2.1 Belajar 2.1.1 Hakikat Belajar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Problem Solving Learning Berbantuan Math Menu pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar Negeri

BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab II ini berisi kajian teori tentang belajar yang meliputi hakikat

  belajar, teori belajar, hakikat pembelajaran, prinsip pembelajaran, model pembelajaran. Selain itu, terdapat juga kajian pustaka mengenai proses belajar dan hasil belajar. Bab ini juga membahas mengenai Matematika. Terdapat ulasan mengenai model pembelajaran Problem Solving Learning dengan Math Menu yang meliputi pengertian model pembelajaran

  

Problem Solving Learning dan Math Menu, alasan peneliti menggunakan

  model pembelajaran Problem Solving Learning dengan Math Menu dan sintak penerapan model pembelajaran Problem Solving Learning dengan

  

Math Menu . Penelitian yang relevan, kerangka berpikir dan hipotesis

tindakan akan tersusun secara sistematis dalam Bab II ini.

2.1 Belajar

2.1.1 Hakikat Belajar

  Menurut Hilgard dan Bower (dalam Purwanto, 2002: 84), “belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respons pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat, misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya.” Menurut Gagne (dalam Purwanto, 2002: 84), “belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan memengaruhi siswa sehingga perbuatannya berubah dari waktu ke waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.” Menurut Travers (dalam Suprijono, 2009: 2), “belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku.” Selain itu menurut Morgan (dalam Purwanto, 2002: 84), “belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku Sla meto, “belajar ialah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”

  Selanjutnya Anthony Robbins (dalam Trianto, 2009 : 15) mendefinisikan “belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu (pengetahuan) yang baru.” Sedangkan menurut Jerome Brunner (dalam Romberg & Kaput, 1999), “belajar adalah suatu proses aktif dimana siswa membangun (mengkonstruk) yang suda h dimilikinya.”

  Secara lengkap Slavin (dalam Trianto, 2009 : 16) mendefinisikan belajar sebagai “learning is usually defined as a change in an individual caused

  

by experienced. Changes caused by development (such as growing taller)

are not instances of learning. Neither are characteristics of individuals

that are present at birth (such as reflexes and respons to hunger or pain).

However, humans do so much learningfrom the day of their birth (and

some say earlier) that learning and development are inseparabl y linked.”

  Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses dari sebuah aktivitas yang dilakukan oleh seorang individu untuk membuat perubahan pada diri dari setiap individu, yang awalnya belum tahu menjadi tahu, yang awalnya tidak mampu menjadi mampu, yang awalnya belum terampil menjadi terampil, yang bisa membuat perubahan perilaku pada diri dari setiap individu.

2.1.2 Teori Belajar

  Terdapat berbagai teori belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli, diantaranya: a) Teori Gestalt

  Teori yang dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman ini berpendapat bahwa yang penting dalam belajar adalah adanya penyesuaian pertama yang memperoleh response yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi. Menurutnya, belajar bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari tetapi mengerti atau memperoleh insight.

  Sifat-sifat belajar dengan insight ialah: (1) Insight tergantung dari kemampuan dasar. (2) Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan. (3) Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati. (4) Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit. (5) belajar dengan insight dapat diulangi. (6) Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang baru.

  b) Teori Belajar J. Bruner Bruner mengatakan bahwa belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang, tetapi untuk mengubah kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih banyak dan mudah. Menurutnya, seharusnya sekolah menyediakan kesempatan bagi siswanya untuk maju dnegan cepat sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa dalam mata pelajaran tertentu. Di dalam proses belajar hal terpenting yang harus dimiliki setiap siswa adalah partisipasi aktif, untuk itu Bruner menghargai adanya perbedaan kemampuan. Bruner berpendapat bahwa untuk meningkatkan proses belajar kita memerlukan dengan apa yang dinamakan lingkungan (discovery learning environment), ialah “lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan- penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.

  ” Di dalam lingkungan tersebut, siswa akan menemui masalah dan hambatan yang bermacam-macam tergantung usia masing-masing (berbeda-beda). Selain itu, di dalam lingkungan banyak hal yang dipelajari siswa dan digolongkan menjadi:

  (1) Enactive : seperti belajar naik sepeda, yang harus

  didahului dengan bermacam-macam keterampilan motorik, (2) iconic : seperti mengenal jalan yang menuju ke pasar, mengingat di mana bukunya yang penting diletakkan, (3) symbolic : seperti menggunakan kata-kata, menggunakan formula.

  c) Teori Belajar Piaget Piaget menyampaikan pendapatnya tentang perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut: (1) anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan sendiri dalam belajar. (2) perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak. (3) walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada anak. (4) perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu : kemasakan, pengalaman, interaksi sosial, equilibration. (5) ada 3 tahap perkembangan yaitu : berpikir secara intuitif ± 4 tahun, beroperasi secara konkret ± 7 tahun, dan beroperasi secara formal ± 11 tahun.

  d) Teori dar R. Gagne Gagne memberikan dua definisi terhadap masalah belajar, yaitu : “belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku dan belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari instruksi.” Manusia sudah mulai belajar sejak ia dilahirkan.

  Sejak bayi manusia sudah belajar untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Kemudian dilanjutkan dnegan mulai belajar untuk berbicara dan menggunakan bahasa. Sebenarnya ada dua tugas anak dalam belajar, tugas yang pertama adalah meneruskan sosialisasi dan tugas yang kedua adalah belajar untuk menggunakan simbol-simbol yang menyatakan keadaan sekelilingnya. Gagne juga menyatakan bahwa segala sesuatu yang dipelajari manusia dapat dibagi menjadi lima kategori atau yang lebih sering disebut sebagai

  “The domains of learning”, yaitu: (1) keterampilan motoris yang memerlukan koordinasi dari berbagai gerakan badan, misalnya melempar bola, main tenis, mengemudi mobil, mengetik huruf R.M, dan sebagainya. (2) informasi verbal yang dapat dijelaskan orang melalui berbicara, menulis, menggambar; dalam hal ini dapat dimengerti bahwa untuk mengatakan sesuatu ini perlu inteligensi. (3) kemampuan intelektual adalah kemampuan belajar manusia yang mengadakan interaksi dengan dunia luar dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya membedakan huruf m dan n, meyebut tanaman yang sejenis. (4) strategi kognitif merupakan organisasi keterampilan internal yang perlu untuk belajar mengingat dan berpikir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan intelektual karena ditujukan ke dunia luar, dan tidak dapat dipelajari hanya dengan berbuat satu kali serta memerlukan perbaikan- perbaikan secara terus menerus. (5) sikap adalah kemampuan yang tidak dapat dipelajari dengan ulang- ulangan, tidak tergantung atau dipengaruhi oleh hubungan verbal seperti halnya domain sikap yang lain.

  Sikap ini penting dalam proses belajar, tanpa kemampuan ini belajar tak akan berhasil dengan baik.

2.1.3 Hakikat Pembelajaran

  Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 17) mendefinisikan kata “pembelajaran” berasal dari kata “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui atau diturut, sedangkan “pembelajaran” berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Menurut Kimble dan Garmezy (dalam Pringgawidagda, 2002: 20), “pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relatif tetap dan merupakan hasil praktik yang diulang- ulan g.” Menurut Arif Sadiman (dalam Cecep Kustandi dan Bambang

  Sutjipto, 2011: 5), “pembelajaran adalah usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa.” Selain itu, Rombepajung (dalam M. Thobroni: 2015: 17) berpendapat bahwa “pembelajaran adalah pemerolehan suatu mata pelajaran atau pemerolehan suatu keterampilan melalui pelajaran, pengalaman, atau pengajaran.” Selanjutnya menurut Trianto, “pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. Pembelajaran secara simpel dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Dalam makna yang lebih kompleks pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Wenger (dalam Miftahul Huda, 2013 : 2) menyatakan bahwa “pembelajaran bukanlah aktivitas, sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika ia tidak melakukan aktivitas yang lain. Pembelajaran juga bukanlah sesuatu yang berhenti dilakukan oleh seseorang. Lebih dari itu, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dan pada level yang berbeda- beda, secara individual, kolektif, ataupun sosial.” Menurut Gagne (dalam Miftahul Huda, 2013 : 3), “pembelajaran dapat diartikan sebagai proses modifikasi dalam kapasitas manusia yang bisa dipertahankan dan ditingkatkan levelnya.”

  Dari pendapat diatas hakikat pembelajaran adalah sebuah proses individu melakukan sesuatu yang menghasilkan perubahan, baik itu perubahan sikap, perubahan pola pikir, perubahan tingkah laku, perubahan pemikiran yang lebih baik, dan perubahan kehidupan pada setiap individu. Serta usaha untuk membelajarkan seseorang agar menghasilkan hasil perubahan yang diharapkan.

2.1.3 Prinsip Pembelajaran

  Menurut Zaenal Arifin (2011: 182), prinsip pembelajaran terbagi menjadi dua yaitu prinsip umum pembelajaran dan prinsip khusus pembelajaran. Prinsip umum pembelajaran yaitu:

  (1) Belajar menghasilkan perubahan perilaku peserta didik yang relatif permanen atau tetap, (2) Peserta didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan, (3) Perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan.

  Prinsip khusus pembelajaran yaitu: (1) Prinsip perhatian dan motivasi untuk siswa merupakan dalam proses pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting sebagai langkah awal dalam memicu aktivitas- aktivitas belajar.” Menurut Zaenal Arifin (2011:

  183), “perhatian adalah memusatkan pikiran dan perasaan emosional secara fisik dan psikis terhadap sesuatu yang menjadi pusat perhatiannya.” Dari sini siswa sangat memerlukan perhatian dari guru, agar pikirannya bisa fokus pada pelajaran yang disampaikan guru dan merasakan nyaman dalam menerima pelajaran. Menurut Zaenal Arifin (2011: 183), “motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang dapat menggerakkan sesesorang untuk melakukan sesuatu.” Siswa juga memerlukan motivasi, tidak semua siswa kehidupannya baik dan kondisi lingkungan maupun keluarga sesuai dengan umuran mereka, maka dari itu motivasi dari guru atau dari sekolah sangat penting bagi setiap anak didik dalam menjalani sekolah. Menurut H.L Petri (dalam Zaenal Arifin 2011: 183), “motivation is the concept we use when we describe

  

the forces acting on or within an organism to initiate and

direct behavior,” (2) Prinsip keaktifan merupakan

  kecenderungan psikologi saat ini menyatakan bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Belajar pada hakikatnya adalah proses aktif dimana seseorang melakukan kegiatan secara sadar untuk mengubah suatu perilaku secara tidak sadar atau secara sadar, terjadi kegiatan merespon terhadap setiap pembelajaran.

  Menurut gage & Berliner (dalam Zaenal Arifin 2011: 183), “teori kognitif menyatakan bahwa belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa tidak sekadar merespons informasi, namun jiwa mengolah dan melakukan transformasi informasi yang diterima.” Penilaian kepada siswa secara kognitif sangat diperlukan agar siswa benar-benar mampu merespons informasi materi pelajaran yang disampaikan oleh guru dan dapat menerimanya dengan baik. Sedangkan menurut Tutik Rachmawati dan Daryanto (2015: 155), “prinsip pembelajaran adalah suatu landasan, konsep dasar, dan sumber yang menjadikan proses belajar yang terjadi antara pendidik dengan peserta didik lebih dinamis dan terarah sesuai dengan tujuannya.” Dalam penerapannya, prinsip ini memerlukan usaha guru untuk membuat siswa bisa berinteraksi baik dengan guru selama proses pembelajaran berlangsung dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang disampaikan.

  Menurut beberapa ahli pendidikan (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto 2015: 155), prinsip-prinsip umum pembelajaran yaitu:

  1) Perhatian dan Motivasi Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar, karena perhatian merupakan faktor yang besar pengaruhnya, jika peserta didik mendapatkan perhatian yang besar mengenai apa yang dipelajari, maka peserta didik dapat mengarahkan dirinya sendiri pada tugas yang diberikan. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan seseorang melakukan aktivitas. Motivasi berkaitan erat dengan minat, peserta didik yang memiliki minat pada suatu bidang studi, maka peserta didik tersebut akan tertarik perhatiannya pada sebuah bidang studi tersebut dan timbul rasa untuk mempelajarinya (motivasi). 2) Keaktifan Menurut pandangan psikologi, anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. 3) Keterlibatan Langsung/Pengalaman Belajar harus dilakukan oleh peserta didik itu sendiri, sehingga pembelajaran harus dibuat secara unik dan menarik agar peserta didik dapat langsung mengikuti proses pembelajarannya sendiri, melihat sendiri, dan mencobanya sendiri. Sebagaimana menurut seorang filsof China Confocius (dalam Tutik Rachmawati dan Daryanto 2015: 157), bahwa: Apa yang saya dengar, saya lupa. Apa yang saya lihat, saya ingat. 4) Pengulangan Mengulang salah satu faktor yang besar pengaruhnya dalam belajar, karena dengan adanya pengulangan “bahan yang belum begitu dikuasai serta mudah terlupakan” akan tetap tertanam pada otak seseorang. Teori yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori koneksionisme Thordike, dalam teori ini ia mengemukakan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respons benar. 5) Tantangan Bahan belajar yang baru, inovatif, kreatif, dan menantang akan membuat peserta didik tertantang dan dengan sendirinya meraka akan lebih giat dan sungguh- sungguh dalam belajar. 6) Balikan dan Penguatan Ketika peserta didik melakukan suatu perbuatan yang berefek baik maka mereka akan dengan sendirinya mengulanginya lagi, dan apabila mereka melakukan perbuatan yang berefek jelek, mereka akan dengan sendirinya meninggalkannya. Namun, kadangkala dorongan belajar itu tidak saja dari penguatan yang menyenangkan tapi juga yang tidak menyenangkan, dalam memperkuat belajar.

  Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa prinsip pembelajaran adalah proses yang seharusnya menghasilkan perubahan, seperti perubahan tingkah laku, perubahan yang menghasilkan pencapaian kualitas, serta pemberian perubahan yang menghasilkan perhatian dan motivasi, keaktifan, pengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan secara signifikan.

2.1.4 Model Pembelajaran

  Menurut Meyer, W. J. (dalam Trianto, 2009: 21), secara kaffah “model dimaknakan sebagai suatu objek atau konsep yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal. Sesuatu yang nyata dan dikonversi untuk sebuah bentuk yang lebih komprehensif.” Sebagai contohnya adalah sebuah ide yang nantinya akan menjadi sebuah karya. Sedangkan yang dimaksud dengan model pembelajaran menurut Joyce (dalam Trianto, 2009 : 22) adalah “suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelasatau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain- lain.” Joyce juga menyatakan bahwa model pembelajaran ini akan mengarahkan kita untuk mendesain sebuah pembelajaran yang sedemikian rupa agar peserta didik dapat mencapai tujuan ari pembelajaran itu. Selain itu, Soekamto, dkk (dalam Nurulwati, 2000: 10) mengemukakan bahwa yang dimaksud model pembelajaran adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.” Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak (dalam T rianto, 2009: 22), bahwa “model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.” Selanjutnya Arends (dalam Trianto, 2009: 22) menyatakan, “the term teaching model

  

refers to a particular approach to instruction that includes its goals,

syntax, environment, and management system.” Istilah model

  pembelajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. Menurut Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2009: 23), model pembelajaran memiliki ciri-ciri: (1) rasional teoretis logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat dicapai. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah sebuah alat yang didesain sedemikian rupa dan disusun secara sistematis untuk sebuah pelajaran tertentu yang digunakan untuk mencapai tujuan dari pembelajaran itu sendiri.

2.2 Proses Belajar

2.2.1 Hakikat Proses Belajar

  Menurut Bruner (dalam S. Nasution 2008: 9), dalam proses belajar dapat dibedakan menjadi tiga fase, yakni: (1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh informasi, ada yang menambah pengetahuan, ada yang memperhalus dan ada yang memperdalamya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui.

  

Transformasi , informasi itu harus dianalisis, diubah ke

  dalam bentuk yang lebih abstrak agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi, kita menilai sampai manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasi itu dapat kita manfaatkan.

  Manusia membutuhkan dunia untuk mengembangkan dan melangsungkan hidupnya, menyesuaikan diri, dan berinteraksi dengan dunia luar. Untuk itu, Purwanto (dalam Thobroni, 2015: 25-27) menyampaikan beberapa macam cara penyesuaian diri yang dilakukan manusia dengan sengaja maupun tidak sengaja dan bagaimana hubungannya dengan belajar yaitu: (1) belajar dan kematangan, dimana kematangan itu akan datang dengan sendirinya dan terjadi dari dalam sedangkan belajar lebih membutuhkan kegiatan yang disadari, suatu aktivitas, latihan-latihan, dan konsentrasi dari yang bersangkutan dan terjadi karena perangsangan-perangsangan dari luar; (2) belajar dan penyesuaian diri yang juga merupakan suatu proses yang dapat mengubah tingkah laku manusia, terdiri atas penyesuaian diri atuoplastis atau perubahan diri yang disesuaikan dengan lingkungan dan alloplastis atau perubahan lingkungan yang disesuaikan dengan kebutuhan dirinya; (3) belajar dan pengalaman adalah suatu proses yang dapat mengubah sikap, tingkah laku, dan pengetahuan, namun belajar dan memperoleh pengalaman adalah hal yang berbeda dimana mengalami sesuatu belum tentu belajar tetapi tiap-tiap belajar berarti mengalami; (4) belajar dan bermain yang sama-sama dapat mengubah tingkah laku, sikap, dan pengalamannya, perbedaannya adalah jika bermain adalah kegiatan khusus anak-anak dan tujuannya untuk waktu itu saja, sedangkan belajar adalah sebuah kegiatan umum yang dilakukan manusia sejak lahir sampai mati dan tujuannya adalah untuk masa depan; (5) belajar dan pengertian, dimana ada proses belajar yang berlangsung dengan otomatis tanpa pengertian tetapi ada pula pengertian yang tidak menimbulkan proses belajar; (6) belajar dan menghafal atau mengingat, tidak ada jaminan bahwa seseorang yang menghafal atau mengingat adalah sedang belajar karena untuk mengetahui sesuatu tidak cukup jika hanya dengan menghafal sedangkan belajar adalah menyediakan pengalaman-pengalaman untuk menghadapi persoalan di masa depan; (7) belajar dan latihan, walaupun sama-sama menghasilkan perubahan tingkah laku, sikap, dan pengetahuan tetapi terdapat pula proses belajar yang terjadi tanpa latihan dan ada pula belajar yang hanya dengan pengertian tanpa latihan. Dari beberapa pengertian tersebut, hakikat proses belajar adalah proses belajar yang dibedakan menjadi 3 fase yaitu informasi, transformasi,

diperhalus dan diperdalam. Transformasi merupakan proses analisis agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Evaluasi merupakan penilaian untuk pengetahuan yang diperoleh dan transformasi yang didapat. Selama proses belajar itu, manusia juga membutuhkan penyesuaian diri terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan belajar, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

2.2.2 Hasil Belajar

  Menurut Suprijono (dalam M. Thobroni, 2015: 20), “hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan.” Berdasar pemikiran Gagne (dalam M. Thobroni, 2015: 20-21), hasil belajar berupa:

  (1) informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. (2) keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. (3) strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya. (4) keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. (5) sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Menurut Bloom (dalam M. Thobroni, 2015: 21-

  22), “hasil belajar mencakup kemampuan (1) kognitif yang mencakup knowledge,

  

comprehension, application, analysis, synthesis, evaluating, (2) afektif

  yang mencakup receiving, responding, valuing, organization,

  

characterization , dan (3) psikomotorik yang mencakup initiatory, pre-

routine, rountinized, keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial,

  manaj erial, dan intelektual.” UNESCO (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140),

  “mengemukakan empat pilar hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh pendidikan, yaitu learning to know, learning to be, learning to life

  together , dan learning to do

  .” Siswa sangat perlu belajar untuk tahu segala hal, belajar untuk menjadi yang diinginkan, belajar untuk hidup bersama yang lain, dan belajar untuk melakukan sesuatu yang diinginkan (aktif). Menurut Bloom (dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140), “menyebutnya dengan tiga ranah hasil belajar, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu, (1) Pengetahuan, (2) Pemahaman, (3) Pengertian, (4) Aplikasi, (5) Analisis, (6) Sintesis, dan yang terakhir sebagai tambahan ad a evaluasi.”

  Selain itu, menurut Lindgren (dalam M. Thobroni, 2015: 22), “hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hasil belajar adalah sebuah produk yang dihasilkan manusia melalui sebuah proses yang dinamakan belajar.

  Sudjana (2005: 34) menyebutkan bahwa “hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotoris yang berorientasi pada proses belajar mengajar yang dialami si swa.” Maksudnya adalah perubahan signifikan yang dialami oleh siswa yang meliputi kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor

  (keterampilan) didapat setelah adanya proses pembelajaran.

  Proses perubahan belajar dapat terjadi dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks, yang bersifat pemecahan masalah, dan pentingnya peranan kepribadian dalam proses serta hasil belajar. Variasi dalam Cognitive Entry Behaviours, Afektif Entry Characteristic, dan kualitas pengajaran menentukan hasil belajar, variabel kualitas pengajaran yang tercemin dalam penyajian bahan petunjuk latihan (tes formatif), proses balikan, dan perbaikan penguatan partisipasi siswa harus sesuai dengan kebutuhan siswa, oleh Bloom (dalam Max Darsono, 1989: 88, dalam Deni Darmawan dan Permasih, 2011: 140). Secara umum, menurut Deni Darmawan dan Permasih(2011: 140), hasil belajar dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal, yaitu: Faktor internal yaitu, 1) Faktor fisiologis yang bersifat bawaan yang diperoleh dari mendengar, melihat, cacat tubuh, dan lain-lain, 2) Faktor psikologis bersifat keturunan yang terdiri atas faktor intelektual: faktor potensial yaitu inteligensi dan bakat, dan faktor non- intelektual yaitu kecakapan nyata dan prestasi, 3) Faktor kematangan baik fisik maupun psikis yang tergolong faktor eksternal seperti faktor sosial, faktor budaya, faktor lingkungan fisik, dan faktor spiritual. Selama proses belajar mengajar tentu tidak selalu berjalan dengan lancar, tetapi ada pula masalah-masalah yang muncul. Masalah belajar adalah masalah bagi setiap manusia, dengan belajar manusia akan memperoleh keterampilan, kemampuan sehingga terbentuklah sikap dan bertambahnya ilmu pengetahuan. Jadi hasil belajar itu adalah suatu hasil nyata yang dicapai oleh siswa dalam usaha menguasai kecakapan jasmani dan rohani di sekolah yang diwujudkan dalam bentuk raport pada tiap semester.

  Untuk mengetahui perkembangan hasil yang telah dicapai oleh seseorang dalam belajar maka harus dilakukan evaluasi. Untuk menentukan kemajuan yang dicapai maka harus ada kriteria (patokan) yang mengacu pada tujuan yang telah ditentukan sehingga dapat diketahui seberapa besar pengaruh strategi belajar mengajar yang telah diterapkan terhadap keberhasilan belajar siswa. Hasil belajar siswa menurut W.Winkel (dalam Psikologi Pengajaran 1989: 82) adalah “keberhasilan yang dicapai oleh siswa, yaitu prestasi belajar siswa di sekolah yang diwujudkan dalam bentuk angka.” Selain itu, Purwanto (2010: 46) mendefinisikan hasil belajar sebagai “pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar.” Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya pendidikan, sehingga hasil yang diukur sangat tergantung pada tujuan pendidikan.

  Meurut Winarno Surakhmad (dalam Interaksi Belajar Mengajar, 1980: 25

  ), “hasil belajar siswa bagi kebanyakan orang berarti ulangan, ujian, atau tes.” Maksud ulangan tersebut ialah untuk memperoleh suatu indek dalam menentukan keberhasilan siswa. Jadi kesimpulannya, hasil belajar adalah prestasi belajar yang dicapai oleh siwa melalui proses kegiatan belajar mengajar dengan membawa suatu perubahan dan pembentukan tingkah laku seseorang. Suatu proses belajar mengajar bisa dikatakan berhasil maupun tidak, hal ini dikarenakan setiap guru mempunyai pandangan yang berbeda-beda yang sejalan dengan prinsipnya masing-masing. Namun untuk menyamakan persepsinya, sebaiknya kita berpedoman pada kurikulum yang sudah berlaku saat ini. Intinya adalah suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pembelajaran dapat dinyatakan berhasil apabila tujuan pembelajaran khususnya tercapai atau terpenuhi.

  Untuk mengetahui tercapai atau tidaknya suatu tujuan pembelajaran khusus, guru perlu mengadakan tes formatif pada setiap akan menyajikan suatu bahasan kepada siswa. Penilaian tes formatif ini untuk mengetahui sejauh mana siswa telah menguasai tujuan pembelajaran khusus yang ingin dicapai. Jadi fungsi penelitian ini adalah untuk memberikan umpan balik kepada guru dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar dan melaksanakan program remedial bagi siswa yang belum berhasil. Karena itulah, suatu proses belajar mengajar dinyatakan berhasil apabila hasilnya memenuhi tujuan pembelajaran khusus dari bahan tersebut.

2.3 Matematika

  Kata matematika berasal dari bahasa Latin mathematika, awalnya diambil dari bahasa Yunani mathematike yang artinya mempelajari. Mathematika berasal dari kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Berdasarkan asal katanya, matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi. Matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhungan dengan ide, proses, dan penalaran (Ruseffendi, 1980)

  Menurut Sukayati (2009) Matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas bila dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Secara singkat dikatakan bahwa matematika berkenaan dengan ide- ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya deduktif. Hal yang demikian tentu akan membawa akibat pada terjadinya proses pembelajaran matematika.

  Plato (dalam Abdul Halim Fathani, 2009) berpendapat bahwa matematika adalah identik dengan filsafat untuk ahli pikir, walaupun mereka mengatakan bahwa matematika harus dipelajari untuk keperluan lain. Objek matematika ada di dunia nyata, tetapi terpisah dari akal. Ia mengadakan perbedaan antara aritmatika (teori bilangan) dan logistik (teknik berhitung) yang diperlukan orang. Dengan demikian, matematika ditingkatkan menjadi mental abstrak pada objek-objek yang ada secara lahiriah, tetapi yang ada hanya mempunyai representasi yang bermakna.

2.4 Problem Solving Learning berbantuan Math Menu

2.4.1 Pengertian Problem Solving Learning

  Hanlie Murray, Alwyn Olivier, dan Piet Human (1998: 169) menjelaskan bahwa “Pembelajaran Penyelesain Masalah (Problem Solving

  

Learning/ PSL) merupakan salah satu dasar teoretis dari berbagai strategi

  pembelajaran yang menjadikan masalah (problem) sebagai isu utamanya, termasuk juga Problem Based Learning dan

  Problem Posing Learning.”

  Menurut mereka, pembelajaran muncul ketika siswa bergumul dengan masalah-masalah yang tidak ada metode rutin untuk menyelesaikannya.

  Masalah, dengan demikian, harus disajikan pertama kali sebelum metode solusinya. Guru seharusnya tidak terlalu ikut campur ketika siswa sedang mencoba menyelesaikan masalah. Malahan, guru sebaiknya mendorong siswa untuk membandingkan metode-metode satu sama lain, mendiskusikan masalah tersebut, dan seterusnya. Inti dari PSL adalah praktik. Semakin sering melakukan praktik, semakin mudah siswa menyelesaikan masalah.

2.4.2 Alasan peneliti menggunakan Problem Solving Learning

  Peneliti menggunakan Problem Solving Learning karena alasan sebagai berikut: a.

  Problem Solving Learning dapat menjadi metode yang bisa memenuhi tujuan Satuan Pendidikan SD yang tercantum pada kurikulum 2013 yaitu mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.

  b.

  Penggunaan Problem Solving Learning dianggap akan membuat efektif karena sifat metode Problem Solving Learning yang berpusat pada siswa diduga akan lebih efektif karena siswa kelas 2 lebih aktif, mandiri dan sudah bisa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan guru pada mereka. Peran guru disini nantinya adalah hanya sebagai pelatih/mentor/fasilitator saja.

  c.

  Siswa merasa jenuh dengan pengajaran Matematika yang terkesan monoton, membosankan dan sulit. Problem Solving Learning dinilai tidak akan membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya tidak hanya akan menemukan konsep pembelajaran tersebut melalui berbagai macam kegiatan yang inovatif sehingga Matematika terkemas kedalam kondisi yang menyenangkan. d.

  Problem Solving Learning merupakan metode pembelajaran pemecahan masalah, namun sayangnya sekolah-sekolah yang masih menggunakan KTSP sebagai kurikulumnya merasa janggal dalam mengaplikasikannya padahal jika dicermati sebenarnya baik KTSP maupun kurikulum 2013 mengacu pada masalah pembelajaran yang ada.

  e.

  Keunggulan Problem Solving Learning adalah siswa mencari konsep atau topik secara mandiri, jadi siswa dapat terus mengingat apa yang telah mereka temukan sendiri tanpa harus menghafal lagi.

  f.

  Kelemahan Problem Solving Learning adalah: 1.

  Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama.

  2. Guru tidak dapat mengetahui kemampuan siswa masing-masing.

  3. Siswa kurang konsentrasi.

2.4.3 Penerapan Problem Solving Learning

  Karakter utama dari Problem Solving Learning adalah proses/produk sebagai hasil akhir pembelajaran, oleh Yohana Setiawan (2014: 20). Menurut Yohana Setiawan (2014: 20), “guru sebaiknya mampu memberikan motivasi kepada siswa dalam menentukan proyek apa yang akan siswa lakukan agar siswa tertarik mengerjakan proyek dan tidak merasa bosan.” Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Problem Solving

  Learning : a.

  Guru membuat daftar kegiatan yaitu mengenai pelajaran yang dibahas dan dijelaskan ke siswa.

  b.

  Guru mengisi daftar kegiatan tersebut dengan menggunakan banyak aktivitas-aktivitas pemecahan masalah yang menyenangkan. c.

  Guru menjelaskan secara runtut, diawali dari apa saja yang ada pada daftar kegiatan, apa yang harus mereka kerjakan, dan bagaimana mereka harus menyelesaikannya.

  d.

  Guru berjalan-jalan dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain untuk mengecek.

  2.4.4 Pengertian Math Menu

  Sebuah artikel menyebutkan bahwa

  “Math Menu is a menu is a

collection of problem-solving activities that provide class work for one or

more weeks. The activities are organized around a particular

mathematical focus and often are continuations or extensions of activities

introduced in whol e class lessons.” Jadi Math Menu atau yang dalam

  Bahasa Indonesia bisa kita artikan dengan Daftar Matematika adalah sebuah daftar dari sekumpulan aktivitas pemecahan masalah yang disediakan di kelas dan bisa dikerjakan selama satu minggu atau lebih. Aktivitas tersebut disusun tentang fokus matematika yang biasanya dan sering berkelanjutan atau aktivitas tambahannya diperkenalkan pada pembelajaran di kelas.

  2.4.5 Alasan peneliti menggunakan Math Menu

  Peneliti menggunakan bantuan Math Menu karena alasan sebagai berikut: a.

  Math Menu dapat menjadi media yang sesuai dengan langkah pembelajaran scientific yang saat ini sedang ingin diterapkan di Indonesia.

  b.

  Penggunaan Math Menu dianggap akan membuat efektif karena berpusat pada siswa dan diduga akan lebih efektif. Peran guru disini nantinya adalah hanya sebagai pelatih/mentor/fasilitator saja.

  c.

  Siswa merasa jenuh dengan pengajaran Matematika yang terkesan monoton, membosankan dan sulit. Math Menu dinilai tidak akan membuat siswa merasa bosan karena mereka nantinya tidak akan merasa seperti sedang belajar matematika.

  d.

  Keunggulan Math Menu adalah siswa mempelajari hal baru secara mandiri mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

  e.

  Kelemahan Math Menu adalah: 1.

  Proses pembelajaran membutuhkan waktu yang lama karena terkadang siswa harus mengantri untuk menyelesaikan salah satu tugas dari daftar.

  2. Guru tidak dapat mengetahui masing-masing kemampuan dari siswa.

  3. Siswa kurang konsentrasi.

  4. Suasana kelas cenderung ramai karena siswa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

2.4.6 Penerapan Math Menu

  Karakter utama dari Math Menu adalah proses/produk sebagai hasil akhir pembelajaran. Jadi sebaiknya guru bisa lebih memotivasi siswa untuk lebih percaya diri dalam menyampaikan cara/metode yang ia temukan pada saat mengerjakan Math Menu. Selain itu, proyek harus memenuhi tujuan pembelajaran yang tentunya sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan hasil belajar yang ingin dicapai siswa. Berikut ini sintaks pelaksanaan Math Menu: 1.

  Guru membuat Math Menu atau Daftar Tugas Matematika yang akan dikerjakan siswa.

  2. Satu daftar ini akan berisi banyak tugas yang harus dikerjakan siswa dan berhubungan dengan materi yang dipelajari pada tema.

  3. Guru menyiapkan tempat, alat, dan bahan yang nantinya akan digunakan siswa untuk menyelesaikan daftarnya.

  4. Guru membagikan Math Menu tersebut dan mulai menjelaskan kepada siswa.

  5. Siswa memulai untuk menyelesaikan tugas-tugas dalam Math Menu mereka.

  6. Setelah selesai melakukan salah satu dari tugas yang ada pada daftar, siswa harus menunjukkan kepada guru terlebih dahulu kemudian meminta tanda tangan sebelum berganti ke tugas yang lain.

  7. Setelah semua selesai, siswa akan meulis tentang apa yang telah mereka pelajari melalui Math Menu.

2.5 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

  Penelitian yang dilakukan oleh Suroso dan Ika Purwati pada tahun 2014 pada siswa kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 semester 2 Tahun

  Pelajaran 2013/2014 dengan judul “Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Problem Solving Learning pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang rendah. Hal ini disebabkan karena lemahnya proses pembelajaran yang ada di kelas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran problem solving learning pada mata pelajaran Matematika kelas 4 SD Negeri Ketundan 2 Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang Tahun Pelajaran 2013/2014 terbukti dapat meningkatkan hasil belajar yang diperoleh siswa. Untuk hasil belajar matematika pada siswa SDN Ketundan 2 Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014 terjadi peningkatan lebih baik untuk pelajaran matematika. Prasiklus siswa yang tuntas 55%. Pada siklus 1 siswa yang tuntas 65% dan yang tidak tuntas 35%. Sedangkan pada siklus 2, siswa yang tuntas 95% dan yang tidak tuntas 5%. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa dari prasiklus naik 10% ke siklus 1. Ketuntasan hasil belajar pada aktivitas belajar siswa mengalami kenaikan 30% dari siklus 1 ke siklus 2. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan model problem solving learning dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas 4 SDN Ketundan II Tahun Pelajaran 2013/2014.

  Penelitian senada dilakukan oleh Petra Kristi Mulyani dan Samijo deng an judul “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata

  Pelajaran Matematika dengan Metode Problem Solving di Kelas III SD Negeri Sawangan 01 Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II Tahun 2011-

  2012” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar Matematika melalui model Problem Solving

  

Learning bagi siswa kelas 4 semester 2 SD Negeri Sawangan 01

  Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II Tahun 2011- 2012. Menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri Sawangan 01 Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II Tahun 2011-2012 rendah, hal ini disebabkan penggunaan model dan metode pembelajaran monoton, sehingga siswa merasa bosan dan enggan untuk mengikuti pelajaran, selain itu disebabkan juga oleh kurangnya pemanfaatan media pembelajaran sehingga siswa kurang tertarik mengikuti kegiatan belajar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Solving Learning pada mata pelajaran Matematika kelas 4 SD Negeri Sawangan 01 Kecamatan Gringsing Kabupaten Batang pada Semester II Tahun 2011-2012, terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

  Sedangkan penelitian yang penulis lakukan saat ini, penelitian dilakukan pada tahun 2017 pada siswa kelas 2 SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester I Tahun Ajaran 2017/2018 dengan judul, “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Problem Solving Learning Berbantuan Math

  

Menu Pada Siswa Kelas 2 Sekolah Dasar Negeri Kenteng 01 Semester I

  Tahun Ajaran 2017/2018 ”, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas 2

  SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester

  I Tahun Ajaran 2017/2018 rendah, hal ini tampak dari dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan siswa lebih bersifat pasif, guru menggunakan metode ceramah, sehingga mengaktifkan guru, sehingga siswa lebih banyak menunggu sajian guru daripada mencari, menemukan sendiri pengetahuan atau sikap dalam pembelajaran Matematika, dan melakukan praktik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran Problem Solving Learning pada mata pelajaran Matematika kelas 2 SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester I Tahun Ajaran 2017/2018, dan siswa kelas 2 SD Negeri Kenteng 01 Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen Semester I Tahun Ajaran 2017/2018 terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Mata Pelajaran Matematika SD - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME (Realistic MathematicsEducation) pada Siswa

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Subjek Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME (Realistic MathematicsEducation) pada Siswa

0 0 13

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME (Realistic MathematicsEducation) pada Siswa Kelas V SDN Ngajaran

0 0 15

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN RME (REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION) PADA SISWA KELAS V SDN NGAJARAN 03 KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN SEMARANG SEMESTER II TAHUN AJARAN 20142015 SKRIPSI

1 2 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan RME (Realistic MathematicsEducation) pada Siswa Kelas V SDN Ngajaran 03 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajar

0 0 47

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pembelajaran Diskusi Kelompok Berbantuan Game Puzzle dengan Pembelajaran Ceramah Bervariasi Berbantuan Game Pu

0 1 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan 2.1.1.1 Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pembelajaran Diskusi K

0 0 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian, Jenis Penelitian, dan Desain penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pembelajaran Diskusi Kelompok Berbantu

0 0 14

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelaksanaan Penelitian 4.1.1 Tempat Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pembelajaran Diskusi Kelompok Berbantuan Game Puzzle dengan Pembe

0 1 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pembelajaran Diskusi Kelompok Berbantuan Game Puzzle dengan Pembelajaran Ceramah Bervariasi Berbantuan Game Puzzle terhadap Hasil Belajar PKn pada Siswa Kela

0 0 19