STUDI BANGSAL PENYAKIT DALAM PENYAKIT GA
STUDI BANGSAL PENYAKIT DALAM
PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)
Roy Oktavianus Bunga
Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal1. Pasien Tn. BM, umur 56 tahun, masuk RS PGI Cikini pada 04 februari 2014
dengan diagnosa nonfungsional ginjal kanan. Terapi pengobatan selama delapan hari yaitu
Ceftriaxon, Kalnex (Asam traneksamat), Vitamin K, Vitamin C, Vomizole (Pantoprazole),
Torasic (Ketorolak) dan Ca. Gluconas. Berdasarkan hasil praktek kepaniteraan klinik pada
bangsal penyakit dalam di RS PGI Cikini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai LFG
pasien Tn. BM adalah 50,09 ml/menit yang menandakan penyakit gagal ginjal derajat 3 dan
adanya DRP (Drug Related Problem) berupa adanya obat tanpa indikasi, dosis obat terlalu
tinggi dan interaksi obat.
Kata Kunci
: Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK), Penyakit Dalam, RS PGI Cikini
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal yang terusmenerus terjadi secara perlahan, bersifat ireversibel dengan akibat terjadinya penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG)2. Jika ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik, akan terjadi
penumpukan zat-zat sisa metabolisme dalam tubuh sehingga menimbulkan efek-efek toksik.
Penyakit ginjal kronik dapat berkembang secara cepat, dalam 2 – 3 bulan, ataupun secara
lambat, dalam kurun waktu lebih dari 30 – 40 tahun1.
Gagal ginjal tahap akhir (GGTA) adalah keadaan di mana faal ginjal pasien sudah
menurun, yang diukur dengan klirens kreatinin (KK) tidak lebih dari 15 ml/menit. Pasien
GGTA, apapun etiologi penyakit ginjalnya memerlukan pengobatan khusus yang disebut
pengobatan atau terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis,
peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Dari beberapa terapi pengganti di atas, pada
umumnya terapi pengganti yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisis
(HD)3.
Menurut data dari The United States Renal Data System (USRDS) tahun 2009 Gagal
ginjal tahap akhir (GGTA) sering ditemukan dan prevalensinya sekitar 10-13%. Di Amerika
Serikat jumlahnya mencapai 25 juta orang, dan di Indonesia diperkirakan 12,5 % atau sekitar
1
18 juta orang4. Menurut data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) jumlah
pasien penyakit gagal ginjal tahap akhir (GGTA) yang menjalani hemodialisis di Indonesia
dari tahun 2007 sampai 2012 adalah 1885, 1936, 4707, 5184, 6951 dan 91615. Data dari
beberapa pusat penelitian yang tersebar di seluruh Indonesia melaporkan bahwa penyebab
gagal ginjal tahap akhir yang menjalani dialisis adalah glomerulonefritis (36,4%), penyakit
ginjal obstruksi dan infeksi (24,4%), penyakit ginjal diabetik (19,9%), hipertensi (9,1%),
sebab lain (5,2%)6.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif evaluatif. Pengamatan dilakukan secara
retrospektif terhadap data rekam medis pasien GGK di Bangsal K RS PGI Cikini Jakarta
periode Februari-Maret 2014.
Data pasien yang tercatat di dalam rekam medis pasien di Bangsal K RS PGI Cikini
yang memuat identitas pasien, profil subyektif, obyektif, observasi tanda vital, penilaian dan
tatalaksana terapi oleh dokter selama periode penelitian.
Analisis data dilakukan dengan cara mengevaluasi ketepatan indikasi,
penderita, dan dosis serta evaluasi penggunaan obat ginjal untuk pasien GGK dan
evaluasi penggunaan obat ginjal pasien GGK yang menjalani hemodialisa
PERSENTASI KASUS1
Pasien Tn. BM, umur 56 tahun masuk RS PGI Cikini pada tanggal 04 februari 2014, dengan
diagnosis nonfungsional ginjal kanan. Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian
kanan dan lemas. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan serum kreatinin pasien
mengalami peningkatan, dan hasil perhitungan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan
menggunakan rumus Kockcroft Gault yaitu 50,09 ml/menit yang menandakan penyakit gagal
ginjal derajat 3.
EVALUASI KLINIK7,8,9
Pada kasus ini pasien diterapi dengan Ceftriaxon untuk penanganan infeksi saluran kemih
yang ditandai dengan peningkatan nilai leukosit. Kalnex (Asam traneksamat) dan Vitamin K
obat koagulan untuk mencegah dan mengatasi perdarahan. Vitamin C untuk mencegah dan
mengobati devisiensi Vitamin C dan membantu memelihara daya tahan tubuh. Vomizole
(Pantoprazole) untuk tukak lambung atau tukak duodenum. Torasic (Ketorolak) untuk
mengobati nyeri akut sedang sampai berat. Sedangkan Ca. Gluconas untuk mengatur
hipofosfatemia.
DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN7,8,9
2
Selama delapan hari perawatan di RS PGI Cikini pasien Tn. BM mendapatkan tujuh jenis
pengobatan. Hari pertama pasien mendapatkan Ceftriaxon injeksi dengan dosis 2 x 1 g sehari
diberikan selama delapan hari. Hari kedua pasien mendapatkan Kalnex (Asam traneksamat)
oral 3 x 500 mg sehari diberikan selama tujuh hari, Vitamin K injeksi 2 x 1 ampul diberikan
selama tujuh hari, Vitamin C injeksi 1 x 400 mg sehari diberikan selama tujuh hari, Vomizole
(Pantoprazole) injeksi 2 x 1 vial sehari diberikan selama tujuh hari, Torasic (Ketorolak)
injeksi 3 x 30 mg sehari diberikan selama tujuh hari. Sedangkan hari ketiga pasien
mendapatkan Ca. glukonas, injeksi 1 x 1 ampul sehari diberikan selama tiga hari.
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM11
Hasil pemeriksaan hematologi pada tanggal 3 februari 2014 menunjukan nilai laju endap
darah (LED) yang tinggi yaitu 23 mm/jam (0-20 mm/jam) menandakan adanya peradangan
atau infeksi, peningkatan nilai globulin yaitu 3,9 g/dL (1,3-3,7 g/dL) menandakan adanya
gangguan pada hati atau infeksi, peningkatan nilai protein total yaitu 8,1 g/dL (6,0-8,0 g/dL)
menandakan terjadinya inflamasi, penurunan nilai neutrofil yaitu 1% (2-6%) menandakan
adanya infeksi, peningkatan limfosit yaitu 45% (20-40%) menandakan adanya infeksi,
peningkatan nilai kreatinin yaitu 1,7 mg/dL (0,6-1,1 mg/dL) menandakan adanya penurunan
fungsi ginjal, penurunan nilai kalium yaitu 3,3 mEq (3,5-5,0 mEq) menandakan terjadinya
hiperkalemia, dan penurunan nilai fosfor yaitu 1,4 mg/dL (2,5-5,0 mg/dL) menandakan
terjadinya hipofosfatemia. Hasil pemeriksaan urinalisis tanggal 5 februari 2014 menunjukkan
peningkatan nilai leukosit yaitu 3/LPB (0-2/LPB). Dan pemeriksaan hematologi tanggal 6
februari 2014 menunjukkan penurunan nilai leukosit yaitu 13,2 10^3μL (5-10 10^3μL) yang
menandakan adanya infeksi.
PEMBAHASAN2,7,8,9,10,11,12
Pasien Tn. BM masuk RS PGI Cikini pada tanggal 04 februari 2014 dengan diagnosis
nonfungsional ginjal kanan. Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian kanan dan
lemas. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan serum kreatinin pasien mengalami
peningkatan yaitu 1,7 mg/dL, dan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) didapatkan melalui
perhitungan Kockcroft Gault yaitu 50,09 ml/menit yang menandakan penyakit gagal ginjal
derajat 3.
Terapi pengobatan selama dirawat yaitu Ceftriaxon, Kalnex (Asam traneksamat),
Vitamin K, Vitamin C, Vomizole (Pantoprazole), Torasic (Ketorolak), dan Ca Gluconas.
Penggunaan Ceftriaxon untuk penanganan infeksi saluran kemih. Setelah pemeriksaan urin
terbukti pasien mengalami infeksi saluran kemih, hal ini dilihat dari peningkatan nilai
leukosit pada urin. Menurut BNF, 2009 pemberian Ceftriaxone untuk pasien gagal ginjal
maksimal 2 g sehari dengan monitoring kadar plasma. Penggunaan Kalnex (Asam
traneksamat) dan Vitamin K untuk mencegah atau mengatasi perdarahan, namun tidak ada
data yang menunjukkan adanya kasus perdarahan pada pasien. Penggunaan Vitamin C untuk
3
mencegah dan mengobati devisiensi Vitamin C dan membantu memelihara daya tahan tubuh.
Menurut Burns, A (Renal Drug Handbook, 2009) pemberian Vitamin C pada pasien gagal
ginjal perlu menggunakan dosis yang rendah untuk mencegah pembentukan oksalat.
Penggunaan Vomizole (Pantoprazole) untuk tukak lambung atau tukak duodenum.
Penggunaan Torasic (Ketorolak) untuk penanganan jangka pendek nyeri sedang sampai berat.
Menurut Burns, A (Renal Drug Handbook, 2009) Ketorolak bersifat nefrotoksik, dapat
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan pemberian untuk pasien gagal ginjal derajat 3
maksimum 60 mg/hari. Sedangkan penggunaan Ca Gluconas untuk penanganan
hipofosfatemia.
DRUG RELATED PROBLEM7,8,9,10,12
1. Obat Tanpa Indikasi
Pasien menerima obat Kalnex dan Vitamin K. Menurut BNF, 2009 Kalnex diindikasikan
untuk fibrinolisis lokal dan Vitamin K untuk produksi faktor pembeku darah. Namun tidak
ada data yang menunjukkan adanya kasus perdarahan pada pasien.
2. Dosis Terlalu Tinggi
Dosis obat terlalu tinggi yaitu pada pemberian Torasic (Ketorolak) 3 x 30 mg selama tujuh
hari. Menurut Renal Drug, 2009 nilai LFG antara 20-50 ml/menit maksimum pemberian
Ketorolak adalah 60 mg/ hari selama dua hari.
3. Interaksi Obat
Interaksi obat yang terjadi yaitu penggunaan Ceftriaxone dengan Torasic (Ketorolak)
dapat menyebabkan peningkatan efek dari Torasic (Ketorolak); penggunaan Ceftriaxone
dengan Ca. Glukonas dapat meningkatkan peningkatan cairan partikulat di paru-paru dan
ginjal; penggunaan Torasic (Ketorolak) dengan Vitamin K mengakibatkan efek koagulan
Vitamin K menurun; penggunaan Vitamin C dengan Ceftriaxon dan Torasic (Ketorolak)
menyebabkan peningkatan efek dari Ceftriaxone dan Torasic (Ketorolak) yang dapat
memperparah kondisi ginjal pasien.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktek kepaniteraan klinik pada bangsal penyakit dalam di RS PGI Cikini
maka di tarik kesimpulan bahwa nilai LFG pasien Tn. BM adalah 50,09 ml/menit yang
menandakan penyakit gagal ginjal derajat 3 dan adanya DRP (Drug Related Problem) yaitu
obat tanpa indikasi, dosis obat terlalu tinggi dan interaksi obat.
4
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Interna Publishing. Hal 1035-1036
Sekarwana N, dkk. 2011. Kompendium Nefrologi Anak. IDAI. Jakarta. Hal 281
Sharif, S. 2014. Asupan Protein, Status Gizi Pada Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir
yang Menjalani Hemodialisis Reguler. FK UNHAS. Hal 3
4. Suhardjono.2009. Penyakit Ginjal Kronik Adalah Suatu Wabah Baru (Global Epidemic)
Diseluruh Dunia. Annual Meeting Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Hal 4
5. PERNEFRI. 2012. Report Of Indonesian Renal Registry5th. Perkumpulan Nefrologi
Indonesia. Hal 11
6. Prodjosudjadi, dkk. 2009. End-Stage Renal Disease In Indonesia. Treatment velopment.
Hal 33-36
7. BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta : Sagung Seto.
Hal 159, 381, 672, 681, 686, 871, 1076, 1098
8. Burns, A. 2009. Renal Drug Handbook third edition. New York : Oxford. Hal 65, 111,
132, 410, 558, 584, 745
9. BNF. 2009, British National Formulary. BMJ Group. UK. Hal 13, 17-21, 24, 50, 138,
297, 543
10. Baxter, K. 2008. Stockley’s Drug Interactions eight edition. Pharmaceutical Press.
London. Hal 158
11. Sutedjo, AY. 2007. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
laboratorium. Amara Books. Yogyakarta. Hal 30-40, 69, 98-100
12. Priyanto. 2008. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Lembaga Studi dan Konsultasi
Farmakologi. Jakarta. Hal 22-23
5
PENYAKIT GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)
Roy Oktavianus Bunga
Program Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal1. Pasien Tn. BM, umur 56 tahun, masuk RS PGI Cikini pada 04 februari 2014
dengan diagnosa nonfungsional ginjal kanan. Terapi pengobatan selama delapan hari yaitu
Ceftriaxon, Kalnex (Asam traneksamat), Vitamin K, Vitamin C, Vomizole (Pantoprazole),
Torasic (Ketorolak) dan Ca. Gluconas. Berdasarkan hasil praktek kepaniteraan klinik pada
bangsal penyakit dalam di RS PGI Cikini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai LFG
pasien Tn. BM adalah 50,09 ml/menit yang menandakan penyakit gagal ginjal derajat 3 dan
adanya DRP (Drug Related Problem) berupa adanya obat tanpa indikasi, dosis obat terlalu
tinggi dan interaksi obat.
Kata Kunci
: Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK), Penyakit Dalam, RS PGI Cikini
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan penurunan fungsi ginjal yang terusmenerus terjadi secara perlahan, bersifat ireversibel dengan akibat terjadinya penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG)2. Jika ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik, akan terjadi
penumpukan zat-zat sisa metabolisme dalam tubuh sehingga menimbulkan efek-efek toksik.
Penyakit ginjal kronik dapat berkembang secara cepat, dalam 2 – 3 bulan, ataupun secara
lambat, dalam kurun waktu lebih dari 30 – 40 tahun1.
Gagal ginjal tahap akhir (GGTA) adalah keadaan di mana faal ginjal pasien sudah
menurun, yang diukur dengan klirens kreatinin (KK) tidak lebih dari 15 ml/menit. Pasien
GGTA, apapun etiologi penyakit ginjalnya memerlukan pengobatan khusus yang disebut
pengobatan atau terapi pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis,
peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal. Dari beberapa terapi pengganti di atas, pada
umumnya terapi pengganti yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisis
(HD)3.
Menurut data dari The United States Renal Data System (USRDS) tahun 2009 Gagal
ginjal tahap akhir (GGTA) sering ditemukan dan prevalensinya sekitar 10-13%. Di Amerika
Serikat jumlahnya mencapai 25 juta orang, dan di Indonesia diperkirakan 12,5 % atau sekitar
1
18 juta orang4. Menurut data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) jumlah
pasien penyakit gagal ginjal tahap akhir (GGTA) yang menjalani hemodialisis di Indonesia
dari tahun 2007 sampai 2012 adalah 1885, 1936, 4707, 5184, 6951 dan 91615. Data dari
beberapa pusat penelitian yang tersebar di seluruh Indonesia melaporkan bahwa penyebab
gagal ginjal tahap akhir yang menjalani dialisis adalah glomerulonefritis (36,4%), penyakit
ginjal obstruksi dan infeksi (24,4%), penyakit ginjal diabetik (19,9%), hipertensi (9,1%),
sebab lain (5,2%)6.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif evaluatif. Pengamatan dilakukan secara
retrospektif terhadap data rekam medis pasien GGK di Bangsal K RS PGI Cikini Jakarta
periode Februari-Maret 2014.
Data pasien yang tercatat di dalam rekam medis pasien di Bangsal K RS PGI Cikini
yang memuat identitas pasien, profil subyektif, obyektif, observasi tanda vital, penilaian dan
tatalaksana terapi oleh dokter selama periode penelitian.
Analisis data dilakukan dengan cara mengevaluasi ketepatan indikasi,
penderita, dan dosis serta evaluasi penggunaan obat ginjal untuk pasien GGK dan
evaluasi penggunaan obat ginjal pasien GGK yang menjalani hemodialisa
PERSENTASI KASUS1
Pasien Tn. BM, umur 56 tahun masuk RS PGI Cikini pada tanggal 04 februari 2014, dengan
diagnosis nonfungsional ginjal kanan. Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian
kanan dan lemas. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan serum kreatinin pasien
mengalami peningkatan, dan hasil perhitungan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan
menggunakan rumus Kockcroft Gault yaitu 50,09 ml/menit yang menandakan penyakit gagal
ginjal derajat 3.
EVALUASI KLINIK7,8,9
Pada kasus ini pasien diterapi dengan Ceftriaxon untuk penanganan infeksi saluran kemih
yang ditandai dengan peningkatan nilai leukosit. Kalnex (Asam traneksamat) dan Vitamin K
obat koagulan untuk mencegah dan mengatasi perdarahan. Vitamin C untuk mencegah dan
mengobati devisiensi Vitamin C dan membantu memelihara daya tahan tubuh. Vomizole
(Pantoprazole) untuk tukak lambung atau tukak duodenum. Torasic (Ketorolak) untuk
mengobati nyeri akut sedang sampai berat. Sedangkan Ca. Gluconas untuk mengatur
hipofosfatemia.
DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN7,8,9
2
Selama delapan hari perawatan di RS PGI Cikini pasien Tn. BM mendapatkan tujuh jenis
pengobatan. Hari pertama pasien mendapatkan Ceftriaxon injeksi dengan dosis 2 x 1 g sehari
diberikan selama delapan hari. Hari kedua pasien mendapatkan Kalnex (Asam traneksamat)
oral 3 x 500 mg sehari diberikan selama tujuh hari, Vitamin K injeksi 2 x 1 ampul diberikan
selama tujuh hari, Vitamin C injeksi 1 x 400 mg sehari diberikan selama tujuh hari, Vomizole
(Pantoprazole) injeksi 2 x 1 vial sehari diberikan selama tujuh hari, Torasic (Ketorolak)
injeksi 3 x 30 mg sehari diberikan selama tujuh hari. Sedangkan hari ketiga pasien
mendapatkan Ca. glukonas, injeksi 1 x 1 ampul sehari diberikan selama tiga hari.
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM11
Hasil pemeriksaan hematologi pada tanggal 3 februari 2014 menunjukan nilai laju endap
darah (LED) yang tinggi yaitu 23 mm/jam (0-20 mm/jam) menandakan adanya peradangan
atau infeksi, peningkatan nilai globulin yaitu 3,9 g/dL (1,3-3,7 g/dL) menandakan adanya
gangguan pada hati atau infeksi, peningkatan nilai protein total yaitu 8,1 g/dL (6,0-8,0 g/dL)
menandakan terjadinya inflamasi, penurunan nilai neutrofil yaitu 1% (2-6%) menandakan
adanya infeksi, peningkatan limfosit yaitu 45% (20-40%) menandakan adanya infeksi,
peningkatan nilai kreatinin yaitu 1,7 mg/dL (0,6-1,1 mg/dL) menandakan adanya penurunan
fungsi ginjal, penurunan nilai kalium yaitu 3,3 mEq (3,5-5,0 mEq) menandakan terjadinya
hiperkalemia, dan penurunan nilai fosfor yaitu 1,4 mg/dL (2,5-5,0 mg/dL) menandakan
terjadinya hipofosfatemia. Hasil pemeriksaan urinalisis tanggal 5 februari 2014 menunjukkan
peningkatan nilai leukosit yaitu 3/LPB (0-2/LPB). Dan pemeriksaan hematologi tanggal 6
februari 2014 menunjukkan penurunan nilai leukosit yaitu 13,2 10^3μL (5-10 10^3μL) yang
menandakan adanya infeksi.
PEMBAHASAN2,7,8,9,10,11,12
Pasien Tn. BM masuk RS PGI Cikini pada tanggal 04 februari 2014 dengan diagnosis
nonfungsional ginjal kanan. Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang bagian kanan dan
lemas. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan serum kreatinin pasien mengalami
peningkatan yaitu 1,7 mg/dL, dan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) didapatkan melalui
perhitungan Kockcroft Gault yaitu 50,09 ml/menit yang menandakan penyakit gagal ginjal
derajat 3.
Terapi pengobatan selama dirawat yaitu Ceftriaxon, Kalnex (Asam traneksamat),
Vitamin K, Vitamin C, Vomizole (Pantoprazole), Torasic (Ketorolak), dan Ca Gluconas.
Penggunaan Ceftriaxon untuk penanganan infeksi saluran kemih. Setelah pemeriksaan urin
terbukti pasien mengalami infeksi saluran kemih, hal ini dilihat dari peningkatan nilai
leukosit pada urin. Menurut BNF, 2009 pemberian Ceftriaxone untuk pasien gagal ginjal
maksimal 2 g sehari dengan monitoring kadar plasma. Penggunaan Kalnex (Asam
traneksamat) dan Vitamin K untuk mencegah atau mengatasi perdarahan, namun tidak ada
data yang menunjukkan adanya kasus perdarahan pada pasien. Penggunaan Vitamin C untuk
3
mencegah dan mengobati devisiensi Vitamin C dan membantu memelihara daya tahan tubuh.
Menurut Burns, A (Renal Drug Handbook, 2009) pemberian Vitamin C pada pasien gagal
ginjal perlu menggunakan dosis yang rendah untuk mencegah pembentukan oksalat.
Penggunaan Vomizole (Pantoprazole) untuk tukak lambung atau tukak duodenum.
Penggunaan Torasic (Ketorolak) untuk penanganan jangka pendek nyeri sedang sampai berat.
Menurut Burns, A (Renal Drug Handbook, 2009) Ketorolak bersifat nefrotoksik, dapat
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan pemberian untuk pasien gagal ginjal derajat 3
maksimum 60 mg/hari. Sedangkan penggunaan Ca Gluconas untuk penanganan
hipofosfatemia.
DRUG RELATED PROBLEM7,8,9,10,12
1. Obat Tanpa Indikasi
Pasien menerima obat Kalnex dan Vitamin K. Menurut BNF, 2009 Kalnex diindikasikan
untuk fibrinolisis lokal dan Vitamin K untuk produksi faktor pembeku darah. Namun tidak
ada data yang menunjukkan adanya kasus perdarahan pada pasien.
2. Dosis Terlalu Tinggi
Dosis obat terlalu tinggi yaitu pada pemberian Torasic (Ketorolak) 3 x 30 mg selama tujuh
hari. Menurut Renal Drug, 2009 nilai LFG antara 20-50 ml/menit maksimum pemberian
Ketorolak adalah 60 mg/ hari selama dua hari.
3. Interaksi Obat
Interaksi obat yang terjadi yaitu penggunaan Ceftriaxone dengan Torasic (Ketorolak)
dapat menyebabkan peningkatan efek dari Torasic (Ketorolak); penggunaan Ceftriaxone
dengan Ca. Glukonas dapat meningkatkan peningkatan cairan partikulat di paru-paru dan
ginjal; penggunaan Torasic (Ketorolak) dengan Vitamin K mengakibatkan efek koagulan
Vitamin K menurun; penggunaan Vitamin C dengan Ceftriaxon dan Torasic (Ketorolak)
menyebabkan peningkatan efek dari Ceftriaxone dan Torasic (Ketorolak) yang dapat
memperparah kondisi ginjal pasien.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktek kepaniteraan klinik pada bangsal penyakit dalam di RS PGI Cikini
maka di tarik kesimpulan bahwa nilai LFG pasien Tn. BM adalah 50,09 ml/menit yang
menandakan penyakit gagal ginjal derajat 3 dan adanya DRP (Drug Related Problem) yaitu
obat tanpa indikasi, dosis obat terlalu tinggi dan interaksi obat.
4
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Interna Publishing. Hal 1035-1036
Sekarwana N, dkk. 2011. Kompendium Nefrologi Anak. IDAI. Jakarta. Hal 281
Sharif, S. 2014. Asupan Protein, Status Gizi Pada Pasien Gagal Ginjal Tahap Akhir
yang Menjalani Hemodialisis Reguler. FK UNHAS. Hal 3
4. Suhardjono.2009. Penyakit Ginjal Kronik Adalah Suatu Wabah Baru (Global Epidemic)
Diseluruh Dunia. Annual Meeting Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Hal 4
5. PERNEFRI. 2012. Report Of Indonesian Renal Registry5th. Perkumpulan Nefrologi
Indonesia. Hal 11
6. Prodjosudjadi, dkk. 2009. End-Stage Renal Disease In Indonesia. Treatment velopment.
Hal 33-36
7. BPOM. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta : Sagung Seto.
Hal 159, 381, 672, 681, 686, 871, 1076, 1098
8. Burns, A. 2009. Renal Drug Handbook third edition. New York : Oxford. Hal 65, 111,
132, 410, 558, 584, 745
9. BNF. 2009, British National Formulary. BMJ Group. UK. Hal 13, 17-21, 24, 50, 138,
297, 543
10. Baxter, K. 2008. Stockley’s Drug Interactions eight edition. Pharmaceutical Press.
London. Hal 158
11. Sutedjo, AY. 2007. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
laboratorium. Amara Books. Yogyakarta. Hal 30-40, 69, 98-100
12. Priyanto. 2008. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Lembaga Studi dan Konsultasi
Farmakologi. Jakarta. Hal 22-23
5