tidak diketahui yang pada akhirnya penyajian di dalam Laporan Keuangan
tidak dapat diyakini kewajarannya. Kondisi seperti ini terjadi hampir seluruhnya pada
instansi yang memiliki aset besar seperti Departemen Agama, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Sosial,
Kementerian Kesehatan dan Kementerian lainnya yang pada umumnya mempunyai
ratusan unit kerja dibawahnya. Aset diperoleh dari pengadaan barang melalui mekanisme
APBN atauAPBD yang menjadi cikal bakal penyajian aset di Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP). Memasuki tahun ke empat sejak LKPP diterbitkan oleh
pemerintah pada tahun 2004, opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum beranjak
dari Disclaimer atau Tanpa Memberikan Pendapat. Dari berbagai alasan inti tentang
konsideran BPK memberikan pendapat seperti tersebut di atas salah satunya terkait
dengan tidak terinventarisasinya aset pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara
transparan. Jadi, bagaimana sebenarnya manajemen aset bias mengatasi kondisi ini
sehingga aset dapat tercatat dan terpelihara dengan baik melalui manajemen aset yang
memadai.
Tahapan Manajemen Aset
Pengadaan aset ,
proses
manajemen
asset
tahun
berjalan
dimulai
dengan pengadaan barang yang dilakukan berdasarkan rencana pengadaan menurut
belanja modal dalam DIPA tahun berjalan. Bukti pendukung terjadinya transaksi aset
harus
diperoleh
dengan
lengkap
yaitu
SPP,
SPM,
bukti pendukung aset tetap berupa dokumen tender, kontrak,
SP2D
serta
progress report,
BA pemeriksaan, BA serah terima barang bahkan kebenaran fisiknya. Serah terima aset.
Serah terima kepada rutin instansi dimaksudkan untukkeperluan database sebagai dasar
pemantauan
fisik
aset
baik
luas
tanah, bangunan,
jumlah
kendaraan
dan
inventaris termasuk nilainya sebagai bagian darimanajemen aset Sesudah proses
pengadaan barang selesai, segera aset diserah terimakan kepada rutin instansi untuk
dicatat dan diakui sebagai di bawah penguasaan instansi tersebut.
Pencatatan dan pelaporan aset.
Pencatatan dan pelaporan aset merupakansatu kesatuan, artinya dalam proses aplikasi
begitu proses input data transaksidilakukan, maka secara otomatis akan tercatat pada
buku harian, buku besar dan langsung ke Neraca, dan Laporan Realisasi Anggaran
(LRA). Sesudah proses serah terima kepada rutin instansi selesai, maka berdasarkan
dokumen pendukung transaksi seperti SPM, SP2D dilakukan pencatatan dengan
menggunakan aplikasi. Dalam pelaksanaanya dapat saja terjadi belanja barang tetapi
hasilnya berupa aset. Dalam proses ini sudah harus benar-benar diyakini
outputnya
apakahfisik yang berbentuk aset tetap atau barang habis pakai. Contohnya dalam DIPA
sebuah instansi merencanakan pembuatan anjungan pameran hasil bumi. Karenasifatnya
tidak
dimaksudkan
untuk
permanen,
diusulkan
sebagai
belanja
barang. Namun dalam pelaksanannya pimpinan instansi merasa perlu untuk sekaligus
dibuat permanen saja supaya dapat digunakan untuk pameran tahun depan tanpa
mengeluarkan
biaya
anjungan
lagi.
Sehingga
menjadi
sebuah
anjungan
secara permanen. Hasil audit menyatakan itu adalah aset tetap, karena menurut Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP), kategori yang dapat dikatakan aset tetapdiantaranya adalah
mempunyai umur teknis dan ekonomis lebih dari 12 tahun,dapat disusutkan, nilainya
material. Tetapi karena dalam DIPA tercantum belanja barang maka dicatat dalam aplikasi
sebagai barang bukan aset tetap. Tetapi karena
outputnya
berupa aset tetap, auditor akan melakukan koreksi. Kondisi sepertiinilah
yang
harus
dicermati dalam pengadaan barang dan proses pencatatan hasilaset. Kondisi tersebut
seharusnya tercantum sebagai aset di Neraca.Beberapa tahun yang lalu, proses
manajemen aset dilakukan secarasederhana, yaitu selesai pengadaan barang, dilakukan
serah terima kepada rutininstansi, diberi nomor registrasi, dibuatkan kartu barang, dicatat
dalam laporanmutasi barang/aset (LMBT) dan selesai begitu saja, tidak dilakukan
inventarisasisehingga tidak ada Database yang dapat diandalkan. Namun seiring
dengan perkembangan teknologi sekarang untuk setiap pengadaan barang dilakukan penc
atatan melalui aplikasi , yaitu sistim yang mengakomodasi pencatatan barang secara
langsung
mulai
dari
proses
input,
pencacatan
dalam
buku
besar,
neraca percobaan sampai jadi neraca instansi. Namun proses inipun tidak serta merta berl
angsung cepat, masih banyak kendala di lapangan dalam penerapannya.
tahun
semenjak
dikeluarkannya
PP
nomor
6
Setelah
tahun
dua
2006
proses perubahan pola pikir pengelolaan aset dari semula fokusnya pendekatan
administrasi aset menuju pendekatan manajemen aset ternyata belum dapat dilakukan.
Sampai saat ini belum semua instansi mempunyai database yang memadai, database
dapat diandalkan (reliable) yang dapat membuat kita yakin bahwa suatu kementerian
memiliki total nilai aset yang tersebar di beberapa lokasi terutama yang banyak unit
kerjanya masih terdapat aset yang belum dikelola dan ditatausahakan sesuai PP nomor 6
tahun 2006. Masih terdapat aset yang belum diamankan baik secara fisik, administrasi
dan hukum serta masih terdapat asetyang tidak digunakan sesuai tupoksi Kementerian
lembaga
dan
juga
mengabaikan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang mungkin dihasilkan. Perubah
anyang diperlukan dalam mengimplementasikan manajemen aset adalah terkait dengan
pihak pengelola barang, pengguna barang dan pihak ketiga yang akanmemanfaatkan/
memindahtangankan
aset
dengan
cara
memperkuat
partisipasi publik (diwakili oleh masyarakat), privat (diwakili pihak ketiga/swasta) danko
munitas (Pengelola dan Pengguna Barang) dengan menciptakan accountability
(akuntabilitas), transparency (transparan) dan rule of law (ketaatan peraturan)yang
konsisten, openness (terbuka/fokus kepada stakeholder) sehingga stakeholder dapat
menilai kinerja masing-masing pihak yang terlibat dalam manajemen aset, fairness
(perlakuan yang adil) yang dapat meyakinkan berbagai pihak, terutama pihak
swasta, bahwa
tidak
ada korupsi,
kolusi dan
nepotisme dalam
pemanfaatanatau
pemindahtanganan aset.
Opini D i s c l i m e r BPK
Sebagai salah satu tolok ukur yang paling riil dalam menilai kinerja pihak
pihak yang terkait dengan manajemen aset adalah opini yang di dapat oleh
Kementerian/Lembaga dari aparat pengawas eksternal yaitu BPK. Dalam rilis resmi yang
dikeluarkan oleh lembaga ini terdapat 16 Kementerian/Lembaga yang telah mendapatkan
opini
Wajar
Tanpa
kementerian/lembaga
Pengecualian
ini
adalah
(WTP).
Yang
kementrian
patutdi
lembaga
garisbawahi
adalah
yang baru dibentuk yang
asset atau BMN nya secara kuantitas tidak terlalu besar. Hal ini tentu saja mempermudah
dalam pengelolaan dan penatausahaan atas aset atau BMN yang mereka miliki. Lain hal
pada Kementerian Agama yang mempunyairibuan unit kerja yang mempunyai aset yang
tersebar dan yang wajibmelaksanakan aplikasi aset tentunya wajar saja apabila masih
mempunyai beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Di lain pihak, tidak kurang dari
60 lebih kementerian/lembaga yang masih mendapatkan opini disclaimer terkait dengan
manajemen aset yang mereka kelola dan tatausahakan. Tolak ukur pemberian Opini yang
disampaikan
oleh
BPK
sejak pemberlakukan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP). Salah satu tolok ukur kinerja pemda dapat dilihat darilaporan keuangan
pemerintah daerah (LKPD), yang harus terlebih dahulu diauditoleh BPK. Informasi
dalam
LKPD
harus
dapat
memenuhi
kebutuhan penggunanya, yang menurut SAP adalah masyarakat, wakil rakyat, lembaga
pengawas, lembaga pemeriksa, donatur, investor, pemberi pinjaman, dan pemerintah.
Untuk mendapatkan opini WTP atas LKPD dari tim audit BPK memangcukup sulit
mengingat
biasanya
pengelolaan
cash
flow
tidak
dikontrol
dengan baik, sistem pengendalian intens pemerintah (SPIP) daerah atas pengelolaan
keuangan
masih
lemah,
dan
pengelolaan
aset
daerah
tidak
dilengkapi
dengan bukti administrasi lengkap.
Hasil pendalaman BPK terdapat beberapa kelemahansignifikan dalam penyajian aset
tetap antara lain :
1. Pencatatan kartu inventaris barang (KIB) tidak didukung pencatatan pendukung
seperti kartu inventaris ruangan (KIR).
2. Sebagian besar fisik barang tidak bisa langsung diidentifikasi karena tidakdiberi
nomor register barang atau nomor register yang menempel padafisiknya,
3. Ada barangnya tetapi tidak terdata dalam KIB
4. Kartu
inventaris
tidak
dibuat
berdasarkan
data
realisasi
fisik
barang
tetapimengikuti data dari DPPAD.
5. Adanya ketidaksamaan nilai perolehan antara KIB dan neraca.
Manajemen aset yang memadai seharusnya meliputi proses pengadaan aset, serah terima
aset, inventarisasi aset, akuntansi aset sistem informasi manajemen dan akuntansi barang
milik daerah, dan penyusunan laporan keuangan. Kalau semua proses berjalan dengan
baik maka informasi mengenai aset suatu daerah akan akurat dan laporan keuangannya
terhindar dari opini disclaimer. Kelemahan yang harus diperbaiki terkait kelemahan yang
berhubungan dengan aset yang bisa memengaruhi opini BPK antara lain :
1. Belum semua SKPD/ dinas menginventarisasi dan menilai kembali asset tetapnya.
2. Pencatatan aset yang hanya dari belanja modal tahun berjalan sehingga aset yang
berasal dari belanja modal tahun sebelumnya tidak secara akumulasi dilaporkan,
3. Saldo awal aset tetap pada neraca belum disesuaikan dengan saldo akhir hasil
audit BPK tahun sebelumnya sehingga saldo akhir neraca sesudah ditambah
dengan mutasi tahun berjalan akhirnya tetap menampilkan kesalahan data.
S t a r t e g i Pe n i n g k a t a n O p i n i
Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan Opini “Wajar denganPengecualian” (WDP)
dapat dilakukan antara lain dengan:
1. Menyelesaikan masalah aset dengan cara melanjutkan validasi dan nventarisasi
seluruh aset SKPD secara komprehensif;
2. Memantapkan sistem dan prosedur pengelolaan anggaran yang terkait dengan
pengadaan aset; dan
3. Mensosialisasikan
tata
kelola
keuangan
yang
baik
pada
seluruh
jajaran pemerintahan sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No
13
Tahun
2006
dengan
pola
bimbingan
teknis
serta
diklat
yang berkesinambungan.
4. sistem teknologi informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Tengah harus
mempunyai fasilitas e-audit yang terintregasi seperti Sistem Layanan Pengadaan
Secara Elektronik (LPSE) yang dikelola oleh Dinas Perhubungan Komunikasi dan
Informatika Pemprov. Sedangkan sistem yang lain belum dikembangkan secara
terintegrasi, antara lain : Sistem Informasi Management Pembangunan
Daerah(Simbangda); SistemInformasi Keuangan Daerah (SIPKD); Sistem
Informasi Management Hasil Pengawasan (SIMHP); Sistem Pengelolaan Barang
Milik Daerah
Referensi
Undang-Undang No. 7 tahun 2003 tentang keuangan negara (ps 3) : keuangannegara
dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab denganmemperhatikan rasa keadilan dan
kepatuhan.Undang-Undang No.1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara (ps 55 ayat
2) :menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/ pengguna barangmenyusun
dan menyampaikan laporan keuangan;Undang-Undang No.15 tahun 2004 tentang
pemeriksaan dan tanggung jawabkeuangan negara