HAKIKAT MANUSIA HAKIKAT PENDIDIKAN DAN T

HAKIKAT MANUSIA, HAKIKAT PENDIDIKAN, DAN TUJUAN PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hampir setiap hari kita mendengar dari media masa berita-berita yang menunjukkan
kemunduran banhgsa Indonesia sekarang ini. Tindak kejahatan semakin meningkat kuantitas maupun
kualitasnya. Kasus korupsi semakin banyak yang terungkap, namun tidak banyak yang ditangani
sampai tuntas. Tawuran antarwarga bahkan antarpelajar berulang-ulang terjadi. Hal ini sangat ironis
karena pelajar adalah generasi terdidik yang mestinya bisa menyelesaikan semua permasalahannya
secara cerdas. Budaya malu berbuat anormatif semakin menipis. Gejala disintegrasi bangsa yang
berakar dari fanatisme sempit semakin menguat. Terorisme dan kerusuhan sara sampai sekarang belum
dapat diatasi oleh pemerintah secara tuntas. Budaya adiluhur bangsa semakin hilang. Karakter bangsa
kita semakin terkikis oleh pengaruh budaya bangsa lain dalam dunia yang semakin mengglobal. Hal
itu, secara keseluruhan menandai adanya kemunduran budaya bangsa Indonesia.
Adanya berbagai macam kekacauan yang dilakukan oleh bangsa ini, mau tidak mau harus
diakui sebagai buah proses pendidikan kita yang gagal. Pasti ada yang salah dalam proses pendidikan
kita apabila hasilnya tidak bisa membuat bangsa ini semakin maju secara utuh dan menyeluruh.
Pendidikan adalah tanggung jawab kita bersama. Orang tua, masyarakat, dan sekolah
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda dan saling melengkapi dalam mendidik anakanak bangsa. Untuk itu, semua pihak harus bisa bekerja sama agar produk pendidikan yang dihasilkan
sesuai dengan yang diharapkan.
Untuk mengatasi semua permasalahan pendidikan tersebut, perlu dipahami hakikat manusia

sebagai subjek pendidikan, hakikat pendidikan, dan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pemahaman
hakikat manusia itu akan menentukan kebijakan, konsep, dan tujuan pendidikan.
B.

Permasalahan

Dalam makalah ini akan dibahas permasalahan sebagai berikut :
1.

Apakah hakikat manusia itu ?

2.

Apakah hakikat pendidikan itu ?

3.

Apakah tujuan pendidikan itu ?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Proses pendidikan erat kaitannya dengan manusia. Subjek pendidikan adalah manusia. Oleh
karena itu, pendidik harus memahami hakikat manusia agar proses pendidikan yang dilakukan menjadi
terarah sesuai dengan tujuannya. Ada beberapa pengertian yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
menemukan hakikat manusia yang sebenarnya. Pengertian-pengertian tersebut didasarkan atas
pandangan agama, secara filosofis, segi biologis, psikologi, ideologis, dan paedagogis.
Agama Hindu menyatakan bahwa manusia adalah penjelmaan Tuhan. Namun agama Budha
justru menganggap bahwa manusia adalah makhluk sengsara; semata-mata merupakan wadah dari ”the
absolute”. Oleh kaum pemikir kuno, manusia dianggap sebagai perwujudan yang paling sempurna dari
Tuhan Yang Maha Esa. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Spinoza, tokoh dunia Barat abad
pertengahan, yang menyatakan bahwa hakikat manusia sama dengan hakikat Tuhan dan sama pula
dengan hakikat alam semesta. Agama-agama yang muncul kemudian, yaitu agama Kristen, Katolik,
dan Islam, menyatakan bahwa manusia diciptakan langsung oleh Tuhan sebagai manusia, tidak berasal
dari makhluk lain. Agama Islam berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk
ciptaan Allah yang berasal dari unsur-unsur yang terdapat dalam jagat raya. Karena itu, ia tunduk pada
hukum alam dan sunatullah.
Secara filosofis, Socrates menyatakan bahwa hakikat manusia terletak pada budinya. Plato
lebih mementingkan peran pikir dalam menentukan eksistensi manusia. Pendapat Plato ini dilengkapi
oleh Aristoteles, bahwa hakikat manusia juga perlu dilengkapi dengan bahan-bahan hasil pengamatan

indera. Aliran humanistik menyatakan bahwa manusia adalah totalitas dari segala dimensinya. Teori
konvergensi seperti william Stern pun mengakui bahwa manusia sebenarnya adalah konvergensi atau
paduan jasmani dan rohani. Kemenyeluruhan ini bahkan sampai sekarang tetap diakui oleh para
pemikir sekarang. Notonagoro menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan satu kesatuan
dari aspek jiwa dan raga.
Dari segi biologis pemahaman manusia lebih dititikberatkan pada aspek jasmani dengan
segala perkembangannya. Darwin berpendapat bahwa manusia itu sebenarnya merupakan
perkembangan yang paling mutkahir dari hewan bertulang belakang dan menyusui. Dan jiwa hanya
dianggap sebagai sejumlah kerja otak saja. Democritus menyatakan bahwa hakikat manusia adalah
atom dan Leibnitz berpendapat bahwa manusia adalah monade.
Berkebalikan dengan ahli biologi, para ahli psikologi justru menganggap bahwa hakikat
manusia adalah rohani, jiwa, atau psikhe. Jasmani dan nafsu hanya alat atau bagian dari rohani.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indoensia, memandang manusia dari berbagai sudut; (1)
monodualistik dan monopluralistik, (2) keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, (3) integralistik,
(4) kebersamaan dan kekeluargaan.

Paham monodualistik menyatakan bahwa manhusia pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan
yang memiliki hubungan yang serasi dengan Tuhan; kesatuan dari jasmani dan rohani; mengalami
kehidupan dunia dan akhirat; anggota dari suatu masyarakat/bangsa; makhluk individu dan soaial.
Paham monopluralistik memandang bangsa Indoensia sebagai suatu kesatuan dari unsur-unsur yang

beraneka ragam. Keberagaman itu diciptakan Tuhan dengan prinsip keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan. Manusia perlu menjaga prinsip-prinsip itu agar tercapai nilai kebersamaan dan
kekeluargaan.
Paham integralistik menyatakan bahwa tiap manusia perlu diakui dan dihormati eksistensinya,
hak dan kewajibannya. Begitu juga sebaliknya, sebagai individu, manusia perlu menjaga kepentingan,
keselamatan dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Dengan kebersamaan itu, bangsa Indonesia
percaya akan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin.
Nilai-nilai dasar Pancasila yang sekarang berkembang menjadi norma-norma kehidupan
bangsa Indonesia dapat dirinci sebagai berikut :
1. Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2. Rasa keadilan
3. Keberadaban
4. Persatauan dan kesatuan
5. Mufakat
6. Kesejahteraan
7. Kebebasan.
Manusia memilki kodrat, harkat, martabat, derajat, dan hak azasi. Secara kodrati manusia
merupakan keseluruhan sifat-sifat asli, kemampuan atau bakat-bakat alam, kekuasaan, bekal disposisi
yang melekat pada keberadaan atau eksistensi manusia. Harkat manusia adalah nilai manusia sebagai
makhluk Tuhan yang memiliki cipta, rasa dan karsa, kebebasan, hak dan kewajiban azasi. Martabat

adalah kedudukan terhormat dan luhur manusia di atas makhluk Tuhan yang lain karena manusia
mempunyai akal budi, kemampuan cipta, sara dan karsa. Derajat adalah tingkat kedudukan manusia
sebagai makhluk Tuhan yang memiliki bakat kodrati, kebebasan, hak dan kewajiban. Hak azasi adalah
kewenangan atau kekuasaan dasar yang melekat pada eksistensi manusia: hidup, berpendapat,
menentukan diri sendiri, dll.
Dari berbagai pembahasan pengertian manusia, dapat disajikan empat dimensi kemanusiaan,
yaitu (1) keindividuan, (2) kesosialan, (3) kesusilaan, (4) keberagamaan.
1. Dimensi Keindividuan Manusia
Manusia sejak lahir merupakan makhluk monodualis dengan status Khalifah Allah di muka
bumi. Bayi adalah makhluk yang lemah, namun mempunyai potensi-potensi untuk berkembang:
jasmani, rohani, dan kondisi lingkungan. Dengan berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya,
tumbuhlah kesadaran pada diri pada anak sehingga mampu mebedakan dirinya dengan orang lain atau
dengan lingkungannya. Perkembangan ini butuh bantuan orang lain terutama orang tuanya. Tiap

individu berkembang menjadi pribadi yang unik. Keunikan ini tergantung pada wawasan pendidiknya
dan faktor internal masing-masing anak.
2. Dimensi Sosial Manusia
Selain sebagai makhluk individu, manusia mempunyai kewajiban untuk berperan dan
mnyesuaikan diri serta bekerja sama dengan masyarakatnya karena manusia juga sebagai makhluk
sosial. Dimensi sosial ini muncul karena adanya kebutuhan untuk saling membantu, saling

melengkapi. Bayi bisa berkembang menjadi manusia yang mandiri, tentu butuh bantuan orang lain.
Pendidik sebagai orang tua juga perlu peserta didik untuk mengaktualisasi harga dirinya sehingga
meraka bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagian tersebut akan terasa lengkap apabila bisa pula
dirasakan secara bersama-sama oleh kelompok masyarakatnya.
3. Dimensi Kesusilaan Manusia
Manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk,
yang pantas dan tidak pantas karena dia dianugeragi nalar dan akal oleh Tuhan. Hal itu belum
menjamin manusia untuk selalu berbuat baik, pantas, dan benar karena manusia mempunyai karsa.
Keputusan untuk berbuat sesuai dengan nalar, akal budi, dan karsanya itu disebut keputusan
kesusilaan.
Driyarkara menyatakan bahwa manusia yang berkesusilaan adalah mereka yang memiliki,
menghayati dan bertindak berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti (1) nilai jsmani, (2) nilai
keindahan, (3) nilai kebenaran, (4) nilai kesusilaan, dan (5) nilai religius. Kesusilaan pada manusia
adalah hasil usaha pendidikan karena kesusilaan diperoleh oleh manusia melalui personifikasi nilai
kemanusiaan ke dalam kepribadian di dalam pendidikan.
4. Dimensi Keberagamaan Manusia
Sebagai makhluk religius, manusia mempunyai kemampuan untuk menghayati pengalaman
diri dan dunianya berdasarkan agama masing-masing. Ajaran-ajaran agama yang dianugerahkan Tuhan
melalui para Nabi dipahami manusia melalui pelajaran agama, sembahyang dan berdoa, meditasi,
komitmen aktif dan praktik ritual. Pemahaman ajaran agama ini membutuhkan proses pendidikan.

Keempat dimensi manusia tersebut dalam proses pendidikan harus dikembangkan secara
intergral, selaras, serasi, dan seimbang agar terbentuk manusia yang berkepribadian utuh. Sesuai
dengan filsafat Pancasila, manusia yang seperti itu disebaut sebagai manusia Indonseia Seutuhnya
(MIS).
Pengembangan kepribadian manusia yang utuh itu dapat terwujud apabila manusia dalam
hidupnya selalu mengalami perkembangan yang selaras, serasi dan seimbang dalam konteks enam
hubungan, yaitu :
1. hubungan dalam hidupnya sebagai pribadi;
2. dalam hubungannya dengan masyarakat;
3. dalam hubungannya dengan alam;
4. dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa;

5. dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa;
6. dalam hubungannya dengan pengejaran kemajuan lahir dan kebahagiaan rohaniah.
Hakikat manusia seperti itulah yang harus dijadikan sebagai landasan untuk menentukan
kebijakan dunia pendidikan di negara Indonesia, yaitu manusia yang berkepribadian utuh yang dapat
menyeleraskan, menyeimbangkan, dan menyerasikan aspek manusia sebagai makhluk individu, sosial,
religius, bagian dari alam semesta, bagian dari bangsa-bangsa lain, dan kebutuhan untuk mengejar
kemajuan lahir maupun kebahagiaan batin.
B. Hakikat Pendidikan

Pendidikan pada awalnya adalah upaya manusia untuk memperlakukan anak keturunan
manusia secara instingtif untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. Mendidik secara instingtif
kemudian diikuti oleh upaya mendidik berdasarkan pikiran dan pengalaman manusia.
Sesuai dengan filsafat pendidikan, terdapat lima pandangan yang dominan, yaitu (1)
perenialisme yang meyakini bahwa pengetahuan merupakan dasar pokok dari pendidikan, (2)
esensialisme yang memandang fungsi sekolah sebagai lembaga penerus warisan budaya bangsa dan
sejarah, (3) progresivisme yang menekankan pentingnya pemberian keterampilan dan alat kepada
individu untuk berintegrasi dengan lingkungan yang selalu berubah, (4) rekonstruksionisme yang
berpandangan bahwa dalam perkembangan teknologi yang cepat, pendidikan harus mampu melakukan
rekonstruksi masyarakat dan membangun tatanan dunia baru selaras dengan perkembangan teknologi
tersebut, (5) eksistensialisme yang menghormati martabat manusia sebagai individu yang unik dan
memperlakukan individu yang unik sebagai pribadi.
Sampai sekarang telah berkembang konsepsi yang telah menjadi landasan bagi penetapan
kebijakan pendidikan di Indonesia, yaitu :
1. pendidikan berlangsung seumur hidup;
2. pendidikan bersifat semesta, menyeluruh, dan terpadu;
3. pendidikan adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat.
Dilihat dari prosesnya, pendidikan berlangsung sepanjang hayat seseorang, sejak lahir sampai
mati. Walaupun ada pandangan bahwa pendidikan hanya berlangsung sampai seseorang menjadi
dewasa atau sampai pada saat seseorang mampu bertanggung jawab pada dirinya sendiri, pada

dasarnya kedua pandangan ini tidak bertentangan karena kedua teori tersebut sama-sama mengakui
adanya pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan dilandasi pandangan yang menganggap manusia sebagai satu kesatuan yang utuh,
yaitu manusia Indonesia seutuhnya yang masing-masing segi kemanusiaannya perlu dikembangkan
secara utuh dan terpadu. Dalam dunia yang dikuasai ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia
memang membutuhkan keahlian khusus atau spesialisasi pendidikan. Hal ini perlu dipahami secara
wajar, artinya pendidikan disamping harus mempersiapkan seseorang menajdi manusia yang utuh,

tetapi juga harus mempersiapkan manusia menjadi seorang yang mempunyai keterampilan dan
keahlian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pendidikan tidak berdiri sendiri; pendidikan adalah salah satu sistem di antara sistem-sistem
sosial lainnya di bawah suprasistem yaitu kebudayaan, masyarakat, dan bangsa. Pada posisi ini,
pendidikan menjadi agent of change and modernization.
Ada beberapa konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk memahami hakikat
pendidikan, yaitu :
1. Konsep Pendidikan sebagai Upaya Pemanusiaan Manusia Muda sebagai Anggota Masyarakat
Banyak teori yang digunakan oleh para ahli pendidikan untuk mengembangkan pendidikan di
Indonesia, misalnya:
a. Teori Pendidikan Naturalsitik dengan tokohnya J.J. Rousseau yang terkenal dengan semboyannya
”kembali ke alam”.

b. Teori Pendidikan dari Pestalozzi, Montessori, Decroly, dan Frobel
c. Teori Pendidikan dari Rabindranath Tagore yang menganjurkan nasionalisme.
d. Teori Pendidikan Pragmatis-Instrumentalistik yang dipelopori John Dewey. Menurut Dewey
pendidikan adalah proses perkembangan, pemeliharaan, dan pengarahan seseorang agar dapat
memelihara keberlangsungan hidupnya. Pendidikan tidak pernah berhenti karena kehidupan terus
berkembang. Pendidikan merupakan proses reorganisasi, rekonstruksi, dan transformasi yang
berkesinambungan.
e. Teori Fenomenologis dari M.J. Langeveld yang menyatakan bahwa dalam pendidikan terdapat
unsur-unsur atau konteks sosio kulutural yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan
pendidikan, yaitu kedewasaan dalam segala aspek. Pendidikan adalah upaya sadar untuk mencapai
tujuan pendidikan tersebut.
f.

Teori Pendidikan Behavioristik berpendapat bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan dan
pengubahan perilaku yang diinginkan atau penghilangan perilaku yang tidak diinginkan.

g. Teori Pendidikan Holistik-humanistik yang sangat menghargai martabat individu peserta didik
sebagai manusia seutuhnya. Pendidkan harus memberikan kesempatan peserta didik untuk
mengaktualisasikan diri sesuai dengan kemampuan masing-masing.
h. Teori Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pendidikan berarti upaya

pemeliharaan manusia guna mengembangkan benih keturunan dari suatu bangsa agar dapat
berkembang dengan sehat lahir batin.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan universal yang dapat dijumpai pada setiap tempat dan
saat. Mendidik mempunyai tujuan untuk mengembangkan kelebihan-kelebihan dan potensi-potensi
positif anak sehingga dapat menemukan jati dirinya sebdiri dan menjadi manusia dewasa yang
sempurna dan berguna bagi kehidupan sendiri dan masyarakatnya.
Dalam proses mendidik terdapat ”eidos” yang mendasari perbuatan pendidikan, yaitu
kehendak untuk memanusiakan muda, mengangkatnya ke taraf insani. Dalam perbuatan mendidik

terdapat gambaran manusia seutuhnya yang dicita-citakan dalam wujud yang konkret. Sebelum peserta
didik mencapai kedewasaan atau mencapai otonomi diri, selama itu pula dia mengalami proses
pemanusiaan.
Pengangkatan manusia muda ini disebut homonisasi dan humanisasi. Homonisasi adalah
porses pemanusiaan tingkat minimal yang terjadi mulai dari kandungan ibunya sampai mencapai
kemanusiaannya. Humanisasi merupakan proses peningkatan manusia budaya yang lebih sempurna.
Dengan demikian, hakikat pendidikan adalah perbuatan fundamental untuk memanusiakan manusia
muda atau homonisasi dan humanisasi. Pendidikan merupakan perwujudan dari kehidupan bersama
atau kesatuan hidup yang membuat anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia paripurna.
Yang bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anak adalah orang tua, terutama
orang yang melahirkan. Ibu, ayah, dan anak harus membentuk satu kesatuan dan sinergis agar proses
pendidikan bisa berjalan sewajarnya.
Berdasarkan konsep ini, hakikat pendidikan adalah :
a. Pendidikan adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan seseorang yang bertanggung jawab
kepada anak agar menjadi manusia dewasa. Pendidikan adalah suatu kehidupan bersama dalam
satu kesatuan tritunggal ayah- ibu- anak dimana terjadi pemanusiaan anak melalui proses
pemanusiaan diri sampai menjadi manusia purnawan.
b. Pendidikan berati pemasukan anak ke dalam alam budaya atau juga masuknya budaya ke dalam
anak. Pendidikan merupakan hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak dimana
terjadi pembudayaan anak melalui proses sehingga akhirnya bisa membudaya sendiri sebagai
manusia purnawan.
c. Pendidikan adalah hidup bersama dalam kesatuan tritunggal ayah-ibu-anak dimana terjadi
pelaksanaan nilai-nilai dengan melalui proses akhirnya dia bisa melaksanakan sendiri sebagi
manusia purnawan.
Dalam pendidikan proses pemanusiaan, pembudayaan, dan pelaksanaan nilai tidak dapat
dipisah-pisahkan. Keberadaan manusia yang lemah menjadi dasar pandangan bahwa manusia dapat
atau perlu dididik. Proses memanusiakan ini adalah proses yang kompleks. Beberapa pandangan
filsafat yang dapat digunakan untuk menjelaskannya adalah sebagai berikut:
a. Aliran Nativisme (Schopenhauer)
Aliran ini menjelaskan bahwa perkembangan seseorang hanya ditentukan oleh keturunan yaitu
faktor alam yang bersifat kodrati. Pendidikan dianggap tidak berpengaruh dalam pendidikan.
b. Aliran Empirisme ( John Locke )
Aliran ini menyatakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong yang belum ditulisi atau
tabularasa. Perkembangan manusia ditentukan oleh pendidikan yang atau pengartuh dari luar
diterimanya.
c. Aliran konvergensi (William Stern )

Aliran ini menggabungkan faktor heriditas dan faktor lingkungan. Perkembangan kepribadian
ditentukan sejauh mana tingkat kerja sama antara faktor heriditas dan lingkungan.
d. Aliran Naturalisme (JJ Rousseau)
Aliran ini berpandangan negatif terhadap pendidikan karena pendidikan justru dianggap bisa
merusak potensi yang baik dari Tuhan. Perkembangan manusia hendaknya diserahkan sepenuhnya
kepada alam.
2. Konsep Pendidikan sebagai Proses Penemuan dan Penjadian Diri
Pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia dapat dijadikan dasar dalam proses
menemukan dan menjadikan jati diri manusia. Jati diri manusia adalah salah satu aspek kejiwaan yang
oleh James (1890) diartikan sebagai ”emperical me” atau ”self” atau secara umum disebut ”nya” (his).
Menurut dia ada empat komponen, yaitu material self (milik kebendaaan), sosial self (persepsi orang
lain), spiritual self (kecakapan posikologis), dan pure ego (pikiran sebagi dasar identitas pribadi).
Penemuan jati diri melalui proses yang terus menerus, tidak ditentukan oleh faktor yang
dibawa sejak lahir, tetapi lebih merupakan hasil yang dipelajari dan terbentuk melalui pengalamanpenalaman individu ketika berhubungan dengan individu lain, terutama oleh orang tua dan keluraga
intinya. Orang yang telah menemukan jati dirinya akan mencapai kedewasaan yang bertanggung
jawab secara biologis, psikologis, paedagogis, dan sosiologis.
Untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif, dalam proses pendidikan perlu diperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut :
a. Peserta didik sebagai individu yang berkembang
b. Kebebasan dan keterikatan peserta didik
c. Faktor motivasi dalam pendidikan
d. Azas aktivitas dalam kegiatan pendidikan
e. Kewibawaan dan tanggung jawab pendidik.
3. Konsep Pendidikan sebagai proses Pembelajaran Sepanjang Hayat
Manusia adalah makhluk yang tidak lengkap dan hanya bisa mencapai kesempurnaan dengan
belajar terus-menerus. Untuk itu, pendidikan terjadi sepanjang kehidupan, menyeluruh, dan melampaui
sekat-sekat lembaga, program, metode.
Di Indonesia, konsep pendidikan sepanjang hayat bahkan sudah dituangkan dalam Tap MP
Nomor II/MPR/1988 yang menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses budaya untuk
meningklatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan
di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Pembelajaran sepanjang hayat adalah proses pembelajaran yang berlangsung sejak lahir
sampai mati. Proses ini berkaitan dengan belajar formal dan nonformal yang berlangsung di sekolah,

dalam keluarga, dan di masyarakat. Rohman Natawijaya (1981: 105) menyatakan bahwa pembelajaran
sepanjang hayat didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
a. Pendidikan adalah proses yang berlangsung selama hidup seseorang, direncanakan atau tidak.
b. Banyak anak yang gagal dalam pendidikan formal padahal mereka mempunyai potensi yang perlu
dikembangkan.
c. Sekolah formal semakin tidak mampu menampung anak-anak usia sekolah.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, konsep pembelajaran sepanjang hayat diterapkan
sebagai salah satu prinsip pendidikan di Indonesia.
Konsep-konsep pendidikan di atas menjadi landasan bagi para pendidik dan orang-orang yang
berkepentingan dengan pendidikan untuk memandang pendidikan dengan benar. Pendidikan tidak bisa
didekati dengan menggunakan salah satu konsep saja dengan menafikan konsep yang lain. Proses
pendidikan mestinya mempertimbangkan ketiga konsep tersebut sebagai satu kesatuan. Oleh karena
itu, hakikat pendidikan dapat diartikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia muda untuk
mencapai kedewasaan atau menemukan jati dirinya yang berlangsung seumur hidupnya atau sepanjang
hayatnya.
C.

Hakikat Tujuan Pendidikan
Pada dasarnya, pendidikan di semua institusi dan tingkat pendidikan mempunyai muara tujuan

yang sama, yaitu ingin mengantarkan anak manusia menjadi manusia paripurna yang mandiri dan
dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan lingkungannya. Dalam sistem pendidikan di
Indonesia, tujuan pendidikan tersebut secara eksplisit dapat dilihat pada Undang-undang RI Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan-peraturan pemerintah yang
berkaitan dengan undang-undang tersebut.
Dalam

UU

Sisdiknas

tersebut

dinyatakan

bahwa

pendidikan

nasional

berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan tersebut kemudian diperinci dalam PP RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Stándar Nasional Pendidikan berdasarkan jendang pendidikan. Tujuan pendidikan di tingkat
pendidikan dasar, menengah, dan kejuruan relatif sama hanya mempunyai penekanan yang berbedabeda. Tujuan pendidikan yang dimaksud adalah untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan
lebih lanjut.
Di tingkat pendidikan dasar, yaitu SD dan SMP, tujuan pendidikan lebih dititikberatkan pada
upaya untuk mendasari hidupnya atau sebagai peletak dasar nilai-nilai yang diharapkan. Di SMA
tujuan tersebut diorientasikan untuk melanjutkan atau meningkatkan apa yang telah dicapai di tingkat

dasar. Tujuan pendidikan di SMK sudah memperhatikan vokasi-vokasi atau jenis-jenis keterampilan
yang diharapkan. Hal itu tampak pada tujuan pendidikan yang berbunyi mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan,
kemandirian, dan sikap untuk menemukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi, dan
seni, yang bermanfaat bagi kemanusiaan. Tujuan di perguruan tinggi sudah komprehensif karena sudah
mencakup ranah afeksi, psikomotor, dan kognitif serta dilengkapi dengan kemampuan mandiri
menjadi ilmuwan.
Secara umum tujuan pendidikan di Indonesia sudah mencakup tiga ranah perkembangan
manusia, yaitu perkembangan afektif, psikomotor, dan kognitif. Tiga ranah ini harus dikembangkan
secara seimbang, optimal, dan integratif.
Berimbang artinya ketiga ranah tersebut dikembangkan dengan intensitas yang sama,
proporsional dan tidak berat sebelah. Optimal maksudnya dikembangkan secara maksimal sesuai
dengan potensinya. Integratif artinya pengembangan ketiga ranah tersebut dilakukan secara terpadu.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan cita-cita mencerdaskan kehidupan
bangsa serta sejalan dengan visi pendidikan nasional, Kemendiknas mempunyai visi 2025 untuk
menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna). Yang
dimaksud dengan insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas
spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa.
1. Hakikat manusia adalah manusia yang berkepribadian utuh yang dapat menyeleraskan,
menyeimbangkan, dan menyerasikan aspek manusia sebagai makhluk individu, sosial,
religius, bagian dari alam semesta, bagian dari bangsa-bangsa lain, dan kebutuhan untuk
mengejar kemajuan lahir maupun kebahagiaan batin.
2. Hakikat pendidikan adalah upaya sadar memanusiakan manusia muda untuk mencapai
kedewasaan atau menemukan jati dirinya yang berlangsung seumur hidup atau sepanjang
hayat.
3. Hakikat tujuan pendidikan adalah mengantarkan anak manusia menjadi manusia paripurna
yang mandiri dan dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan lingkungannya
B. Saran
1. Pengelolaan pendidikan harus memperhatikan hakikat manusia sebagai subjek pendidikan.
Kesalahan dalam memilih pendekatan pendidikan yang tidak sesuai dengan hakikat manusia
akan membawa kerusakan dan kesia-siaan.
2. Proses pendidikan untuk mendewasakan manusia hendaknya tidak dibatasi oleh waktu,
institusi, atau kepentingan-kepentingan lain yang tidak relevan dengan tujuan pendidikan.
3. Pemangku kepentingan dan pemerintah harus hati-hati dan cermat dalam menentuka tujuan
pendidikan nasional karena itu akan menentukan arah pendidikan secara keseluruhan.

4. Pendidik dan semua orang yang mempunyai kepentingan dengan pendidikan harus
memperhatikan hakikat manusia, hakikat pendidikan, dan hakikat tujuan pendidikan .

DAFTAR PUSTAKA
Kemdiknas. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Jakarta
Kemdiknas. 2005. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Jakarta
Pidata, Prof. Dr. Made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Satmoko, Pro. Dr. Retno Sriningsih. 1999. Landasan Kependidikan. Semarang: CV IKIP
Semarang Perss