TANGAN DI ATAS LEBIH BAIK DARIPADA TANGA

TANGAN DI ATAS LEBIH BAIK DARIPADA TANGAN DI BAWAH

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” peribahasa atau ungkapan atau kata
mutiara yang berarti “Memberi Lebih Baik daripada Menerima” tersebut sepertinya sudah sering kita
dengar. Tetapi jangankan untuk melaksanakannya, tidak sedikit dari kita yang masih juga bertanyatanya apakah benar demikian. Jika menuruti kemauan atau hasrat diri sebagai manusia yang pada
hakikatnya serakah, kita pastinya lebih memilih, “Enakan juga dikasih…”
Coba saja diingat-ingat dari pengalaman kita. Ketika sedang berbelanja, ‘insting kebutuhan’
kita pasti langsung ‘membunyikan alarm’ begitu melihat kata “DISKON,” “OBRAL MURAH,” “PROMO
BULAN INI,” “ BONUS,” “GRATIS.” Ketika kita diberi sebuah pemberian oleh orang lain, jarang sekali
kita menolak. Tetapi ketika diajak memberi, kita masih pikir-pikir panjang, masih memperhitungkan
kebutuhan kita yang satu dan yang lainnya. Seringkali kita berpikir memberi tidak lebih bermanfaat
daripada menerima. Dan ketika kita menerima sesuatu, sudah jelas Nampak manfaatnya. Jadi apa
yang melatarbelakangi terciptanya peribahasa “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”
tersebut? Dimana kebenaran baiknya “Tangan di Atas” lebih baik daripada “Tangan di Bawah” ?
Jika kita melihat secara kasat mata atau memahami secara dangkal peribahasa tersebut,
tentunya kita tidak akan melihat adanya kebenaran dari peribahasa tersebut. Sebagaimana dari
contoh yang telah kita lihat di atas. Memberi menjadi suatu hal yang sulit dilakukan ketika kita tahu
dengan melakukannya berarti mengurangi dari milik kita, atau bahkan menghabiskan atau
menghilangkan sesuatu dari milik kita tersebut. Tetapi bila kita mau menelaah lebih dalam atau
menghayati, peribahasa tersebut jelas benarnya.
Pengertian “Tangan di Atas” atau ‘Memberi’

Sebelum kita membahas lebih jauh, yang pertama yang perlu kita ketahui tentunya adalah
pengertian dari memberi itu sendiri. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘memberi’ berarti
‘menyerahkan (membagikan, menyampaikan) sesuatu (berupa materi atau benda)’ atau
‘menyediakan (melakukan) sesuatu (berupa perbuatan)’ untuk orang lain. Yang perlu kita renungkan
adalah ‘sesuatu’ itu sendiri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa segala sesuatu di dunia dan di langit ini
adalah milik penciptanya, yang mana juga merupakan pencipta kita. Segala sesuatu di dunia ini pada
hakikatnya bukanlah milik kita, melainkan hanya titipan Tuhan. Berarti yang dimaksud dengan
‘memberi’ disini adalah ‘menyerahkan, membagikan, menyampaikan (kembali) sesuatu milik Tuhan
yang sebagian kita pegang. Bukan mengurangi atau menghabiskan apa yang menjadi milik kita, tetapi
hanya ‘memindahtangankan’ titipan Tuhan yang sebelumnya ada pada kita.

Jika menyangkut perbuatan, ‘memberi’ melibatkan salah satu fungsi kita sebagai manusia,
yaitu makhluk sosial. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa berhasil hidup tanpa teman,
tanpa orang lain. Kita bahkan tidak akan mungkin bisa lahir ke dunia ini tanpa peran atau
perantaraan seorang ibu kita. Jadi, ‘memberi’ pun merupakan suatu perbuatan ‘menyediakan
(melakukan) sesuatu’ untuk orang lain, yang sudah seharusnya kita lakukan sebagaimana kita pun
menerima perlakuan dari orang lain. Memberi seperti suatu kewajiban yang otomatis kita lakukan
untuk hidup.
Bagaimana dengan menerima? Jika kita tilik dari pengertian ‘memberi’ yang pertama—
yang menitikberatkan pada konsep bahwa segala sesuatu itu milik Tuhan—berarti segala sesuatu itu

juga kita terima dari Tuhan. Oleh karena itu bila kita meminta sesuatu, sudah sepantasnya hanya
kepada Tuhan. Bukan kepada manusia. Dari konsep ini saja kita sudah dapat menyimpulkan
setidaknya satu, kepada manusia, memberi itu lebih baik daripada menerima. “Tangan di atas itu
lebih baik dari pada tangan di bawah.”
Tangan di Atas Lebih Baik dari pada Tangan di Bawah
Dari segi kewajiban atau kepantasan seperti yang dibahas di atas, sebenarnya kita telah bisa
melihat bahwa “Tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan di bawah.” Namun jika itu belum
cukup, mari kita lihat dari segi manfaatnya:
1. Memberi itu tanda kita bersyukur
Kita telah mengetahui bahwa segala sesuatu yang kita miliki sekarang adalah titipan Tuhan.
Tetapi dengan memberi, kita bisa lebih menghayati hal ini. Dengan memberi, kita mengakui
bahwa benar pemilik yang berhak atas segala sesuatu itu hanya Tuhan, sedangkan kita hanya
ketitipan. Dengan memberi kita bisa bersyukur bahwa kita masih diberi oleh Tuhan, masih
dipercaya untuk dititipkan milik-Nya.
2. Memberi lebih banyak, menerima lebih banyak lagi
Secara logika, dengan memberi memang berarti kita kehilangan. Memberi lebih banyak
berarti kehilangan lebih banyak lagi. Tetapi bila kita sadar-sadari betul, sebenarnya
rumusannya tidak demikian. Dengan memberi, kita akan mendapatkan lebih banyak. Bahkan
tanpa kita sadari, mungkin justru kita sudah menerima lebih banyak dari pada yang kita
berikan. Buktinya, sebanyak apa pun yang selama ini kita pernah berikan kepada orang lain,

tidak pernah hingga membuat kita bangkrut atau jatuh miskin. Kita selalu mendapat lagi,
mendapat lagi. Menerima lagi, menerima lagi. Jadi seharusnya kita berpikir untuk terus

memberi, sehingga di kemudian hari kita menerima lagi. Siapa yang memberi? Ya Tuhan itu
tadi, sang pemilik hakiki segala sesuatunya.
Hal ini dikarenakan Tuhan sendiri telah berjanji untuk demikian, jika kita memberi (kepada
manusia) maka Tuhan akan memberi (kepada kita). Seperti dalam rujukan Islam, Alloh
berfirman “Annfiq, unnfiq alaik,” “Infaq (memberilah, sodaqohlah) kamu, maka Aku akan
infaq (memberi, sodaqoh) atas engkau.” Jadi kita tidak perlu ragu atau takut untuk kehilangan
sesuatu karena memberi kepada orang lain. Karena pasti kita dapat gantinya. Yang lebih baik,
yang lebih banyak.
Hal ini bisa kita logikakan dengan gambaran Facebook. Bila kita memperbarui atau
mengeposkan sebuah status, biasanya kita akan menerima beberapa komentar. Lebih banyak
status, lebih banyak komentar. Tetapi itu lebih tergantung dari seberapa banyak kunjungan
teman kita pada profil kita, atau ketika mereka menyadari status kita di beranda utama
mereka. Tetapi bila kita memberikan komentar pada status-status mereka, pastinya kita akan
muncul di notifikasi mereka, yang memungkinkan mereka untuk merespon balik. Maka
semakin banyak kita komentar kepada semakin banyak status teman, akan semakin banyak
pula respon atau komentar yang akan kita terima. Itu gambaran kebaikannya “tangan di atas”
atau memberi, dibandingkan dengan “tangan di bawah” atau menerima.

3. Memberi itu membahagiakan
Satu hal yang mungkin kita tidak sadari, adalah bahwa sebuah senyuman. Ketika kita
menerima sesuatu dari orang lain, kita akan refleks tersenyum, bahagia. Begitu pula dengan
orang lain ketika mereka menerima sesuatu dari kita. Dan ketika mereka tersenyum, otomatis
kita akan tersenyum pula. Setelah menular, senyum ini kemudian memberikan dampak yang
sangat dahsyat. Ketika kita tersenyum, serotonin di otak dan hormon dopamine aktif, yang
mana mengakibatkan perasaan nyaman dan menyenangkan atau membahagiakan pada
tubuh. Dan seketika itu tubuh merasa lebih rileks, segar, dan kita menjadi bersemangat. Jadi,
dengan memberi kita bisa menerima efek membahagiakan!
4. Bisa memberi merupakan satu kelebihan
Yang terakhir namun yang terpenting, bisa memberi itu merupakan suatu kelebihan. Tidak
semua orang bisa memberi. Karena seperti yang telah dijelaskan di paragraf awal, pada
dasarnya manusia itu sifatnya serakah. Mereka sangat senang menerima, menerima, dan
menerima. Hanya sedikit yang mau memberi. Bisa dan mau memberi atau terlebih lagi
banyak atau sering memberi memang memerlukan keterampilan sendiri. Dan bila kita

menjadi salah satu dari mereka yang mau dan bisa memberi, berarti kita sudah menjadi orang
yang lebih dibandingkan mereka. Hal ini menjadi kelebihan tersendiri bagi kita, di luar kita
bisa mendapat manfaat yang luar biasa dengan memberi.
Jadi, masih ragu untuk memberi? Oh, tentu tidak ya! Sepertinya sudah jelas bahwa “tangan

di atas itu lebih baik dari pada tangan di bawah.” Dan jangan lupa untuk selalu meniati pemberian
kita karena Tuhan, dengan semangat ikhlas dan tanpa pamrih atau mengharapkan imbalan.
Mengharapkan imbalannya hanya kepada Tuhan saja, karena hanya kepadaNya kita pantas meminta.
Dan juga, kita jangan sengaja menyalahartikan bahwa ‘tangan di atas’ disini berarti
‘menerima dengan posisi tangan di atas,’ ya. Kalau demikian, berarti sama saja bohong, dong!