CERITA 54 GURU SM 3T LIMA DI JAYAWIJAYA.

Menjemput Impian di Tanah Papua
Aktiva Rias Pamuji, S.Pd
Papua,,,
Tanah idaman seribu impian...
Aku menyebut Papua sebagai “Tanah Impian” dan sampainya aku di
Papua aku sebut sebagai “Menjemput Impian”.
Bermula dari suguhan salah satu program Televisi Nasional yang mengangkat
pengabdian manusia-manusia luar biasa di Tanah Papua dan pada akhirnya
mampu menggugah hati seorang anak manusia yang kala itu masih duduk di
bangku kelas 2 SMP, saat dimana kata para ilmuwan adalah masa-masa remaja
mencari jati diri dan membangun jutaan impian yang akan di bawanya ke Masa
Depan.
Ya, saat itu juga jiwanya terasa terpanggil dan segera terwujudkan dalam
salah satu impian besarnya, “MEMAJUKAN PAPUA”. Ah,,, Impian?? Ya... pada
awalnya hanyalah sebuah impian yang dirasa cukup “KEREN” untuk di pajang di
setiap Biodata yang dituliskan pada setiap buku harian teman-teman 
Siapa yang menyangka akhirnya setelah 10 tahun berlalu, “Rias Kecil” beranjak
dewasa dan dituntun serta diberi kesempatan untuk mewujudkan impiannya,
“MEMAJUKAN PAPUA” 
Ya, disinilah aku, Tanah Papua. Tanah yang dulunya hanya ada dalam
angan-angan “Rias kecil” dengan impian besar “Memajukan Papua”.

Aku menjemput mimpi dan mewujudkan mimpi untuk mengabdi pada diri sendiri
dan mengabdi pada negeri.
***
24 Agustus 2015, rombongan SM-3T angkatan V LPTK Universitas Riau
mendarat dengan sempurna di Bandara Wamena, Kabupaten Jayawijaya-PAPUA.
Dengan berbekal impian dan tujuan mulia, guru-guru SM-3T siap merajut mimpi
di Negeri Timur Matahari.
Sambutan yang luar biasa dari pemerintah daerah, senior dan masyarakat
sekitar menjadikan tekad kami semakin bulat untuk menetap disini, 1 tahun
lamanya mencerdaskan kehidupan bangsa.

***
SD Negeri Wamena, merupakan sekolah unggulan di Distrik Wamena.
Lokasinya berada di tengah kota dengan berbagai peradaban. Siswa di sekolah ini
50 : 50 antara pendatang dengan siswa asli. Kami menyebutnya siswa asli karena
siswa tersebut merupakan anak pribumi, sama seperti kami menyebut orang tua
mereka “Orang Asli” yang artinya “Orang Papua”.
Enak di kota??? Hemm,,,
Iya, pasti ada suka dan duka mengajar di sekolah unggulan daerah yang berada di
tengah kota.

Senang karena beban mengajar tidak seberat teman-teman yang bertugas di
Distrik dengan keterbatasan sarana-prasarana serta kendala yang berasal dari anak
didik itu sendiri, yaitu keinginan ke sekolah.
Kecewa karena tidak dapat merasakan pengalaman sebenarnya hidup di Distrik,
seperti pengalaman yang di ceritakan banyak pendatang di sini. Mereka datang ke
Papua, mereka tinggal di Distrik, mereka mengukir cerita...
***
Aku mengukir cerita...
Ya,, bertugas di kota tidak membuatku berhenti membuat cerita hidup.
Kehidupan harus berjalan, sebuah cerita harus di ceritakan...
Mengajar sebagai guru SD merupakan pengalaman pertamaku, menjadi
wali kelas merupakan pengalaman keduaku, mengajar 70 siswa dalam satu
ruangan juga merupakan pengalaman pertamaku dan yang luar biasa, menghadapi
anak umur kelas 2 SD merupakan pengalaman pertama yang sempat aku ragukan
kemampuanku di dalamnya.
Sabar,,, Lembut,,, Bertahan,,, itu kuncinya 
Waktu berlalu, dan semua menjadi biasa. Akhirnya aku mengenal semua
anak muridku dengan berbagai karakter mereka yang telah kucoba pelajari selama
1 bulan terakhir ini. Banyak yang terkenang, salemo (ingus aka angka sebelas di
bawah hidung, red) yang ternyata bukan cuma cerita belaka, yang ternyata bukan

cuma milik mereka yang di Distrik, yang ternyata menjadi tantangan besar di sini.
Kemudian Alvian dan Gidion,,,
2 Murid kesayangan, 2 murid yang mencuri perhatian 

Alvian, oh Alvian...
Alvian, murid istimewa yang secara langsung dikenalkan padaku oleh wali
kelas 2 sebelumnya. Alvian adalah siswa tinggal kelas di kelas ini. Alvian bukan
anak bodoh, hanya saja kurangnya perhatian keluarga membuatnya mengalami
kesulitan belajar.
Alvian jarang mandi,,,
Ya, SE SU A TU . . . . . Ketika Alvian masuk kelas dan dia tidak mandi, pasalnya
seluruh anggota kelas akan tau kalau Alvian tidak mandi karena aroma semerbak
yang ditimbulkannya dapat dengan mudah menguasai ruangan dan menghipnotis
seluruh anggota kelas untuk kehilangan konsentrasi. Sering sekali ketika Alvian
datang ke sekolah tanpa mandi, aku harus mengalihkan kelas menjadi kelas alam
alias belajar di luar ruangan agar baunya tidak menggangu dan agar anak yang
lain dapat tetap belajar dengan jarak dan zona yang aman dari Alvian.
Kini Alvian selalu mandi,,,
Ya, aku dan Alvian sudah mengikat janji kelingking, “Alvian janji akan selalu
mandi sebelum pergi ke sekolah, dan ibu guru janji mengizinkan Alvian duduk di

dekat ibu guru setiap kali Alvian mau.”
Memang,,, Alvian tidak akan mau menulis jika tidak duduk dekat dengan
ibu guru. Anak yang satu ini suka sekali duduk di meja ibu guru Rias, atau dia
akan menulis sambil berdiri jika tidak ada kursi di meja Ibu Guru Rias, Sweet
sekali. Alvian hanya akan menulis jika ditemani. Ini yang membuatku menjadi
sangat sayang padanya. Aku merasa sangat dekat dengannya.
4 bulan berlalu dan banyak kemajuan yang telah Alvian capai. Dulu,
Alvian bahkan tidak dapat menulis namanya sendiri, tapi sekarang dia sudah bisa
menuliskan namanya di buku tanpa hambatan. Dulu,,, Alvian tidak bisa menulis
dikte, sekarang Alvian bisa. Dulu,,, Alvian tidak bisa membaca lebih dari 4 huruf,
sekarang Alvian sudah bisa membaca kata seperti “Sekarang, bermain, dan kata
lain yang memiliki lebih dari 4 huruf”.
Aku senang, bukan hanya aku yang menjemput impian, tapi aku mengantarkan
anak didikku mengukir impian mereka 
***

Gidion, murid istimewa...
Sama dengan Alvian, Gidion juga merupakan “murid asli” disini, hanya
saja dia memiliki kulit yang lebih putih dari Alvian, dan kemampuan yang lebih
baik dari Alvian.

Daya tangkap Gidion bagus, dia setara dengan murid pendatang lainnya.
Membaca lancar, berhitung lancar, dan menulis juga lancar. Gidion sebenarnya
bukan murid dari kelasku, namun karena kelas II.B dan II.C di gabung menjadi 1,
maka Gidion sekarang menjadi salah satu muridku. Yang disayangkan dari Gidion
adalah dia terlalu aktif, sehingga seringkali dia menjadi biang keributan di kelas.
Aku sayang Gidion,,,
Selain karena kepintarannya yang lebih unggul dari pada teman-teman
aslinya, Gidion juga telah menyentuh hati. Tidak seperti yang aku bayangkan,
ternyata dia juga seperti Alvian, kurang perhatian orang tua.
Suatu hari, Gidion datang ke kelas pada pukul 09.00 WIT, padahal sekolah
di mulai pada pukul 07.30 WIT. Sebagai guru, aku merasa berkewajiban
menanyakan alasannya. Belum selesai aku bertanya, Gidion menangis dan
berkata:
“Maaf Ibu Guru Rias, sa terlambat, jangan marah e”
“Ah,,, ko jangan menangis, ibu guru tanya, kenapa ko terlambat?” Kataku.
Gidion tetap menunduk dan bahkan semakin terisak. Aku iba, aku
perhatikan seluruh tubuhnya, kulihat tangannya kotor bekas tanah, bajunya juga
terkena kotoran tanah. Aku bujuk kembali Gidion agar mau bercerita. Akhirnya
dia berkata:
”Sa bantu mama,,, mama bilang kalau tidak bantu, tidak usah sekolah

sampai keluar”
Deg.... berhenti nafasku sebentar mendengar kata-katanya, tak terasa
menetes air mata dari mataku. Astaga, tidak habis dipikiranku bagaimana bisa
seorang anak kecil di perlakukan begitu, keinginan besarnya untuk sekolah malah
menjadi boomerang untuk dirinya sendiri dan menjadi senjata orang tuanya untuk
mengeksploitasinya.

Namun aku salut, aku sayang sekali dengannya. Gidion. Tetap berjuang
nak, sekolah yang tinggi, sekolah yang pintar, bahagiakan Mama dan Bapa agar
adik-adikmu tidak perlu bekerja demi pergi kesekolah. 
***
Papua, aku akan terus mengukir cerita, biar saja aku tidak menjadi
kenangan, tapi Papua akan tetap terkenang sampai kapanpun.
Papua, tanah impian,,,
Tanah seribu senyuman 
Salam Cinta Papua
Dari anak Negeri yang ingin Mengabdi
Aktiva Rias Pamuji, S.Pd

Susah Untuk Mengingat Pelajaran


Aldo Lanrey Royanto Malau, S.Pd.
Guru SMP Negeri 4 Wamena

Memperoleh informasi dari teman kuliah bahwa ada pendaftaran SM-3T,
saya bertanya-tanya apa itu SM-3T? karena SM-3T sangat asing bagi saya.
Selama saya di bangku perkuliahan tidak ada terdengar tentang program tersebut.
Saya mencari informasi tentang SM-3T dari berbagai sumber dan pada akhirnya
saya mengerti tentang program ini. Program SM-3T adalah Program Pengabdian
Sarjana Pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan
pendidikan di daerah 3T(Terdepan, terluar, dan Tertinggal) selama satu tahun
sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Program
Pendidikan Profesi Guru. Saya merasa kaget ternyata program ini dibuat khusus
bagi sarjana pendidik yang akan ditugaskan di daerah Terdepan, Terluar, dan
Tertinggal. Akhirnya saya putuskan untuk mengikuti program ini melalui seleksi
yang begitu ketat untuk lulus tes. Saya dinyatakan lulus dan berhak mengikuti
program SM-3T.
Bulan Agustus 2015 adalah hari bersejarah dan luar biasa dalam hidup
saya, di mana hari itu adalah hari penentuan tempat pengabdian saya selama 1
tahun lamanya di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua. Provinsi yang

berada paling timur Indonesia yang secara geografis terletak di daerah
pegunungan. Memberi kesan pertama kali ketika aku menginjakkan kaki di tanah
ini langsung disambut dengan dinginnya iklim pegunungan dan panas matahari di

dataran tinggi, sambutan dari alam pegunungan tengah. Jayawijaya membuat rasa
ingin tahu penulis semakin membias, pemandangan gunung–gunung yang
menjulang tinggi mengelilingi daerah ini seperti sebuah tembok rakasasa yang
sangat kokoh membuat saya terkagum dan tak berhenti memandang kesegala arah,
panas yang menyengat kulit tidak terasa karena dinginnya iklim pegunungan
tengah. Ini kah surga kecil yang jatuh di bumi, seperti salah satu lirik lagu yang
pernah saya dengar sebelumnya.
Banyak hal yang membuat saya penasaran, berdasarkan apa yang menjadi
pemikiran saya yang merupakan hasil dari pengumpulan informasi sosial, maupun
media, bahkan melalui film dokumenter mengenai keadaan daerah sasaran Papua
Kabupaten Jayawijaya, dan pemikiran saya salah besar setelah penulis flashback
ternyata itu data yang sudah lama, yang sempat membuat penulis berfikiran
daerah terpencil, terpelosok, dan terisolir, ternyata pada kenyatannya tidak.
Tanggal 28 Agustus 2015 pembagian SK Penempatan Pengabdian, dan
SMP 4 Negeri Wamena menjadi tempat pengabdianku. SMP Negeri 4 Wamena,
sekolah yang berjarak 12 kilometer dari pusat kota Wamena, disinilah pengabdian

ku dimulai. Betapa kagetnya saya melihat siswa-siswi SMP Negeri 4 Wamena,
dsini saya menemukan hal yang tak pernah saya lihat di kota-kota. Mereka ke
sekolah hanya beralaskan kulit saja, baju seragam yang sudah robek-robek bahkan
ada yang berpakaian kaos saja yang aromanya begitu membuat hidung menjadi
risih. Tapi saya salut dengan keinginan mereka untuk menimba ilmu, bagaimana
tidak ? untuk pergi kesekolah saja mereka harus berjalan kaki dengan waktu yang
tidak sedikit. Ada yang 1 jam, 2 jam, bahkan ada yang 3 jam. Jadi mereka
berangkat jam 5 subuh agar tidak terlambat tiba di sekolah

Hari Rabu tepatnya tanggal 2 September 2015, saya mulai mengajar di
kelas VII. Terlebih dahulu saya memperkenalkan diri karena ada pepatah
mengatakan tak kenal maka tak sayang, begitu juga sebaliknya dengan muridmurid saya. Setelah itu saya masuk materi tentang permainan bola besar. Mereka
belum tahu apa saja permainan bola besar itu, akhirnya saya jelaskan apa itu
permainan bola besar dan macam-macam permainan bola besar. Saya
menjelaskan salah satu permainan bola besar yaitu permainan sepak bola.
Kembali lagi saya terkejut mereka tidak tahu apa itu sepak bola? Yang mereka
tahu hanya bola kaki. Kembali saya menjelaskan bahwa sepak bola dan bola kaki
itu sama saja. Pada saat saya menjelaskan salah satu teknik yang harus dikuasai
dalam permaian sepak bola adalah menyundul bola, dan mereka tidak tahu apa itu
menyundul. Dan setelah diberi penjelasan bahwa dalam bahasa Wamena

menyundul itu adalah mengkope. Setelah saya jelaskan dan diberi pemahaman
akhirnya mereka mengerti pada saat itu.
Keesokan harinya saya sangat terkejut pada saat saya tanya ke salah satu
murid saya tentang materi yang sudah saya berikan kemarin, dan dia hanya
menjawab “lupa bapa guru”. Disinilah timbul permasalahan yang saya hadapi
sebagai guru, mereka susah untuk mengingat. Sudah 3 bulan saya mengabdi di
sekolah SMP Negeri 4 Wamena, segala cara sudah saya lakukan agar mereka
mampu untuk mengingat pelajaran yang sudah diberikan, tapi memang mereka
sulit untuk mengingat. Salah satu upaya yang saya buat adalah tepat pada tanggal
28 Oktober 2015, saya dan sekolah membuat perlombaan antar kelas untuk
memperingati sumpah pemuda. Perlombaan yang dibuat adalah perlombaan

Futsal bagi laki-laki dan Bola voli untuk perempuan. Tujuan dibuatnya
perlombaan ini adalah menumbuhkan rasa kepedulian dan semangat tinggi
sebagai pemuda agar lebih giat belajar untuk mencapai cita-cita, selain itu juga
agar mereka tahu peraturan, teknik, dan strategi dalam permainan baik permainan
bola voli maupun Futsal.

Tidak Ada Guru dan Alumni SM-3T, Sekolah ini Tutup
Oleh. Anju Nofarof Hasudungan, S.Pd1

1

Penulis adalah Guru SM-3T Angkatan V LPTK UR, yang bertugas di SD Negeri
Niniki, Pyramid, Kab.Jayawijaya.

Mendengar kabar-kabar bahwa Sarjana Mendidik Daerah
Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM-3T) Angkatan V adalah yang
terakhir. Membuat penulis ingin menulis bagaimana peran penting
Guru SM-3T dan Alumninya (GGD) dalam proses belajar-mengajar,
bahkan sampai pada tahap keberlansungan sekolah tersebut. Salah
satu perwakilan dari kasus diatas, ialah sekolah tempat penulis
mengabdi, SD Negeri Niniki namanya. Awalnya penulis bertugas
sendiri di sekolah tersebut sesuai dengan Surat Keputusan (SK)
penempatan yang dibuat oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran
Kabupaten Jayawijaya. Sebelum

dikirim seorang partner untuk

menemani penulis berkarya di sekolah ini. Berbeda dengan temanteman lain yang berdua-dua. Penulis hanya sendiri. Penulis tidak
banyak komentar soal ditempatkannya penulis sendiri disekolah
tersebut. Sebab, bagi penulis ini tidak masalah mengingat komitmen
dan keteguhan hati untuk siap mengabdi untuk bangsa dan negara
dimanapun ditempatkan. Banyak yang dikorbankan untuk ikut
program ini.
Ketidaktahuan penulis dengan sekolah dasar negeri Niniki buat
penulis benar-benar percaya bahwa Tangan TUHAN bekerja dalam
menempatkan penulis.
28 Agustus 2015, waktu dimana SK penempatan di bagikan
adalah pertama kalinya penulis mendengar nama dari sekolah Niniki.
Dan tiga hari setelah SK dikeluarkan, 31 Agustus 2015 penulis mulai
bertugas di sekolah yang punya arti "Hati TUHAN", sekolah ini
dahulunya dirintis oleh misionaris. Awal memulai tugas sebagai
pendidik, penulis harus menjemput siswa-siswi Niniki ke lapangan
sepakbola, tempat dimana mereka sering bermain. Sebab, mereka

tidak tahu akan ada guru yang akan mulai mendidik mereka kembali.
Setelah sekian lama mereka terliburkan karena suatu keadaan.
Bukan kebetulan penulis ditempatkan di SD Negeri Niniki,
berlokasi di Distrik Pyramid, Kabupaten Jayawijaya, Irian Jaya.
Penulis harus mendapatkan sekolah yang mengalami banyak
permasalahan dan kendala baik internal maupun eksternal. Yakni:
A. Internal
1. Tenaga pendidik tidak ada sama sekali kecuali satu
Alumni SM-3T yang dalam program pemerintah pusat
disebut Guru Garis Depan (GGD) yang baru dua bulan
bertugas sebelum penulis datang. Sehingga sekolah ini
banyak kehilangan siswa-siswinya dengan berpindah
sekolah.
2. Kedua manajemen sekolah yang tidak ada. Kepala
sekolah dan semua administrasinya hanya berlangsung di
kota Wamena. Tidak ada proses manajemen sekolah
berlangsung. Akibatnya sekolah ini tidak terurus dengan
baik.
B. Eksternal
1. Sengketa tanah antar dua kelembangaan gereja yang ada
membuat sekolah ini pernah dipalang oleh masyarakat
setempat. Sekolah ini tidak banyak didukung oleh
masyarakat setempat. Bedahalnya dengan dua sekolah
yang ada disekitar Niniki yakni, SD YPPGI dan Inpres
Pyramid.

Akibat masalah dan kendala diatas baik operasional dan
pengelolaan sekolah dasar Niniki berjalan tidak optimal bahkan jauh
dari standar. Banyak diantara para tenaga pendidik baik guru asli Irian
Jaya maupun yang bukan. Tidak mau mengajar di sekolah tersebut
akibat masalah dan kendala yang penulis sebutkan tadi. Sehingga
sekolah Niniki hanya ada dua guru SM-3T dan satu guru GGD.
Sekolah dasar Niniki seperti milik kami bertiga. Padahal dulunya
sekolah ini menjadi sangat favorit pada awal sekolah ini dibangun.
Hingga, tulisan ini dibuat pada 12 Desember 2015, Niniki
hanya ada dua Guru dan keduanya dari SM-3T. sebab, satu Guru
GGD sedang prajabatan selama dua bulan lebih. Sekolah ini sempat
tutup selama tiga bulan lebih karena tidak ada guru yang mau
mengajar. Akibatnya banyak siswa-siswi yang berpindah sekolah.
Beda hal dengan cerita yang terdapat dalam film Laskar Pelangi,
sekolahnya bisa tutup apabila siswanya tidak mencukupi. Kalau SD
Negeri Niniki bukan siswanya yang buat Niniki terancam ditutup
tetapi Tenaga Pendidiknya yang tidak ada.
Lalu bagaimana jika tidak ada guru SM-3T di sekolah ini ? bisa
jadi sekolah ini akan tutup. Ini mungkin satu dari sekian banyak kasus
tentang kekurangan guru di daerah 3T.
Kalaupun program SM-3T di akhiri. Penulis berharap program
Guru Garis Depan tidak. Sebab, baik SM-3T maupun GGD menjadi
garda terdepan dalam menjangkau anak-anak di daerah 3T untuk
memperoleh pendidikan.
Pesan untuk Kemendikti selaku Kementerian yang menaungi
SM-3T bahwa kami pun yang tergabung dalam program SM-3T

banyak belajar tentang hidup selama mengikuti program ini. Menurut
saya, ini bagus untuk membentuk karakter dan mental kami di waktu
muda.
SM-3T…
Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia

SD INPRES ABUSA

Asrida Damanik, S.Pd
`
Saya mengetahui SM3T dari salah satu teman saya, dia
banyak bercerita tentang pendidikan di Indonesia bagian Timur
khususnya Papua, saya pun tertarik untuk mengikuti SM3T dan
Puji Tuhan saya Lulus seleksi dan mendapat penempatan di
Papua. Di awal pengumuman penempatan untuk mengajar saya
mendapat di SMP N 3 wamena, namun berhubung sekolah
tersebut tidak membutuhkan guru Bidang studi saya, akhirnya
saya pun di pindahkan ke SD Inpres Abusa. SD Inpres Abusa
berjarak kurang lebih 1 jam dari kota wamena namun kita harus
berjalan kaki sejauh 5 Kilometer untuk sampai ke SD Inpres
Abusa karena kendaraan tidak bisa masuk berhubung jalannya
tidak bagus, tidak ada listrik dan susah signal.
Hari pertama berada di Abusa, saya bangun pagi-pagi dan
bersiap-siap untuk sekolah kira-kira jam 7 pagi saya sudah siap
untuk sekolah namun belum ada satupun anak sekolah yang
datang, kemudian saya berpikir apa jam saya yang salah atau
saya yang lupa mengatur jam saya ke waktu bagian timur
namun matahari sudah sangat terang. Setelah
menunggu
sekitar 2 jam kemudian satu-persatu anak-anak murid
berdatangan, dengan senyum cerah, tidak memakai alas kaki

dan tidak memakai seragam sekolah (hanya sebagian anak-anak
murid yang memakai seragam)

Setelah berkenalan dengan guru-guru dan semua anakanak sekolah SD Inpres Abusa saya di tugaskan mengajar di
kelas V (lima). Sekitar jam 10 saya pun masuk ke ruang kelas V ,
pada saat saya sudah menginjakkan kaki di ruang kelas V saya
pun melihat ruangan yang lumayan besar beralaskan tanah
namun hanya berisikan 5 orang anak-anak murid saja yang
menatap saya dengan dengan muka datar (tanpa ekspresi).
Untuk mencairkan suasana saya pun tersenyum dan mengajak
mereka berkenalan, setelah berkenalan saya pun tau nama
mereka berlima adalah Adel Morip, Deta Sorabut, Hana Sorabut,
Ina Pabika, dan vero. Saya pun bertanya “ kelas lima hanya lima
orang saja?”, mereka menjawab “ ia ibu guru, kelas lima hanya
lima orang saja”. Saya pun mulai bercerita tentang diri saya dan
kota kelahiran saya dan bagaimana dunia luar itu dan betapa
pentingnya untuk sekolah.

Hari pertama mengajar saya sempat bingung melihat
mereka, karena mereka lebih banyak melamun dan bengong
meliha saya. Ketika saya tanya mereka mengatakan saya
mengajarnya terlalu cepat dan mereka tidak mengerti sebagian
bahasa yang saya gunakan karena kebanyakan dari mereka
tidak terlalu mengerti Bahasa Indonesia karena selama ini guru
mereka selalu menggabungkan dua bahasa dalam mengajar
yaitu bahasa Daerah dan bahasa Indonesia. Saya pun bingung
karena tidak mungkin saya menggunakan bahasa daerah karena
saya sendiri tidak mengerti bahasa daerah. Akhirnya saya pun
tetap menggunakan bahasa Indonesia namun salah satu dari
mereka yang mengerti bahasa Indonesia menjelaskan kembali
apa yang saya jelaskan kepada temannya yang tidak mengerti.
Pada saat belajar Bahasa Indonesia sayapun bertanya. “
sudah ada yang bisa baca?”. Semuanya diam. Saya bertanya lagi
“ pada sudah bisa baca?” namun semuanya diam lagi. Kemudian
saya pun menuliskan sebuah kalimat di papan tulis dan
menyuruh mereka membacanya, dua dari lima orang mengeja
sedangkan tiga orang lagi sama sekali tidak bisa membaca. Saya
pun mulai mengajar mereka membaca huruf dan mengeja
kaliamat. Disela-sela mengajar salah satu murid saya berkata “
ibu guru harum sekali.” Saya berpikir ini kesempatan saya untuk
mengajarkan mereka kebersihan. kemudian saya berkata “ia,
ibu guru harum karena ibu guru mandi pakai sabun, trus sikat
gigi juga dan ingusnya di buang supaya tidak ingusan. Jadi kalian
besok supaya harum dan bersih mulai besok harus mandi pakai

sabun, sikat gigi dan ingusnya di buang ya”. Mereka menjawab “
ia ibu guru”.
Seperti sudah menjadi kebiasaan mereka apa yang kita
ajarkan hari ini besok akan lupa, jangankan besok mungkin
ketika kita tanya pada hari itu juga mereka sudah lupa, dan satu
lagi mereka jarang sekali membawa alat tulis dan bawa buku
hanya satu untuk semua mata pelajaran. Ketika ditanya kenapa
tidak bawa alat tulis mereka menjawab tidak ada uang beli alat
tulis. Maka untuk setiap harinya sebelum pelajaran dimulai saya
selalu bertanya siapa yang tidak punya alat tulis dan sudah
menjadi kewajiban untuk memberikan mereka alat tulis.
Satu hal yang saya lihat dari mereka adalah semangat
mereka untuk sekolah walaupun rumah mereka jauh dari sekolah
tetapi mereka selalu datang sekolah, pernah satu kali saya
berkata kepada mereka “ anak-anak besok datangnya lebih
cepat ya jam 8 harus sudah sampai sekolah!” salah satu dari
mereka menjawab “ ibu guru kita orang tidak punya jam”
kemudia saya bertanya lagi “ jadi kalian lihat jam dari mana?”
mereka menjawab “Kita lihatnya dari matahari toh, kalau
mataharinya sudah naik baru kita berangkat sekolah”. Saya pun
hanya
bisa
mengangguk-angguk
dan
besoknya
saya
mengajarkan mereka bagaimana cara melihat jam.
Satu hal lagi yang membuat hati miris adalah pengetahuan
mereka tentang Negara kita sangat sedikit, jika kita tanya
mereka apa nama Negara kita maka mereka akan menjawab
Papua bukan Indonesia karena bagi mereka Negara mereka
adalah Papua bukan Indonesia, dan pengetahuan lainnya seperti
apa lagu kebangsaan kita, apa warna bendera kita dan siapa
presiden kita sangat sedikit dari mereka yang mengetahuinya.
Itulah yang menjadi tugas kita sebagai tenaga pengajar di
daerah 3T mengenalkan mereka Indonesia dan dunia luar karena
Papua juga Indonesia.
Seiring berjalannya waktu setelah 3 bulan mengajar di SD
Inpres Abusa saya menganggap mereka bukan hanya sebagai
anak murid lagi tetapi juga sebagai adik dan teman bermain
mereka. Dua dari anak murid saya sudah bisa membaca, satu
orang mengeja dan dua orang lagi masih menjadi PR buat saya
selama mengajar di SD Inpres Abusa.

AULIA HASANAH

24 Agustus 2015 pertama kali saya menginjakkan kaki di kota
wamena. Kota yang akan menjadi tempat tinggal saya dan 53 teman
yang datang dari Riau selama setahun ke depan. Kami disini di
tugaskan untuk mengajar dan mendidik anak – anak yang sangat
membutuhkan pendidikan yang berasal dari daerah terdepan, terluar,
dan tertinggal. Melalui program SM3T yang berasal dari kemenristekdikti, saya mengikuti program ini di tahun ke-5 nya. Dimana,
kemungkinan ini adalah tahun terakhir dari program SM3T ini.
Cerita pengalaman dari hampir 4 bulan di wamena maupun di
penempatan pun sudah terhimpun satu per satu. Mulai dari pertama
kali kami dikumpulkan dengan kepala sekolah dari masing – masing

sekolah yang akan kami tempati sampai saat ini, akhir dari semester
ganjil. Saya masih sangat ingat ketika nama saya dipanggil dipanggil
pertama kali, dan mendengar bahwa SD Inpres Yiwika akan menjadi
tempat pengabdian saya selama setahun kedepan. Kepala sekolahnya,
bapak Sakeus Daby tersenyum lebar saat kami berdiri untuk
memperkenalkan nama kami, menyambut kami dengan sangat
hangat. Saya bersama teman saya Nursyamzana ditempatkan di SD
inpres tersebut.
Selang dua hari kemudian, saya dan bersama ketua jalur arah kurulu
(bang ibam) ikut bersama kepala sekolah saya untuk tinjauan lokasi
sekolah saya. Kurang lebih 20 menit perjalan, kami sampai di SD
Inpres Yiwika. Kami habisakan waktu sekitar 1 jam berbicara dan
melihat-lihat keadaan sekolah dan tempat kami akan tinggal nanti.
Kepala sekolah menyarankan kai untuk tinggal bersama penjaga
sekolah dan istrinya di lingkungan sekolah, dan kami pun menyetujui
nya, walau ada sedikit keraguan untuk tinggal bersama orang asli sini
pada awalnya. Dimana kami berdua yang notabene beragama islam
akan tinggal bersama orang sini yang beragama kristen katolik.
Setelah bercerita panjang lebar dengan ditemani kopi, kami beranjak
pulang ke wamena.
Esoknya tepat tangga 1 september, saya bersama teman-teman yang
memiliki penempatan di jalur kurulu sampai bolakme, menaiki dua
mobil dari dinas perhubungan ditemani dengan beberapa kepsek dan
bapak lobia yang berasal dari dinas PdanP menuju kepenempatan kami
masing – masing. Dimulai dari tempat terjauh yaitu bolakme yang
berbatasan dengan kabupaten tolikara. Sampai akhirnya ke tempat
penempatan saya dan nana di SD Inpres Yiwika. Dibantu teman –
teman yang ikut mengantar kami, kami mengangkut koper dan
beberapa barang belanjaan ke tempat kami akan tinggal. Setelah
berpamitan dengan teman yang lain, kami akhirnya merebahkan
badan di tempat tidur baru kami.
Seminggu pertama kami lewati dengan kurang sinyal dan jaringan
internet. Tidak hanya itu, kurang nya sarana seperti air mani dan air
bersih pun membuat kami kurang betah tinggal di sana. Sampai kami
beranikan diri untuk mengajukan tempat tinggal baru kepada kepala
sekolah. Yang kemudian disetujui dan akan dicari solusi oleh kepala
sekolah. Hanya saja, pada malam itu, tepatnya malam kamis minggu
kedua kami disana, rumah kami kedatangan dua orang mabuk yang
begitu membuat kami shock dan ketakutan. Sehingga
bulatlah
keinginan kami untuk pindah rumah. Kami langsung menelpon ke
teman kami yang ditempatkan di SMP dan SMA kurulu. Untuk tinggal
sementara. Walau belum izin dengan kepala sekolah, kami tetap
membawa barang – barang kami pindah ke posko teman yang berjarak

45 menit berjalan kaki dari sekolah kami, yang berada tepat di pusat
distrik kurulu.
Sekarang saya tinggal sendiri di SD Inpres Yiwika, dikarenakan
beberapa hal Nana memilih pindah ke SD Inpres Umpakalo bersama
Fajri dan Dilla. Saya mendapat kan teman pengganti dari kakak tingkat
SM3T angkatan 4 yang mendapatkan kesempatan untuk melakukan
perpanjangan sekitar 4 bulan sampai mereka memulai PPG di LPTK
masing-masing kelak. Kak Elfta, alumni program studi Ekonomi UR,
adalah teman saya mengajar di SD Inpres Yiiwika sampai awal februari.
Tidak banyak cerita yang bisa saya bagi, jikalau ditanya mengenai
bagaimana rasanya mengajar di sekolah 3T. Mungkin jawaban kami
semua sama, “Harus ekstra sabar, hari ini diajar, besok mereka(siswa)
sudah lupa lagi”. Tidak ada ekspektasi, tidak ada harapan yang terlalu
banyak kepada anak-anak disini. Hanya Calistung saja yang kami
kuatkan, setidaknya jangan sampai mereka yang membutuhkan
pendidikan ini terlalu ketinggalan dibanding kami yang dari barat.
Cukup sekian cerita saya. Terima kasih

Nama

: Beslin Lumban Tobing, S.Pd.

Program Studi

: Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia

Penempatan
: SMP Negeri 3 Wamena, Desa Helulawa, Distrik
Assolokobal, Kab. Jayawijaya

Pada hari Jum’at, 28 Agustus 2015, saya dan teman-teman
Guru SM-3T memenuhi undangan Dinas Pengajaran dan
Pendidikan Kabupaten Jayawija untuk datang ke salah satu
Sekolah Dasar yang ada di Kota/Kecamatan Wamena. Di sana
saya dan teman-teman sama-sama mempersiapkan diri untuk
ditempatkan di mana saja di Jayawijaya. Setelah mendapat
beberapa kata sambutan, arahan dan nasihat-nasihat dari para
pejuang pendidikan di Jayawijaya, akhirnya sampailah kepada
pemberitahuan yang menjadi surat perintah bagi saya untuk
mengajar di SMP Negeri 3 Wamena. Di penempatan ini saya
mendapat teman seorang guru Matematika, Fanji Febriani, S.Pd.
Kepala sekolah SMP Negeri 3 Wamena, Bapak Ansgar Blasius
Biru, M.Pd. menyambut saya dan teman satu penempatan
dengan ramah, kami juga mendiskusikan jadwal untuk
melakukan survey ke tempat kami akan tinggal dan mengajar.
Sabtu pagi, 29 Agustus 2015 Pak Ansgar beserta salah satu
guru SMP N 3 Wamena, Pak Anis Elopere, S.Pd. menjemput saya
dan teman sepenempatan di sekretariat SM-3T untuk berangkat
menuju ke SMP Negeri 3 Wamena. SMP Negeri 3 Wamena ini
terletak di pinggiran kota, kira-kira 10 menit perjalanan sepeda
motor dari sekretariat SM-3T. Gedung sekolahnya masih sangat
layak untuk dijadikan tempat belajar, ditambah lagi dengan
jumlah guru yang tidak sedikit. Sekolah yang bersih dan rapi,
guru dan murid yang disiplin, itulah kesan pertama yang terlihat
di sana. Guru dan murid SMP Negeri 3 bahu-membahu
membantu membersihkan dan merapikan sebuah ruangan tak
terpakai yang diberikan untuk kami tempati. Setelah lumayan
bersih, kami akhirnya diantar kembali ke sekretariat SM-3T
sambil memikirkan barang-barang yang nantinya akan kami
butuhkan.
Pada hari Senin 31 Agustus 2015, seluruh guru SM-3T yang
ada di Jayawijaya berangkat menuju daerah penempatan
masing-masing.
Semua
persenjataan
untuk
membantu
mencerdaskan generasi muda Jayawijaya kami bawa. Empat
mobil Dinas Perhubungan mengantarkan kami semua dengan
selamat. Namun pada hari ini saya belum mendapat kesempatan

untuk mengajar. Hari ini saya dan teman sepenempatan masih
merapikan barang-barang.
Keesokan paginya, tanpa ada pengarahan lagi saya
diberikan jadwal mengajar dan langsung dipersilahkan untuk
mengajar di kelas VIII. Sehabis mengajar, Kepala Sekolah
langsung mengadakan rapat dan memperkenalkan saya dan
teman sepenempatan dengan para guru SMP Negeri 3 Wamena.
Secara keseluruhan tenaga kependidikan SMP Negeri 3 Wamena
berjumlah 17 orang, yang terdiri dari 7 orang penduduk asli
Papua dan 10 orang pendatang. SMP Negeri 3 Wamena terdiri
dari 9 rombongan belajar, 3 kelas VII, 3 kelas VIII, dan 3 Kelas IX
dan semuanya adalah anak-anak asli Papua yang berjumlah 293
jiwa.
Dengan sistem pengajaran sekolah yang disiplin disertai
dengan papan nama sekolah yang bertuliskan ‘Terakreditasi A’,
saya beranggapan bahwa sekolah tersebut sudah pasti
menghasilkan tunas-tunas muda berprestasi. Tetapi fakta
berkata lain. Para peserta didik sulit mencerna bahasa Indonesia,
sulit memahami makna. Mereka selalu menggunakan bahasa
Indonesia yang terpotong, terbalik, dan salah makna, bahkan
sesekali jika bicara dengan temannya di dalam kelas mereka
menggunakan bahasa daerah. Hal ini rupanya berlaku juga pada
guru-guru yang merupakan penduduk asli. Tidak banyak guru
yang kreatif, tidak banyak guru yang menyenangkan, tidak
banyak guru yang menginspirasi. Mata pelajaran yang saya
anggap penting seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dipegang
seluruhnya oleh guru penduduk asli yang demikian.
Tidak sedikit peserta didik yang belum tahu perkalian, dan
pembagian yang merupakan dasar Matematika, atau menuliskan
kata yang menyatu dengan ‘ng’, membedakan ‘c’ dan ‘j’, ‘p’ dan
‘b’. Masih sangat banyak peserta didik di sekolah berakreditasi A
ini yang masih mengeja saat di suruh membaca. Ini adalah
kesulitan terberat saya dalam pengajaran sementara tuntutan
kurikulum sangat tinggi. Tapi saya dan teman sepenempatan
tidak akan terus mengeluh, kami mengadakan bimbingan belajar
pada sore hari untuk mengurangi ketertinggalan ini, kami
membantu kepala sekolah membina kepramukaan, kami
menghapal semua gerakan senam, kami alirkan semua
pengetahuan dan tenaga yang kami miliki, dan kami bantu

beberapa guru yang kekurangan dokumen penting penuntun
pengajaran.
Di balik letihnya pekerjaan ini kami juga harus bertarung
dengan angkernya lingkungan tempat kami tinggal. Tak pernah
kami berjalan dengan tenang - jika malam telah tiba - hendak
menuju toilet yang hanya berjarak ±20 meter dari markas kami.
Kami tak pernah membayangkan hal gaib, melainkan hal nyata
yang dalam wujud pemabuk yang bisa datang tiba-tiba, kapan
saja. Satu minggu berjalan, sudah terjadi kemalingan di ruangan
guru yang hanya berjarak ±10 meter dari markas. Dan saya
sendiri saat malam kemalingan hanya diam mendengar, tanpa
beranjak sedikit pun dari tempat tidur. Keesokan paginya banyak
barang berharga di dalam ruangan tersebut hilang, termasuk
kamus bahasa Indonesia yang merupakan senjata andalan.
Sementara itu teman seperjuangan yang tinggal tak jauh
juga merasakan ketidaktenangan yang sama. Maka saya dan
teman sepenempatan sepakat untuk pindah, menggabungkan
kekuatan untuk terus berkarya. Hal ini saya sampaikan kepada
Pak Ansgar, dan beliau memberikan tanggapan yang sangat
positif. Maka pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015 kami
mengangkat kembali persenjataan, berpindah perlindungan
menuju SD YPPK St. Stevanus Wouma. Sampai sekarang kami
masih tinggal di sini dan terus mengajar di SMP Negeri 3
Wamena, sudah menyelesaikan ujian semester, pembagian
Laporan Hasil Belajar, dan terakhir merayakan Natal bersama
keluarga besar SMP Negeri 3 Wamena. Semangat saya masih
tetap, tak berubah, untuk menyambut tahun baru pertama
kalinya tanpa orang tua.

SD YPPK ST.LUKAS MULIMA DISTRIK KURULU
Oleh Buk Guru Yunita
23 Agustus 2015 pukul 19.00 Wib saya berangkat dari Pekanbaru menuju
Wamena Kab.Jayawijaya samapai di wamena pukul 14.00 setiba di bandara saya
menangis saya rasanya mau pulang lagi ke Pekanbaru,tapi begitu keluar dari

bandara saya melihat kebesaran Allah SWT ternyata wamena begitu
indah,Wamena itu di ibaratkan kuali yang kotanya di tengah dan di pagari oleh
gunung,sesampainya di wamena saya dan teman-teman di sambut oleh pihak
Dinas Pendidikan Kab.Jayawijaya yang penuh dengan keramah tamahan,lalu kami
menginap di penginapan salemo siloam selama 2 hari,karena secretariat SM3T
masih di huni kakak senior SM3T angkatan IV,setelah mereka pulang saya dan
teman-teman mendiami secretariat,selama 1 minggu kami di sibukan dengan acara
upacara di lapangan kantor Bupati lalu di kenalkan oleh pejabat setempat,gerak
jalan keliling kota wamena kami di kenalkan kepada masyarakat,berdasarkan
keputusan pihak Dinas pada tanggal 27 Agustus 2015 saya di tempatkan di SD
YYPK ST Lukas Mulimah Distrik Kurulu sekitar 10 KM dari kota Wamena dan
masuk kata gori jalur dua.
Pada tanggal 1 September 2015 kami berjumlah 14 orang berada di jalur
dua distrik Kuluru dan Bolakme,di antar oleh Bapak Yohanes Lobia SP.d saya
tinggal di rumah bapak kepala suku Martinus Himan S.E tempat tingal saya
dengan sekolah hanya berjarak 100 M,saya sesampainya di kampung mulima di
perkenalkan dengan keluarga bapak Tinus,Bapak Tinus punya 2 orang istri dan
empat orang anak.
Pada tanggal 2 September 2015 pada pukul 7.00 WIT saya sudah tiba di
sekolah saya memperkenalkan diri kepada siswa saya yang berjumlah 142
orang,dengan harapan kedatangan saya ke SD YPPK ST Lukas Mulima
membawa perubahan yang lebih baik sesuai dengan misi SM3T baca tulis
hitung,SD YPPK ST Lukas Mulima memiliki 7 guru 5 Guru PNS 2Guru
bantu,dan saya kebagian mengajar kelas lima pada hari itu juga saya langsung
mengajar,saya punya 12 orang siswa 8 orang laki-laki dan 4 perempuan,awal
mengajar mereka malu-malu dan saya langsung mencoba baca tulis hitung mereka
dan ternyata dari 12 orang ada 3 orang yang tidak bisa baca tapi ke 12 nya bisa
tulis dan ada 4 orqng yang tidak bisa hitung,siswa saya mukanya sama
semua,bau,semuanya ingusan,suka makan royco pakai jahe,permen adalah
makaan mewah bagi mereka.

Seminggu berjalan mulai kelihatan sifat tidak baik guru-guru setempat
alhasil sekolah hanya milik guru SM3T saja hanya ada 1 guru bantu yaitu bapak
Yulianus yang menjalankan proses belajar dan guru-guru PNS sesuka hatinya saja
kadang 1 bulan tidak mengajar,atau 1 minggu hanya 2 kali saja masuk dalam 1
minggu dan begitu habis istirahat langsung pulang,kalau di Tanya alasanya
kenapa jarang masuk aduh Ibu Guru saya minta maaf saya banyak urusan di kota.
kelas rangkap pun di mulai,saya memegang kelas III dan V terkadang
kalau Bapak Yulianus tidak hadir saya bisa meggang 4 kelas sekaligus,alhasil
proses belajar pun kurang maksimal,1 bulan pertama saya sedikit stress suda
Cuma kami berdua di sekolah semua kami berdua yang handle saya di hadapkan
dengan perbedaan anak di barat dengan di timur,susah menerapkan disiplin di
sini,mereka kalau sudah bosan pulang dengan sesuka hati,makan permen karet di
dalam kelas,jika lonceng berbunyi saya seperti memasukan kambing ke dalam
kandang harus saya giring satu persatu,lengah sedikit mereka langsung keluar.
Tapi 2 bulan berjalan anak-anak mulai disiplin karena mereka sudah sadar
kalau tidak ada ibu Guru berdua siapa yang ajar kami,walau ada saja tingkah
nakal tapi itu terkadang itu justru itu membuat saya lucu dan itu menjadi hiburan
buat saya,terkadang saya marah saya teriak tapi kalau saya sakit saya terlambat
datang mereka khawatir dengan bertanya Ibu Guru sakit apanya yang sakit
perutkah kepalakah,Ibu Guru kenapa Ibu Guru datang terlambat.
Mereka tak mengenal permainan modern hanya sepak bola saja yang
mereka tau jenis permainan modern itu pun bolanya sudah rusak-rusak perempuan
laki-laki semuanya main bola,sandal bekas pun jadi untuk di jadikan roda anggap
saja itu mobil-mobilan,ya begitulah bermain adalah dunianya mereka duanianya
anak-anak,terkadang saya heran mreka terkadang tidak makan seharian atau Cuma
sarapan pagi saja yah karana orang papua tidak biasa makan siang,tapi anak-anak
saya selalu punya tenaga buat bermain dan tertawa walau belum makan.
Mulima adalah kampug yang indah bagi saya udara nya sejuk
pemandanganya juga bagus,warganya ramah tamah,pada umumnya wanita lah
yang bekerja untuk menafkahi keluarga,mereka hidup berkelompok 1 honai bisa

di huni sampai 5 keluarga,saya tau mama adalah bagian penting bagi hidup anakanak saya tapi apalah daya mama sibuk sibuk di kebun sehingga anak-anak sangat
kurang perhatian dan kasih sayang,kalau sore belum pulang main,bahkan tidak
tidur di rumah,makan atau belum tidak ada yang mencari.
Saya dan anak-anak 1 minggu angkat air 2 kali yang jaraknya sekitar 1,5
KM mereka senang kalau bantu saya angkat air,karena setelah angkat air mereka
dapat upah 5 buah permen,yah begitulah di mulima susah air.
Budaya orang papua kalau ada yang meninggal maka mayatnya di
bakar,walau agama kristani sudah lama masuk di papua tapi adat istiadat nenek
moyang tidak mudah di hilangkan begitu saja,selama saya 4 bulan di wamena
saya sudah menghadiri 4 duka,sungguh luar biasa karena kekerabatan dan rasa
persaudaraan warga terhadap mereka yang mengalami duka warga banyak
menyumbang babi yang jumlah nya bisa mencapai 35 ekor,untuk di jadikan
makanan bagi pelayat ke duka,bakar batu saya dulu Cuma lihat di TV tapi
sekarang nyata di depan mata luar biasa.
Selama 4 bulan ini alhamdulillah semua berjalan baik perkembangan anakanak perlahan mengalami kemajuan,dalam baca,tulis,dan hitung,walau hanya ada
guru SM3T saja yang menghandle sekolah,di tambah kami mengadakan les sore
atau anak-anak biasa bilang sekolah sore mereka sangat antusias sekali,biasa nya
kami les sore tidak di dalam kelas melainkan di alam terbuka.
Saya merasa sangat bersyukur kepada Allah SWT karena saya sampai ke
ujung timur sungguh rezki yang laur biasa,saya merasakan nikmatnya hidup di
sini saya bisa berbagi dan memberi apa yang saya punya demi kemajuan bangsa
dan negara saya khusunya Kab.Jayawijaya,semuga anak-anak saya menjadi anak
yang sukses berguna bagi nusa dan bangsa,dan semuga Papua khusunya Wamena
Kab.Jayawijaya tetap menjadi bagian dari NKRI,saya bangga menjadi bagian dari
SM3T saya dalah orang salah satu orang yang beruntung dari 3140 peserta
SM3T,Saya

juga

ingin

mengucapkan

terimakasi

kepada

LPTK

UR

( UNIVERSITAS RIAU ) karena saya bisa menjadi bagian dari SM3T,twrimakasi

juga kepada Dinas Pendidikan Kab.Jayawjaya Salam MBMI ( Maju bersama
mencerdaskan Indonesia )

PENGALAMAN SELAMA MENGAJAR
DI SD YPPK SINATMA WALESI
Oleh Buk Guru Dea Meta

Masa sekolah memang sangat mengasikkan bagi setiap sisiwa yang
bersekolah. Bermain bersama teman sekelas,tertawa bersama. Itu lah yang saya
lihat selama saya mengajar di SD YPPK Sinatma Walesi ini.

Dimana saya

melihat semangat para siswa yang ingin bersekolah,bahkan perjalanan setengah
jam berjalan kaki di tempuh menuju sekolah settiap harinya tanpa mengenal lelah.
Setelah pelajaran selesai para siswa segeraa keluar kelas untuk bermain sepak bola
tidak pandang pemainnya wanita ataupun pria.
Wanita tidak mau kalah dengan hebatnya permainan para pria, wanita
begitu lincah mengoper bola kesana kemari. Suatu pemandangan yang jarang kita
temui dikota.
Perbandingan siswa di desa dengan dikota sangat jauh berbeda,siswa kota sibuk
dengan permainan elektroniknya masing –masing sedangkan siswa desa hanya

mengandalkan permainan seadanya saja tetapi tetap asik bagi mereka.
Pengalaman yang belum saya temui di kota
Sekian dari pengalaman saya selama beberapa bulan mengajar di SD YPPK
Sinatma Walesi..

MENDIDIK KE PELOSOK NEGERI
Isaima
16 Desember 2015
By : Ema Yuliani

Jauh dari orang tua bukanlah hal baru bagi saya, itulah mengapa saya
yakin ikut program SM-3T yang diselenggarakan oleh dikti lewat LPTK
Universitas Riau. Dan tidak terlalu sulit untuk mengantongi izin dari kedua orang
tua karena saya mempunyai tekad yang kuat. Dengan tulus ikhlas mereka
mengantarkanku dengan do’a. semoga putri bungsu mereka ini selamat sukses di
negeri orang. Cerita baru dalam hidupku dimulai ketika kaki ini telah
menginjakkan kaki di tanah Papua. Ya, kini berada di timur Indonesia bukan lagi
mimpi. Aku yakin bisa sampai disini bukan suatu keberuntungan atau kebetulan
semata. Melainkan ini semua sudah diatur oleh Allah SWT. Dan aku benar-benar
besyukur karena Allah telah memilihku menjadi salah satu orang yang ditakdirkan
mempunyai kesempatan mendidik anak-anak di pelosok negeri.
Setibanya di Kota Wamena saya terkejut melihat keramain kota ini.
Padahal akses menuju kota ini hanya bisa ditempuh melalui jalur udara. Kondisi
cuaca di Wamena sangat dingin karena diapit oleh pegunungan serta hembusan
angin kurima yang selalu datang ke kota.
Saya bertugas di SD Inpres Isaima yang terletak di kampung Isaima,
Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Dari kota Wamena menempuh perjalanan
sekitar 45 menit dengan sepeda motor ataupun taksi (jangan bayangkan taksi yang

di kota-kota besar, hehe). Taksi yang lalu-lalang Wamena-Kurulu ini adalah
kendaraan umum sejenis superband yang beroperasi dari pagi hingga malam hari.
Kebetulan sekolah tempat saya mengabdi selama satu tahun ini berada tepat
dipinggir jalan raya jadi gampang aksesnya.
SD Inpres Isaima memiliki tenaga pengajar sebanyak 3 orang dan kepala
sekolah yang juga merangkap menjadi guru kelas. Dengan jumlah guru sangat
sedikit itu sudah pasti sangat kurang karena murid-murid yang diajarkan terdiri
dari 6 kelas, yaitu kelas I, II, III, IV, V, dan VI. Dan ternyata dari 3 guru yang
semuanya sudah PNS itu ada 1 orang guru sudah hampir dua tahun tidak pernah
lagi datang ke sekolah. Miris memang seorang abdi Negara yang biaya hidupnya
ditanggung oleh Negara tapi tidak menjalankan kewajibannya. Kondisi yang
seperti ini sudah banyak saya dengar dari sebelum saya tiba disini. Kedatangan
guru-guru SM3T ini memang sangat dinanti-nantikan disini. Kondisi gedung
sekolah masih tergolong baik. Sekolah memiliki 5 ruang belajar dan 1 ruang
kantor. Kelas I dan kelas dua berada dalam satu ruangan yang hanya dibatasi oleh
sekat dari triplek dan diajar oleh satu orang guru kelas. Alat peraga dan media
belajar sangat kurang. Lalu bagaimana dengan kondisi siswanya?
Jangan bayangkan siswa-siswa yang ada di kota ataupun di desa tempat
kita sekolah dulu dengan siswa disini. Kondisinya sungguh jauh berbeda.
Sebagian besar siswanya tidak memakai seragam sekolah lengkap, kalaupun ada
yang pakai kondisinya sudah tidak layak pakai. Sobek disana-sini, kekecilan, dan
lain sebagainya. Jangankan pakai sepatu, sandalpun hanya beberapa anak saja
yang memakainya untuk ke sekolah selebihnya tanpa alas kaki. Siswa tidak
terbiasa mandi saat berangkat sekolah karena daerah yang dingin. Ditambah lagi
pemandangan angka 11 dari hidung anak-anak. Aroma yang khas pun tercium saat
berada di dekat mereka. Tapi hal itu tidak mengecilkan semangatku untuk
medidik mereka (hehe). Prestasi belajar siswa masih tergolong rendah,
wawasannya sangat sempit, mereka cenderung cepat lupa, mudah bosan dan
capek. Daya serap siswa akan pelajaran tergolong kurang karena siswa hanya
belajar di sekolah saja, sepulang sekolah mereka siswa membantu orang tua
bekerja di kebun, dan pada malam harinya mereka tidak belajar karena sudah

capek. Bahkan masih banyak siswa di kelas V yang belum bisa membaca, PR
besar bagi kami guru-guru SM3T untuk mengajarkan siswa-siswa supaya bisa
membaca. Tidak perlu mengajarkan siswa pelajaran-pelajaran yang sulit yang
penting adalah mereka senang belajar dan datang ke sekolah setiap hari.
Bagaimana mau mengerti pelajaran yang sulit, wong membaca saja belum bisa.
Kondisi sekolah-sekolah di distrik lain pun lebih kurang sama dengan yang saya
hadapi. Jadi dengan alasan itulah kondisi pendidikan di distrik-distrik se
Kabupaten Jayawijaya secara umum masih jauh dari harapan. Saya berharap
bahwa suatu saat perjuangan saya dan teman-teman sekarang membawa
perubahan bagi kemajuan pendidikan di tanah papua, terlebih lagi kedatangan
saya membawa manfaat di daerah pemempatan saya. Inilah goresan yang dapat
saya bagikan, semoga bermanfaat. Amiin ya Rabbal alamin

MUTIARA HITAM DI TIMUR INDONESIA
Oleh : Erni Eskarina, S.Pd ( SD KBT Muliama )

“Mutiara Hitam di Timur Indonesia” langkah awal bagiku
memulai pengalaman mengajar sebagai seorang tenaga
pendidik. Mendidik dan mengajar mereka mutiara hitam yang
berada di timur Indonesia yaitu Papua. Daerah 3T di Papua ini
membuatku takjub dengan keindahan alam yang seolah ikut
menyambut kedatangan kami guru-guru SM-3T. Perasaan takjub
dan bahagia akan terus kurasakan selama masa pengabdianku di
tempat ini.
Saat telah mengetahui SK Penempatan, ternyata Tuhan
percayakan saya untuk mengabdi di Sekolah Dasar Kristen
Baliem Terpadu Muliama (SD KBT Muliama). Ketika saya tiba
dilokasi, yang saya lihat adalah bangunan sekolah yang sudah
tua dan halaman sekolah yang hijau dan cukup luas.
Tepat hari Selasa, 1 September 2015 adalah hari pertama
saya bertemu mutiara hitam dan juga guru-guru yang mengajar
di sekolah tersebut. Hal yang saya rasakan adalah deg-degan
dan takut tidak dapat menciptakan kesan pertama saat bertemu

dengan mereka. Perasaan itupun perlahan hilang saat mereka
menyambut saya dengan ramah dan wajah bahagia. Seketika
berubah menjadi perasaan haru dan perihatin saat melihat
kondisi anak-anak di SD KBT Muliama ini. Mereka datang berjalan
kaki dengan baju seragam yang kumal dan tanpa alas kaki,
wajah yang polos dan lugu itulah yang saya lihat pada mereka.
Dan bertemu guru-guru yang kebanyakan adalah orang asli di
Papua.
Dipercayakan oleh pimpinan sekolah untuk mengajar mata
pelajaran Bahasa Indonesia pada kelas tinggi. (kelas IV – kelas
VI). Pertama sekali masuk kelas dan bertemu langsung secara
dekat dengan anak-anak didik.Bukan hanya kondisi anak-anak
didik yang membuat saya perihatin tapi kondisi sekolah juga
membuat saya sangat perihatin. Ruang kelas sudah tua dan
tidak nyaman, kursi meja yang terbatas dan perlengkapan kelas
yang seadanya. Tidak cukup dengan itu kondisi sekolah pun
memperihatinkan. Buku-buku perpustakaan yang sedikit dan
masih menggunakan buku-buku yang lama. Begitu juga dengan
ruang guru dan pimpinan sekolah hanya terbatas pada
ketersediaan meja dan kursi saja, tidak ada sarana dan
prasarana yang mendukung pada kemajuan sekolah. Hal ini
penting menurut saya karena akan berpengaruh pada
perkembangan dan kemajuan sekolah dan juga anak didik.
hal itu terbukti dalam proses belajar mengajar di kelas.
Saya kewalahan saat pertama sekali mengajar di kelas. Tanpa
buku pegangan, baik guru maupun siswa tidak dapat mengikuti
proses belajar mengajar di kelas. Namun saya mengambil
inisiatif untuk menguji sejauhmana kemampuan dan
pengetahuan siswa dalam membaca dan menulis. Dan hasil yang
saya dapatkan bahwa ternyata kemampuan membaca dan
menulis anak didik di sekolah saya mengabdi masih sangat
rendah. Bukan hanya membaca dan menulis tapi juga
kemampuan ucap dan dengar juga sangan kurang. Di kelas IV
hanya sekitar 5 anak didik dari 24 jumlah anak didik saja yang
dapat membaca dan menulis dengan baik. Sedangkan sisanya
saya bagi dalam beberapa kelompok dengan indikator
kemampuan membaca dan menulis yang berbeda-beda yaitu
kelompok anak yang belum dapat mengeja dengan baik namun
sudah mengenal huruf, ada juga kelompok anak sudah dapat
mengeja dengan baik namun belum dapat lancar membaca dan

ada juga kelompok anak yang sudah dapat membaca namun
belum dapat menulis dengan baik.
Padahal seharusnya anak diharapkan sudah dapat
membaca dan menulis dengan baik pada saat di kelas II, namun
yang saya dapatkan adalah di kelas tinggi seperti kelas IV saja
masih banyak anak didik yang belum dapat membaca dan
menulis dengan baik. Tidak cukup sampai disitu saja masalah
yang lain juga anak sulit untuk mengucapkan dan mendengarkan
beberapa kata tertentu, seperti membedakan huruf “ j ” atau “ y
” misalnya mengucapkan “ gajah ” mereka