NARSISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN ANALIS

NARSISME DALAM PELAPORAN KEUANGAN :
ANALISIS SEMIOTIK ATAS LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN
YANG MENGALAMI KERUGIAN

Rizka Julia Budiani
Anis Chariri, SE, M.Com., Akt, Ph.D

ABSTRACT
This study is a qualitative research with approach of case study at annual
report of companies that have experienced losses. The purpose of this study is to
answer, understand and analyze why and how financial reporting practice of
companies suffering from losses is surrounded by narcissism. In addition, this
study was intended to understand and analyze the ways and reasons used by the
company in delivering and presenting information that is narrative in the annual
report.
This study uses a semiotic analyses and narcissism to analyze narrative
texts on the companies’ financial statements that had experienced losses. The
analyzed data are annual reports of the three companies namely banking,
telecommunications service providers and providers of television broadcasting
services.
Results of this study indicate that three companies (PT. Indosiar, PT.

Mobile-8 and PT BII) use language of narcissism in financial reporting by way of
designing such a way as narrative text in the annual report. In addition, this study
also showed that language of narcissism used by three companies for the reasons
of going legitimate through impression management based on certain interests of
management.
Keywords : narcissism, narrative text, semiotic, interest.

1

PENDAHULUAN
Laporan keuangan merupakan salah satu alat yang bermanfaat bagi
manajemen untuk pelaksanaan kegiatan operasi manajemen sehari-hari. Belkaoui
(2006) menyebutkan bahwa laporan keuangan merupakan sarana untuk
mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan oleh manajer atas sumber daya
pemilik. Laporan keuangan merupakan hasil dari suatu aktivitas yang bersifat
teknis agar tujuan untuk menyediakan informasi yang bermanfaat itu dapat
dicapai. Namun demikian, dalam kaitan dengan pihak luar, laporan keuangan
berperan sebagai suatu media perantara. Oleh karena itu, laporan keuangan
merupakan media komunikasi yang dapat digunakan untuk menghubungkan
pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan.

Penelitian-penelitian yang terkait dengan laporan keuangan cenderung
meneliti kualitas, manfaat dan penyajian informasi dari laporan keuangan (Cohen,
et al. 2004; Razeen 2004; Clatworthy dan Michael 2006; Chatterjee, et al. 2010;

Yeoh 2010). Cohen, et al. (2004) melakukan penelitian tentang bagaimana cara
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Penelitian lainnya dimaksudkan
untuk meneliti manfaat laporan dalam membantu pengambilan keputusan
ekonomi (Anderson dan Epstein 1995; Bartlett dan Chandler 1997). Penelitian
berikutnya, dikaitkan dengan issu tentang bagaimana informasi yang disajikan
dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi efisiensi pasar dan perilaku
individu (Amir dan Lev 1996; Healy, et al. 1999; Lev dan Ohlson 1982; Lev dan
Zarowin 1999).
Pelaporan keuangan pada awalnya terbatas hanya pada isi laporan
keuangan yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan
ekuitas dan catatan atas laporan keuangan. Namun demikian, dalam SFAC No.1
disebutkan bahwa pelaporan keuangan tidak lagi terbatas pada isi dari laporan
keuangan, tetapi juga media pelaporan informasi lainnya. Oleh karena itu, dalam
perkembangannya praktik pelaporan keuangan tidak hanya menyajikan informasi
kuantitatif, tetapi juga menyajikan informasi lain seperti narrative text, foto, tabel,
dan grafik (David, 2002).


2

Teks naratif (narrative text) merupakan bagian yang memainkan peranan
penting bagi perusahaan dalam membentuk image perusahaan. David (dikutip
oleh Watson, 2005) mengatakan bahwa teks naratif antara lain meliputi diskusi
dan analisis manajemen dan sambutan yang disampaikan direktur dan komisaris.
Diskusi dan analisis manajemen digunakan sebagai suatu media untuk
menginterpretasikan dan mendiskusikan suatu tujuan perusahaan. Sambutan
tertulis digunakan sebagai surat pengantar yang ditandatangani oleh Dewan
Komisaris dan Dewan Direksi yang berisi informasi tentang ringkasan kinerja
yang lalu dan rencana masa yang akan datang (Yuthas, et al. 2002)
Gardner dan Martinko (1988) mengungkapkan bahwa melalui teks naratif,
perusahaan secara aktif berusaha membentuk image positif dan menghindari
image negatif. Cara yang digunakan perusahaan untuk mengirimkan pesan
melalui annual report merupakan strategi komunikasi perusahaan yang digunakan
untuk membangun kepercayaan publik (Kohut dan Segars, 1992). Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika perusahaan mengalami kerugian, manajemen akan
membuat pernyataan bahwa kerugian tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan
strategi manajemen melainkan disebabkan oleh faktor di luar kemampuan

manajemen.
Pada laporan tahunan, teks naratif (narrative text) merupakan komplemen
penting dari laporan keuangan (Courtis, 2002). Untuk mencapai transparansi bagi
pihak yang berkepentingan, terutama investor, kejelasan dari teks naratif juga
menjadi hal yang lebih penting (Rutherford, 2003). Hal ini yang mendorong
manajemen untuk membentuk image positif dan menghindari image negatif.
Sikap untuk menghindari image negatif dan membentuk image positif tidak dapat
dipisahkan dari perilaku narsis individu. Oleh kerena itu, tidak mengherankan jika
narsisme bahasa cenderung digunakan manajemen untuk menciptakan image
positif melalui pemakaian narrative text.
Narsisme merupakan sikap yang dimiliki individu dalam mempertahankan
dan meningkatkan penilaian yang tinggi atas dirinya (Campbell, et al. 2004).
Selain itu, Chatterje dan Hambrick (2006) mengatakan bahwa narsisme memiliki
kebutuhan yang kuat atas ketegasan orang lain terhadap keunggulan yang dimiliki.

3

Oleh karena itu, perilaku narsis cenderung untuk berupaya menciptakan image
positif atas dirinya, yang juga akan menimbulkan optimisme dan keyakinan yang
kuat atas hasil yang diperoleh nantinya.

Atas dasar argumen di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk
menganalisis narsisme bahasa yang dilakukan manajemen pada pelaporan
keuangan terlebih ketika perusahaan mengalami kerugian. Pemahaman terhadap
narsisme dalam penyampaian pesan tidak terlepas dari aspek semiotik karena
aspek semiotik inilah yang membentuk bahasa yang digunakan dalam
komunikasi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam paradigma
interpretive dan menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus pada

perusahaan yang mengalami kerugian.

LANDASAN TEORI
Konsep Pelaporan Keuangan
Pelaporan keuangan (financial reporting) adalah media yang digunakan
perusahaan untuk mengkomunikasikan kegiatan masa lalu, hasil usaha dan
kegiatan masa depan organisasi kepada pihak luar. Pelaporan keuangan
merupakan praktik pelaporan, pengungkapan dan pertanggungjawaban perusahaan
terhadap pemegang saham (shareholders) dan pemilik modal atas sumber daya
yang dikelolanya. Adapun tujuan dari financial reporting Menurut SFAC no 1
(FASB, 1978) adalah untuk menyediakan:
1. Informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan investasi;

2. Informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan kredit;
3. Informasi dalam menilai arus kas masa depan; dan
4. Informasi mengenai sumber daya perusahaan, claim terhadap sumber daya
dan perubahan yang terjadi pada sumber daya tersebut.
Pada awalnya, pelaporan keuangan hanya terbatas pada isi laporan
keuangan yaitu neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan
ekuitas dan catatan atas laporan keuangan (David, 2002). Namun demikian, dalam
perkembangannya ruang lingkup pelaporan keuangan tidak hanya mencakup

4

laporan keuangan yang diaudit tetapi juga mencakup media pelaporan informasi
lainnya.
Melalui teks naratif, perusahaan secara aktif berusaha membentuk image
positif dan menghindari image negatif (Gardner and Martinko, 1988). Hyland
(1998) juga mengatakan bahwa surat pernyataan Direksi merupakan alat untuk
“membangun kredibilitas dan kepercayaan diri” yang digunakan untuk
mempromosikan citra perusahaan ke berbagai pihak. Oleh karena itu, pesan yang
disampaikan melalui narrative text pada laporan tahunan merupakan salah satu
strategi komunikasi yang dilakukan perusahaan. Pemahaman terhadap strategi

komunikasi tidak dapat dipisahkan dari teori komunikasi yang terbentuk melalui
proses sosial.

Teori Komunikasi Aksi Habermas
Untuk memahami proses sosial, Habermas (1983a) mengatakan bahwa
harus ada perubahan paradigma dasar dari proses sosial. Teori komunikasi aksi
merupakan teori yang memandang masyarakat melalui paradigma komunikasi.
Proses sosial dapat dilihat sebagai dua analisis konseptual, yaitu lifeworld dan
system mechanism. Lifeworld diartikan oleh Habermas (1983b) sebagai suatu

situasi bertemunya individu dengan individu yang lain dalam melakukan
hubungan timbal balik atas claim yang diberikan masing-masing individu, yang
dapat mengkritisi dan mengkonfirmasi claim tersebut, serta menyelesaikan
perbedaan pendapat hingga mencapai adanya kesepakatan. Oleh karena itu, segala
sesuatu kehidupan atau aktivitas manusia dapat dilihat sebagai suatu interaksi
yang mengikuti mekanisme lifeworld.
Kepentingan (interest) merupakan suatu orientasi dasar yang berakar pada
kemampuan manusia, untuk melestarikan keberadaannya, dan untuk menentukan
serta mengkreasikan dirinya sendiri. Habermas (1983b) mengatakan bahwa
Interest hanya dipengaruhi oleh kedua hal ini, yaitu money dan power . Adanya


kepentingan yang dipengaruhi oleh money dan power tersebut mendorong
perusahaan untuk tetap berupaya menciptakan image positif dan menghindari
image negatif, yang dapat berujung pada pemerolehan legitimasi dari stakeholder .

5

Teori Legitimasi
Teori legitimasi merupakan teori berbasis sistem yang telah berkembang
selama tiga dekade terakhir ini (Conway dan Patricia, 2008). Hal ini didasarkan
pada konsep bahwa suatu organisasi diasumsikan memiliki pengaruh dan
dipengaruhi oleh masyarakat di mana organisasi tersebut beroperasi (Deegan,
2001). Dalam konsep tersebut ditegaskan bahwa organisasi berusaha untuk
beroperasi dalam batas dan norma yang ada dan ingin memastikan bahwa aktivitas
yang dilakukan mendapat legitimasi dari masyarakat (Conway dan Patricia, 2008).
Legitimasi mempengaruhi seseorang dalam memahami dan bertindak
terhadap suatu organisasi. Organisasi yang dianggap sah atau legitimate, lebih
dipandang sebagai organisasi yang dipercaya, layak, bermakna dan memiliki
prediksi. Selain itu, organisasi dianggap lebih legitimate bilamana organisasi
tersebut mudah untuk dimengerti, bukan hanya sekedar diinginkan. Lebih lanjut,

Suchman (1995) mendefinisikan legitimasi sebagai persepsi atau asumsi umum di
mana tindakan sebuah entitas merupakan tindakan yang diinginkan, layak/pantas,
atau sesuai dengan beberapa sistem yang dibangun secara sosial berupa norma,
nilai, kepercayaan dan ketentuan-ketentuan.
Gardner and Martinko (1988) mengatakan bahwa suatu perusahaan akan
secara aktif mencari image (melakukan pencitraan) yang positif dan menghindari
image yang negatif. Pencitraan ini dapat dilakukan melalui “ impression
management” (Marcus and Goodman 1991) baik yang bersifat symbolic

(melakukan sesuatu yang baik hanya secara simbolis) maupun substantive
(melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak sekedar simbolisme) (Fitriany, 2009).
Hal ini berkaitan dengan usaha perusahaan dalam memperoleh legitimasi dari
masyarakat. Oleh karena itu, teori legitimasi benar-benar memberikan saran bagi
perusahaan untuk membangun kesesuaian nilai sosial yang diterapkan oleh
perusahaan dengan norma yang berlaku di masyarakat (Lindblom, 1983 dalam
Chariri dan Nugroho 2009).
Legitimasi

dapat


diperoleh

melalui

strategi

komunikasi

dengan

mengirimkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya (Shockley-Zalabak, et.
Al, 2003). Narrative text pada annual report merupakan media yang tepat

6

digunakan perusahaan dalam hal memperoleh legitimasi. Hal ini diperkuat oleh
Aerts (1994) yang mengatakan bahwa narrative text merupakan salah satu alat
yang dapat digunakan manajemen perusahaan untuk membuat aktivitas dan hasil
dari perusahaan tersebut terlihat legitimate.


Narsisme
Chatterjee dan Hambrick (2006) mengatakan bahwa narsisme merupakan
suatu hal yang dikaitkan secara positif dengan harga diri ( self-esteem) (Emmons,
1984; Morf dan Rhodewalt, 1993), peningkatan bias diri (biased selfenhancement) (John and Robins, 1994), intensitas afektif (mood swings)

(Emmons, 1987) dan penggunaan kata ganti personal saat berbicara (Raskin and
Shaw, 1988). Sebagai suatu karakteristik kepribadian, narsisme memiliki dua
elemen penting yaitu kognitif dan motivasi (Chatterjee dan Hambrick 2006).
Pada sisi kognitif, narsisme memerlukan adanya kepercayaan atas kualitas
unggul individu yang dimiliki. Pelaku narsis cenderung melakukan penilaian yang
tinggi atas dirinya sendiri, baik kecerdasan, kreativitas, kompetensi dan
kemampuan dalam memimpin (John dan Robins, 1994; Farwell dan WohlwendLloyd, 1998;. Hakim, et al , in press dalam Chatterjee dan Hambrick, 2006). Oleh
karena itu, pelaku narsis sangat yakin dan percaya diri atas kemampuan yang
mereka miliki dalam domain tugas (Campbell, et al., 2004). Dari sisi motivasi,
narsisme memiliki kebutuhan yang kuat atas ketegasan orang lain terhadap
keunggulan yang dimiliki. Hal ini diperoleh baik dalam bentuk penguatan, tepuk
tangan, dan sanjungan (Wallace, 2002 dalam Chatterjee dan Hambrick, 2006).
Chatterjee dan Hambrick (2006) menyimpulkan bahwa narsisme
merupakan suatu hal yang menuntun seseorang dalam mengasumsikan posisi
kekuasaan (power ) dan pengaruhnya (Kernberg, 1975). Selain itu, narsisme yang
berkaitan erat dengan harga diri, membantu seseorang dalam kemajuan
profesionalnya (Raskin, et al, 1991). Oleh karena itu, dengan adanya narsisme,
seseorang berusaha menciptakan image yang positif, yang juga akan
menimbulkan optimisme dan keyakinan yang kuat atas hasil yang diperoleh
nantinya.

7

Dalam konteks narsisme di atas, dapat dirumuskan bahwa narrative text
terhadap pelaporan keuangan dapat didesain sedemikian rupa sehingga mengarah
pada narsisme. Narsisme ini dibuat dan dilakukan oleh manajemen melalui
argumen, data dan angka tertentu. Hal ini diharapkan mampu meyakinkan
stakeholders bahwa aktivas perusahaan yang telah dijalankan dan dikelola dengan

benar dapat mengarah pada kepercayaan diri dalam laporan keuangan, sehingga
manajer dipandang berhasil dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Cara yang
dilakukan manajer dalam melakukan narsisme pada pelaporan keuangan adalah
melalui struktur dan penulisan kalimat (semiotik).

Semiotik
Semiotik adalah ilmu yang berkaitan dengan tanda (simbol) dan cara-cara
fungsi yang sistemastis untuk menyampaikan makna. Pemahaman terhadap tanda
dapat dikaitkan pada konsep yang dikembangkan para strukturalis yang merujuk
konsep Ferdinand deSaussure (1916). DeSaussure (dikutip oleh Hoed, 2007)
mengungkapkan bahwa tanda dapat dikomposisikan pada dua aspek, Penanda
(signifier ) untuk segi bentuk suatu tanda, dan petanda (signified) untuk segi
maknanya.
Fokus dari semiotik tidak terletak pada keakuratan atau efisiensi dari
proses transmisi, melainkan lebih pada bentuk komunikasi itu sendiri, yaitu pesan
atau teks. Suatu makna tidaklah mutlak dan terlihat intrinsik pada teks, tetapi
dihasilkan dari interaksi orang dengan teks tersebut.

Teks merupakan suatu

kesatuan kebahasaan (verbal) yang mempunyai wujud dan isi, atau segi ekspresi
dan segi isi. Oleh karena itu agar dapat disebut sebagai teks, seperti yang
diungkapkan Hoed (2007), haruslah memenuhi kriteria tekstualitas sebagai
berikut:
1. di antara unsur-unsurnya terdapat kaitan semantik yang ditandai secara
formal (kohesi),
2. segi isinya dapat berterima karena memenuhi logika tekstual (koherensi),
3. teks diproduksi dengan maksud tertentu (intensionalitas),
4. dapat diterima oleh pembaca/masyarakat pembaca (keberterimaan),

8

5. mempunyai kaitan secara semantik dengan teks yang lain (intertekstualitas),
6. mengandung informasi dan pesan tertentu (informativitas).
Dalam konteks penelitian ini, diperlukan usaha untuk memahami makna
dari tiap kata dan kalimat yang terkandung dalam narrative text pada annual
report. Makna tersebut diintepretasikan dalam bentuk pesan yang ingin

disampaikan manajemen kepada para pemakai laporan keuangan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa analisis semiotik
naratif atas laporan keuangan perusahaan yang pernah mengalami kerugian.
Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati (Bodgan dan Taylor, 2007 dalam Meutia, 2010). Pada penelitian ini,
dihasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis yang bersumber dari narrative
text pada pelaporan keuangan perusahaan, baik perbankan, penyedia jasa

telekomunikasi dan penyedia jasa penyiaran televisi.
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa Annual
report PT. Indosiar Karya Media, Tbk (2007 dan 2008), PT. Mobile-8 Telecom,

Tbk (2007 dan 2008) dan PT. Bank Internasional Indonesia, Tbk (2008 dan 2009).
PT. Indosiar Karya Media, Tbk mengalami kerugian pada tahun 2007 dan
memperoleh laba pada tahun 2008. PT. Mobile-8 Telecom, Tbk memperoleh laba
pada tahun 2007 dan mengalami kerugian pada tahun 2008. Sementara PT. Bank
Internasional Indonesia, Tbk memperoleh laba pada tahun 2008 dan mengalami
kerugian pada tahun 2009. Atas dasar inilah annual report PT. Indosiar Karya
Media, Tbk, PT. Mobile-8 Telecom, Tbk dan PT. Bank Internasional Indonesia,
Tbk digunakan sebagai objek penelitian yang nantinya akan dianalisis lebih lanjut
mengenai perbandingan antara keduanya.
Ghauri (2004) mengatakan bahwa menginterpretasikan dan menganalisis
data kualitatif mungkin adalah tugas yang paling sulit dalam melakukan studi
kasus. Miles (dikutip oleh Ghauri, 2004) mengungkapkan bahwa kesulitan yang
paling serius dalam penggunaan data kualitatif adalah bahwa metode analisis data

9

belum dirumuskan dengan baik. Adapun analisis data yang dilakukan dalam
penelitian ini yaitu dengan menggunakan analisis semiotik narrative text atas
laporan keuangan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Membentuk image positif
Perilaku narsis individu yang memerlukan kepercayaan diri atas kualitas
unggul yang dimiliki, menuntun individu tersebut dalam membentuk image yang
positif. Image positif yang dibentuk dapat dilakukan perusahaan dengan cara
mengklaim keberhasilan yang diperolehnya melalui narrative text pada pelaporan
keuangan, baik keberhasilan atas usaha yang telah dilakukan ataupun keberhasilan
atas kemampuan internal. Sebagai contoh dapat dilihat pada annual report PT.
Indosiar pada saat mengalami kerugian tahun 2007 dalam sambutan Direksi
(hal.6),
Kini usaha anak perusahaan untuk merebut kembali perhatian pemirsa dan
pengiklan telah berhasil menempatkan anak perusahaan pada jajaran tiga
besar televisi nasional sejak pertengahan tahun 2007, bahkan pada posisi
teratas di penghujung tahun 2007.
Peryataan yang disampaikan diatas menunjukkan bahwa keberhasilan PT.
Indosiar atas penempatan anak perusahaan pada jajaran tiga besar televisi nasional
dijadikan sebagai alasan untuk mengklaim bahwa meskipun mengalami kerugian,
manajemen tetap mampu mengelola perusahaan. Campbell, et al. (2004)
mangatakan bahwa pelaku narsis sangat yakin dan percaya diri atas kemampuan
yang mereka miliki dalam domain tugas. Jadi, dengan penuh percaya diri dan
keyakinan, manajemen cenderung untuk tetap membentuk image positif atas
keberhasilan usaha yang telah dilakukan.
Hal yang senada dalam membentuk image positif dinyatakan PT. BII pada
pada saat mengalami kerugian tahun 2009 dalam Analisa dan Pembahasan
Manajemen (hal.38),
BII telah berhasil memperbaiki kembali kinerjanya pada 2009, yang
tercermin dari pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan sejak kuartal ketiga
tahun 2009. Keberhasilan ini dipengaruhi oleh perbaikan proses bisnis, dan
didukung oleh prospek perekonomian yang positif. Sepanjang 2009 BII
10

mengalami kemajuan yang baik dalam mempersiapkan pertumbuhan yang
berkelanjutan dan memberikan layanan prima.
Pernyataan serupa ditujukkan pada annual report PT. Mobile-8 saat
mengalami kerugian tahun 2008 dalam Analisis dan Pembahasan Manajemen
(hal.28), yang mengklaim keberhasilan atas kemampuan internal perusahaan
sebagai berikut:
Mobile-8 juga bekerjasama dengan Baznas menyelenggarakan program Infaq,
yang hasilnya disumbangkan untuk mendukung program Baznas dalam
mensejahterakan masyarakat Indonesia, dimana program ini menghasilkan
penghargaan kepada PT Mobile-8 sebagai satu-satunya operator
telekomunikasi yang membantu program kesejahteraan bagi masyarakat
Indonesia.
Upaya perusahaan dalam menciptakan image positif lebih sering terlihat
ketika perusahaan tersebut memperoleh laba. Hal ini disebabkan manajemen
cenderung lebih yakin dan percaya diri atas keberhasilan yang diperolehnya.
Sebagai contoh dapat dilihat pada annual report PT. Indosiar, PT. Mobile-8 dan
PT BII pada saat memperoleh laba dalam Analisis dan Pembahasan Manajemen
sebagai berikut:

PT. Indosiar tahun 2008 (hal.16),
Dalam kondisi krisis finansial yang telah meluas ke berbagai belahan dunia,
perseroan dan anak perusahaan akan tetap berupaya memperbaiki kinerjanya,
sebagai kesinambungan dari kinerja perseroan yang secara berangsur-angsur
mulai membaik pada tahun ini, ditandai dengan dibukukannya saldo laba,
dengan melanjutkan berbagai program kerja serta menetapkan strategi.
PT. Mobile-8 tahun 2007 (hal.25),
Pendapatan usaha perseroan naik 48,8 % menjadi Rp. 1.117,7 miliar pada
2007 dibandingkan Rp. 751,2 miliar pada 2006. peningkatan tersebut
didorong oleh peningkatan jumlah pelanggan yang berdampak pada
peningkatan pendapatan yang signifikan dari percakapan, SMS, dan data.
PT. BII tahun 2008 (hal.26),
Laba bersih konsolidasi naik 36% menjadi Rp. 480 miliar karena
pertumbuhan pendapatan bunga bersih yang berasal dari meningkatnya
portofolio aset dan penetapan suku bunga pendanaan yang efektif, didukung
oleh program-program pemasaran dan layanan serta ekspansi cabang.

11

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perusahaan menciptakan image
positif dengan mengklaim keberhasilan usaha yang telah dilakukan. Seperti
pemakaian kata “peningkatan tersebut didorong oleh peningkatan jumlah
pelanggan…” ataupun “…meningkatnya portofolio aset dan penetapan suku
bunga pendanaan yang efektif..” Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam
menyampaikan pesan melalui narrative text, narsisme bahasa cenderung
digunakan perusahaan.

Menghindari Image Negatif
Upaya membentuk image terus dilakukan perusahaan dalam memperoleh
legitimasi. Tidak mengherankan jika perusahaan mengalami kerugian, manajemen
akan menjustifikasi bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh faktor eksternal di
luar kendali perusahaan. Sebagai contoh, pernyataan yang disampaikan pada
annual report PT. Indosiar yang mengalami kerugian pada tahun 2007 yang

disajikan dalam Analisis dan Pembahasan Manajemen (hal.17):
kenaikan terjadi pada akun biaya utilitas, dan perbaikan & pemeliharaan yaitu
masing-masing naik sebesar Rp. 12,75% dan 91,91%. Meningkatnya biaya
perbaikan dan pemeliharaan karena pembelian sparepart peralatan penyiaran
dan produksi di tahun 2007, akibat tertundanya pemeliharaan non rutin di
tahun-tahun sebelumnya.
Contoh yang sama ditunjukkan pada annual report PT. Mobile-8 yang
mengalami kerugian pada tahun 2007 dibagian Analisis dan Pembahasan
Manajemen (hal.26):
Walaupun telah melalui segala daya dan upaya, penyebaran jaringan Mobile8 di luar Pulau Jawa yang dijadwalkan selesai tahun 2008 akhirnya tetap
mengalami pengunduran penyelesaian akibat semakin banyaknya hambatan
dan rintangan, baik dari internal maupun eksternal. Dari internal antara lain
kesulitan pemenuhan para mitra kerja dalam menyelesaikan pekerjaan
instalasi perangkat jaringan, serta eksternal antara lain semakin sulitnya
mendapatkan ijin membangun dan sulitnya pasokan tenaga listrik.
Hal yang sejenis dinyatakan pada annual report PT. Bank BII yang
mengalami kerugian tahun 2009 pada Analisis dan Pembahasan Manajemen
(hal.44):

12

Bank mencatat kerugian konsolidasian sebesar Rp40.969 juta pada tahun
2009, merupakan penurunan dari laba bersih tahun 2008. Penurunan ini
terutama disebabkan karena pada tahun 2008 Bank memperoleh pendapatan
non operasional „one off’ dari pelepasan dan penjualan aset kantor luar negeri
yang tidak beroperasi lagi.
Meskipun perusahaan telah memperoleh laba, tidak menutup kemungkinan
adanya penurunan yang terjadi ataupun hasil yang belum dicapai perusahaan.
Namun demikian, perusahaan tetap mengklaim faktor eksternal sebagai penyebab
atas terjadinya hal tersebut. Sebagai contoh, dapat dilihat pada annual report PT.
Indosiar yang memperoleh laba pada tahun 2008 dalam Analisis dan Pembahasan
Manajemen (Hal.11):
nilai buku aset tetap berkurang karena anak perusahaan melakukan
pembatasan atas pembelajaan barang modal disamping penurunan sebesar Rp.
62,53 miliar karena penjualan sebagian dari peralatan pada awal tahun 2008,
yang dilakukan berdasarkan pertimbangan manajemen antara lain masalah
efektivitas dan efisiensi serta perbaikan cash flow, dimana perolehan dananya
telah dipergunakan untuk melunasi pinjaman dari pihak ketiga.
Pada pernyataan di atas, disebutkan bahwa berkurangnya nilai buku aset
tetap yang terjadi yaitu disebabkan adanya pembatasan pembelajaan modal dan
penjualan sebagian peralatan. Selain itu, efektivitas dan efisiensi yang juga
dikaitkan dengan pihak ketiga dijadikan alasan bagi perusahaan atas berkurangnya
nilai aset.
Pernyataan lain yang juga menjadikan faktor eksternal sebagai penyebab
yaitu pada annual report PT. Mobile-8 yang memperoleh laba pada tahun 2007
dalam Sambutan Direksi (hal.19):
Pada tahun 2007, Perseroan menunjuk Samsung Electronics Ltd.
(“Samsung”) untuk pembangunan perluasan cakupan jaringan telepon seluler
CDMA kami di seluruh Jawa, Bali, serta sebagian wilayah Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi. Namun disayangkan, Samsung tidak dapat
memenuhi jadwal penyelesaian yang telah disepakati, yang mengakibatkan
keterlambatan dalam beberapa target pengembangan dan perluasan jaringan
selama tahun 2007.
Kalimat serupa dinyatakan pada annual report PT. BII yang memperoleh
laba pada tahun 2008 dalam Analisis dan Pembahasan Manajamen (hal.27):

13

Beban operasional lainnya naik 6%. Beban ini mencakup beban umum dan
administrasi yang naik 13% sejalan dengan ekspansi jaringan cabang dan
peningkatan bisnis, sedangkan beban tenaga kerja dikendalikan dengan baik
sehingga hanya naik 7% dan dipertahankan dibawah tingkat inflasi.
Perilaku narsis individu dalam membentuk image, memiliki kebutuhan
yang kuat atas ketegasan orang lain terhadap keunggulan yang dimiliki (Wallace,
2002 dalam Chatterjee dan Hambrick, 2006). Oleh karena itu, kecenderungan
narsisme yang digunakan semata-mata untuk memperoleh legitimasi dari pihak
yang berkepentingan. Selain itu, alasan manajamen dalam menggunakan narsisme
bahasa dalam annual report terkait erat dengan teori komunikasi aksi Habermas,
yaitu adanya kepentingan (interest).

Peranan Money dalam Interest
Money mempengaruhi keputusan dalam pertimbangan profit dan loss serta

perhitungan ekonomis lain (Habermas, 1983b). Selain itu, dalam annual report
dapat dilihat jelas peranan dari money yaitu dari adanya pengungkapan informasi
yang diberikan perusahaan berkenaan dengan aspek finansial. Hal tersebut seperti
yang diungkapkan pada annual report PT Indosiar ketika mengalami kerugian
pada tahun 2007 dalam Analisis dan Pembahasan Manajemen (hal.17):
Kenaikan tipis pendapatan bersih yang diperoleh anak perusahaan sebesar
0,08% dibandingkan dengan tahun sebelumnya terutama terjadi sejak kuartal
ke-3 yang membukukan masing-masing sebesar Rp. 350, 71 miliar dan Rp.
314, 05 miliar untuk enam bulan terakhir tahun 2007 dan 2006.
Hal yang serupa juga dinyatakan PT Indosiar pada saat memperoleh laba
dalam Analisis dan Pembahasan oleh Manajemen (hal.15) sebagai berikut:
Di samping tercapainya usaha anak perusahaan dalam melakukan efisiensi
biaya, kenaikan rating dan share telah mendongkrak kenaikan pada
pendapatan iklan anak perusahaan hingga 32,4% dari tahun sebelumnya,
sehingga berhasil membukukan saldo laba.
Oleh karena itu, sangat jelas peran money yang diungkapkan pada annual
report PT. Indosiar yaitu yang berfokus pada peningkatan rating dan audice share
yang berujung pada pemerolehan pendapatan. Peran money tersebut yaitu sematamata berpengaruh pada kepentingan para stakeholder.

14

Pernyataan yang senada mengenai peran money, diungkapkan pada annual
report PT. Mobile-8 dalam sambutan Dewan Komisaris sebagai berikut:

Pada saat mengalami kerugian pada tahun 2008 (hal.15),
Dengan berbagai langkah ini, yang antara lain mencakup program revitalisasi
produk dan layanan Mobile-8, konsolidasi sumber daya Perseroan,
penghematan belanja modal dan efisiensi biaya disertai dengan suntikan
modal tambahan memadai, perseroan diperkirakan kembali meraih laba
selambat-lambatnya pada tahun buku 2011.
Pada saat memperoleh laba pada tahun 2007 (hal.17),
Tahun 2007 merupakan tahun yang penuh tantangan sekaligus memberikan
kepuasan bagi Mobile-8. Perseroan membukukan pendapatan usaha sebesar
Rp1.117,7 miliar di tahun 2007, meningkat sebesar 48,8% dari Rp751,2
miliar di tahun 2006.
.Hal senada juga diungkapkan pada annual report PT. BII dalam Analisis
dan Pembahasan Manajemen sebagai berikut:
Pada saat mengalami kerugian tahun 2009 (hal.40),
Kontribusi pendapatan bunga kredit meningkat menjadi 73% dari total
pendapatan bunga tahun 2009, dibandingkan kontribusi tahun 2008 sebesar
66%. Selama beberapa tahun terakhir ini, pendapatan bunga kredit telah
menjadi kontributor terbesar pendapatan bunga.
Pada saat memperoleh laba tahun 2008 (hal.25),
Dengan besar hati kami laporkan bahwa tahun 2008 merupakan tahun yang
sangat positif bagi BII, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil yang dicapai.
Laba bersih naik 36% menjadi Rp480 miliar atau Rp9,79 per saham.
Kedua kutipan diatas dinyatakan masing-masing perusahaan pada bagian
awal atau sebagai pernyataan pembuka pada narrative text. Peran money sangat
jelas nampak pada kedua pernyataan tersebut. Seperti pemakaian kata “Dengan
besar hati saya laporkan bahwa 2008 merupakan tahun yang sangat positif bagi
BII…” merupakan kata yang dapat dikatakan narsis. Narsisme bahasa yang
cenderung digunakan perusahaan dengan adanya peran money tersebut, lagi-lagi
berujung pada pemerolehan legitimasi dari para stakeholder.

15

Peranan Power dalam Interest
Peranan power sangat jelas dapat dilihat pada annual report perusahaan
dengan adanya pengungkapan informasi yang terkait dengan prinsip tata kelola
perusahaan (Good Corporate Governance). Sebagai contoh telah dinyatakan pada
annual report PT. Indosiar dalam Analisis dan Pembahasan Manajemen sebagai

berikut:
Pada saat mengalami kerugian pada tahun 2007 (hal.18):
Dalam perjalanannya menjadi perusahaan publik, perseroan telah
merampungkan sejumlah proses yang menerapkan prinsip-prinsip good
corporate governance yakni transparency, fairness, responsibility dan
accountability, yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan pasar modal.
Pada saat memperoleh laba pada tahun 2008 (hal.13):
Perseroan memastikan bahwa anak Perusahaan pada prinsipnya siap
menjalankan Undang-undang dan telah melakukan persiapan-persiapan yang
diperlukan sehubungan dengan peraturan dan perundang-undangan yang
terkait, khususnya menyangkut persiapan jaringan penyiaran TV lokal
nasional di kota-kota besar.
Adanya power memberikan kemampuan kepada seseorang atau suatu
entitas untuk mempengaruhi orang lain ataupun entitas lain untuk melakukan apa
yang diinginkan oleh entitas yang memiliki power tersebut. Penjelasan ini sejalan
dengan definisi power yang diberikan Vail (2004): “The ability of one entity to
influence the action of another entity” dan Boulding (1989): “The ability to get

what you want” (Meutia, 2010).
Pernyataan narrative lain yang senada disampaikan pada Annual report
PT Mobile-8 yang menunjukkan adanya komitmen perusahaan untuk menjamin
kepatuhan terhadap power , sebagai berikut:
Pada saat mengalami kerugian tahun 2008 dalam Analisis dan Pembahasan
Manajemen (hal.25),
Perusahaan menunjuk TDM, sebagai manajer investasi, untuk mengelola
dana milik perusahaan sesuai dengan arahan investasi perusahaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada saat memperoleh laba tahun 2007 dalam Sambutan Direksi (hal. 21):

16

Pada tahun 2007, Mobile-8 juga menyisihkan waktu dan sumber daya untuk
melaksanakan kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perseroan (CSR) sebagai
bagian dari komitmen Perseroan terhadap masyarakat dimana kami
beroperasi, dan sejalan dengan Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
Pernyataan pertama diatas diungkapkan bahwa perusahaan menunjuk
TDM sebagai manajer investasi yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sedangkan pernyataan kedua menunjukkan komitmen PT. Mobile-8 yang
berkaitan dengan tanggung jawab sosial Perseroan (CSR).
Hal serupa mengenai peran power, ditunjukkan pada annual report PT. BII
sebagai berikut:
Pada saat mengalami kerugian tahun 2009 dalam Sambutan Direksi (hal. 37),
Standar baku yang dipegang teguh dalam beberapa bulan kepemimpinan
kami, merupakan bukti nyata komitmen kami untuk menjamin kepatuhan
pada seluruh kebijakan internal BII dan peraturan yang ada.
Pada saat memperoleh laba tahun 2008 dalam Analisis dan Pembahasan
Manajemen (hal. 31),
Penyediaan dana kepada debitur/grup telah dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia terkait dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK), tidak terdapat pelampauan maupun pelanggaran BMPK.
Hal tersebut di atas tentunya dilakukan perusahaan dalam upaya
membentuk image. Alasan lain manajemen dalam menggunakan narsisme bahasa,
yang merupakan ujung dari upaya manajemen dalam membentuk image
berdasarkan kepentingan yang ada, yaitu dalam pemerolehan legitimasi.

Pemerolehan Legitimasi
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk
memperoleh legitimasi, yaitu manajemen substantif dan manajemen simbolik
(Ashforth dan Gibbs, 1990 dalam Chariri dan Nugroho, 2009). Manajemen
substantif mengandung arti bahwa strategi khusus untuk memperoleh legitimasi
banar-benar diterapkan perusahaan. Sedangkan manajemen simbolik berarti
bahwa perusahaan hanya berpura-pura menerapkan strategi tertentu namun pada

17

kenyataannya tidak. Berikut merupakan kutipan dari pernyataan Dewan Komisaris
PT. Indosiar dan PT. Mobile-8:
Annual report PT. Indosiar yang mengalami kerugian pada tahun 2007 (hal.4)

dewan komisaris yang dibantu oleh komite audit dalam menelaah aspek
hukum dan bisnis perseroan, terus mendorong perseroan untuk menerapkan
prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik guna menjaga kredibilitas
perseroan di mata para stakeholder.
Annual report PT. Mobile-8 yang mengalami kerugian tahun 2008 (hal.12),

Dengan arah dan langkah yang jelas di bawah kepemimpinan para anggota
Direksi yang sangat berpengalaman, jerih payah serta dedikasi setiap staf dan
karyawan, beserta dukungan segenap pemangku kepentingan Perseroan, mari
kita antar Mobile-8 kembali ke jalur pertumbuhan yang menjanjikan.
Hal serupa atas pentingnya legitimasi diungkapkan PT. BII pada saat
mengalami kerugian pada tahun 2009 dalam Analisis dan Pembahasan
Manajemen (hal.30) sebagai berikut:
Ke depan, dengan dukungan penuh Grup Maybank, BII akan menjalankan
rencananya untuk melakukan ekspansi dan revitalisasi. Pada 2010 BII akan
melakukan rights issue hingga senilai Rp1,4 triliun untuk memperkuat modal
inti. Penambahan modal ini akan meningkatkan rasio modal inti yang
dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang. Pemegang
saham mayoritas, Grup Maybank berkomitmen kuat pada pertumbuhan
jangka panjang dan optimis pada potensi yang dimiliki oleh BII. Peningkatan
modal disetor ini merupakan dukungan Maybank untuk meningkatkan brand
BII di Indonesia.
Legitimasi merupakan hal yang penting bagi perusahaan. Oleh karena itu,
dalam penyampaian informasi pada annual report, baik ketika perusahaan
mengalami kerugian ataupun memperoleh laba, manajemen tetap berupaya untuk
melakukan pencitraan yang positif. Berikut contoh yang dinyatakan tersebut yang
disajikan pada annual report PT. Indosiar yang memperoleh laba pada tahun 2008
dalam Sambutan Dewan Komisaris (hal.29):
Perseroan juga menyadari bahwa penerapan Good Corporate Governance
(GCG) akan memberikan manfaat yang maksimal kepada seluruh stakeholder
Perseroan.

18

Pernyataan yang senada atas pentingnya legitimasi dapat dilihat pada
annual report PT. Mobile-8 yang memperoleh laba pada tahun 2007 dalam

Analisis dan Pembahasan Manajemen (hal.26):
Sesuai dengan misi “Untuk memaksimalkan nilai-nilai bagi para pihak yang
berkepentingan dengan terus berinovasi dengan mengimplementasikan tata
kelola perusahaan yang kuat secara konsisten", Perseroan menghayati
sepenuhnya pentingnya Good Corporate Governance (GCG) untuk
meningkatkan shareholder value dalam jangka panjang dan untuk melindungi
kepentingan para pemegang saham minoritas.
Hal yang serupa dinyatakan PT. BII yang memperoleh laba pada tahun
2008 dalam Analisis dan Pembahasan Manajemen (hal.26):
Keyakinan yang kami nyatakan dalam laporan tahun lalu mengenai kapasitas
yang tersedia, ekspansi kredit dan pendanaan, interest spread, kesinambungan
profitabilitas dan prospek pertumbuhan telah terbukti. Kehadiran Grup
Maybank sebagai pemegang saham mayoritas memberikan peluang yang
besar untuk meningkatkan lebih jauh lagi prospek pertumbuhan dan
pendapatan Bank di masa mendatang.
Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa dalam
memperoleh legitimasi, ketiga perusahaan yaitu PT. Indosiar, PT. Mobile-8 dan
PT BII lebih mementingkan manajamen substantif daripada manajemen simbolik
sebagai strategi. Hal tersebut telah dibuktikan masing-masing perusahaan dengan
strategi-strategi yang memang dilakukan oleh ketiganya, meskipun dalam keadaan
rugi sekalipun. Jadi, sulit untuk menemukan setiap bahasa yang tidak penting
yang digunakan sebagai “topeng” untuk menutupi kerugian pada periode
sebagaimana yang digambarkan dalam annual report (Fitriani, 2009).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyampaian informasi
yang dilakukan melalui media annual report oleh ketiga perusahaan (PT. Indosiar,
PT. Mobile-8 dan PT BII), merupakan usaha yang dilakukan setiap perusahaan
untuk membentuk image berdasarkan kepentingan yang ada yang berujung pada
pemerolehan legitimasi dari para stakeholder . Usaha dalam membentuk image
yang berujung pada pemerolehan legitimasi tersebut dilakukan dengan
menjelaskan fakta dan realita organisasi yang tentunya mengarah pada narsisme.
Adanya narsisme bahasa yang digunakan, dilakukan perusahaan dengan cara

19

mendesain sedemikian rupa narrative text pada pelaporan keuangan yang
diharapkan dapat mempengaruhi penilaian stakeholder atas perusahaan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua rumusan masalah. Yang
pertama adalah bagaimana perusahaan tersebut menggunakan narsisme bahasa
dalam pelaporan keuangan ketika perusahaan tersebut mengalami kerugian. Dapat
disimpulkan bahwa ketiga perusahaan tersebut (PT. Indosiar, PT. Mobile-8 dan
PT BII) menggunakan narsisme bahasa dalam pelaporan keuangan dengan cara
mendesain sedememikian rupa narrative text pada annual report.
Rumusan masalah yang kedua adalah mengapa narsisme bahasa digunakan
perusahaan dalam pelaporan keuangan. Hasil pada penelitian ini menunjukkan
bahwa narsisme bahasa digunakan ketiga perusahaan dengan alasan untuk
membentuk image positif dan menghindari image negatif, melalui pesan yang
disampaikan pada narrative text atas laporan keuangan. Alasan Kedua yang
mendasari kecenderungan narsisme bahasa digunakan perusahaan yaitu karena
adanya kepentingan (interest), yang dipengaruhi dua hal yaitu money dan power .
Alasan lain yang tidak kalah penting yaitu karena perusahaan ingin mendapatkan
pengakuan (legitimasi) dari para stakeholder . Narrative text merupakan media
yang mudah dan tepat digunakan perusahaan untuk memperoleh legitimasi
berdasarkan kepentingan tertentu dari manajemen.
Karena penelitian ini adalah studi kasus maka terdapat beberapa
keterbatasan. Pertama, penelitian ini hanya menggunakan data dokumenter tanpa
adanya wawancara dan observasi langsung dengan pihak perusahaan. Kedua,
kemungkinan ada kesalahan dalam hasil analisis data pada penelitian ini yang
menggunakan interpretasi kalimat, karena kalimat-kalimat yang dianalisis tanpa
pengesahan dari pihak ketiga yang netral.
Penelitian berikutnya disarankan untuk dilakukan adanya wawancara
secara mendalam (in-dept interview) dengan pihak-pihak perusahaan yang terkait.
Selain itu, topik penelitian dapat diperluas misalnya dengan menganalisis issu lain
seperti alasan pengungkapan sosial dan lingkungan dalam annual report

20

perusahaan, dan sebagainya. Dan untuk selanjutnya, analisis yang dilakukan dapat
lebih diperluas dan dikembangkan, misalkan tidak hanya berdasarkan hasil
pemikiran peneliti saja, tetapi disertakan hasil pemikiran dari pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA
Aerts, W. 1994. “On the Use of Accounting Logic as an Explanatory Category in
Narrative Accounting Disclosures”. Accounting, Organization, and
Society. Vol. 19, No. 4/5, Hal. 337-353.
Amir, E. and B. Lev. 1996. “Value Relevance of Non Financial Information: The
Wireless Communications Industry”. Journal of Accounting and
Economics. Vol.22, No.1 dan 3, Hal. 3-30.
Anderson, RH., and M.J. Epstein. 1995. “The Usefulness of Annual Report
Australian Accountant”. April, Hal. 25-28.
Balata, P. and G. Breton. 2005. “Narratives vs Numbers in the Annual Report:
Are They Giving the Same Message to the Investors?”. Review of
Accounting & Finance: 5-25.
Bartlett, S. dan R. Chandler. 1997. “The corporate report and the private
shareholder: Lee and Tweedie twenty years on” British Accounting
Review, 29(3): 245–61.
Belkaoui, Ahmed R. 2006. Teori Akuntansi. Cambridge : The University Press.
Campbell, W. K., A. S. Goodie, dan J. D. Foster. 2004. “Narcissism, confidence,
and risk attitude.” Journal of Behavioral Decision Making, 17: 297–
311.
Chariri, Anis. 2006. The Dynamics of Financial Reporting Practice in An
Indonesian Insurance Company : A Reflection of Javanese Views on
An Ethical Social Relationship. Unpublished thesis PhD in Accounting,
University of Wollongong, Australia.
Chariri, A. dan Nugroho. F. A. 2009. “Retorika dalam Pelaporan Corporate Social
Responsibility : Analisis Semiotik atas Sustainibility Reporting PT.

21

Aneka Tambang, Tbk”. Simposium Nasional Akuntansi

XII.

Palembang 4-6 November 2009.
Chatterjee, A and D.C. Hambrick. 2006. “It‟s All About Me: Narcissistic CEOs
and Their Effects on Company Strategy and Performance”.

The

Pennsylvania State University
Chatterjee, B., Mirshekary, S., Al Farooque., Omar, and Safari, M. 2010.
“Users‟Information Requirements and Narrative Reporting: The Case of
Iranian Companies”. Australasian Accounting Business and Finance
Journal, 4(2), 2010, 79-96.
Clatworthy, M. dan J. Michael. 2006. “Differential Patterns of Textual
Characteristics and Company Performance in the Chairman's
Statement”. Accounting, Auditing & Accountability Journal : 493.
Cohen, J., G. Krishnamoorthy, and A. Wright. 2004. “The Corporate Governance
Mosaic and Financial Reporting Quality”. Journal of Accounting
Literature, 23, hal.87-152.
Conway, S., dan Patricia. 2008. Impression Management and Legitimacy in an
NGO Environment. Working Paper Series No: 2. University of
Tasmania.
Deegan, C. 2001. Financial Accounting Theory. Sydney : The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Ferry dan Eka.W. 2004. “Pengaruh Informasi Laba Aliran Kas dan Komponen
Aliran Kas terhadap Harga Saham Pada Perusahaan Manufaktur Di
Indonesia”. Simposium Nasional Akuntansi VII, 2-3 Desember 2004:
1122 – 1132.
Fitriany, Kiki. 2009. “Retorika dalam Pelaporan Keuangan : Analisis atas
Narrative Text dalam Annual Report Perusahaan yang Mengalami
Kerugian”. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas
Diponegoro Semarang.
Gardner, W., dan J. Martinko. 1988. “Impression Management in Organization”.
Journal of Management, Vol. 14, No.2, Hal. 321-338.

22

Ghauri, P. 2004. “Designing and Conducting Case Studies in International
Business Research”. Handbook of Qualitative Research Methods for
International Business. Hal.109-122.
Ghozali, I dan A. Chariri. 2007. Teori Akuntansi, Badan Penerbit Undip,
Semarang.
Habermas,J. 1983a. The Theory of Communicative Action, Reason and the
Rationalization of Society. Volume 1. Beacon Press. Boston.
Habermas,J. 1983b. The Theory of Communicative Action, Lifeworld and
System: A Critique of Functionalist Reason. Volume 2. Beacon Press.
Boston.
Halim, J., Meiden, C., dan Lumban Tobing, Rudolf. 2005. “Pengaruh manajemen
laba pada tingkat pengungkapan laporan keuangan pada perusahaan
manufaktur yang termasuk dalam indeks LQ-45”. Simposium Nasional
Akuntansi 8. Solo 15-16 september 2005.
Healy, P., A. Hutton, dan K. Palepu. 1999. “Stock Performance and
Intermediation Changes Surrounding Sustained Increase In disclosure”.
Contemporary Accounting Research. Vol.16, No.3, Hal.485-520.
Hoed, Benny. H. 2007. “Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya”. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya (FIB) : UI Depok.
Hyland, K. 1998. “Exploring corporate rhetoric: Metadiscourse in the CEO‟s
letter”. The Journal of Business Communication, 35(2), 224-245.
Jones, M., 1996, “Readability of annual reports: Western verus Asian evidence – a
comment on contextualize” Accounting, Auditing & Accountability
Journal 9(2): 86.
Jonnal, K. dan G. Rimmel. 2010. “CEO Letters as Legitimacy Builders:
Coupling Text to Numbers”. Journal of HRCA : Human Resource
Costing & Accounting : 307-328.
Kernberg, O. F. 1975. Borderline conditions and pathological narcissism. New
York: Aronson.
Kernstock, J. 2009. “Implications of Habermas‟s -Theory of Communicative
Action-

for

Corporate

Brand

23

Management”.

Corporate

Communications: An International Journal. Vol. 14 No. 4, hal. 389403.
Kohut, G.F., dan A.H. Segars. 1992. “The President‟s Letter to Stakeholders : An
Examination of Corporate Communication Strategy”. Journal of
Business Communication, Vol. 29, No.1, Hal. 7-21
Lev, B. dan J.A. Ohlson. 1982. “Market-Based Accounting Research in
Accounting: A Review, Interpretation, and Extension”. Journal of
Accounting Research. Vol.20 (Supplement), Hal. 249-332.
Lev, B. dan P. Zarrowin. 1999. “The Boundaries of Financial Reporting and How
to Extend Them”. Journal of Accounting Research. Vol.37, No.2.
Hal.353-385.
Marcus, A, dan R. Goodman. 1991. “Victims and Shareholders : The Dilemmas
of Presenting Corporate Policy During A Crisis”. Academy of
Management Journal. Vol.34, No.2, Hal. 281-305.
Meutia, Inten. 2010. “Shari‟ah Enterprise Theory sebagai Dasar Pengungkapan
Tanggung Jawab Sosial untuk Bank Syariah”. Disertasi Program
Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Brawijaya, Malang.
Nuryaman. 2008. “Pengaruh Konsentrasi Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan
Mekanisme

Corporate

Governance

terhadap

Manajemen

Laba”.

Simposium Nasional Akuntansi, Vol.1. Pontianak (Tanjung Pura) 2324 Juli 2008.
Rahayu, Sovi. 2008. “Pengaruh Tingkat Ketaatan Pengungkapan Wajib dan Luas
Pengungkapan Sukarela terhadap Kualitas Laba (Studi Empiris pada
Perusahaan

Publik

Sektor

Manufaktur)”.

Simposium

Nasional

Akuntansi 11, Vol.1. Pontianak (Tanjung Pura) 23-24 Juli 2008.
Raskin, R., J. Novacek, and R. Hogan. 1991. “Narcissistic self-esteem
management.” Journal of Personality and Social Psychology, 60(6):
911-918.
Suchman, M.C., 1995, “Managing Legitimacy: Strategic and Insitutional
Approaches”, Academy Management Review 1995, Vol. 20 No. 3,
571-610

24

Tauringana, V. dan G. Chong. 2004. “Neutrality of Narrative Discussion in
Annual Reports of UK Listed Companies”. Journal of Applied
Accounting Research : 74-107.
Utari, Agnes. 2001. “Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh terhadap Earnings
Management Pada Perusahaan Go Public Di Indonesia”. Jurnal
Akuntansi & Keuangan. November Vol. 3 No. 2.
Wallace, H. M., and R. F. Baumeister. 2002. “The performance of narcissists rises
and falls with perceived opportunity for glory.” Journal of Personality
and Social Psychology. 82(5): 819-834.
Watson, Marcia. 2005. Illusions of Trust: A Comparison of Corporate Annual
Report Executive Letters Before and After SOX. presented at the 8th
International Public Relations Research, University of Miami.
Wills, Debbie. 2008. Perceptions of Company Performance: A study of
impression management. Working Paper Series No: 1. University of
Tasmania.
Yeoh, Peter. 2010. “Narrative reporting: the UK experience”. International
Journal of Law and Management : 211-231.
Yussof, H. and L. Glen. 2009. “Corporate Environmental Reporting through the
Lens of Semiotics”. Asian Review of Accounting : 226-246

25