TUGAS HK PIDANA DI LUAR KODIFIKASI
Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1. Doktrin of Identification
Indentification theory juga salah satu teori atau doktrin yang
digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi meskipun pada kenyataannya korporasi bukanlah
sesuatu yang dapat berbuat sendiri.
Pertanggungjawaban korporasi secara pidana, di negara anglo
saxon seperti di Inggris dikenal dengan konsep direct coporate
criminal liability atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung.
Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak
pidana secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai
perbuatan perusahaan (korporasi) itu sendiri. Keadaan demikian,
perbuatan itu tidak dipandang sebagai pengganti sehingga
pertanggungjawaban
perusahaan
(korporasi)
tidak
bersifat
pertanggungjawaban pribadi;
Pemikiran doktrin identifikasi ini, berpendapat bahwa
perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, sehingga ia dapat
bertindak melalui agennya.
Agen tersebut dipandang sebagai directing mind atau alter
ego. Perbuatan individu yang dikaitkan dengan perusahaan yaitu
bila seseorang (individu) diberi wewenang untuk bertindak atas
nama dan selama menjalankan perusahaan, sehingga mens rea
seseorang/individu merupakan mens rea dari perusahaan.
Michael Allen berpendapat Korporasi hanya bertanggungjawab
dimana seseorang itu diidentifikasikan dengan perbuatan
perusahaan, yang bertindak dalam ruang lingkup jabatannya;
korporasi tidak bertanggungjawab jika perbuatan itu dilakukan
dalam kapasitas pribadinya).
Peraturan perundang-undangan sekarang ini, telah mengakui
bahwasanya perbuatan dan sikap bathin dari orang-orang tertentu
yang berhubungan erat dengan korporasi di dalam menjalankan
kegiatan bisnisnya, dipandang sebagai perbuatan dan sikap bathin
korporasi.
Perbuatan orang-orang tertentu, disebut sebagai senior officer
dari perusahaan. Pada umumnya, para pejabat senior yang
dimaksud adalah para pengendali perusahaan yaitu Direktur dan
Manager. Menentukan apakah seseorang bertindak sebagai
perusahaan atau hanya sebagai karyawan atau agen, dibedakan
antara mereka yang mewakili pikiran perusahaan dan mereka yang
mewakili tangannya. Bahwa sebuah perusahaan (korporasi) dalam
banyak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan
(korporasi) memiliki otak dan pusat saraf yang mengendalikan apa
yang dilakukannya. Memiliki tangan yang memegang alat dan
bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf itu.
Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu ada karyawan
dan agen yang tidak lebih dari sebuah tangan di dalam melakukan
sebuah pekerjaan;
Sedangkan di pihak lain ada direktur dan
manager yang mewakili sikap bathin yang mengarahkan dan
mewakili kehendak perusahaan serta mengendalikan apa yang
dilakukan Perusahaan (korporasi) memiliki otak dan pusat saraf
yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Tangan yang
memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat
syaraf itu. Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu ada
karyawan dan agen yang tidak lebih dari sebuah tangan di dalam
melakukan sebuah pekerjaan;
Sedangkan di pihak lain ada direktur dan manager yang
mewakili sikap bathin yang mengarahkan dan mewakili kehendak
perusahaan serta mengendalikan apa yang dilakukan
Directing mind dari korporasi biasanya adalah direktur dan
manajer yang mewakili kehendak dan pikiran yang mampu
menggerakkan perusahaan tersebut. Dengan status dan otoritas
tertentu yang dimiliki oleh directing mind berdasarkan hukum maka
akan dapat dianggap bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas
nama perusahaan. Dengan kata lain bukan nama jabatan ataupun
kedudukan
sebagai
pegawai
yang
mempengaruhi
pertanggungjawaban pidana, tetapi kewenangan dan kemampuan
yang dimilikinya. Secara khusus siapa yang dapat dianggap sebagai
kalbu dan tubuh dari perusahaan tersebut tergantung pads fakta
masing-masing kasus.
Intinya adalah tidak semua perbuatan pidana yang dilakukan
oleh siapapun yang merupakan personel dari suatu korporasi dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi yang bersangkutan,
hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh personel
korporasi yang memiliki suatu kewenangan untuk dapat bertindak
sebagai directing mind dari korporasi tersebut.
Syarat-syarat untuk dapat menerapkan doktrin identifikasi
dalam pertanggungjawaban pidana korporasi adalah:
1.Perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari korproasi
tersebut harus termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan
kepadanya.
2.Tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan
terhadap korporasi yang bersangkutan.
3.Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
manfaat bagi korporasi.
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan doktrin ini adalah:
Seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggungiawab dengan
alasan geografi maksudnya ia terpisah dari lokasi di mana tindak
pidana tersebut teradi. Misalnya atasan yang berada di kantor pusat
menjadi directing mind dari perbuatan yang dilakukan oleh kepala
cabang korporasi.
1.
Sebuah
korporasi
tidak
dapat
mengelak
untuk
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh
pegawainya, meskipun telah ada perintah kepada pegawai tersebut
agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum,
akan tetapi pejabat dan direktur korporasi jugs memiliki kewajiban
untuk memantau perbuatan-perbuatan dari para pegawai korporasi
yang melanggar pedoman umum perusahaan yang melarang
mereka melakukan tindak pidana.
2 .Directing mind dari korporasi tidak terbatas pada satu
orang saja, pejabat dan direktur bisa dikenakan secara bersamaan.
3. Pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing
mind dari suatu korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu tindak pidana, apabila tindak pidana tersebut tidak
disadarinya.
4. Penentuan pertanggungjawaban pidana, korporasi harus
dilakukan kasus perkasus, maka harus dilakukan analisis konseptual
meliputi menentukan kebijakan-kebijakan korporasi.
2. Doktrin Strict liability
Menurut
doktrin
atau
ajaran
strict
liability,
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku
tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan
adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan
merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori tanggung jawab
mutlak (no fault liability). E. Saefullah Wiradipraja, menyatakan
masalah tanggung jawab mutlak di dalam kepustakaan biasanya
dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability.
Prinsip
tanggung
jawab
mutlak
ini
dimaksudkan
pertanggungjawaban tana keharusan untuk membuktikan adanya
kesalahan.
Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan
apakah strict liability sama dengan absolute liability. Mengenai hal
ini ada dua pendapat, pertama menyatakan bahwa strict liability
merupakan absolute liability.
Alasannya, bahwa dalam perkara strict liability seseorang
yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)
sebagaimana yang ditentukan undang-undang dapat dipidana tanpa
mempersoalkan pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau
tidak. Pendapat kedua, strict liability bukan merupakan absolute
liability, artinya seseorang yang melakukan perbuatan terlarang
belum tentu dipidana Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability),
menurut hukum pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap
perkara pelanggaran ketertiban umum dan kesejahteraan umum
yaitu: Pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan. Pencemaran
nama baik.
Mengganggu ketertiban masyarakat. Namun demikian,
kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur
undang-undang (statutory offences ; regulatory offences ; mala
prohibita)
yang
pada
umumnya
merupakan
delik-delik
kesejahteraan umum (public welafare offences). Termasuk
regulatory offences, misalnya penjualan makanan dan minuman,
obat-obatan yang membahayakan dan penggunaan gambar dagang
yang menyesatkan.
Asas Strict liability, dalam konteks pertanggungjawaban
pidana korporasi merupakan solusi atas penempatan korporasi
sebagai subjek hukum pidana.
Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana
dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana dengan tidak perlu
dibuktikan adanya kesalahan (schuld) dari pelaku.
3. Doktrin Vicarious Liability
Doktrin
vicarious
liability
ini,
diartikan
the
pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan dan
kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (The legal responsibility of
one person for wrongful acts of another). Secara singkat vicarious
liability sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pengganti.
Vicarious liability, diartikan Henry Black sebagai inderect legal
responsibility, the liability of an employer for the acts of employee,
of a principle for torts and contracts of an agent.
(Pertanggungjawaban
hukum
secara
tidak
langsung,
pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari karyawan,
pertanggungjawaban prinsip atas tindakan agen dalam suatu
kontrak).
Doktrin vicarius liability diambil dari hukum perdata yang
diterapkan dalam hukum pidana. Menurut doktrin ini, seseorang
yang melakukan suatu perbuatan melalui orang lain dianggap dia
sendiri yang melakukan perbuatan itu dengan syarat bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah perbuatan
dalam rangka tugas yang diberikan.
Dengan kata lain, pemberi kerja adalah penanggungjawab
utama dari perbuatan buruh atau karyawan yang melakukan
perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas atau pekerjaannya.
Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat
dibuktikan bahwa terdapat hubungan subordinasi antara pemberi
kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut.
Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional,
perwakilan atau kuasa dari korporasi tersebut, memang dapat
menimbulkan keraguan mengenai hubungan subordinasi, yaitu
apakah hubungan itu merupakan hubungan yang cukup memadai
untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang
dilakukan oleh bawahannya kepada pemberi kerja. Menurut undangundang (statute law) vicarous liability, dapat terjadi dalam hal-hal
sebagai berikut
Menurut undang-undang (statute law) di Inggris, vicarous
liability, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: Seseorang
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian
(the delegation principle ).
Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila
menurut hukum perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan.
Perbedaan antara strict liability dan vicarious liability terletak pada
ada tidaknya mens rea. Pada doktrin strict liability, mens rea tidak
diperlukan untuk memidana seseorang yang telah melakukan
perbuatan pidana;
Sedangkan dalam doktrin vicarious liability mens rea menjadi
syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat memidana pelaku
yang telah melakukan perbuatan pidana.
Penerapan doktrin vicarious liability, menurut pendapat
Clarkson
dapat
dibenarkan
pengggunaannya
bedasarkan
pertimbangan yang pragmatis sepanjang seseorang dalam rangka
pekerjaannya, telah melakukan suatu tindak pidana maka korporasi
tempatnya bekerja dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.
Doktrin ini dapat mencegah upaya korporasi untuk berlindung dari
keharusan memikul tanggung jawab secara pidana dengan dalih
telah mendelegasikan kegiatan-kegiatan korporasi yang berpotensi
ilegal kepada para pegawainya.
Doktrin vicarious liability ini juga ditemukan dalam Pasal 38
ayat (2) Rancangan KUHP 2006 yang berbunyi : “ Dalam hal
ditentukan
oleh
Undang-undang,
setiap
orang
dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh
orang lain“.
Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada
pidana tanpa kesalahan. Tanggung jawab seseorang dipandang
patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang
melakukan pekerjaan atau perbuatan dalam batas-batas perintah
pimpinannya. Meskipun, seseorang dalam kenyataanya tidak
melakukan
tindak
pidana
akan
tetapi
dalam
rangka
pertanggungjawaban pidana dipandang mempunyai kesalahan jika
perbuatan orang lain itu berada dalam kedudukannya yang
sedemikian itu, merupakan tindak pidana.
Sehubungan hal diatas, dipertanggungjawabkannya korporasi
atas doktrin stric liability dan vicarious liability sebagaimana
tersebut diatas dalam perkembangannya kedua doktrin tersebut
sangat diperlukan. Mengingat kemajuan ekonomi yang didasari
pada peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih,
tidaklah mudah mendapatkan tentang kesalahan dari pemilik
industri. Doktrin-doktrin tersebut di atas, menurut Barda Nawawi
Arief perlu dipertimbangkan sejauhmana dapat diambil. Intinya,
sejauhmana makna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
harus diperluas dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan
antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian, arah perkembangan pertanggungjawaban
pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi untuk yang akan
datang sebagai kebijakan legislasi yang ideal.
4. Doctrine of Delegation
Doctrine of Delegation, merupakan salah satu dasar
pembenaran untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana yang dilakukan oleh pegawainya kepada korporasi. Menurut
doktrin
tersebut,
alasan
untuk
dapat
memberikan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya
pendelegasian kewenangan dari seseorang kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Pendelegasian
kewenangan dari seorang pemberi kerja (employer) kepada
bawahannya merupakan alasan pembenar bagi dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja tersebut atas
perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
5. Doktrin Aggregation
Doktrin aggregation adalah mengkombinasikan kesalahan dari
sejumlah orang secara kolektif yang terikat kewenangan korporasi
(struktur organisasi perusahaan), bertindak dan atas nama,
kepentingan, manfaat korporasi untuk diatributkan kepada korporasi
sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Menurut
ajaran ini semua perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang
yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap
seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja. Kelemahan dari teori ini
adalah: Tidak dapat digunakan ketika suatu tindak pidana
memerlukan pembuktian mengenai adanya kesalahan subjektif dan
mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang
salah mungkin saja bukan berupa penyatuan dari suatu perbuatan
yang salah, atau bukan berupa penyatuan dari apa yang telah
dilakukan oleh masing-masing orang, tetapi fakta bahwa suatu
perusahaan tidak memiliki struktur organisasi atau tidak memiliki
kebijakan untuk dapat mencegah seseorang dalam perusahaan itu
melakukan perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu
tindak pidana.
Keuntungan dari ajaran ini adalah:
Banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang
telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam
melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan tempat ia bekerja,
maka ajaran ini mencegah perusahaan menyembunyikan dalamdalam tanggungjawabnya dalam struktur korporasi.
6. The corporate culture model
Pendekatan model budaya kerja perusahaan memfokuskan
pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat, yang
mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya.
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada
korporasi, apabila berhasil menemukan bahwa seseorang yang telah
melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang
rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi tersebut memiliki
kewenangan, telah diberikan wewenang, atau mengizinkan
dilakukannya tindak pidana tersebut untuk kepentingan korporasi,
maka korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus
juga bertanggungjawab karena telah dilakukannya perbuatan yang
melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukan
perbuatan itu saja yang harus bertanggungjawab.
7. Reactive corporate fault
Fisse dan Braithwaite menyatakan bahwa apabila actus reus
dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama
korporasi, maka pengadilan sepanjang telah dilengkapi dengan
kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta
kepada perusahaan untuk: Melakukan penyelidikan sendiri
mengenai siapa yang bertanggungjawab di dalam organisasi
perusahaan itu. Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin
terhadap mereka yang bertanggungjawab Mengirimkan laporan
yang merinci apa saja tindakan yang telah diambil perusahaan.
Apabila perusahaan memenuhi permintaan pengadilan dengan
mengirimkan laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja
langkah-langkah yang telah diambil oleh perusahaan untuk
mendisiplinkan
mereka
yang
bertanggungjawab
maka
pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada
korporasi yang bersangkutan.
Apabila tanggapan dari korporasi terhadap pemerintah
pengadilan dianggap tidak memadai maka perusahaan atau
pimpinan perusahaan akan dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pejabat pemerintah.
TUGAS
HUKUM PIDANA DILUAR KODIFIKASI
Oleh:
Juliana Tiar Rosaria Lubis (A01112142)
Resmaya A. M. Sirait (A01112183)
Rido T. H. Pakpahan (A01112184)
Pandi Sadono Simanjuntak (A01112292)
Juniadi Purba (A01112
Agustinus (A01112211)
Desta Hutabarat (A01112140)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
1. Doktrin of Identification
Indentification theory juga salah satu teori atau doktrin yang
digunakan sebagai pembenaran bagi pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi meskipun pada kenyataannya korporasi bukanlah
sesuatu yang dapat berbuat sendiri.
Pertanggungjawaban korporasi secara pidana, di negara anglo
saxon seperti di Inggris dikenal dengan konsep direct coporate
criminal liability atau doktrin pertanggungjawaban pidana langsung.
Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan tindak
pidana secara langsung melalui orang-orang yang sangat
berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai
perbuatan perusahaan (korporasi) itu sendiri. Keadaan demikian,
perbuatan itu tidak dipandang sebagai pengganti sehingga
pertanggungjawaban
perusahaan
(korporasi)
tidak
bersifat
pertanggungjawaban pribadi;
Pemikiran doktrin identifikasi ini, berpendapat bahwa
perusahaan itu merupakan kesatuan buatan, sehingga ia dapat
bertindak melalui agennya.
Agen tersebut dipandang sebagai directing mind atau alter
ego. Perbuatan individu yang dikaitkan dengan perusahaan yaitu
bila seseorang (individu) diberi wewenang untuk bertindak atas
nama dan selama menjalankan perusahaan, sehingga mens rea
seseorang/individu merupakan mens rea dari perusahaan.
Michael Allen berpendapat Korporasi hanya bertanggungjawab
dimana seseorang itu diidentifikasikan dengan perbuatan
perusahaan, yang bertindak dalam ruang lingkup jabatannya;
korporasi tidak bertanggungjawab jika perbuatan itu dilakukan
dalam kapasitas pribadinya).
Peraturan perundang-undangan sekarang ini, telah mengakui
bahwasanya perbuatan dan sikap bathin dari orang-orang tertentu
yang berhubungan erat dengan korporasi di dalam menjalankan
kegiatan bisnisnya, dipandang sebagai perbuatan dan sikap bathin
korporasi.
Perbuatan orang-orang tertentu, disebut sebagai senior officer
dari perusahaan. Pada umumnya, para pejabat senior yang
dimaksud adalah para pengendali perusahaan yaitu Direktur dan
Manager. Menentukan apakah seseorang bertindak sebagai
perusahaan atau hanya sebagai karyawan atau agen, dibedakan
antara mereka yang mewakili pikiran perusahaan dan mereka yang
mewakili tangannya. Bahwa sebuah perusahaan (korporasi) dalam
banyak hal dapat disamakan dengan tubuh manusia. Perusahaan
(korporasi) memiliki otak dan pusat saraf yang mengendalikan apa
yang dilakukannya. Memiliki tangan yang memegang alat dan
bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf itu.
Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu ada karyawan
dan agen yang tidak lebih dari sebuah tangan di dalam melakukan
sebuah pekerjaan;
Sedangkan di pihak lain ada direktur dan
manager yang mewakili sikap bathin yang mengarahkan dan
mewakili kehendak perusahaan serta mengendalikan apa yang
dilakukan Perusahaan (korporasi) memiliki otak dan pusat saraf
yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Tangan yang
memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat
syaraf itu. Beberapa orang dilingkungan perusahaan itu ada
karyawan dan agen yang tidak lebih dari sebuah tangan di dalam
melakukan sebuah pekerjaan;
Sedangkan di pihak lain ada direktur dan manager yang
mewakili sikap bathin yang mengarahkan dan mewakili kehendak
perusahaan serta mengendalikan apa yang dilakukan
Directing mind dari korporasi biasanya adalah direktur dan
manajer yang mewakili kehendak dan pikiran yang mampu
menggerakkan perusahaan tersebut. Dengan status dan otoritas
tertentu yang dimiliki oleh directing mind berdasarkan hukum maka
akan dapat dianggap bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas
nama perusahaan. Dengan kata lain bukan nama jabatan ataupun
kedudukan
sebagai
pegawai
yang
mempengaruhi
pertanggungjawaban pidana, tetapi kewenangan dan kemampuan
yang dimilikinya. Secara khusus siapa yang dapat dianggap sebagai
kalbu dan tubuh dari perusahaan tersebut tergantung pads fakta
masing-masing kasus.
Intinya adalah tidak semua perbuatan pidana yang dilakukan
oleh siapapun yang merupakan personel dari suatu korporasi dapat
dipertanggungjawabkan kepada korporasi yang bersangkutan,
hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh personel
korporasi yang memiliki suatu kewenangan untuk dapat bertindak
sebagai directing mind dari korporasi tersebut.
Syarat-syarat untuk dapat menerapkan doktrin identifikasi
dalam pertanggungjawaban pidana korporasi adalah:
1.Perbuatan yang dilakukan oleh directing mind dari korproasi
tersebut harus termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan
kepadanya.
2.Tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan
terhadap korporasi yang bersangkutan.
3.Tindak pidana tersebut dimaksudkan untuk memperoleh
manfaat bagi korporasi.
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan doktrin ini adalah:
Seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggungiawab dengan
alasan geografi maksudnya ia terpisah dari lokasi di mana tindak
pidana tersebut teradi. Misalnya atasan yang berada di kantor pusat
menjadi directing mind dari perbuatan yang dilakukan oleh kepala
cabang korporasi.
1.
Sebuah
korporasi
tidak
dapat
mengelak
untuk
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh
pegawainya, meskipun telah ada perintah kepada pegawai tersebut
agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum,
akan tetapi pejabat dan direktur korporasi jugs memiliki kewajiban
untuk memantau perbuatan-perbuatan dari para pegawai korporasi
yang melanggar pedoman umum perusahaan yang melarang
mereka melakukan tindak pidana.
2 .Directing mind dari korporasi tidak terbatas pada satu
orang saja, pejabat dan direktur bisa dikenakan secara bersamaan.
3. Pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing
mind dari suatu korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu tindak pidana, apabila tindak pidana tersebut tidak
disadarinya.
4. Penentuan pertanggungjawaban pidana, korporasi harus
dilakukan kasus perkasus, maka harus dilakukan analisis konseptual
meliputi menentukan kebijakan-kebijakan korporasi.
2. Doktrin Strict liability
Menurut
doktrin
atau
ajaran
strict
liability,
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku
tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan
adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.
Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya kesalahan
merupakan reaksi terhadap prinsip atau teori tanggung jawab
mutlak (no fault liability). E. Saefullah Wiradipraja, menyatakan
masalah tanggung jawab mutlak di dalam kepustakaan biasanya
dikenal dengan ungkapan absolute liability atau strict liability.
Prinsip
tanggung
jawab
mutlak
ini
dimaksudkan
pertanggungjawaban tana keharusan untuk membuktikan adanya
kesalahan.
Menurut Barda Nawawi Arief, sering dipersoalkan
apakah strict liability sama dengan absolute liability. Mengenai hal
ini ada dua pendapat, pertama menyatakan bahwa strict liability
merupakan absolute liability.
Alasannya, bahwa dalam perkara strict liability seseorang
yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus)
sebagaimana yang ditentukan undang-undang dapat dipidana tanpa
mempersoalkan pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau
tidak. Pendapat kedua, strict liability bukan merupakan absolute
liability, artinya seseorang yang melakukan perbuatan terlarang
belum tentu dipidana Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability),
menurut hukum pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap
perkara pelanggaran ketertiban umum dan kesejahteraan umum
yaitu: Pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan. Pencemaran
nama baik.
Mengganggu ketertiban masyarakat. Namun demikian,
kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur
undang-undang (statutory offences ; regulatory offences ; mala
prohibita)
yang
pada
umumnya
merupakan
delik-delik
kesejahteraan umum (public welafare offences). Termasuk
regulatory offences, misalnya penjualan makanan dan minuman,
obat-obatan yang membahayakan dan penggunaan gambar dagang
yang menyesatkan.
Asas Strict liability, dalam konteks pertanggungjawaban
pidana korporasi merupakan solusi atas penempatan korporasi
sebagai subjek hukum pidana.
Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana
dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana dengan tidak perlu
dibuktikan adanya kesalahan (schuld) dari pelaku.
3. Doktrin Vicarious Liability
Doktrin
vicarious
liability
ini,
diartikan
the
pertanggungjawaban hukum seseorang atas perbuatan dan
kesalahan yang dilakukan oleh orang lain (The legal responsibility of
one person for wrongful acts of another). Secara singkat vicarious
liability sering diartikan sebagai pertanggungjawaban pengganti.
Vicarious liability, diartikan Henry Black sebagai inderect legal
responsibility, the liability of an employer for the acts of employee,
of a principle for torts and contracts of an agent.
(Pertanggungjawaban
hukum
secara
tidak
langsung,
pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari karyawan,
pertanggungjawaban prinsip atas tindakan agen dalam suatu
kontrak).
Doktrin vicarius liability diambil dari hukum perdata yang
diterapkan dalam hukum pidana. Menurut doktrin ini, seseorang
yang melakukan suatu perbuatan melalui orang lain dianggap dia
sendiri yang melakukan perbuatan itu dengan syarat bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah perbuatan
dalam rangka tugas yang diberikan.
Dengan kata lain, pemberi kerja adalah penanggungjawab
utama dari perbuatan buruh atau karyawan yang melakukan
perbuatan itu dalam ruang lingkup tugas atau pekerjaannya.
Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat
dibuktikan bahwa terdapat hubungan subordinasi antara pemberi
kerja (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut.
Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional,
perwakilan atau kuasa dari korporasi tersebut, memang dapat
menimbulkan keraguan mengenai hubungan subordinasi, yaitu
apakah hubungan itu merupakan hubungan yang cukup memadai
untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang
dilakukan oleh bawahannya kepada pemberi kerja. Menurut undangundang (statute law) vicarous liability, dapat terjadi dalam hal-hal
sebagai berikut
Menurut undang-undang (statute law) di Inggris, vicarous
liability, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: Seseorang
dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian
(the delegation principle ).
Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila
menurut hukum perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan.
Perbedaan antara strict liability dan vicarious liability terletak pada
ada tidaknya mens rea. Pada doktrin strict liability, mens rea tidak
diperlukan untuk memidana seseorang yang telah melakukan
perbuatan pidana;
Sedangkan dalam doktrin vicarious liability mens rea menjadi
syarat utama yang harus dipenuhi untuk dapat memidana pelaku
yang telah melakukan perbuatan pidana.
Penerapan doktrin vicarious liability, menurut pendapat
Clarkson
dapat
dibenarkan
pengggunaannya
bedasarkan
pertimbangan yang pragmatis sepanjang seseorang dalam rangka
pekerjaannya, telah melakukan suatu tindak pidana maka korporasi
tempatnya bekerja dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.
Doktrin ini dapat mencegah upaya korporasi untuk berlindung dari
keharusan memikul tanggung jawab secara pidana dengan dalih
telah mendelegasikan kegiatan-kegiatan korporasi yang berpotensi
ilegal kepada para pegawainya.
Doktrin vicarious liability ini juga ditemukan dalam Pasal 38
ayat (2) Rancangan KUHP 2006 yang berbunyi : “ Dalam hal
ditentukan
oleh
Undang-undang,
setiap
orang
dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh
orang lain“.
Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada
pidana tanpa kesalahan. Tanggung jawab seseorang dipandang
patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang
melakukan pekerjaan atau perbuatan dalam batas-batas perintah
pimpinannya. Meskipun, seseorang dalam kenyataanya tidak
melakukan
tindak
pidana
akan
tetapi
dalam
rangka
pertanggungjawaban pidana dipandang mempunyai kesalahan jika
perbuatan orang lain itu berada dalam kedudukannya yang
sedemikian itu, merupakan tindak pidana.
Sehubungan hal diatas, dipertanggungjawabkannya korporasi
atas doktrin stric liability dan vicarious liability sebagaimana
tersebut diatas dalam perkembangannya kedua doktrin tersebut
sangat diperlukan. Mengingat kemajuan ekonomi yang didasari
pada peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih,
tidaklah mudah mendapatkan tentang kesalahan dari pemilik
industri. Doktrin-doktrin tersebut di atas, menurut Barda Nawawi
Arief perlu dipertimbangkan sejauhmana dapat diambil. Intinya,
sejauhmana makna kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
harus diperluas dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan
antara kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian, arah perkembangan pertanggungjawaban
pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi untuk yang akan
datang sebagai kebijakan legislasi yang ideal.
4. Doctrine of Delegation
Doctrine of Delegation, merupakan salah satu dasar
pembenaran untuk dapat membebankan pertanggungjawaban
pidana yang dilakukan oleh pegawainya kepada korporasi. Menurut
doktrin
tersebut,
alasan
untuk
dapat
memberikan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya
pendelegasian kewenangan dari seseorang kepada orang lain untuk
melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Pendelegasian
kewenangan dari seorang pemberi kerja (employer) kepada
bawahannya merupakan alasan pembenar bagi dibebankannya
pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja tersebut atas
perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya.
5. Doktrin Aggregation
Doktrin aggregation adalah mengkombinasikan kesalahan dari
sejumlah orang secara kolektif yang terikat kewenangan korporasi
(struktur organisasi perusahaan), bertindak dan atas nama,
kepentingan, manfaat korporasi untuk diatributkan kepada korporasi
sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Menurut
ajaran ini semua perbuatan dan unsur mental dari berbagai orang
yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan dianggap
seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja. Kelemahan dari teori ini
adalah: Tidak dapat digunakan ketika suatu tindak pidana
memerlukan pembuktian mengenai adanya kesalahan subjektif dan
mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang
salah mungkin saja bukan berupa penyatuan dari suatu perbuatan
yang salah, atau bukan berupa penyatuan dari apa yang telah
dilakukan oleh masing-masing orang, tetapi fakta bahwa suatu
perusahaan tidak memiliki struktur organisasi atau tidak memiliki
kebijakan untuk dapat mencegah seseorang dalam perusahaan itu
melakukan perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu
tindak pidana.
Keuntungan dari ajaran ini adalah:
Banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang
telah melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam
melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan tempat ia bekerja,
maka ajaran ini mencegah perusahaan menyembunyikan dalamdalam tanggungjawabnya dalam struktur korporasi.
6. The corporate culture model
Pendekatan model budaya kerja perusahaan memfokuskan
pada kebijakan korporasi yang tersurat dan tersirat, yang
mempengaruhi cara korporasi melakukan kegiatan usahanya.
Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada
korporasi, apabila berhasil menemukan bahwa seseorang yang telah
melakukan perbuatan melanggar hukum memiliki dasar yang
rasional untuk meyakini bahwa anggota korporasi tersebut memiliki
kewenangan, telah diberikan wewenang, atau mengizinkan
dilakukannya tindak pidana tersebut untuk kepentingan korporasi,
maka korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus
juga bertanggungjawab karena telah dilakukannya perbuatan yang
melanggar hukum dan bukan orang yang telah melakukan
perbuatan itu saja yang harus bertanggungjawab.
7. Reactive corporate fault
Fisse dan Braithwaite menyatakan bahwa apabila actus reus
dari suatu tindak pidana terbukti dilakukan oleh atau atas nama
korporasi, maka pengadilan sepanjang telah dilengkapi dengan
kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
dapat mengeluarkan perintah yang bersangkutan, dapat meminta
kepada perusahaan untuk: Melakukan penyelidikan sendiri
mengenai siapa yang bertanggungjawab di dalam organisasi
perusahaan itu. Untuk mengambil tindakan-tindakan disiplin
terhadap mereka yang bertanggungjawab Mengirimkan laporan
yang merinci apa saja tindakan yang telah diambil perusahaan.
Apabila perusahaan memenuhi permintaan pengadilan dengan
mengirimkan laporan dan di dalam laporan itu dimuat apa saja
langkah-langkah yang telah diambil oleh perusahaan untuk
mendisiplinkan
mereka
yang
bertanggungjawab
maka
pertanggungjawaban pidana tidak akan dibebankan kepada
korporasi yang bersangkutan.
Apabila tanggapan dari korporasi terhadap pemerintah
pengadilan dianggap tidak memadai maka perusahaan atau
pimpinan perusahaan akan dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana atas kelalaian tidak memenuhi perintah pejabat pemerintah.
TUGAS
HUKUM PIDANA DILUAR KODIFIKASI
Oleh:
Juliana Tiar Rosaria Lubis (A01112142)
Resmaya A. M. Sirait (A01112183)
Rido T. H. Pakpahan (A01112184)
Pandi Sadono Simanjuntak (A01112292)
Juniadi Purba (A01112
Agustinus (A01112211)
Desta Hutabarat (A01112140)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA