PROSPEK DAN FUNGSI TANAMAN OBAT SEBAGAI

PROSPEK DAN FUNGSI TANAMAN OBAT SEBAGAI
IMUNOMODULATOR
Sintha Suhirman* dan Christina Winarti **
* Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
** Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
ABSTRAK
Imunomodulator tampak menjadi bagian
terpenting dalam dunia pengobatan. Imunomodulator membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem
utama yang berperan dalam pertahanan tubuh di
mana kebanyakan orang mudah mengalami
gangguan sistem imun. Beberapa jenis tanaman
obat yang mempunyai aktivitas sebagai imunomodulator adalah Echinacea purpurea, mengkudu, jahe, meniran dan sambiloto. Masalah
yang sangat penting dalam pengembangan tanaman obat adalah pasokan bahan baku, keajegan kualitas dan jaminan khasiatnya. Tujuan
penulisan untuk memberikan informasi dari
beberapa tanaman obat berfungsi sebagai
imunomodulator.

PENDAHULUAN
Sebagian besar tanaman mengandung ratusan jenis senyawa kimia,
baik yang telah diketahui jenis dan
khasiatnya ataupun yang belum diketahui jenis dan khasiatnya. Senyawa

kimia merupakan salah satu bahan dasar dalam pembuatan obat dari berbagai hasil pengkajian menunjukkan
bahwa tanaman daerah tropis mempunyai potensi yang cukup besar untuk
dikembangkan sebagai obat (Sukara,
2000).
Usaha pencarian tanaman yang
berkhasiat sebagai imunomodulator dapat diawali dari penggunaan tanaman
tersebut secara empiris. Beberapa pen-

dekatan dilakukan dari berbagai aspek
seperti etnobotani, etnofarmasi, etnofarmakologi dan etnomedis dilanjutkan
dengan test secara in vitro.
Senyawa-senyawa yang mempunyai prospek cukup baik yang dapat
meningkatkan aktivitas sistem imun
biasanya dari golongan flavonoid, kurkumin, limonoid, vitamin C, vitamin E
(tokoferol) dan katekin. Hasil test secara in vitro dari favonoid golongan
flavones dan flavonols telah menunjukkan adanya respon imun (Hollman
et al., 1996). Sedangkan katekin merupakan senyawa fenol, aktivitasnya sebagai antioksidan yang lebih tinggi
daripada antioksidan sintetik seperti
BHA (Butil Hidroksi Anisol) (Das,
1994). Katekin mempunyai efek antiproliferatif dan bersifat toksik terhadap

sel kanker. Kebanyakan senyawa fenol
telah diuji secara in vitro dan in vivo
memperlihatkan kemampuan antioksidan, antiinflamasi dan antialergi. Sedangkan senyawa yang mempunyai
bioaktifitas sebagai imunostimulan
agent adalah golongan senyawa polisakarida, terpenoids, alkaloid dan polifenol (Wagner, 1985).
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
melindungi dan mempertahankan keutuhan tubuh dari bahaya yang menyerang tubuh. Dikatakan pula bahwa

121

imunomodulator terutama dibutuhkan
untuk kondisi dimana status sistem
imun akan mempengaruhi kondisi pasien dan penyebaran penyakit, seperti
pada kasus terapi adjuvan yang melibatkan infeksi bakteri, fungi atau virus
(Tjandrawinata et al., 2005).
Menurut Djauzi (2003) penyakit
yang dapat menurunkan kekebalan tubuh diantaranya adalah : (1). Infeksi virus, pada umumnya infeksi virus menurunkan imunitas. Penurunan kekebalan
tubuh dapat bersifat sementara misalnya pada SARS, influenza, herpes,
morbili, juga common cold (batuk
pilek), tetapi dapat pula menurunkan

kekebalan tubuh secara lama dan progresif misalnya HIV, (2). Kanker, pada
penyakit kanker juga terjadi penurunan
kekebalan tubuh dan pada kanker lanjut
penurunan kekebalan tubuh menjadi
lebih nyata,dan (3). Penyakit kronik,
beberapa penyakit seperti diabetes melitus, sirosis hati, gagal ginjal kronik,
tuberkolosis, lepra, juga menurunkan
imunitas.
Beberapa jenis tanaman obat
yang mempunyai aktivitas sebagai
imunomodulator antara lain: echinacea,
mengkudu, jahe, meniran dan sambiloto. Tujuan penulisan untuk memberikan informasi mengenai beberapa tanaman obat berfungsi sebagai imunomodulator.
Sistem imun atau kekebalan tubuh
Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan tubuh yang bertugas merespon
atau menanggapi ''serangan'' dari luar
tubuh kita. Saat terjadi serangan,
biasanya antigen pada tubuh akan mu-

122


lai bertugas. Antigen bertugas menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Kelak,
mekanisme inilah yang akan melindungi tubuh dari serangan berbagai
mikro organisma seperti bakteri, virus,
jamur, dan berbagai kuman penyebab
penyakit. Ketika sistem imun tidak bekerja optimal, tubuh akan rentan terhadap penyakit. Beberapa hal dapat mempengaruhi daya tahan tubuh. Misalnya
saja karena faktor lingkungan, makanan, gaya hidup sehari-hari, stres, umur
dan hormon. Untuk itu sebelum jatuh
sakit, penting kiranya setiap orang
menjaga gaya hidup yang sehat dan
baik. Caranya dengan mengonsumsi
makanan dengan gizi seimbang, hidup
yang sehat dan higienis, tidur cukup
selama delapan jam sehari, minum air
putih dua liter per hari, olahraga teratur
dan menjaga berat badan yang ideal.
Fungsi sistem imun bagi tubuh
ada tiga. Pertama sebagai pertahanan
tubuh yakni menangkal ''benda'' asing.
Kedua, untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan
komponen yang tua, dan ketiga, sebagai pengintai (surveillence immune

system), untuk menghancurkan sel-sel
yang bermutasi atau ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun seseorang
bekerja optimal, maka tidak akan mudah terkena penyakit, sistem keseimbangannya juga normal.
Fungsi imunomodulator adalah
memperbaiki sistem imun yaitu dengan
cara stimulasi (imunostimulan) atau
menekan/menormalkan reaksi imun
yang abnormal (imunosupresan). Dikenal dua golongan imunostimulan yaitu
imunostimulan biologi dan sintetik.

Beberapa contoh imunostimulan biologi adalah sitokin, antibodi monoklonal, jamur dan tanaman obat (herbal).
Sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol, isoprinosin dan muramil
peptidase (Djauzi, 2003).
Banyak cara guna meningkatkan
sistem kekebalan tubuh, salah satunya
melalui suplemen obat yang berfungsi
sebagai imunomodulator (meningkatkan sistem imun tubuh). Saat ini tersedia banyak suplemen makanan imunomodulator, terutama yang menggunakan bahan herbal alami seperti
tanaman meniran (Phyllanthus niruri).
Di samping menyeimbangkan sistem
imun, suplemen tersebut juga berfungsi

untuk meningkatkan dan menguatkan
sistem imun.
TANAMAN OBAT BERFUNGSI
SEBAGAI IMUNOMODULATOR
Echinacea purpurea
Tanaman Echinacea purpurea
dapat tumbuh beradaptasi dengan baik
di lingkungan tropis meskipun tanaman
ini berasal dari daerah sub tropis, dapat
tumbuh baik pada ketinggian 450-1100
m di atas permukaan laut (Rahardjo,
2000). Untuk pertumbuhannya diperlukan penyinaran matahari penuh.
Industri obat tradisional Indonesia telah menggunakan dan mengimpor ekstrak echinacea, sebagai contoh pabrik jamu dan fitofarmaka telah
menghasilkan beberapa produk jamu
yang bahan bakunya menggunakan
echinacea.

E. purpurea telah lama digunakan di Eropa dan Amerika untuk
pencegahan dan pengobatan penyakit
infeksi pernapasan dan penyakit infeksi

yang disebabkan oleh bakteri maupun
virus lainnya (herpes, konjungtivitis,
stomatis, dan lain-lain). Manfaat echinacea dalam pengobatan penyakit infeksi disebabkan kemampuannya untuk
berperan sebagai anti inflamasi dan
imunostimulan. Echinacea dapat memacu aktivitas limfosit, meningkatkan
fagositosis dan menginduksi produksi
interferon. Echinacea sangat berguna
dalam menurunkan simtom batukpilek, flu dan sakit tenggorokan (Tyler,
1995 dalam Craig, 1999).
Sesungguhnya Echinacea memiliki 9 spesies, namun hanya E.
purpurea yang direkomendasikan secara luas sebagai imunomodulator. Karena ada beberapa spesies Echinacea
dengan kenampakan secara fisik ada
yang mirip satu sama lain maka standardisasi merupakan hal yang mutlak
dilakukan. Pada awalnya ada dua spesies Echinacea lainnya yaitu E.
angustifolia dengan parameter komponen echinacoside dan E. pallida yang
secara fisik sangat mirip dengan E.
angustifolia. Kedua tanaman ini pernah
dilaporkan memiliki efek imunomodulator, tetapi karena hasil uji klinisnya
masih membingungkan/data tidak stabil, ditetapkan dalam Commission E
Monograph bahwa kedua spesies tersebut dinyatakan tidak direkomendasikan sebagai imunomodulator.


123

E. purpurea yang dimaksud dan
direkomendasikan oleh badan-badan
dunia yang mengatur tentang pengobatan seperti ditetapkan dalam Commission E Monograph, adalah preparat
fresh juice (diolah secara proses dingin
dari bunga segar E. purpurea yang
diambil hanya bagian atasnya, dipanen
pada saat bunga sedang mekar).
Komponen karakteristik sebagai
parameter E. purpurea adalah fructofuranosida dan alkilamida (Kreuter dan
Cartellieri dalam Karnen et al., 2003).
Burick et al., 1997 menyebutkan bahwa tanaman Echinacea mengandung 7
grup komponen kimia yaitu polisakarida, flavonoid, asam kafeat, minyak
atsiri, poliasetilen, alkilamida dan miselaneus. Komponen polisakarida yang
dikenal fungsinya untuk menstimulasi
sistem kekebalan tubuh dan regenerasi
jaringan yang rusak serta meningkatkan
jumlah sel fagosit dan makrofag diketahui adalah jenis fruktofuranosida. Selanjutnya dikatakan oleh Bauer and

Wagner dalam Perry et al., 2000 bahwa aktivitas imunostimulan dari
echinacea disebabkan adanya komponen polisakarida, derivat polar asam
kafeat dan lipofilik alkamida. Dikatakan pula bahwa alkamida adalah satu
komponen yang paling relevan untuk
standardisasi simplisia Echinacea.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan ekstrak E.
purpurea yang tepat dan baik adalah :
(1). Jenis ekstrak harus sesuai dengan
apa yang sudah digariskan menurut ketentuan secara international; (2). Proses
ekstraksi harus secara proses dingin;
(3). Parameter komponen terapetiknya

124

adalah fructofuranosida dan alkilamida.
(4). Data klinis lengkap, tidak hanya
dilakukan pada hewan uji. (5). Validasi
dan kualitas ekstrak harus terstandarisasi secara internasional sehingga dapat
dipertanggungjawabkan data kestabilan
dan farmakologinya. Pada penelitian

double-blind (riset tersamar ganda), dengan kontrol placebo sebanyak 180 pasien penderita penyakit infeksi saluran
pernapasan bagian atas (ISPA) diberikan dosis ekstrak alkohol dari akar E.
purpurea yang lebih tinggi yaitu 900
ml/hari secara bermakna mengalami
penurunan demam dan periode simtom
yang lebih ringan dan lebih pendek
daripada kontrol atau pada dosis yang
lebih rendah (450 mg/hari).
Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Walaupun berbagai bagian tanaman mengkudu telah lama digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, penggunaan yang paling umum
adalah mencegah dan mengobati kanker. Beberapa penelitian ilmiah membuktikan bahwa jus mengkudu dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh
dan membantu memperbaiki kerusakan
sel, tetapi penelitian-penelitian lebih
lanjut sangat dibutuhkan untuk membuktikan penemuan-penemuan tersebut.
Telah diketahui bahwa salah satu
komponen spesifik antrakuinon yaitu
damnakantal yang secara in vitro memperlihatkan efek melawan proliferasi
sel kanker pada tingkat gen. Penelitian
telah menunjukkan bahwa satu komponen yang diisolasi dari buah mengkudu dapat mematikan sinyal dari sel

tumor untuk berproliferasi. Seperti dila-

porkan oleh Asahina et al. dalam Wang
et al., 2002 dan Hokama (1993) bahwa
ekstrak buah mengkudu pada berbagai
konsentrasi dapat menghambat produksi tumor necrosis factor-alpha (TNF), yang merupakan promotor endogen
tumor. Selanjutnya Hirazumi et al.,
1994 melaporkan bahwa jus mengkudu
dapat menekan pertumbuhan kanker
Lewis Lung Carcinoma (LLC), yaitu
nama sejenis kanker yang diinokulasikan ke dalam tikus percobaan melalui
aktivitas sistem kekebalan tubuh inang.
Hirazumi et al., 1996 melaporkan bahwa jus buah mengkudu berfungsi sebagai imunomodulator yang
mempunyai efek antikanker. Hal itu
disebabkan jus mengkudu mengandung
substansi kaya polisakarida yang menghambat pertumbuhan tumor. Kemungkinan jus mengkudu dapat menekan
pertumbuhan tumor melalui aktivasi
sistem kekebalan pada inang (Hirazumi
dan Furuzawa 1999). Ekstrak buah
mengkudu juga mengandung xeronin
dan proxeronin yang berfungsi menormalkan fungsi sel yang rusak, sehingga
daya tahan tubuh meningkat. Xeronin
juga berperan mengaktifkan kelenjar
tiroid dan timus yang berfungsi dalam
kekebalan tubuh.
Hasil penelitian Wang et al.,
2002 melaporkan bahwa, terjadi pembesaran kelenjar timus dengan berat 1,7
kali hewan kontrol pada hewan yang
diperlakukan dengan jus mengkudu,
pada hari ke-tujuh setelah meminum air
yang mengandung 10% jus mengkudu.
Timus merupakan organ penting dalam
tubuh yang membentuk sel T, yang terlibat dalam proses fungsi imun dengan

menstimulasi pertumbuhan thymus,
dan selanjutnya mempengaruhi aktivitas antipenuaan dan anti kanker, dan
melindungi tubuh dari penyakit degeneratif lainnya (Wang et al., 2002).
Mengkudu dapat memberikan
potensi di bidang bisnis, karena mengkudu dapat dipergunakan sebagai bahan baku pada industri minuman, industri farmasi, industri kosmetik dan
industri tekstil.
Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
Secara empiris jahe biasa digunakan masyarakat sebagai obat masuk
angin, gangguan pencernaan, sebagai
analgesik, antipiretik, anti inflamasi,
dan lain-lain. Berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa jahe mempunyai sifat antioksidan. Beberapa komponen utama dalam jahe seperti gingerol, shogaol, dan gingeron dilaporkan
memiliki aktivitas antioksidan di atas
vitamin E (Kikuzaki dan Nakatani,
1993). Selain itu jahe juga mempunyai
aktivitas antiemetik dan digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan. Disebutkan oleh Radiati et al., 2003 bahwa
konsumsi ekstrak jahe dalam minuman
fungsional dan obat tradisional dapat
meningkatkan ketahanan tubuh dan
mengobati diare.
Hasil penelitian Zakaria et al.,
1999 menunjukkan bahwa ekstrak jahe
dapat meningkatkan daya tahan tubuh
yang direfleksikan dalam sistem kekebalan yaitu memberikan respon kekebalan inang terhadap mikroba pangan
yang masuk ke dalam tubuh. Hal itu
disebabkan ekstrak jahe dapat memacu
proliferasi limfosit dan menekan limfosit yang mati (Zakaria et al., 1996)

125

serta meningkatkan aktifitas fagositas
makrofag (Zakaria dan Rajab, 1999).
Selain itu jahe mampu menaikkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel
”natural killer” (NK) dalam melisis sel
targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang
terinveksi virus (Zakaria et al.,, 1999).
Hasil penelitian ini menopang data empiris yang dipercaya masyarakat bahwa
jahe mempunyai kapasitas sebagai anti
masuk angin, suatu gejala menurunnya
daya tahan tubuh sehingga mudah terserang oleh virus (influenza). Peningkatan aktivitas NK membuat tubuh tahan terhadap serangan virus karena sel
ini secara khusus mampu menghancurkan sel yang terinveksi oleh virus. Selanjutnya Nurrahman et al., 1999 menyatakan bahwa mengkonsumsi jahe
setiap hari dapat meningkatkan aktivitas sel T dan daya tahan limfosit
terhadap stress oksidatif. Komponen
dalam jahe yaitu gingerol dan shogaol
mempunyai aktivitas antirematik. Hal
ini ditunjang dengan pendapat dari
Kimura et al., 1997 bahwa jahe berfungsi sebagai antiinflamasi rematik
artritis kronis.
Meniran (Phyllanthus niruri L.)
Meniran secara empiris digunakan sebagai obat gonorrhea, infeksi saluran kencing, sakit perut, sakit gigi,
demam, batu ginjal, diuretik, diabetes
dan desentri. Terdapat beberapa dua jenis meniran yang banyak dijumpai dan
digunakan sebagai obat, adalah P.
niruri dan P. urinaria. Di beberapa
negara P. niruri juga diidentifikasikan
untuk spesies lain dari suku
Phyllanthus. Di Amerika Tengah dan
Amerika Selatan tanaman yang dikenal

126

sebagai P. niruri sebenarnya adalah P.
amarus. Di Indonesia P. niruri dan P.
urinaria penggunaannya sebagai obat
saling menggantikan dengan naman lokal meniran. Dilaporkan bahwa komponen aktif metabolit sekunder dalam
meniran adalah flavonoid, lignan, isolignan, dan alkaloid. Komponen yang
bersifat imunomodulator adalah dari
golongan flavonoid, golongan flanoid
mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh hingga mampu menangkal
serangan virus, bakteri atau mikroba
lainnya.
Thyagarajan (1988) telah berhasil mengisolasi tiga senyawa aktif
dari genus Phyllanthus yaitu P. amarus
yang mempunyai aktivitas menghambat perkembangbiakan virus hepatitis
B, meningkatkan sistem imun dan melindungi hati. Selain itu menurut Maat
dalam Tjandrawinata et al., 2005 melaporkan bawa ekstrak P. niruri dapat
meningkatkan aktivitas dan fungsi
komponen sistem imun baik imunitas
humoral maupun selular.
Selanjutnya Tjandrawinata et al.,
2005 telah melakukan penelitian uji
pra-klinis untuk menguji aktivitas meniran. Uji pra-klinis terhadap tikus dan
mencit dilakukan untuk menentukan
keamanan dan karakteristik imunomodulasi. Hasil penelitian bahwa ekstrak
P. niruri dapat memodulasi sistem
imun melalui proliferasi dan aktivasi
limfosit T dan B, sekresi beberapa
sitokin spesifik seperti interferon-gamma, tumor nekrosis faktor-alpha dan
beberapa interleukin, aktivasi sistem
komplemen, aktivasi sel fagositik seperti makrofag, dan monosit. Selain itu

juga terjadi peningkatan sel sitotoksik
seperti sel pemusnah alami ’natural
killer cell’. Selanjutnya dilakukan pula
uji klinis untuk melihat efek imunomodulasi pada beberapa pasien dengan
kondisi tertentu. Akhirnya diperoleh
kesimpulan bahwa ekstrak P. niruri bekerja sebagai imunomodulator yang dapat digunakan sebagai terapi adjuvan
(penunjang) untuk beberapa penyakit
infeksi.
Sambiloto (Androgaphis paniculata)
Produksi dan mutu simplisia
sambiloto sangat dipengaruhi oleh kondisi agroekologi. Dari hasil analisis mutu, sambiloto di tanam di dataran tinggi
menujukkan kadar sari yang larut dalam air mempunyai kadar yang lebih
tinggi dibandingkan dataran rendah
(Yusron et al., 2004). Kadar sari yang
larut dalam air menunjukkan indikasi
adanya kandungan zat berkhasiat dalam suatu tanaman yang terlarut.
Komponen aktif dari sambiloto
yaitu andrographolide, 14-deoxyandrographolide dan 14-deoxy-11,12-didehydroandrographolide yang diisolasi
dari ekstrak metanol mempunyai efek
imunomodulator dan dapat menghambat induksi sel penyebab HIV. Komponen–komponen tersebut meningkatkan
proliferasi dan induksi IL-2 limfosit
perifer darah manusia (Kumar et al.
dalam Elfahmi, 2006).
Dari hasil penelitian Cahyaningsih et al., 2003 bahwa dengan pemberian sambiloto dosis bertingkat dengan
koksidiostat (preparat sulfa) akan menaikkan heterofil pada darah ayam.
Dengan penambahan dosis sambiloto
akan menaikkan heterofil, kenaikkan

tersebut diduga berkaitan erat dengan
fungsi ganda dari sambiloto sebagai
imunosupresan dan imunostimulan
(Deng, 1978; Puri et al., 1993). Heterofil merupakan salah satu komponen
sistem imun yaitu sebagai penghancur
bahan asing yang masuk ke dalam
tubuh (Tizard, 1987).
Mekanisme kerja dari herba sambiloto sebagai imunosupresan sangat
terkait dengan keberadaan dari kelenjar
adrenal (Yin dan Guo, 1993). Hal ini
dikarenakan sambiloto dapat merangsang pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) dari kelenjar pituitari anterior yang berbeda di dalam otak
yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal bagian kortek untuk
memproduksi kortisol. Kortisol yang
dihasilkan ini selanjutnya akan bertindak sebagai imunosupresan (West,
1995). Efek imunosupresan akan
mengakibatkan timbulnya penurunan
respon imun.
Menurut Puri et al., 1993 bahwa
sambiloto dapat merangsang sistem
imun tubuh baik berupa respon antigen
spesifik maupun respon imun non spesifik untuk kemudian menghasilkan sel
fagositosis. Respon antigen spesifik
yang dihasilkan akan menyebabkan diproduksinya limfosit dalam jumlah besar terutama limfosit B. Limfosit B
akan menghasilkan antibodi yang merupakan plasma glikoprotein yang akan
mengikat antigen dan merangsang proses fagositosis (Decker, 2000).

127

PROSPEK TANAMAN OBAT
SEBAGAI IMUNOMODULATOR
Akhir-akhir ini di pasaran banyak dijumpai obat atau suplemen dengan klaim bisa meningkatkan sistem
imun tubuh yang berasal dari herbal.
Produk tersebut dijumpai dalam bentuk
tablet maupun sirup dalam kemasan
modern. Meningkatnya jenis suplemen
di pasaran berkaitan dengan tingginya
permintaan mengenai jenis suplemen
tersebut. Hal ini tidak lepas dari semakin tingginya kesadaran masyarakat
untuk menjaga kesehatan dan sehubungan dengan semakin tingginya
biaya kesehatan apabila sudah terjangkit penyakit. Selain itu semakin banyaknya faktor-faktor yang bisa menurunkan kekebalan tubuh seseorang seperti tingginya tingkat polusi, perubahan gaya hidup dan pola makan,
dan banyaknya wabah penyakit serta
perubahan cuaca. Karena hampir tidak
mungkin untuk menghindarkan diri
dari berbagai kondisi yang merugikan
tersebut, maka yang diperlukan adalah
bagaimana mencegah agar segala gangguan tadi tidak menyebabkan penyakit,
dengan meningkatkan daya tahan tubuh.
Cerahnya prospek imunomodulator dari bahan alami dikarenakan saat
ini ilmu kedokteran sudah mulai meninggalkan imunomodulator yang terbuat dari bahan kimia dan memilih
menggunakan imunomodulator dari
berbagai jenis tumbuhan yang sudah
terbukti meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan membantu mencegah
influenza. Hal itu senada dengan

128

pernyataan bahwa saat ini obat yang
berfungsi sebagai imunomodulator kebanyakan berasal dari bahan herbal.
Sebagai salah satu bentuk
pangan fungsional, yaitu bahan pangan
yang mempunyai khasiat fisiologis bagi
tubuh, diantaranya meningkatkan imunitas, prospek imunomodulator dari bahan alami sangat baik. Menurut Silalahi
(2005) sifat pangan fungsional antara
lain adalah dapat mencegah timbulnya
penyakit, meningkatkan imunitas, serta
memperlambat proses penuaan. Menurut ramalan Euro Monitor Internasional, penjualan produk pangan fungsional dan pangan fortifikasi di Australia dan Asia akan mencapai 1,6
milyar dolar AS pada tahun 2009.
Angka ini berarti peningkatan sebesar
29% dari tahun 2004. Sedangkan di
Amerika Utara pada tahun yang sama
peningkatannya lebih tinggi yaitu mencapai 36%, dengan angka penjualan
sebesar 22,4 milyar dolar AS (Haryadi,
2006). Sementara itu untuk imunomodulator, pasarnya mencapai 43 milyar
dolar pada tahun 2006, dan diharapkan
meningkat sebesar 13% mencapai 80
milyar dolar pada tahun 2011 (www.
globalbussinesinsight.com). Echinacea
sebagai salah satu imunomodulator
yang popular di dunia barat, pada dua
tahun terakhir menduduki rangking
pertama penjualan suplemen herbal di
pasaran pangan alami. Nilai penjualan
Echinacea mencapai 33 juta dolar selama setahun sampai akhir juli 1998
(Flannery, 2005). Sedangkan menurut
Danutirto, (2001) berdasarkan volume
dan nilai jual di pasar dunia, echinacea
menduduki peringkat kedua di Ame-

rika setelah tanaman St. John’s Wort
dengan nilai penjualan mencapai US $
17.037.000 dan peringkat ketiga di
pasar Eropa. Peningkatan volume
penggunaan simplisia dari echinacea di
Amerika sebesar 67,9% ada tahun 1999
dengan peningkatan penjualan mencapai 56,3%. Kebutuhan echinacea di
pasar dunia terus meningkat, diantaranya dengan adanya gerakan back to
nature yang menyebabkan beralihnya
minat penggunaan obat dari bahan
alami untuk menghindari efek samping
dari penggunaan obat sintetis.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
tanaman obat sebagai imunomodulator dan penanganan masalahnya
Banyak faktor yang mempengaruhi dan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan tanaman
obat yang berfungsi sebagai imunomodulator, diantaranya :
Pembudidayaan tanaman
Pada aspek pembudidayaan tanaman obat diperlukan peningkatan
dan kesinambungan agar sumber bahan
obat tersebut tidak mengalami kepunahan, selama ini tanaman obat belum
dibudidayakan secara meluas, hanya
ditanam sesuai dengan kebutuhan saja,
budidaya tanaman obat masíh bersifat
sporadis, berbentuk petak-petak lahan
kecil atau pekarangan, yang hasilnya
tidak direncanakan sebagai komoditi
utama. Untuk memenuhi kebutuhan
pasar yang demikian besar, budidaya
perlu lebih dikembangkan menjadi
agroindustri dengan lahan luas dengan
melibatkan investor, petani dan industri
(usaha kemitraan dan binaan industri

pengolah tumbuhan obat seperti pabrik
jamu).
Standarisasi bahan baku
Penjualan bahan simplisia di pasaran pada umumnya merupakan bahan
yang belum distandarisasi. Standarisasi
bahan baku baru dilakukan di tingkat
industri besar saja yang sudah memproduksi bahan-bahan fitofarmaka. Perlu adanya iptek kefarmasian, terutama
di bidang ekstraksi, analisis dan teknologi proses sehingga dapat menerima
ekstrak sebagai bentuk bahan yang
dipertanggungjawabkan mutu dan keajegan kandungan kimianya. Oleh karena itu bahan terstandar baik sebagai
bahan baku maupun bahan produk dapat dipertanggungjawabkan dari aspek
konsep keamanan, farmakologi dan
khasiatnya.
Dosis obat
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan obat fitofarmaka
adalah dosis obat dan cara aplikasi obat
belum jelas, konsistensi dosis dari minum obat pertama, kedua dan seterusnya kurang konsistensi. Hal ini
disebabkan data dosis respon dari studi
klinis masih terbatas, belum semua jenis obat telah melalui prosedur standar
sampai uji klinis. Selain itu juga mengenai reprodusibilitas metode preparasi obat fitofarmaka. Hal itu disebabkan dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan mengenai suatu jenis obat
fitofarmaka kadangkala hasilnya tidak
stabil/reprodusibel.

129

Aspek agribisnis
Pengembangan tanaman obat
melalui agribisnis diharapkan sangat
strategis dalam mengantisipasi perkembangan yang pesat di bidang pemanfaatan tanaman obat sebagai komoditas perdagangan di samping sasaran
utama untuk peningkatan kesehatan
masyarakat, melalui pembangunan industri obat tradisional/industri jamu,
fitofarmaka dan kosmetik. Pengembangan tanaman obat harus berorientasi
pada potensi pemasaran/pemanfaatannya yang diperluas, sehingga satu jenis
tanaman obat digunakan untuk berbagai produk industri yang mendukung
proses kinerja suatu pabrik sepanjang
tahun seperti untuk obat (jamu dan
fitofarmaka), kosmetik, makanan sehat
dan minuman sehat.
KESIMPULAN
Tanaman obat imunomodulator
adalah tanaman yang dapat mempengaruhi atau memodulasi sistem imun
tubuh. Beberapa tanaman obat memiliki fungsi sebagai imunomodulator diantaranya echinaceae, mengkudu, jahe,
meniran dan sambiloto. Penggunaan
imunomodulator bagi kepentingan
pengobatan sebaiknya diarahkan sebagai kombinasi sinergis pada terapi infeksi. Di samping itu adalah untuk mengurangi keparahan, mempercepat masa penyembuhan, memperkecil angka
kekambuhan serta meringankan biaya
terapi.
Salah satu permasalahan dari aspek pembudidayaan tanaman obat luas
lahannya terbatas, lokasi budidaya masih terpisah-pisah dan belum dibudi-

130

dayakan secara meluas. Untuk itu salah
satu cara memenuhi kebutuhan pasar,
budidaya perlu lebih dikembangkan
menjadi agroindustri dengan lahan luas
dengan melibatkan investor, petani dan
industri (usaha kemitraan dan binaan
industri pengolah tumbuhan obat seperti pabrik jamu).
Di Indonesia sudah mulai tumbuh industri pangan fungsional yang
berbasis herbal. Untuk pengembangan
suplemen pangan berbasis tanaman asli
Indonesia, diperlukan kegiatan penelitian dan pengembangan mendalam
dalam bidang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Burick, J., H. Quick, and T. Wilson,
1997. Medicinal attributes of Echinacea spp. Coneflowers. http:
//www.interme.com/iom/team/nimmune.html. 3p.

Craig, W.J., 1999. Health-promoting
properties of common herbs. Am J
of Clinical Nutrition 70 (3) : 491s499s.
Cahyaningsih U.K, Setiawan dan D.R.
Ekastuti, 2003. Perbandingan Gambaran Diferensiasi Leukosit Ayam
Setelah Pemberian Sambiloto
(Andrographis paniculata Ness)
Dengan Dosis Bertingkat Dan
Koksidiostat. Prosiding Seminar
dan Pameran Nasional TOI XXIV.
hal. 245-257.
Deng, W.L., 1978. Preliminary Studies
On The Pharmacology of The
Andrographis Product Dihydroandrographolide Sodium Succinate.
Newsletters Of Chinese Herb Med.

8: p. 26-28. http://www. Altcancer.
Com/andcan.htm # 101

BALB/c mouse. FASEB J (7) :
A866.

Das, D.K., 1994. Naturally Occuring
Flavonoids: Structure, Chemistry,
and Hight Performance Liquid
Chromatography Methods for
Separation and Characterization.
Methods in Enymology. 234 : 410421.

Hirazumi, A., E. Furuzawa., S.C. Chou
and Y. Hokama, 1994. Anticancer
activity of Morinda citrifolia (Noni) on intraperitoneally implanted
Lewis Lung Carcinoma in syngeneic mice. Proc. West Pharmacol.
Soc. 37 : 145-146.

Decker J.M., 2000. Introduction to
immunology 11 th Hour. Blackwell
Science. Inc. p. 1-2.

Hirazumi, A., E. Furuzawa., S.C.Chou
and Y. Hokama, 1996. Imunomodulation contributes to the anti-cancer activity of Morinda citrifolia
(Noni) Fruit Juice. Proc. West
Pharmacol. Soc. 39 : 7-9.

Danutirto, H., 2001. Pengembangan
fitofarmaka di Indonesia. Lokakarya dan Pameran Pengembangan
Agribisnis Berbasis Biofarmaka,
Pemanfaatan dan Pelestarian Sumber Hayati Mendukung Agribisnis
Tanaman Obat. Jakarta 13-16
Nopember 2001. 23 p.
Djauzi, S., 2003. Perkembangan Imunomodulator. Simposium Peranan
Echinacea sebagai imunomodulator
dalam Infeksi Virus dan Bakteri.
Elfahmi, 2006. Phytochemical and Biosynthetic Studies of Lignans with a
Focus on Indonesian Medicinal
Plants. Facilitas Beddrif of Groningen The Netherlands. Thesis
(Disertasi).
Flannery, M.A., 2005. From rudbeckia
to Echinacea: the emergence of the
purple coneflower in modern theraupeutics. The J. of American Botanical Council issue 51 : 28-33.
Hokama, Y., 1993. The effect of noni
fruit extract (Morinda citrifolia,
Indian mulberry) on thymocytes of

Hollman, P.C.H, M.G.L. Hertog and
M.B. Katan, 1996. Analysis and
Health Effects of Flavonoids. Food
Chemistry, 57 (1) : 43-46.
Hirazumi, A and E. Furuzawa, 1999.
An immunomodulatory polysaccharide-rich substance from the
fruit juice of Morinda citrifolia
(Noni) with antitumor activity.
Phytochem. Res. 13 (5) : 380-387.
Haryadi, P., 2006. Pangan fungsional
Indonesia. Food Review Indonesia.
Mei 2006 : 8-10.
Kikuzaki, H and N. Nakatani, 1993.
Antioxidant effects of some ginger
constituents. J Food Sci. 58 : 14071410.
Kimura, M., L. Kimura., B. Luo and S.
Kobayashi, 1997. Antiinflammatory effect of Japanese-seno medicine Keishi-kajutsubo-to and its
component drugs on adjuvant air

131

pouch granuloma of mice. J.
Phytoterapy-Res. 5 (5) : 195-200.
Karnen, G.B., S. Djauzi., T.Y.
Aditama., W. Heru dan S.
Cartellieri, 2003. Peranan Echinacea (EFLAR 894) sebagai imunomodulator dalam infeksi virus dan
bakteri. Jurnal Kedokteran dan
Farmasi MEDIKA 6 th XXIX, Juni
2003 : 389-391.
Nurrahman, F.R. Zakaria, D. Sajuti dan
Sanjaya, 1999. Pengaruh konsumsi
sari jahe terhadap perlindungan
limfosit dari stress oksidatif pada
mahasiswa pondok pesantren Ulil
Albaab. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. 707-716.
Puri A., Saxena R.P., Saxena K.C,
Srivastava V., Tanden J.S., 1993.
Immunostimulant Agent From
Andrographis paniculata. J. Nat.
Prod. Jul 56 (7) : p. 995-999.
http//www.rechnature.com/product
s/herbal/articles/Aleanson.hlml.
Perry, N.B., J.W. van Klink., E.J.
Burges, and G.A. Parmenter, 2000.
Alkamide levels in Echinacea purpurea: effects of processing, drying
and sorage. Planta Medica 66 : 5456.
Rahardjo, M., 2000. Echinacea Tanaman Obat Introduksi Potensial. Warta
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 6 (2) : 1-3.
Radiati, L.E., E.P. Nabet, P. Franck, B.
Nabet, J. Capiaumont, D. Fardiaz,
R.f. Zakaria, I. Sudirman dan R.D.
Haryadi, 2003. Pengaruh ekstrak
diklormetan
jahe
(Zingiber

132

officinale) terhadap pengikatan toksin kolera B-subunit conjugasi
(FITC) pada reseptor sel hibridoma
LV dan Caco-2. J. Teknologi dan
Industri Pangan XIV (1) : 59-67.
Sukara, E., 2000. Sumber daya alam
hayati dan pencarian bahan baku
obat (Bioprospekting). Prosiding
Simposium Nasional II Tumbuhan
Obat dan Aromatik. Puslitbang
Biologi-LIPI, Bogor : 31-37.
Silalahi J., 2005. Makanan Fungsional
dan Suplemen Makanan : Apakah
Manfaat dan Keamanannya Sama?.
Jurusan Farmasi Fakultas MIPA
Universitas Sumatera Utara, Medan. Medika Vol. XXXI.
Tizard I., 1987. Pengantar Imunology
Veteriner. Penerjemah: Soehardjo
Hardjosworo. Terjemahan dari :
Introduction to Veterinary Immunology. p. 18-25.
Thyagarajan, S.P., S. Subramanian, T.
Thirunalasundari, P.S. Venkateswaran and B.S. Blumberg, 1988.
Effect of Phyllanthus amarus on
chrinic carriers of hepatitis B virus.
The Lancet : 764-766.
Tjandrawinata, R.R., S. Maat dan D.
Noviarny, 2005. Effect of standardized Phyllanthus niruri extract
on changes in immunologic parameters: correlation between preclinical and clinical studies. Medika
XXXI (6) : 367-371.
Wagner, H., 1985. Immunostimulants
from medicinal plants. In Advances
in Chinese medicinal materials
research (Eds.) H.M. Chang; H.W.

Yeung; W.W. Tso and A. Koo.
World Scientific Publ. Co. Singapura : 159-170.
West G., 1995. Blacks Veterinary
Dictionary 18 th Edition. A dan C
Black London. p. 288.
Wang, M.Y., B.J. Brest, C.J. Jensen, D.
Nowicki, C. Su, A.K. Palu and G.
Andersen, 2002. Morinda citrifolia
(Noni): A literature review and
recent advances in noni research.
Acta Pharmacol. Sin. 23 (12) :
1127-1141.
Yin J. Dan L. Guo, 1993. Contemporary traditional Chinese Medicine. Beijing: Xie Yuan. http:
//www alcancer com/andcan.htm#
101.
Yusron M., M. Januwati dan W.J.
Priambodo, 2004. Keragaan mutu
simplisia sambiloto (Andrographis
paniculata Nees.) pada beberapa
kondisi agroekologi. Prosiding Seminar Kelompok Kerja Nasional
(Pokjanas) Tanaman Obat Indonesia di Tawangmangu, 27-28
April 2004.

Zakaria, F.R., L. Darsana., dan H.
Wijaya, 1996. Immunity enhancement and cell protection activity of
ginger buds and fresh ginger flesh
on mouse spleen lymphocytes. In
Non-nutritive Health Factors for
Future Foods. Proceedings IU
FOST 1996 Regional Symposium
Seoul Education and Culture Center Seoul. Korea.
Zakaria, F.R., dan T.M. Rajab, 1999.
Pengaruh ekstrak jahe (Zingiber
officinale Roscoe) terhadap produksi radikal bebas makrofag mencit sebagai indicator imunostimulan
secara invitro. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Pangan 1999 :
707-716.
Zakaria, F.R, Y. Wiguna dan A.
Hartoyo, 1999. Konsumsi sari jahe
(Zingiber officinale Roscoe) meningkatkan aktivitas sel natural
killer pada mahasiswa pesantren
Ulil Alkab di Bogor. Bul. Tekn.
Industri Pangan Vol. X (2) : 40-46.

133