PERILAKU KONSUMEN MUSLIM DALAM MEMAKSIMU (1)

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

PERILAKU KONSUMEN MUSLIM
DALAM MEMAKSIMUMKAN KEPUASAN
M. Nur Rianto Al Arif
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstract
Two concept of the consumers behavior theory that already been developed in
conventional economics is economic rationality and utilitarianism. Indifference curve
is a tool to analysis about utility maximize in consumer behavior theory, but this
maximize theory has a boundary that called by budget constraint. In Islamic
economics, the boundary of Moslem consumer to maximize utility is not enough only
by budget constraint but also added by shariah principle. This boundary called by
budget and shariah constraint. The position of budget and shariah constraint is below
of budget constraint in conventional economics.
Keyword: consumer behavior, indifference curve, budget and shariah constraints

1

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010


PERILAKU KONSUMEN MUSLIM
DALAM MEMAKSIMUMKAN KEPUASAN
Oleh: M. Nur Rianto Al Arif
A. Pendahuluan
Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai satu tujuan, yakni
menciptakan kesejahteraan menyeluruh, penuh ketegangan dan kesederhanaan,
namun tetap produktif dan inovatif bagi setiap individu muslim maupun non-Muslim.
Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga
menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya, sebagaimana
yang ditetapkan dalam hukum Allah (syari’ah). Konsumsi, pemenuhan (kebutuhan)
dan perolehan kenikmatan tidak dilarang dalam Islam selama tidak melibatkan hal-hal
yang tidak baik atau yang akan menimbulkan kemudharatan bagi pemakainya. Teori
perilaku konsumen yang dikembangkan di Barat setelah timbulnya kapitalisme
merupakan sumber dualitas, yakni “rasionalisme ekonomik” dan “utilitarianisme”.
Rasionalisme ekonomik menafsirkan perilaku manusia sebagai sesuatu yang dilandasi
dengan “perhitungan cermat, yang diarahkan dengan pandangan ke depan dan
persiapan terhadap keberhasilan ekonomi”. Keberhasilan ekonomi secara ketat
didefinisikan sebagai “membuat uang manusia”. Memperoleh harta, baik dalam
pengertian uang atau berbagai komoditas adalah tujuan hidup yang terakhir dan, pada

saat yang sama merupakan tongkat pengukur keberhasilan ekonomik.
Utilitarianisme adalah sumber nilai-nilai dan sikap-sikap moral. “kejujuran
berguna karena ia menjamin kepercayaan; demikian juga ketepatan waktu, ketekunan
bekerja, dan sikap hemat”. Dari sumber yang kedua inilah timbul teori perilaku
konsumen. Teori tersebut mempertimbangkan maksimisasi permanfaatan sebagai
tujuan konsumen yang dipostulasikan. Pemanfaatan yang dimaksimisasikan adalah
pemanfaatan “homo-economicus” yang tujuan tunggalnya adalah mendapatkan
kepuasan ekonomik pada tingkatan tertinggi dan dorongan satu-satunya adalah
“kesadaran akan uang”. Teori perilaku konsumen dalam sistem kapitalis sudah
melampaui dua tahap. Tahap pertama berkaitan dengan teori marginalis, yang
berdasarkan teori tersebut pemanfaatan konsumen secara tegas dapat diukur dalam
satuan-satuan

pokok.

Konsumen

mencapai

2


keseimbangannya

ketika

dia

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

memaksimalkan pemanfaatannya sesuai keterbatasan penghasilan, yakni, ketika rasiorasio pemanfaatan-pemanfaatan marginal dari berbagai komoditas sama dengan rasio
harga uangnya masing-masing. Tahap kedua yang lebih modern mengatur
kemungkinan diukurnya dan kardinalitas pemanfaatan itu. Namun, berbagai kondisi
yang sekarang menjadi kesamaan antara tarik marginal substitusinya, yakni garis
miring dari kurva tetap, dan rasio-rasio harga uang, yakni garis miring dari
keterbatasan penghasilan (budget constraint) itu. Dalam makalah ini akan membahas
mengenai perilaku seorang konsumen muslim dalam memaksimumkan tingkat
kepuasannya.

B. Etika Konsumsi dalam Islam
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana

yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di antara orangorang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu
untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga
banyak di antara anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu
masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
Konsumsi berlebih-lebihan dikutuk dalam Islam dan disebut dengan israf
(pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti
mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, menuju tujuan-tujuan yang
terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang
tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang
hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumerisme.
Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang
melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan
sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta
secara wajar dan berimbanng, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan
pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap israf
dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah
nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka
legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan


3

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya
terhadap orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzir. Dalam hukum (fiqih)
Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila
dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya
sendiri. Dalm pandangan syari’ah dia seharusnya diperlukan sebagai orang tidak
mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku
wakilnya.
Etika Islam dalam hal konsumsi sebagai berikut:
1.

Tauhid (Unity/ Kesatuan)
Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah
kepada Allah SWT, sehingga senantiasa berada dalm hukum-hukum Allah
(syariah). Karena itu, orang Mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan
mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barangbarang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia.
Sedangkan dalam pandangan kapitalistik, konsumsi merupakan fungsi dari

keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa memperdulikan
dimensi spritual,

kepentingan

orang lain dan tanggung jawab atas segala

perilakunya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (QS Adz-Dzaariyat: 56)
2.

Adil ( Equilibrium / Keadilan )
Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan
dunia yang disediakan Allah SWT
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah syaitan: karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 168)
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya


untuk

hamba-hamba-Nya

dan

(siapa

pulakah

yang

mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka
saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orangorang yang mengetahui” (QS Al-A’Raaf: 32)

4

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010


Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai
dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan material, ia juga
sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara tegas menekankan
norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat material maupun spiritual
untuk menjamin adanya kehidupan yang berimbang.
3.

Free Will ( Kehendak Bebas )
Alam semesta, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan)
sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-makhluk–Nya. Manusia diberi
kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya
sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah ini. Atas segala
karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak bebas, namun
kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yng
merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan
kehendak Allah.

4.


Amanah ( Responsibility / Pertanggungjawaban )
Manusia adalah khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi
kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil
keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal
melakukan konsumsi,

manusia dapat

berkehendak

bebas tetapi akan

mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan
alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak.
5.

Halal
Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah
barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan
serta akan menimbulkan kemaslahatan untuk umat baik secara material maupun

spiritual. Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai,
tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang
konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudharatan apabila
dikonsumsi akan dilarang.

5

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS
Al-Baqarah: 173)
“Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan
janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku
menimpamu.

Dan


barangsiapa

ditimpa

oleh

kemurkaan-Ku,

maka

sesungguhnya binasalah ia” (QS Thaahaa: 81)
6.

Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk
pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu membuang-buang
harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya
memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan
yang melampaui batas.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmua yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-A’raaf: 31)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS
Al-Maaidah: 87)
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya permborospemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat
ingkar kepada Tuhannya” (QS Al-Israa: 26 – 27)

6

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

C.

Perilaku Konsumen Non Muslim
Penjelasan mengenai perilaku konsumen yang paling sederhana dapat kita dapati

dalam hukum permintaan. Yang menyatakan bahwa “bila harga suatu barang naik
maka jumlah yang diminta oleh konsumen akan barang tersebut akan turun, begitu
pula sebaliknya. Dengan asumsi ceteris paribus (faktor-faktor lain dianggap
konstan)”.
Ada dua pendekatan (approach) untuk menerangkan mengapa konsumen
berperilaku seperti ini:
a. Pendekatan marginal utility, yang bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasaan
(utility) setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain (utility
yang bersifat “cardinal”), seperti kita mengukur berat badan.
b. Pendekatan indifference curve, yang tidak memerlukan adanya anggapan bahwa
kepuasan konsumen bisa dikur; anggapan yang diperlukan adalah bahwa tingkat
kepuasaan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa
mengatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (utility bersifat “ordinal”).
Bagaimanakah perilaku seorang individu non muslim dalam memaksimalkan
kepuasaannya atas suatu barang, hal tersebut dalam dilihat dari fungsi utilitas
berikut ini:
U = Φ (X1,….,Xn; Y1,…,Ym)……………………….(1)
Dimana,
U

=

kepuasan rumah tangga dalam mengkonsumsi output dan memiliki

persediaan
modal pada barang-barang konsumsi tahan lama
Xn = jumlah yang dikonsumsi pada periode n
Ym = persediaan barang modal fisik atas konsumsi barang tahan lama yang
dimiliki oleh rumah tangga.
Dari persamaan (1) diatas dapat kita lihat bahwa kepuasaan konsumen dalam
mengkonsumsi suatu output dan memiliki persediaan modal barang-barang konsumsi
tahan lama merupakan fungsi dari jumlah yang dikonsumsi pada suatu titik periode
dan jumlah persediaan barang modal fisik yang dimiliki oleh konsumen.
Konsumen akan memaksimalkan kepuasannya berdasarkan atas keterbatasan
anggaran:

7

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

n

m

j =1

j =1

∑ ( PjXj) + ∑ (riYi) = M .................................................(2)
Dimana M representasi pendapatan konsumen
Kondisi optimal dapat diberikan:
Kondisi ini menyarankan bahwa output yang dikonsumsi dan memegang stok
modal harus dibawa kepada suatu titik dimana rasio kepuasan marjinal dan harga
adalah sama atas semua output dan stok modal.

∂U
∂U
∂U
∂U
/ P1 = .... =
/ Pn =
/ r1 = .... =
/ rm .....................(3)
∂ym
∂y1
∂xn
∂x1

D.

Perilaku Konsumen Muslim
Analisis konvensional terhadap perilaku konsumen harus dimodifikasi dalam

kaitannya sebagai seorang konsumen muslim. Ada lima alasan atas modifikasi ini:
1) Fungsi objektif konsumen muslim berbeda dari konsumen yang lain.
Konsumen muslim tidak mencapai kepuasan hanya dari mengkonsumsi output
dan memegang barang modal saja. Perilaku ekonominya berputar pada
pencapaian atas ridha Allah. Untuk seorang muslim sejati harus percaya
kepada Al Quran, sehingga kepuasan konsumen muslim tidak hanya fungsi
satu-satunya atas barang konsumsi dan komoditi, tetapi juga fungsi dari ridha
Allah.
Dengan memodifikasi fungsi kepuasan, sehingga didapat untuk konsumen
muslim:
U = f (X1,…,Xn; Y1,…,Ym; G)………………………(4)
Dimana G = pengeluaran untuk amal atau untuk di jalan Allah
2) Vektor komoditas dari konsumen muslim adalah berbeda daripada konsumen
non muslim, meskipun semua elemen dari barang dan jasa tersedia. Karena
Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi beberapa komoditas. Jadi jika
konsumen non muslim bisa mengalokasikan anggarannya pada barang X1,
X2,…Xn; seorang muslim hanya bisa mengalokasikan anggarannya pada X1,
X2,…,Xk. Dimana k < n. (n-k) menggambarkan atas barang dan jasa yang
dilarang sehingga harus diperkenalkan modifikasi yang lain dari fungsi
kepuasan konvensional yang sesuai dengan syariah Islam.

8

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

Modifikasi baru itu adalah :
U = f (X1,…,Xk; Y1,…,Ym; G)……………………….( 5)
3) Karena seorang muslim dilarang untuk membayar atau menerima bunga dari
pinjaman dalam bentuk apapun. Premi rutin yang dibayar oleh konsumen
muslim atas memegang barang tahan lama i tidak mencakup elemen suku
bunga. Suku bunga dalam ekonomi Islam digantikan oleh biaya dalam
kaitannya dengan profit sharing. Bagaimanapun tidak seperti bunga, biaya ini
tidak ditentukan sebelumnya pada tingkat yang tetap atas sebuah resiko. Jadi
keterbatasan anggaran dari konsumen muslim adalah:
k

m

j =1

j =1

G + ∑ ( Pjxj ) + ∑ liyi = M , G > 0.................................(6)
4) Bagi seorang konsumen muslim, anggaran yang dapat digunakan untuk
optimisasi konsumsi adalah pendapatan bersih setelah pembayaran zakat. Jika
diasumsikan tingkat zakat setara dengan α, dan batasan anggaran konsumen
muslim menjadi:
k

m

j =1

i =1

G + ∑ ( Pjxj ) + ∑ liyi = (1 − α ) M .............................(7)
5) konsumen muslim harus menahan diri dari konsumsi yang berlebihan, yang
berarti konsumen muslim tidak harus menghabiskan seluruh pendapatan
bersihnya untuk konsumsi barang dan jasa.

E.

Analisis Grafis
Bila sebelumnya telah dijelaskan mengenai perilaku konsumen muslim secara

matematis, maka kemudian akan dijelaskan bagaimanakah perilaku seorang
konsumen muslim bila digambarkan secara grafis. Namun sebelumnya akan
dijelaskan beberapa hal mendasar yang dapat dijadikan acuan dalam analisis grafis
ini.
a.

Kurva Indiferensi
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva

indiferensi (indiference curve). Biasanya yang digambarkan adalah tingkat kepuasan
antara dua barang (atau jasa) yang sifatnya sama-sama disukai oleh konsumen.

9

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

Gambar 1
Kurva Indiferensi
Barang Y

U3
U2
0

U1

Barang X

Kurva indiferensi digambarkan dengan bentuk yang cembung terhadap titik
origin (0). Dalam kurva indiferensi semakin tinggi tingkat kepuasan seseorang maka
semakin tinggi pula kurva indiferensinya. Secara grafis tingkat kepuasanya yang lebih
tinggi digambarkan dengan tingkat kepuasan yang letaknya di sebelah kanan atas.
Semua kombinasi titik pada kurva indiferensi yang sama memiliki tingkat kepuasan
yang sama.
Selain itu kurva indiferensi sifatnya tidak boleh berpotongan antar kurva
indiferensi yang satu dengan kurva indiferensi yang lain. Jika kurva tersebut
berpotongan maka terjadi pelanggaran terhadap aksioma kepuasan yaitu tidak adanya
konsistensi. Secara grafis kurva indiferensi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
b.

Garis Anggaran (Budget Line)
Keinginan untuk memaksimalkan tingkat kepuasan memiliki batasan yaitu

berapa besaran dana yang tersedia untuk membeli kedua jenis barang tersebut. Dalam
ilmu ekonomi hal ini disebut dengan garis anggaran (budget line). Secara grafis hal ini
bisa digambarkan pada gambar 2.
Lalu bagaimanakah tingkat kepuasan seorang konsumen tersebut dapat tercapai
dengan garis anggaran tertentu yang dimiliki. Tingkat kepuasan optimum yang dapat
dicapai oleh seorang konsumen adalah ketika kurva indiferensi bersinggungan dengan
garis anggaran. Titik persinggungan ini dikatakan sebagai tingkat kepuasan yang
optimum karena merupakan pertemuan antara tingkat kepuasan yang ingin dicapai
oleh konsumen dengan tingkat pendapatan yang dimilikinya untuk mengkonsumsi
kedua barang tersebut. Secara grafis dapat digambarkan

10

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

Gambar 2
Garis Anggaran
Barang Y

BL

0

Barang X

Berdasarkan gambar 3 tingkat kepuasan yang konsumen paling optimum adalah
pada titik Q* yaitu pada kurva indiferensi U2. Karena pada titik inilah terjadi
persinggungan antara kurva indiferensi dengan garis anggaran. Pada kurva U1, tingkat
kepuasan konsumen belum optimum karena adanya pendapatan yang tidak
dipergunakan untuk konsumsi, sehingga tingkat kepuasan konsumen yang optimal
belum tercapai. Sementara pada kurva U3, meskipun kurva indiferensi lebih besar
dibandingkan pada kurva U2, namun kurva U3 tidak dapat dicapai karena garis
anggaran yang dimiliki tidak mencukupi untuk melakukan konsumsi pada kurva U3.
Gambar 3
Tingkat kepuasan optimum konsumen
Barang Y

Qy

U3

Q*
U2
U1

Barang X

0
Qx

BL

11

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

c.

Garis Anggaran dan Syariah (Budget and Syariah Line)
Kemudian bagaimanakah perilaku konsumen muslim bila digambarkan secara

grafis dengan menggunakan alat analisis kurva indiferensi. Ada lima hal yang menjadi
perilaku seorang konsumen muslim seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, oleh
karenanya dalam analisis grafis terhadap perilaku konsumen muslim perlu dilakukan
suatu modifikasi dimana batasan yang membatasi konsumsi seorang konsumen
muslim bukanlah hanya garis anggaran semata namun juga adanya batasan syariah.
Sehinggga batasan seorang konsumen muslim secara grafis dibatasi oleh garis
anggaran dan syariah (budget and syariah line (BSL) ).
Pada garis anggaran dan syariah ini secara posisi, letaknya berada lebih rendah
dibandingkan pada garis anggaran. Karena adanya batasan dalam syariat Islam,
seperti larangan untuk mengkonsumsi barang yang haram, larangan riba, larangan
untuk konsumsi yang berlebihan dan kewajiban berzakat. Secara grafis hal ini dapat
digambarkan sebagai berikut
Barang Y

0

Gambar 4
Garis anggaran dan syariah

BSL

BL

Barang X

Selanjutnya dititik manakah tingkat kepuasan konsumen muslim yang optimum
dapat tercapai? Tingkat kepuasan konsumen muslim optimum dapat tercapai pada
persinggungan antara kurva indiferensi dengan garis anggaran dan syariah.
Berdasarkan gambar 5 di atas tingkat kepuasan yang konsumen muslim paling
optimum adalah pada titik Q* yaitu pada kurva indiferensi U2. Karena pada titik inilah
terjadi persinggungan antara kurva indiferensi dengan garis anggaran dan syariah.
Pada kurva U1, tingkat kepuasan konsumen belum optimum karena adanya
pendapatan yang tidak dipergunakan untuk konsumsi, sehingga tingkat kepuasan

12

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

konsumen yang optimal belum tercapai. Sementara pada kurva U3, meskipun kurva
indiferensi lebih besar dibandingkan pada kurva U2 dan terjadi persinggungan dengan
garis anggaran, namun tingkat kepuasan konsumen muslim tidak optimum karena
adanya batasan syariah yang belum dipenuhi, seperti belum dikeluarkannya zakat dari
pendapatan yang diterima atau adanya barang-barang yang tidak boleh dikonsumsi,
hal ini menyebabkan kurva U3 tidak optimum bagi seorang konsumen muslim.
Gambar 5
Titik optimum tingkat kepuasan konsumen muslim
Barang Y

Q*
Qy
U3
U2
U1

0

F.

Qx

BSL

BL

Barang X

Kesimpulan
Teori perilaku konsumen yang dikembangkan di Barat merupakan sumber

dualitas, yakni “rasionalisme ekonomik” dan “utilitarianisme”. Perilaku konsumen
dalam memaksimumkan kepuasannya menggunakan bantuan analisis grafis, dengan
menggunakan kurva indiferensi. Kurva indiferensi ialah suatu kurva yang
menjelaskan tingkat kepuasan konsumen atas mengkonsumsi dua jenis produk barang,
dimana semakin puas seseorang maka semakin tinggi pula kurva indiferensinya.
Namun kepuasan seseorang memiliki batasan, yaitu dalam ekonomi konvensional
batasannya adalah pendapatan yang dimilikinya, dalam ilmu ekonomi batasan
pendapatan ini dikenal sebagai garis anggaran (budget constraint).

13

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

Kemudian

bagaimanakah

dengan

perilaku

konsumen

muslim

dalam

memaksimumkan kepuasannya. Dengan menggunakan bantuan kurva indiferensi,
kepuasan konsumen ini pun dapat dijelaskan. Sementara batasan yang dimiliki oleh
seorang konsumen muslim tidaklah cukup hanya dengan garis anggaran semata,
melainkan disertai dengan batasan syariat. Batasan syariat dimaksud adalah larangan
mengkonsumsi barang-barang yang haram, larangan memperoleh pendapatan dari
kegiatan yang tidak halal, larangan menerima riba, dan kewajiban mengeluarkan zakat
dari penghasilannya. Batasan anggaran dan syariat ini dirumuskan menjadi garis
anggaran dan syariat (budget and syariah constraint (BSC)). Posisi garis anggaran
dan syariah bila digambarkan secara grafis lebih rendah bila dibandingkan dengan
garis anggaran.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ausaf dan Kazim R.A (ed). 1992. Lectures on Islamic Economics. IRTIIDB: Jeddah
Ahmad, Syauqi. 1994. Sistem Ekonomi Islam: Sebuah Alternatif. Fikahati Aneska:
Jakarta
An Nabahan, M. Faruq. 2000. Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan
Kapitalis dan Sosialis. UII-Press: Yogyakarta
Khaf, Monzer. 1995. Ekonomi Islam: Suatu Telaah Analitik. Pustaka Pelajar:
Jakarta.
Karim, Adiwarman A. 2002. Ekonomi Mikro Islami. IIIT-Indonesia: Jakarta
Mannan, M. Abdul. 1992. Ekonomi Islam: Teori dan Praktik. Intermasa: Bandung
Metwally, M.M. 1993. Essays on Islamic Economics. Academic Publishers: Calcutta
Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. BPFE Yogyakarta:
Yogyakarta
P3EI UII. 2008. Ekonomi Islam. Rajawali Press: Jakarta
Pindyck, Robert S dan Daniel L Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Prentice Hall:
New York
Tahir, Sayid (ed). 1992. Reading in Microeconomics: an Islamic

14

Perspective.

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

Longman Press: Malaysia

15

Jurnal Sosio-Religia LinkSas Yogyakart, Vo. 9, No. 2 tahun 2010

BIOGRAFI PENULIS
Data Pribadi
Nama
Tempat, tanggal lahir
Agama
Alamat
No. Telpon
No. Fax
No. HP
E-mail

: Mohammad Nur Rianto Al Arif
: Pekanbaru, 13 Oktober 1981
: Islam
: Jl. Ori Raya B2/19, Rt 002/011
Pondok Bambu, Jakarta Timur
: 8616696
: 8631207
: 0818118746 / 68920192
: hakam_alarif@yahoo.com / agif08@gmail.com

Pendidikan
1. Tamat S-2 Keuangan Syariah Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2006
2. Tamat S-1 Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Diponegoro,
Semarang, Tahun 2004
3. Tamat SMUN 61 Jakarta tahun 1999
4. Tamat SMPN 51 Jakarta tahun 1996
5. Tamat Madrasah Diniyah Asy-Syaakiriin tahun 1994
6. Tamat SDN 01 Pondok Bambu, Jakarta Timur tahun 1993
Pekerjaan
1. Dosen Tidak Tetap di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STEIRawamangun), Jakarta tahun 2004 – 2005
2. Staf Akuntansi dan Keuangan PT Promedika Anugerah Mandiri tahun 2004 –
2006
3. Dosen Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2008 – sekarang
4. Dosen Tidak Tetap STIE Muhammadiyah Jakarta, tahun 2008-sekarang
Organisasi
1. Ketua Rohis SMUN 61 Jakarta periode 1997 – 1998
2. Pengurus Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) Rohis FE Undip tahun 2000
– 2004
3. Anggota Tim Ad-Hoc penyusunan Silabus KNEI FoSSei tahun 2001- 2002
4. Ketua Tim Silabus KSEI FE Undip periode 2001-2002
5. Bendahara Lazis PDM Jakarta Timur periode 2000-2005
6. Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah Pondok Bambu periode 2005 - 2010
7. Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Pondok Bambu periode
2005 – 2010
8. Sekretaris Rukun Tetangga (RT) 002/011, Pondok Bambu, Jakarta Timur
periode 2008 - 2011

16