GAMBARAN ALERGEN PADA ANAK DENGAN DERMAT
GAMBARAN ALERGEN PADA ANAK DENGAN
DERMATITIS ATOPIK
1. Nama
: Nadiya Munir
2. Rumah Sakit
: H. Adam Malik Medan
3. Alamat
: Jl. Jeumpa D46, sektor timur darussalam,
4. Kota
: Banda Aceh
5. Nomor Kontak
: 085261053484
6. Email
: [email protected]
i
Gambaran Alergen pada Anak dengan Dermatitis Atopik
Nadiya Munir, Salia Lakswinar, Irma D. Roesyanto.
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstrak
Latar Belakang : Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang berlangsung kronik
berulang, disertai rasa gatal dan timbul pada predileksi tertentu. Umumnya dikaitkan dengan
abnormalitas fungsi barier kulit, sensitisasi alergen, riwayat keluarga yang memiliki atopi dan
infeksi kulit yang berulang. Gambaran hasil uji tusuk kulit pada anak dengan DA dapat
memberi gambaran sensitisasi alergen yang penting sebagai langkah pencegahan yang dapat
diterapkan.
Tujuan : Untuk mengetahui gambaran alergen pada anak dengan dermatitis atopik.
Subyek dan metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan
cross-sectional. Empat puluh tiga orang anak dengan riwayat dermatitis atopik diikutsertakan
dalam penelitian ini. Terhadap subjek penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
dermatologis dan kemudian dilakukan uji tusuk kulit dengan alergen dari Alyostal produksi
Hollister Stier (France). Hasil ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi.
Hasil : Alergen yang menunjukkan reaksi positif paling banyak secara berurutan adalah
alergen hirup yaitu tungau debu rumah sebanyak 28 orang (65,1%), kecoa sebanyak 27 orang
(62,8%), nyamuk sebanyak 21 orang (48,8%), diikuti alergen makanan yaitu udang sebanyak
17 orang (39,5%), kacang tanah sebanyak 16 orang (37,2%), ayam sebanyak 15 orang
(34,9%), terigu sebanyak 11 orang (25,6%), putih telur sebanyak 9 orang (20,9%).
Kesimpulan : Alergen terbanyak dengan reaksi positif pada penelitian ini adalah tungau debu
rumah.
Kata kunci : dermatitis atopik, anak, alergen, uji tusuk kulit.
Allergen Profile of Atopic Dermatitis Children
Nadiya Munir, Salia Lakswinar, Irma D. Roesyanto.
ii
Department of Dermatology and Venereology
Medical Faculty of Sumatera Utara University
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstract
Background : Atopic dermatitis is a chronically relapsing skin disease that occurs most
commonly during early infancy and childhood. It is frequently associated with abnormalities
in skin barrier function, allergen sensitization, and recurrent skin infections. The result of skin
prick test in atopic dermatitis children could reveal allergen sensitization that important for
avoidance strategy.
Objective : To reveal allergens profile of atopic dermatitis children.
Methods : This was a cross-sectional analyses study involving 43 subjects with history of
atopic dermatitis. History taking by anamneses and dermatological examination were
conducted to all subjects. They were all skin prick tested with allergens from Alyostal,
Hollister Stier (France). Results were presented descriptively.
Results : The skin prick test results presented positive reaction from the most were house
dust mite in 28 subjects (65,1%), cockroach in 27 subjects (62,8%), mosquito in 21 subjects
(48,8%), shrimp in 17 subjects (39,5%), peanut in 16 subjects (37,2%), chicken in 15 subjects
(34,9%), wheat in 11 subjects (25,6%), white egg in 9 subjects (20,9%).
Conclusion : The most allergens with positive reaction were house dust mite.
Key words : atopic dermatitis, children, allergen, skin prick test.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
World Allergy Organization (WAO) mendefinisikan atopi sebagai kecenderungan
masing-masing individu maupun secara familial (genetik) untuk menghasilkan antibodi
Imunoglobulin E (IgE) dalam merespon alergen dalam dosis rendah dan berkembang menjadi
suatu kondisi yang khusus, seperti asma, rhinitis maupun dermatitis atopik. Definisi ini
menjelaskan imunoreaktifitas tapi tidak termasuk keberadaan gejala klinis. Atopi merupakan
faktor risiko yang paling penting untuk perkembangan penyakit alergi, walaupun pasien atopi
dapat menunjukkan hasil respon yang positif terhadap alergen tanpa adanya gejala yang
berkembang.1
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kulit yang berlangsung kronik
berulang, disertai rasa gatal dan timbul pada predileksi tertentu. Umumnya dikaitkan dengan
abnormalitas fungsi barier kulit, sensitisasi alergen, riwayat keluarga yang memiliki atopi dan
infeksi kulit yang berulang. DA paling sering timbul pada tahun pertama kehidupan dan masa
kanak-kanak, sekitar 90% kasus timbul pada 5 tahun pertama kehidupan.2-5
Sejak tahun 1960an telah terjadi peningkatan prevalensi DA sebesar tiga kali lipat.
DA merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dengan prevalensi yang bervariasi. DA
mengenai sekitar 10-20% anak di Amerika, Eropa Utara dan Barat, Afrika, Jepang, Australia
dan negara-negara industri lainnya. Menariknya, prevalensi DA pada anak jauh lebih rendah
pada negara-negara agraris seperti Cina, Eropa Timur, Afrika bagian rural, dan pusat Asia.
Namun, data terakhir dari International Study of Asthma and Allergic in Childhood (ISAAC),
dari penelitian fase ketiga mengkonfirmasikan bahwa DA merupakan penyakit yang tinggi
prevalensinya baik pada negara berkembang maupun negara maju.2
Begitu pula di Indonesia, DA meningkat pesat pada dekade terakhir. Pada tahun 2013
dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu RS dr Hasan Sadikin
Bandung, RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS H. Adam Malik Medan, RS Kandou
Manado, RSU Palembang, RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%).3
Lebih dari satu dekade yang lalu, didapat frekuensi penyakit atopi dengan sensitisasi
alergen meningkat secara paralel, yang menunjukkan bahwa peningkatan tersebut saling
berkaitan. Di negara industri, diperkirakan 30-50% dari populasi pediatri menunjukkan
adanya sensitisasi alergen.1
Hubungan antara DA dengan atopi (sensitisasi alergen) telah diperdebatkan sejak
sekian lama. Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya
seperti asma bronkial, rhinitis alergi, atau DA. Pada sebagian besar anak dengan DA (sekitar
80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. DA sering sebagai
manifestasi pertama dalam atopic march, 80% pasien dengan DA bila tidak ditangani secara
tepat akan berkembang menjadi asma atau rhinitis alergi. Semua uraian ini memberikan
dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.6-8
Identifikasi alergen secara individual merupakan strategi yang tepat untuk mengontrol
DA dan menghindari terjadinya atopic march.9,10 Investigasi alergen dapat dilakukan dengan
menggunakan ekstrak makanan dan hirupan secara in vitro yang dikenal dengan uji IgE
spesifik dan secara in vivo yaitu uji tusuk kulit (UTK). Kedua metode tersebut mampu
menunjukkan adanya hipersensitifitas tipe I. Diantara berbagai tes dalam klinis yang
bertujuan untuk mendeteksi sensitivitas yang dimediasi oleh IgE, UTK merupakan uji yang
dapat dilakukan sebagai langkah awal dikarenakan mudah, tidak terlalu mahal dibandingkan
dengan pemeriksaan serum antibodi spesifik IgE, hasilnya cepat, juga lebih sensitif.1,11
Salah satu penelitian tentang UTK di Indonesia yaitu penelitian dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
pada tahun 2011. Pada penelitian tersebut didapatkan dari 35 anak yang menderita DA, 29
anak menunjukkan hasil UTK yang positif, terdiri atas 8 subyek positif terhadap alergen
makanan saja, 3 subyek positif terhadap alergen hirupan saja, dan 18 subyek positif terhadap
keduanya. Alergen hirupan yang tersering yaitu bulu anjing, aspergillus, rumput, sedangkan
alergen makanan yang tersering yaitu maizena, putih telur, ikan tuna, daging ayam, dan
tepung terigu.12
Gambaran hasil UTK pada anak dengan DA, dapat memberikan gambaran sensitisasi
alergen yang penting sebagai petunjuk untuk tindakan eliminasi DA pada anak dan
mengurangi ekspresi klinis dari penyakit alergi lainnya. Pemahaman tentang gambaran
sensitisasi alergen pada pasien dari berbagai wilayah, penting untuk langkah pencegahan
yang dapat diterapkan.1,12
Hal ini mendorong penulis untuk meneliti gambaran alergen pada anak dengan dermatitis
atopik di beberapa sekolah di Medan.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana gambaran alergen pada anak dengan dermatitis atopik ?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran alergen pada anak dengan dermatitis atopik
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui alergen yang paling banyak positif pada anak penderita
dermatitis atopik.
b. Untuk mengetahui karakteristik alergen yang positif pada anak dengan
dermatitis atopik berdasarkan distribusi kelompok usia.
c. Untuk mengetahui karakteristik alergen yang positif pada anak dengan
dermatitis atopik berdasarkan jenis kelamin.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat dalam bidang akademik
Membuka wawasan mengenai gambaran alergen pada anak dengan dermatitis
atopik.
1.4.2 Manfaat dalam pelayanan masyarakat
Menjadi landasan pendekatan dalam meningkatkan tindakan pencegahan terjadinya
atopic march.
1.4.3 Manfaat bagi pengembangan penelitian
Menjadi landasan teori bagi penelitian – penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Atopi dan dermatitis atopik
Atopi berasal dari bahasa Yunani ‘atopos’ yang berarti ‘tidak pada tempatnya’, atau
‘berbeda’. Arthur Coca pada tahun 1923 yang pertama kali menggunakan istilah atopy dalam
tulisannya pada klasifikasi reaksi hipersensitivitas yang ditulis bersama dengan Robert
Cooke.13
DA merupakan salah satu dari penyakit atopi, sedangkan yang lainnya yaitu asma,
rhinitis alergi dan konjungtivitis alergi. Penyakit atopi ini merupakan penyakit kronik yang
paling sering terjadi pada anak-anak. Perbedaan antara atopi dan penyakit atopi merupakan
hal yang penting. Anak dengan atopi memproduksi antibodi IgE spesifik setelah paparan
dengan alergen-alergen dari lingkungan, dikenal dengan sensitisasi alergen. DA, asma dan
rhinokunjungtivitis merupakan sindroma klinis dimana masing-masing didefinisikan dari
kumpulan gejala dan tanda yang umum mengarah sebagai penyakit atopi. Sementara
umumnya anak-anak dengan kondisi tersebut mempunyai riwayat atopi, beberapa tidak, dan
sebaliknya beberapa anak dengan riwayat atopi bisa tidak mengalami manifestasi penyakit
atopi.2,14
Penyakit atopi dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain faktor genetik, faktor
lingkungan diantaranya paparan dengan alergen. Pada penyakit atopi terjadi disregulasi imun,
yang mengakibatkan inflamasi alergik.14,15
2.2
Dermatitis atopik
2.2.1
Definisi
DA adalah penyakit kulit kronik yang hilang timbul dengan rasa gatal, yang paling
sering terjadi selama masa bayi dan kanak-kanak. Umumnya dikaitkan dengan abnormalitas
fungsi barier kulit, sensitisasi alergen dan infeksi kulit berulang. DA umumnya timbul pada
tahun pertama kehidupan dan sering dikaitkan dengan riwayat keluarga yang mengalami
atopi.1,10 DA merupakan kondisi yang sulit untuk didefinisikan dikarenakan kurangnya alat
diagnostik dan gambaran klinis yang bervariasi. Definisi yang diikuti yaitu berdasarkan
konsensus dari berbagai kelompok. Ruam pada DA yaitu papul yang pruritik yang
berkembang menjadi ekskoriasi dan likenifikasi, dengan distribusi khas pada daerah
fleksural.2,16
2.2.2
Epidemiologi
Perkembangan kajian epidemiologi DA sangat lambat, hal ini dikarenakan morfologi
lesi, predileksi dan onset DA yang bervariasi. DA sulit didefinisikan maka prevalensi DA
dilaporkan berdasarkan kriteria berbagai konsensus. Perbedaan ini menyebabkan studi
banding antar negara menjadi tidak mudah, variasi dapat ditemukan berkisar 0,7% sampai
20%.17
Sejak tahun 1960an telah terjadi peningkatan tiga kali lipat prevalensi DA. DA
merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia, dengan prevalensi yang bervariasi.
Data terakhir dari International Study of Asthma and Allergic in Childhood (ISAAC), dari
penelitian fase ketiga menunjukkan bahwa DA merupakan penyakit yang tinggi
prevalensinya baik pada negara berkembang maupun negara maju.2
Prevalensi DA pada anak di Amerika, Eropa Utara dan Barat sekitar 10 sampai 20%.
Insidensi kumulatif DA pada anak di Denmark meningkat 4-6 kali lipat sejak tahun 1960an,
menjadi 15-18% prevalensinya pada tahun 1990an dan terlihat masih terus meningkat. Di
Australia didapatkan prevalensi DA pada anak usia 2 tahun berkisar 28,7%.2,17
Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Prevalensi DA pada anak
usia 7 sampai 16 tahun di Singapur berkisar 20,8%. Prevalensi DA di Korea yang dilakukan
tiap 5 tahun sejak tahun 1995 menunjukkan prevalensi kumulatif DA pada anak-anak usia
sekolah dasar mengalami peningkatan dari 19,7% pada tahun 1995 sampai 35,6% pada tahun
2010. 4,8
Begitu pula di Indonesia, DA meningkat pesat pada dekade terakhir. Pada tahun 2013
dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu RS dr Hasan Sadikin
Bandung, RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS H. Adam Malik Medan, RS Kandou
Manado, RSU Palembang, RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%).3
DA umumnya terjadi pada anak-anak. Jenis kelamin kemungkinan tidak berperan
sebagai predisposisi penyakit ini, namun beberapa penelitian menunjukkan anak laki-laki
lebih banyak menderita DA. DA pada anak-anak di daerah urban lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang tinggal di daerah pertanian. Kota-kota dari bagian negara berkembang
yang mengalami perubahan demografi yang cepat juga mengalami peningkatan prevalensi
DA. Faktor lingkungan manakah yang paling penting terhadap berbagai populasi, masih
belum jelas. Namun, hasil-hasil penelitian tersebut akan mengarahkan strategi pencegahan
penyakit.17
2.2.3
Etiologi dan Patogenesis
Secara umum, etiologi DA dianggap multifaktorial, termasuk diantaranya interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan. DA merupakan penyakit kulit inflamasi yang
diakibatkan oleh interaksi antara gen yang mengalami kerentanan genetik dalam pertahanan
barier kulit, defek pada sistem imun bawaan, dan peningkatan respon imunologi terhadap
alergen dan antigen mikroba.2,4,18
Dari studi genetik pada keluarga dengan atopi, telah diidentifikasi kromosom 11q dan
5q yang mempengaruhi produksi IgE. Kromosom 5q23-35 terdiri dari beberapa gen yang
berperan dalam patogenesis alergi, termasuk gen yang mengkode sitokin Th2, IL-3, IL-4, IL5, IL-9, IL-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kromosom
11q13c yang mengkode β subunit high affinity IgE receptor (FcεR1-β). Mutasi FLG yang
mengkode protein barier epidermal, fillagrin, telah menunjukkan predisposisi utama dalam
DA.2,19
Meskipun komponen genetik sangat penting dalam penyakit atopi, tapi faktor-faktor
lingkungan dikatakan berperan dalam peningkatan penyakit atopi. Faktor-faktor lingkungan
meliputi keadaan anak dalam tahun pertama kehidupan seperti riwayat mendapatkan air susu
ibu, paparan asap rokok, jumlah anggota keluarga, juga paparan alergen dimana lingkungan
merupakan sumber berbagai alergen.2,4
Dikenal beberapa konsep yang menjelaskan patogenesis DA, diantaranya konsep
‘inside-out’ dari patogenesis berfokus pada abnormalitas imun sebagai yang utama, sementara
teori ‘outside-in’ mempertimbangkan disfungsi barier epidermal (bentuk imunitas bawaan)
sebagai peran yang utama. Beberapa abnormalitas imunologi telah dicatat pada individuindividu dengan DA. Pada fase akut DA, sel-sel langerhans epidermal diaktifasi oleh ikatan
alergen, seperti makanan, aeroalergen, dan superantigen mikrobial, aktifasi limfosit T dari T
helper 2 (Th2), mengakibatkan peningkatan ekspresi dari interleukin 4, 5 dan 13 yang
meningkatkan eosinofil dan produksi Ig E. Pada DA kronis, fenotip sitokin Th1 tampak
sebagai interferon yang dominan. Pergantian dari fase fenotip akut dari sitokin sel Th2
menjadi sitokin sel Th0/1 dari lesi kronis melibatkan infiltrasi sel dendrit epidermal inflamasi
(IDEC) ke epidermis dan produksi IL-12 dan IL-18.2,20,21
Disfungsi imunitas bawaan juga memegang peran penting dalam DA. Epidermis yang
intak dibutuhkan kulit dengan fungsinya sebagai barier terhadap kehilangan air dan
masuknya agen asing seperti mikroba dan alergen. Anak dengan DA cenderung mengalami
penurunan kandungan seramid, lipid ekstraselular yang penting untuk fungsi barier normal.
Disfungsi barier mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss dan kulit yang
kering, yang merupakan tanda DA. Disfungsi barier epidermal juga memudahkan penetrasi
alergen dengan berat molekul yang berat, seperti antigen tungau debu rumah, dan mikroba. 2
Berikut ini adalah gambar disfungsi barier epidermal pada penderita DA.
Gambar 2.1 Disfungsi imunitas bawaan pada penderita DA.
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 24.
Pada prinsipnya ketidaknormalan imunologik pada DA yaitu disregulasi sel T,
peningkatan kadar IgE, dan penurunan jumlah IFN-γ. Sel T memperlihatkan peran utama
dalam proses terjadinya DA. Peningkatan kadar IgE memudahkan terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I dan gangguan regulasi sitokin. Bagaimanapun, DA diklasifikasikan
sebagai ekstrinsik dan instrinsik. DA instrinsik tidak terdapat peningkatan kadar IgE (
DERMATITIS ATOPIK
1. Nama
: Nadiya Munir
2. Rumah Sakit
: H. Adam Malik Medan
3. Alamat
: Jl. Jeumpa D46, sektor timur darussalam,
4. Kota
: Banda Aceh
5. Nomor Kontak
: 085261053484
6. Email
: [email protected]
i
Gambaran Alergen pada Anak dengan Dermatitis Atopik
Nadiya Munir, Salia Lakswinar, Irma D. Roesyanto.
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstrak
Latar Belakang : Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang berlangsung kronik
berulang, disertai rasa gatal dan timbul pada predileksi tertentu. Umumnya dikaitkan dengan
abnormalitas fungsi barier kulit, sensitisasi alergen, riwayat keluarga yang memiliki atopi dan
infeksi kulit yang berulang. Gambaran hasil uji tusuk kulit pada anak dengan DA dapat
memberi gambaran sensitisasi alergen yang penting sebagai langkah pencegahan yang dapat
diterapkan.
Tujuan : Untuk mengetahui gambaran alergen pada anak dengan dermatitis atopik.
Subyek dan metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan
cross-sectional. Empat puluh tiga orang anak dengan riwayat dermatitis atopik diikutsertakan
dalam penelitian ini. Terhadap subjek penelitian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
dermatologis dan kemudian dilakukan uji tusuk kulit dengan alergen dari Alyostal produksi
Hollister Stier (France). Hasil ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi.
Hasil : Alergen yang menunjukkan reaksi positif paling banyak secara berurutan adalah
alergen hirup yaitu tungau debu rumah sebanyak 28 orang (65,1%), kecoa sebanyak 27 orang
(62,8%), nyamuk sebanyak 21 orang (48,8%), diikuti alergen makanan yaitu udang sebanyak
17 orang (39,5%), kacang tanah sebanyak 16 orang (37,2%), ayam sebanyak 15 orang
(34,9%), terigu sebanyak 11 orang (25,6%), putih telur sebanyak 9 orang (20,9%).
Kesimpulan : Alergen terbanyak dengan reaksi positif pada penelitian ini adalah tungau debu
rumah.
Kata kunci : dermatitis atopik, anak, alergen, uji tusuk kulit.
Allergen Profile of Atopic Dermatitis Children
Nadiya Munir, Salia Lakswinar, Irma D. Roesyanto.
ii
Department of Dermatology and Venereology
Medical Faculty of Sumatera Utara University
RSUP Haji Adam Malik Medan – Indonesia
Abstract
Background : Atopic dermatitis is a chronically relapsing skin disease that occurs most
commonly during early infancy and childhood. It is frequently associated with abnormalities
in skin barrier function, allergen sensitization, and recurrent skin infections. The result of skin
prick test in atopic dermatitis children could reveal allergen sensitization that important for
avoidance strategy.
Objective : To reveal allergens profile of atopic dermatitis children.
Methods : This was a cross-sectional analyses study involving 43 subjects with history of
atopic dermatitis. History taking by anamneses and dermatological examination were
conducted to all subjects. They were all skin prick tested with allergens from Alyostal,
Hollister Stier (France). Results were presented descriptively.
Results : The skin prick test results presented positive reaction from the most were house
dust mite in 28 subjects (65,1%), cockroach in 27 subjects (62,8%), mosquito in 21 subjects
(48,8%), shrimp in 17 subjects (39,5%), peanut in 16 subjects (37,2%), chicken in 15 subjects
(34,9%), wheat in 11 subjects (25,6%), white egg in 9 subjects (20,9%).
Conclusion : The most allergens with positive reaction were house dust mite.
Key words : atopic dermatitis, children, allergen, skin prick test.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
World Allergy Organization (WAO) mendefinisikan atopi sebagai kecenderungan
masing-masing individu maupun secara familial (genetik) untuk menghasilkan antibodi
Imunoglobulin E (IgE) dalam merespon alergen dalam dosis rendah dan berkembang menjadi
suatu kondisi yang khusus, seperti asma, rhinitis maupun dermatitis atopik. Definisi ini
menjelaskan imunoreaktifitas tapi tidak termasuk keberadaan gejala klinis. Atopi merupakan
faktor risiko yang paling penting untuk perkembangan penyakit alergi, walaupun pasien atopi
dapat menunjukkan hasil respon yang positif terhadap alergen tanpa adanya gejala yang
berkembang.1
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit inflamasi kulit yang berlangsung kronik
berulang, disertai rasa gatal dan timbul pada predileksi tertentu. Umumnya dikaitkan dengan
abnormalitas fungsi barier kulit, sensitisasi alergen, riwayat keluarga yang memiliki atopi dan
infeksi kulit yang berulang. DA paling sering timbul pada tahun pertama kehidupan dan masa
kanak-kanak, sekitar 90% kasus timbul pada 5 tahun pertama kehidupan.2-5
Sejak tahun 1960an telah terjadi peningkatan prevalensi DA sebesar tiga kali lipat.
DA merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, dengan prevalensi yang bervariasi. DA
mengenai sekitar 10-20% anak di Amerika, Eropa Utara dan Barat, Afrika, Jepang, Australia
dan negara-negara industri lainnya. Menariknya, prevalensi DA pada anak jauh lebih rendah
pada negara-negara agraris seperti Cina, Eropa Timur, Afrika bagian rural, dan pusat Asia.
Namun, data terakhir dari International Study of Asthma and Allergic in Childhood (ISAAC),
dari penelitian fase ketiga mengkonfirmasikan bahwa DA merupakan penyakit yang tinggi
prevalensinya baik pada negara berkembang maupun negara maju.2
Begitu pula di Indonesia, DA meningkat pesat pada dekade terakhir. Pada tahun 2013
dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu RS dr Hasan Sadikin
Bandung, RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS H. Adam Malik Medan, RS Kandou
Manado, RSU Palembang, RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%).3
Lebih dari satu dekade yang lalu, didapat frekuensi penyakit atopi dengan sensitisasi
alergen meningkat secara paralel, yang menunjukkan bahwa peningkatan tersebut saling
berkaitan. Di negara industri, diperkirakan 30-50% dari populasi pediatri menunjukkan
adanya sensitisasi alergen.1
Hubungan antara DA dengan atopi (sensitisasi alergen) telah diperdebatkan sejak
sekian lama. Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya
seperti asma bronkial, rhinitis alergi, atau DA. Pada sebagian besar anak dengan DA (sekitar
80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. DA sering sebagai
manifestasi pertama dalam atopic march, 80% pasien dengan DA bila tidak ditangani secara
tepat akan berkembang menjadi asma atau rhinitis alergi. Semua uraian ini memberikan
dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.6-8
Identifikasi alergen secara individual merupakan strategi yang tepat untuk mengontrol
DA dan menghindari terjadinya atopic march.9,10 Investigasi alergen dapat dilakukan dengan
menggunakan ekstrak makanan dan hirupan secara in vitro yang dikenal dengan uji IgE
spesifik dan secara in vivo yaitu uji tusuk kulit (UTK). Kedua metode tersebut mampu
menunjukkan adanya hipersensitifitas tipe I. Diantara berbagai tes dalam klinis yang
bertujuan untuk mendeteksi sensitivitas yang dimediasi oleh IgE, UTK merupakan uji yang
dapat dilakukan sebagai langkah awal dikarenakan mudah, tidak terlalu mahal dibandingkan
dengan pemeriksaan serum antibodi spesifik IgE, hasilnya cepat, juga lebih sensitif.1,11
Salah satu penelitian tentang UTK di Indonesia yaitu penelitian dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
pada tahun 2011. Pada penelitian tersebut didapatkan dari 35 anak yang menderita DA, 29
anak menunjukkan hasil UTK yang positif, terdiri atas 8 subyek positif terhadap alergen
makanan saja, 3 subyek positif terhadap alergen hirupan saja, dan 18 subyek positif terhadap
keduanya. Alergen hirupan yang tersering yaitu bulu anjing, aspergillus, rumput, sedangkan
alergen makanan yang tersering yaitu maizena, putih telur, ikan tuna, daging ayam, dan
tepung terigu.12
Gambaran hasil UTK pada anak dengan DA, dapat memberikan gambaran sensitisasi
alergen yang penting sebagai petunjuk untuk tindakan eliminasi DA pada anak dan
mengurangi ekspresi klinis dari penyakit alergi lainnya. Pemahaman tentang gambaran
sensitisasi alergen pada pasien dari berbagai wilayah, penting untuk langkah pencegahan
yang dapat diterapkan.1,12
Hal ini mendorong penulis untuk meneliti gambaran alergen pada anak dengan dermatitis
atopik di beberapa sekolah di Medan.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana gambaran alergen pada anak dengan dermatitis atopik ?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran alergen pada anak dengan dermatitis atopik
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui alergen yang paling banyak positif pada anak penderita
dermatitis atopik.
b. Untuk mengetahui karakteristik alergen yang positif pada anak dengan
dermatitis atopik berdasarkan distribusi kelompok usia.
c. Untuk mengetahui karakteristik alergen yang positif pada anak dengan
dermatitis atopik berdasarkan jenis kelamin.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat dalam bidang akademik
Membuka wawasan mengenai gambaran alergen pada anak dengan dermatitis
atopik.
1.4.2 Manfaat dalam pelayanan masyarakat
Menjadi landasan pendekatan dalam meningkatkan tindakan pencegahan terjadinya
atopic march.
1.4.3 Manfaat bagi pengembangan penelitian
Menjadi landasan teori bagi penelitian – penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Atopi dan dermatitis atopik
Atopi berasal dari bahasa Yunani ‘atopos’ yang berarti ‘tidak pada tempatnya’, atau
‘berbeda’. Arthur Coca pada tahun 1923 yang pertama kali menggunakan istilah atopy dalam
tulisannya pada klasifikasi reaksi hipersensitivitas yang ditulis bersama dengan Robert
Cooke.13
DA merupakan salah satu dari penyakit atopi, sedangkan yang lainnya yaitu asma,
rhinitis alergi dan konjungtivitis alergi. Penyakit atopi ini merupakan penyakit kronik yang
paling sering terjadi pada anak-anak. Perbedaan antara atopi dan penyakit atopi merupakan
hal yang penting. Anak dengan atopi memproduksi antibodi IgE spesifik setelah paparan
dengan alergen-alergen dari lingkungan, dikenal dengan sensitisasi alergen. DA, asma dan
rhinokunjungtivitis merupakan sindroma klinis dimana masing-masing didefinisikan dari
kumpulan gejala dan tanda yang umum mengarah sebagai penyakit atopi. Sementara
umumnya anak-anak dengan kondisi tersebut mempunyai riwayat atopi, beberapa tidak, dan
sebaliknya beberapa anak dengan riwayat atopi bisa tidak mengalami manifestasi penyakit
atopi.2,14
Penyakit atopi dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain faktor genetik, faktor
lingkungan diantaranya paparan dengan alergen. Pada penyakit atopi terjadi disregulasi imun,
yang mengakibatkan inflamasi alergik.14,15
2.2
Dermatitis atopik
2.2.1
Definisi
DA adalah penyakit kulit kronik yang hilang timbul dengan rasa gatal, yang paling
sering terjadi selama masa bayi dan kanak-kanak. Umumnya dikaitkan dengan abnormalitas
fungsi barier kulit, sensitisasi alergen dan infeksi kulit berulang. DA umumnya timbul pada
tahun pertama kehidupan dan sering dikaitkan dengan riwayat keluarga yang mengalami
atopi.1,10 DA merupakan kondisi yang sulit untuk didefinisikan dikarenakan kurangnya alat
diagnostik dan gambaran klinis yang bervariasi. Definisi yang diikuti yaitu berdasarkan
konsensus dari berbagai kelompok. Ruam pada DA yaitu papul yang pruritik yang
berkembang menjadi ekskoriasi dan likenifikasi, dengan distribusi khas pada daerah
fleksural.2,16
2.2.2
Epidemiologi
Perkembangan kajian epidemiologi DA sangat lambat, hal ini dikarenakan morfologi
lesi, predileksi dan onset DA yang bervariasi. DA sulit didefinisikan maka prevalensi DA
dilaporkan berdasarkan kriteria berbagai konsensus. Perbedaan ini menyebabkan studi
banding antar negara menjadi tidak mudah, variasi dapat ditemukan berkisar 0,7% sampai
20%.17
Sejak tahun 1960an telah terjadi peningkatan tiga kali lipat prevalensi DA. DA
merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia, dengan prevalensi yang bervariasi.
Data terakhir dari International Study of Asthma and Allergic in Childhood (ISAAC), dari
penelitian fase ketiga menunjukkan bahwa DA merupakan penyakit yang tinggi
prevalensinya baik pada negara berkembang maupun negara maju.2
Prevalensi DA pada anak di Amerika, Eropa Utara dan Barat sekitar 10 sampai 20%.
Insidensi kumulatif DA pada anak di Denmark meningkat 4-6 kali lipat sejak tahun 1960an,
menjadi 15-18% prevalensinya pada tahun 1990an dan terlihat masih terus meningkat. Di
Australia didapatkan prevalensi DA pada anak usia 2 tahun berkisar 28,7%.2,17
Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Prevalensi DA pada anak
usia 7 sampai 16 tahun di Singapur berkisar 20,8%. Prevalensi DA di Korea yang dilakukan
tiap 5 tahun sejak tahun 1995 menunjukkan prevalensi kumulatif DA pada anak-anak usia
sekolah dasar mengalami peningkatan dari 19,7% pada tahun 1995 sampai 35,6% pada tahun
2010. 4,8
Begitu pula di Indonesia, DA meningkat pesat pada dekade terakhir. Pada tahun 2013
dari laporan 5 rumah sakit yang melayani dermatologi anak yaitu RS dr Hasan Sadikin
Bandung, RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta, RS H. Adam Malik Medan, RS Kandou
Manado, RSU Palembang, RSUD Sjaiful Anwar Malang tercatat sejumlah 261 kasus diantara
2356 pasien baru (11,8%).3
DA umumnya terjadi pada anak-anak. Jenis kelamin kemungkinan tidak berperan
sebagai predisposisi penyakit ini, namun beberapa penelitian menunjukkan anak laki-laki
lebih banyak menderita DA. DA pada anak-anak di daerah urban lebih tinggi dibandingkan
dengan anak yang tinggal di daerah pertanian. Kota-kota dari bagian negara berkembang
yang mengalami perubahan demografi yang cepat juga mengalami peningkatan prevalensi
DA. Faktor lingkungan manakah yang paling penting terhadap berbagai populasi, masih
belum jelas. Namun, hasil-hasil penelitian tersebut akan mengarahkan strategi pencegahan
penyakit.17
2.2.3
Etiologi dan Patogenesis
Secara umum, etiologi DA dianggap multifaktorial, termasuk diantaranya interaksi
antara faktor genetik dan lingkungan. DA merupakan penyakit kulit inflamasi yang
diakibatkan oleh interaksi antara gen yang mengalami kerentanan genetik dalam pertahanan
barier kulit, defek pada sistem imun bawaan, dan peningkatan respon imunologi terhadap
alergen dan antigen mikroba.2,4,18
Dari studi genetik pada keluarga dengan atopi, telah diidentifikasi kromosom 11q dan
5q yang mempengaruhi produksi IgE. Kromosom 5q23-35 terdiri dari beberapa gen yang
berperan dalam patogenesis alergi, termasuk gen yang mengkode sitokin Th2, IL-3, IL-4, IL5, IL-9, IL-13 dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kromosom
11q13c yang mengkode β subunit high affinity IgE receptor (FcεR1-β). Mutasi FLG yang
mengkode protein barier epidermal, fillagrin, telah menunjukkan predisposisi utama dalam
DA.2,19
Meskipun komponen genetik sangat penting dalam penyakit atopi, tapi faktor-faktor
lingkungan dikatakan berperan dalam peningkatan penyakit atopi. Faktor-faktor lingkungan
meliputi keadaan anak dalam tahun pertama kehidupan seperti riwayat mendapatkan air susu
ibu, paparan asap rokok, jumlah anggota keluarga, juga paparan alergen dimana lingkungan
merupakan sumber berbagai alergen.2,4
Dikenal beberapa konsep yang menjelaskan patogenesis DA, diantaranya konsep
‘inside-out’ dari patogenesis berfokus pada abnormalitas imun sebagai yang utama, sementara
teori ‘outside-in’ mempertimbangkan disfungsi barier epidermal (bentuk imunitas bawaan)
sebagai peran yang utama. Beberapa abnormalitas imunologi telah dicatat pada individuindividu dengan DA. Pada fase akut DA, sel-sel langerhans epidermal diaktifasi oleh ikatan
alergen, seperti makanan, aeroalergen, dan superantigen mikrobial, aktifasi limfosit T dari T
helper 2 (Th2), mengakibatkan peningkatan ekspresi dari interleukin 4, 5 dan 13 yang
meningkatkan eosinofil dan produksi Ig E. Pada DA kronis, fenotip sitokin Th1 tampak
sebagai interferon yang dominan. Pergantian dari fase fenotip akut dari sitokin sel Th2
menjadi sitokin sel Th0/1 dari lesi kronis melibatkan infiltrasi sel dendrit epidermal inflamasi
(IDEC) ke epidermis dan produksi IL-12 dan IL-18.2,20,21
Disfungsi imunitas bawaan juga memegang peran penting dalam DA. Epidermis yang
intak dibutuhkan kulit dengan fungsinya sebagai barier terhadap kehilangan air dan
masuknya agen asing seperti mikroba dan alergen. Anak dengan DA cenderung mengalami
penurunan kandungan seramid, lipid ekstraselular yang penting untuk fungsi barier normal.
Disfungsi barier mengakibatkan peningkatan transepidermal water loss dan kulit yang
kering, yang merupakan tanda DA. Disfungsi barier epidermal juga memudahkan penetrasi
alergen dengan berat molekul yang berat, seperti antigen tungau debu rumah, dan mikroba. 2
Berikut ini adalah gambar disfungsi barier epidermal pada penderita DA.
Gambar 2.1 Disfungsi imunitas bawaan pada penderita DA.
Dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no 24.
Pada prinsipnya ketidaknormalan imunologik pada DA yaitu disregulasi sel T,
peningkatan kadar IgE, dan penurunan jumlah IFN-γ. Sel T memperlihatkan peran utama
dalam proses terjadinya DA. Peningkatan kadar IgE memudahkan terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I dan gangguan regulasi sitokin. Bagaimanapun, DA diklasifikasikan
sebagai ekstrinsik dan instrinsik. DA instrinsik tidak terdapat peningkatan kadar IgE (