NILAI NILAI DALAM CERPEN sebagai

NILAI-NILAI DALAM CERPEN
Cerpen ditulis pengarang tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari yang dialaminya.
Pengalaman hidup ini kemudian diekspresikan ke dalam cerpen. Proses penciptaannya bukan
semata-mata menggambarkan kehidupan nyata itu, melainkan didasari oleh pandangan
pengarang. Pandangan inilah yang menggambarkan nilai dalam suatu cerpen.
Pada umumnya para penulis cerpen tidak menuliskan nilai-nilai di dalam cerpennyasecara
eksplisit. Untuk itu, bila kita ingin mengenalinya, terlebih dahulu kita harus membaca karya
tersebut secara tuntas. Tahap berikutnya adalah mengenali unsur-unsur intrinsik, seperti tema,
alur, dan penokohan. Nilai-nilai dalam cerpen meliputi banyak bidang kehidupan manusia.
Nilai dalam cerpen adalah sesuatu yang dapat diambil atau dipetik dari cerpen yang bersifat
edukatif, menambah pengetahuan, memberikan hiburan, atau yang dapat memanusiakan
manusia sehingga berguna bagi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen, antara lain dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak/budi pekerti/susila atau baik
buruk tingkah laku.
2. Nilai sosial/kemasyarakatan, yaitu nilai yang berkaitan dengan norma yang berada
dalam masyarakat.
3. Nilai religius/keagamaan, yaitu nilai yang berkaitan dengan tuntutan beragama.
4. Nilai pendidikan/edukasi, yaitu nilai yang berkaitan dengan pengubahan tingkah laku
dari buruk ke baik (pengajaran)

5. Nilai estetis/keindahan, yaitu nilai yang berkaitan dengan hal-hal yang menarik atau
menyenangkan rasa (rasa seni)
6. Nilai etika, yaitu nilai yang berkaitan dengan sopan santun dalam kehidupan.
7. Nilai politis, yaitu nilai yang berkaitan dengan pemerintahan.
8. Nilai budaya, yaitu nilai yang berkaitan dengan adat istiadat.
9. Nilai kemanusiaan, yaitu nilai yang berhubungan dengan martabat manusia.

Bacalah penggalan cerpen dibawah ini!

Gubug Kecil di Tepi Sungai
(Sari Narulita)
Simin sedang mengais-ngais di tengah sampah dengan tongkatnya yang berujung kawat
ketika hidungnya tiba-tiba mencium bau terbakar yang terbawa angin. Ia mencari sekelilingnya, tak
ada benda yang terbakar. Lalu, ia mengadah, uh . . ., matahari bersinar amat teriknya, namun di
ujung sebelah sana terlihat asap hitam mengepul.
”Pasti kebakaran,” ucapnya pada dirinya sendiri. Cepat ia mengangkat keranjang dan
menumpangkannya di belakang punggungnya yang hitam.
Simin mulai melangkah meninggalkan tumpukan sampah tempatnya sehari-hari mencari
rezeki dengan harapan dapat membantu orang yang sedang kemalangan, uang memang dia tidak
punya sebab hidupnya hanya tergantung pada hasil yang ditemukannya di tengah sampah. Namun,

tenaganya masih dapat diandalkan. Dia masih mampu mengangkat barang-barang. Teringat olehnya
bagaimana berterima kasihnya suami istri yang ditolongnya sewaktu kebakaran bulan lalu. Mereka
tak habisnya memuji keberaniannya menerjang api untuk membantu menyelamatkan barang mereka
sebab mobil pemadam kebakaran terlambat datang karena kemacetan jalan. Sudah lama ia
menjumpai keramahan itu dan ia rindu. Simin ingin menjadi orang yang berguna. Dia ingin berbakti
seperti apa yang pernah dicita-citakannya sewaktu kecil di kampung dulu. Sudah terlalu lama rasanya
ia melihat sinar mata orang mengejek dirinya, seolah dia adalah bagian dari sampah itu sendiri.
Sering pula ia terpaksa tertunduk malu melihat orang yang akan dilewatinya dari jauh mulai menutup
hidung. Sakit memang rasanya, tetapi itu adalah kenyataan sehari-hari terpaksa ditelannya. Kadang
kerinduannya pulang ke kampung menggelitiknya. Dia rindu pada suasana yang tenang, pada orangorang yang ramah, pada kehidupan yang tidak terlalu banyak menuntut, sangat berbeda dari Jakarta
ini.
Tetapi sekarang ini keinginan itu belum dapat terwujud. Simin tidak mau pulang dalam
keadaan seperti sekarang. Dia malu sebab sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Gubuk kecil milik orang
tuanya dahulu sudah dijualnya untuk ongkos memboyong keluarganya ke kota. Ah, kadang timbul
penyesalan Simin mengapa ia pernah membayangkan kehidupan makmur di kota, padahal
kehidupannya di desa jauh lebih nyaman.
Tanpa terasa kakinya telah membawanya ke dekat daerah tempat tinggalnya. Dari jauh ia
melihat kerumunan orang dan beberapa truk berderet,. Sedang asap hitam itu makin menebal.
”Astagfirullah,” ucapnya pelan. Dia tiba-tiba jadi berlari menyusuri sungai. ”Oh, anakku, istriku,


gunukku!” jeritnya lirih. Dan dia semakin cepat berlari ke tempat itu.Beberapa petugas menghadang
ketika ia mencoba menyeerbu ke dalam gerombolan orang berdiri. ”Mau ke mana!” suara orang
berseragam membentaknya.
”Istri saya, anak saya!” suaranya gugup terengah-engah.
”Semuanya aman, tidak ada korban!” bentak orang itu sambil mencoba mencegah Simin,
tetapi Simim sudah tidak peduli pada popor senjata yang menghadangnya. Dia lari ke tengah-tengah
sambil matanya liar mencari anak dan istrinya.
Beberapa orang tampak mencoba menyelamatkan kepingan atap mereka dari tangan
petugas yang seenaknya melemparkan batang-batang tersebut ke dalam api. Api menjilat-jilat
semakin tinggi, sementara para gelandangan menatap sedih. Akhirnya, ia menemukan istrinya yang
tengah menyusui bayinya sambil memandangi api dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Anak
perempuannya duduk di samping ibunya sambil memainkan pengikat buntelan. Dia juga terbengongbengong melihat kejadian yang cepat berlalu. Ah, sekali lagi Simin merasa bersalah, membiarkan
keluarganya ikut susah. Dengan perasaan iba dan lemas, ia memandang sekelilingnya pada kawankawannya yang berdiri pasrah tanpa dapat berbuat apa-apa.
”Mengapa kalian diam?” bentaknya.
”Lalu, apa yang harus kami lakukan? Daerah ini akan dibersihkan!”
”Jadi, kita diusir begitu saja? Dan kalian membiarkan mereka membakar atap dan dindingdinding yang kita kumpulkan di bawah terik matahari dan hujan! Pengecut!” teriaknya. ”Kita, kan,
manusia. Kita juga berhak hidup wajar . . . Mentang-mentang kita kere, diperlakukan seenaknya!”
Kawan-kawannya hanya memandang denagn lesu, sementara dada Simin gemuruh oleh
luapan kemarahan. Dia tidak terima diperlakukan seperti itu. Merasa tidak mendapat dukungan dari
kawan lainnya, Simin maju mencoba menemui pimpinan petugas, namun ia kembali dihadang. Simin

jadi jengkel. Ia lari menyerang petugas yang diam melemparkan potongan kayu gubuknya.
”Itu milikku!” teriaknya.
Petugas itu tidak peduli. Ia siap mengayunkannya ke dalam api.
Simin jadi marah dan mencoba merebut barang itu.
Petugas itu dibantu oleh kawannya dan Simin merasa benda keras itu mengenai
punggungnya. Sebentar Simin merasa sakit, kemudian ia jadi bertambah garang.

”Barang ini kudapatkan dengan tetesan keringat . . . kakiku sampai sobek kena goretan
kaleng!” teriaknya.
”Buk!” sebuah benda keras menghantam kepalanya. Simin terhuyung ke belakang.
Pandangannya mendadak jadi gelap. Kepalanya sakit, tetapi hatinya lebih sakit lagi. Dengan langkah
yang gontai, dia coba mendekati petugas lainnya.
”Pak kalian tidak berhak melemparkan benda-benda kami begitu saja!” katanya setengah
mengiba.
”Phok!” sebuah tamparan melayang di pipinya. Kepala Simin jadi pening, namun ia masih
berusaha bertahan.
Cepat ia membalik dan mencari pimpinan mereka. Namun, sudah terlambat. Sebuah jip
membawa laki-laki setengah umur yang memegang tongkat kecil tadi. Dan Simin jadi lemas. Dia jadi
tak tahu harus mengadu kepada siapa. Matanya nanar memandang petugas-petugas yang ada di
sekelilingnya.

.......................................
Sumber: Antologi Cerita Pendek Wanita
Cerpenis Indonesia, Dunia Wanita.
Yogyakarta: Bentang

Tes Kompetensi
1. Tentukan nilai-nilai yang terdapat dalam cerita pendek di atas (nilai moral, nilai sosial, nilai
kemanusiaan) disertai dengan kutipan cerpen yang mendukung adanya nilai tersebut!
2. Bandingkan setiap nilai dengan kehidupan sehari-hari!