AGAMA DAN RUANG PUBLIK docx
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
17
KULIAH AKTUALITA
PROGRAM STUDI PASCASARJANA
MAGISTER THEOLOGIAE
OLEH
:
RAMLI SN HARAHAP
NIM
:
242106
BIDANG STUDI :
SEJARAH GEREJA
27 APRIL 2009
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
18
AGAMA DAN RUANG PUBLIK:
MEMPERBINCANGKAN KEMBALI SEKULARISME1
Nara Sumber: Dick van der Meij dan Syamsurizal Panggabean
Moderador: Novriantoni Khahar
I.
MATERI KULIAH
A.
DICK van der MEIJ
Sebelum memaparkan sekularisme sebagai aliran filosofi kenegaraan dan
kemasyarakatan, Dick Van der Meij terlebih dahulu memberikan pemahaman dasar
dan definisi sekularisme. Menurut Meij sekularisasi berarti pemisahan negara dan
agama dalam semua lapisan ketatanegaraan. Sekularisasi tidak berarti negara tidak
ada agama atau negara tidak ada kaitannya dengan negara. Sedangkan sekularisme
didefinisikan sebagai a netral attitude especially of the State, local goverment and
public services, in matters relating to religion; nonreligious rather than antireligious. Sekularisasi—seperti semua istilah diartikan dengan cara berbeda-beda oleh
individu atau kelopok di negara masing-masing karena alasan politik, agama dan
alasan lainnya.
Dengan melihat hubungan negara dan individu, Meij menekankan negara tidak
boleh campur tangan dengan hal privasi individu selain hal yang diatur dalam
perundangan. Dalam hal ini Meij menempatkan agama sebagai hal privasi individu,
sehingga ia kembali menegaskan, hubungan negara dan individu lebih horizontal
daripada vertikal seperti sering ditemukan dalam negara non-sekuler.
Menurut Meij, sejarah sekularisasi di Eropa terlihat ketika Eropa selama dua
abad atau sebelum Napoleon muncul, berada dalam keadaan perang dan perang
saudara karena perbedaan agama. Sehingga pada 1803, Napoleon Bonaparte mulai
memisahkan agama dan negara, termasuk semua hak milik institusi agama disita oleh
negara. Baru pada 1905 pemisahan agama dan negara disahkan secara mutlak di
Perancis. Meij melihat pada perkembangan selanjutnya di era modern ini dan
sekularisasi lebih terlihat sebagai pengeluargerejaan dan pengindividualisasian agama.
Adapun alasan Meij mengatakan demikian, karena pembicaraan agama selalu
1 Kuliah ini dilaksanakan pada 23 Maret 2007 di Jaringan Islam Liberal (JIL) Jl. Utan Kayu No.68
Jakarta
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
19
ditetapkan sebagai sesuatu yang tidak berubah, padahal pemikiran tentang agama dan
sekularisme selalu berubah. Contoh negara yang disebutkan Meij anatara lain:
Perancis sebagai negara sekuler, namun negara tersebut juga dikenal sebagai negara
yang paling sibuk memugar Katedral. Di Inggris, Ratu merupakan kepala negara dan
kepala gereja. Jerman, yang dikenal paling sekuler, tetapi paling banyak menyumbang
ke Vatikan. Hal ini membuktikan kecenderungan bahwa orang sekuler menjadi lebih
beragama.
B.
SYAMSURIZAL PANGGABEAN
Dalam sajianya Rizal Panggabean lebih melihat sekularisasi dalam praktek
pengalaman beberapa negara khususnya negara Islam dan negara mayoritas Islam.
Menurut Panggabean doktrin sekularisme sebagai bentuk pemisahan atau tembok
pemisah (the wall of separation) antara agama dan politik tampak di dalam praktik
dan kenyataan negara-negara Muslim sebagaimana tampak juga di negara yang
minoritas Muslim. Dalam konteks negara bangsa, penerapan Syari’at Islam dalam
situasi ketika umat Islam menjadi yang dominan akan dirasa mengancam minoritas.
Sebaliknya di negara-negara tempat komunitas Islam menjadi minoritas, keinginan
menerapkan Syari’at Islam dihadapkan kepada penentangan atau kecurigaan dari yang
mayoritas. Karenanya, perlindungan konstitusional terhadap minoritas (minority
protection) menjadi sesuatu yang niscaya walau masih perlu diperjuangkan.
Sebagaimana dicatat Panggabean, kelompok Islam selalu melihat sekularisme
sebagai sesuatu yang buruk dan berdampak negatif. Mereka mengartikan sekuler
sebagai jahiliah, kebebasan mutlak, mengumbar nafsu, ateisme, murtad, kafir,
politeisme, penyembahan terhadap berhala, menentang Tuhan, kolonialisme,
imperialisme Barat, hukum buatan manusia, dan lain-lain. Sehingga bagi mereka
berbicara mengenai sekularisme, atau mendapat cap sebagai sekularis akan
mengundang bencana.
Bila kita mengamati efek politisasi dan sekuritisasi Syari’at, penglaman
Indonesia dan negara-negara Muslim sehubungan dengan kontroversi penerapan
Syari’at Islam dengan mununjukkan bahwa pertikaian keagamaan dapat membebani
sektor politik suatu negara, khususnya di parlemen dan proses legislatif pada
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
20
umumnya. Di Indonesia, amandemen UUD 1945 selalu dihadapkan kepada jalan
buntu setiap kali pembicaraan memasuki pembicaraan penerapan Syari’at. Di
Pakistan, dikenal dengan negara Islam, tetapi tidak ada konsensus mengenai negara
Islam. Bahkan sengketea mengenai hukum kekeluargaan Muslim sudah dimulai sejak
1960-an dan sampai hari ini masih mengundang perdebatan. Di Sudan, islamisasi
telah mendorong separatisme melalui pemberontakan bersenjata di wilayah Selatan.
Dari pengalaman negara-negara Muslim di atas, tampak bahwa kontroversi penerapan
Syari’at dapat dan telah memecah-belah masyarakat dan suatu bangsa secara
keseluruhan. Lebih lanjut, perpecahan seperti ini bisa berupa konflik yang bersifat
internal umat Islam. Ini khususnya menyangkut definisi dan pemahaman Syari’at
Islam yang akan dilembagakan menjadi undang-undang. Sebab secara internal pun
pemahaman mengenai Syari’at Islam selalu problematis dan bersifat khalifah
sepanjang sejarah Islam. Selain itu juga dapat menciptakan perpecahan berupa konflik
antar umat yang bergama lain dalam satu negara tertentu.
II.
TANGGAPAN
Dari kedua sajian nara sumber di atas, yang mau ditekankan adalah perlunya
memahami arti sekularisme secara benar. Sekularisme pada umumnya dipahami
sebagai pemisahan negara dan agama dalam semua lapisan ketetanegaraan. Dalam
arti, agama ditempatkan ke wilayah atau domain privat, sedangkan hukum atau
kebijakan negara dimasukkan ke dalam domain publik. Tidak bisa dipungkiri
sekularisasi akan diperhadapkan dengan berbagai tantangan, tetapi perlu juga melihat
peluang apa yang bisa diberikan oleh sekularisme. Salah satu dampak positif
sekularisme adalah pemahaman yang benar bahwa negara tidak boleh campur tangan
tentang urusan agama, apalagi mengakomodir keinginan kelompok agama beraliran
keras yang menginginkan penerapan Syari’ah Islam di Indonesia yang senantiasa
mendesak disahkannya Undang-Undang bernuasa Syari’ah Islam. Hal ini terlihat,
sejak disahkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
terdapat berbagai macam Peraturan Daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan
Syari’at Islam.2 Bahkan Penerapan Perda-perda di berbagai daerah wilayah Indonesia
2 Maria Farida Indrati, Penerapan Perda-Perda Syari’at Islam Dikaji dari Sudut Hukum di
Indonesia, 2006, hal. 14. Makalah yang disampaikan pada Loka Karya yang diselenggarakan oleh
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
21
(Sulawesi Selatan, Nangro Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, Padang, beberapa
Kabupaten di Jawa Barat, Tangerang, dan Banten) merupakan bentuk politik identitas
Islam yang tidak menghargai pluralisme dan meniadakan sekularime.
Masalah penerapan Syarit Islam di Indonesia sudah dimulai pada prakemerdekaan, hal ini jelas ketika para pendiri Republik ini mengesahkan Piagam
Jakarta, yaitu: yang dikenal dengan tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.3 Hingga pada masa pemerintahan Orde
Baru sampai pada era Reformasi, keinginan kelompok-kelompok Islam yang terlibat
dalam Partai politik Islam terlihat jelas dengan tuntutan amandemen pasal 29 UUD
1945 dan kelompok Islam radikal atau kelompok pengusung Syari’ah masih getol
memperjuangkan penerapan Syari’ah Islam.4
Tetapi gerakan-gerakan Islam yang
mengusung perjuangan menegakkan Syari’at Islam dalam struktur negara itu akhirnya
gagal dalam memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 pada
momentum Sidang MPR 2000. Kelompok Islam yang membangkitkan kembali
Piagam Jakarta dan penegakan Syari’at Islam menurut Syafii Maarif sebagaimana
dikutip Nashir adalah tergolong dalam kategori Islam ideologis. Dikatakan Islam
ideologis karena watak dan orientasi agamanya berbasasis pada agama Islam sebagai
ideologi yang mempertautkan secara langsung hubungan Islam dan negara atau politik
serta memperjuangkan cita-cita Islam.5
Mengingat Indonesia bukanlah negara teokrasi atau sekular, tetapi negara
berdasarkan Pancasila, maka saya pikir perlu menghargai pluralisme agama-agama
yang ada di wilayah Indonesia dengan tidak mengeksklusifkan ataupun menonjolkan
salah satu agama. Belajar dari pengalaman negara-negara Muslim (seperti Sudan,
Pakistan), perdebatan mengenai penerapan Syari’at Islam telah menjadi salah satu
faktor disintegrasi sosial. Pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa
dosis penerapan Syari’at Islam dapat melebihi daya tahan integrasi negara-negara
tersebut sehingga krisis konstitusi dan perang saudara menjadi ancaman nyata.
Menanggapi perkataan Meij yang mengatakan ”kecenderungan orang sekuler,
menjadi lebih beragama” tidak bisa dipungkiri. Pandangan ini juga dibenarkan oleh
PGI pada tanggal 4 Oktober 2006 di Pondok Remaja PGI Cipayong-Bogor.
3 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945 – 1970, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 97-100.
4 Hal ini tampak jelas dengan berdirinya beberapa Komite Persiapan Penegak Penerapan Syariah
Islam (KPPSI) di berbagai daerah dan provinsi dan Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) di
Sulawesi Selatan, menunjukkan adanya suatu gerakan keagamaan yang sangat aktif memperjuangkan
politik Islam di negara ini. Bnd. Taufik Adnan Amal dan Syamsurizal Panggabean, Politik Syariat
Islam dari Indonesia sampai Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 82-95.
5 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat, (Jakarta: Psap, 2007), hlm. 271.
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
22
Berger seperti yang dikutip AL Qurtuby yang mengatakan ”dunia sekarang bukan
berjalan menuju tahap sekularisasi tanpa iman, tetapi sebaliknya berjalan melangkah
menuju sakralisasi (istilah lain desekularisasi) yang penuh keimanan. 6 Pandangan
Berger ini merupakan hasil rekonstruksi atas fenomen keagamaan masyarakat agama
dewasa ini. Berger berkeyakinan bahwa ”spirit ke-Tuhan-an” tidak akan pernah
rontok dari kehidupan manusia meskipun digembur oleh arus sekularisasi dan
rasionalisasi bahkan sebaliknya proses sekularisasi dan rasionalisasi justru semakin
menyuburkan praktik spritualisasi dan mistifikasi pada diri umat beragama. 7 Dari
pemahaman Berger ini, tidak heran jika ”demam Syari’at” yang melanda negeri ini
merupakan serangan balik Islam kepada arus sekularisme dan modernisasi.
6 Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: ILHAM Institute & Rumah Kata, 2005),
hlm. 21-22.
7 Ibid., hlm. 22.
Kuliah
Aktualita
17
KULIAH AKTUALITA
PROGRAM STUDI PASCASARJANA
MAGISTER THEOLOGIAE
OLEH
:
RAMLI SN HARAHAP
NIM
:
242106
BIDANG STUDI :
SEJARAH GEREJA
27 APRIL 2009
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
18
AGAMA DAN RUANG PUBLIK:
MEMPERBINCANGKAN KEMBALI SEKULARISME1
Nara Sumber: Dick van der Meij dan Syamsurizal Panggabean
Moderador: Novriantoni Khahar
I.
MATERI KULIAH
A.
DICK van der MEIJ
Sebelum memaparkan sekularisme sebagai aliran filosofi kenegaraan dan
kemasyarakatan, Dick Van der Meij terlebih dahulu memberikan pemahaman dasar
dan definisi sekularisme. Menurut Meij sekularisasi berarti pemisahan negara dan
agama dalam semua lapisan ketatanegaraan. Sekularisasi tidak berarti negara tidak
ada agama atau negara tidak ada kaitannya dengan negara. Sedangkan sekularisme
didefinisikan sebagai a netral attitude especially of the State, local goverment and
public services, in matters relating to religion; nonreligious rather than antireligious. Sekularisasi—seperti semua istilah diartikan dengan cara berbeda-beda oleh
individu atau kelopok di negara masing-masing karena alasan politik, agama dan
alasan lainnya.
Dengan melihat hubungan negara dan individu, Meij menekankan negara tidak
boleh campur tangan dengan hal privasi individu selain hal yang diatur dalam
perundangan. Dalam hal ini Meij menempatkan agama sebagai hal privasi individu,
sehingga ia kembali menegaskan, hubungan negara dan individu lebih horizontal
daripada vertikal seperti sering ditemukan dalam negara non-sekuler.
Menurut Meij, sejarah sekularisasi di Eropa terlihat ketika Eropa selama dua
abad atau sebelum Napoleon muncul, berada dalam keadaan perang dan perang
saudara karena perbedaan agama. Sehingga pada 1803, Napoleon Bonaparte mulai
memisahkan agama dan negara, termasuk semua hak milik institusi agama disita oleh
negara. Baru pada 1905 pemisahan agama dan negara disahkan secara mutlak di
Perancis. Meij melihat pada perkembangan selanjutnya di era modern ini dan
sekularisasi lebih terlihat sebagai pengeluargerejaan dan pengindividualisasian agama.
Adapun alasan Meij mengatakan demikian, karena pembicaraan agama selalu
1 Kuliah ini dilaksanakan pada 23 Maret 2007 di Jaringan Islam Liberal (JIL) Jl. Utan Kayu No.68
Jakarta
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
19
ditetapkan sebagai sesuatu yang tidak berubah, padahal pemikiran tentang agama dan
sekularisme selalu berubah. Contoh negara yang disebutkan Meij anatara lain:
Perancis sebagai negara sekuler, namun negara tersebut juga dikenal sebagai negara
yang paling sibuk memugar Katedral. Di Inggris, Ratu merupakan kepala negara dan
kepala gereja. Jerman, yang dikenal paling sekuler, tetapi paling banyak menyumbang
ke Vatikan. Hal ini membuktikan kecenderungan bahwa orang sekuler menjadi lebih
beragama.
B.
SYAMSURIZAL PANGGABEAN
Dalam sajianya Rizal Panggabean lebih melihat sekularisasi dalam praktek
pengalaman beberapa negara khususnya negara Islam dan negara mayoritas Islam.
Menurut Panggabean doktrin sekularisme sebagai bentuk pemisahan atau tembok
pemisah (the wall of separation) antara agama dan politik tampak di dalam praktik
dan kenyataan negara-negara Muslim sebagaimana tampak juga di negara yang
minoritas Muslim. Dalam konteks negara bangsa, penerapan Syari’at Islam dalam
situasi ketika umat Islam menjadi yang dominan akan dirasa mengancam minoritas.
Sebaliknya di negara-negara tempat komunitas Islam menjadi minoritas, keinginan
menerapkan Syari’at Islam dihadapkan kepada penentangan atau kecurigaan dari yang
mayoritas. Karenanya, perlindungan konstitusional terhadap minoritas (minority
protection) menjadi sesuatu yang niscaya walau masih perlu diperjuangkan.
Sebagaimana dicatat Panggabean, kelompok Islam selalu melihat sekularisme
sebagai sesuatu yang buruk dan berdampak negatif. Mereka mengartikan sekuler
sebagai jahiliah, kebebasan mutlak, mengumbar nafsu, ateisme, murtad, kafir,
politeisme, penyembahan terhadap berhala, menentang Tuhan, kolonialisme,
imperialisme Barat, hukum buatan manusia, dan lain-lain. Sehingga bagi mereka
berbicara mengenai sekularisme, atau mendapat cap sebagai sekularis akan
mengundang bencana.
Bila kita mengamati efek politisasi dan sekuritisasi Syari’at, penglaman
Indonesia dan negara-negara Muslim sehubungan dengan kontroversi penerapan
Syari’at Islam dengan mununjukkan bahwa pertikaian keagamaan dapat membebani
sektor politik suatu negara, khususnya di parlemen dan proses legislatif pada
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
20
umumnya. Di Indonesia, amandemen UUD 1945 selalu dihadapkan kepada jalan
buntu setiap kali pembicaraan memasuki pembicaraan penerapan Syari’at. Di
Pakistan, dikenal dengan negara Islam, tetapi tidak ada konsensus mengenai negara
Islam. Bahkan sengketea mengenai hukum kekeluargaan Muslim sudah dimulai sejak
1960-an dan sampai hari ini masih mengundang perdebatan. Di Sudan, islamisasi
telah mendorong separatisme melalui pemberontakan bersenjata di wilayah Selatan.
Dari pengalaman negara-negara Muslim di atas, tampak bahwa kontroversi penerapan
Syari’at dapat dan telah memecah-belah masyarakat dan suatu bangsa secara
keseluruhan. Lebih lanjut, perpecahan seperti ini bisa berupa konflik yang bersifat
internal umat Islam. Ini khususnya menyangkut definisi dan pemahaman Syari’at
Islam yang akan dilembagakan menjadi undang-undang. Sebab secara internal pun
pemahaman mengenai Syari’at Islam selalu problematis dan bersifat khalifah
sepanjang sejarah Islam. Selain itu juga dapat menciptakan perpecahan berupa konflik
antar umat yang bergama lain dalam satu negara tertentu.
II.
TANGGAPAN
Dari kedua sajian nara sumber di atas, yang mau ditekankan adalah perlunya
memahami arti sekularisme secara benar. Sekularisme pada umumnya dipahami
sebagai pemisahan negara dan agama dalam semua lapisan ketetanegaraan. Dalam
arti, agama ditempatkan ke wilayah atau domain privat, sedangkan hukum atau
kebijakan negara dimasukkan ke dalam domain publik. Tidak bisa dipungkiri
sekularisasi akan diperhadapkan dengan berbagai tantangan, tetapi perlu juga melihat
peluang apa yang bisa diberikan oleh sekularisme. Salah satu dampak positif
sekularisme adalah pemahaman yang benar bahwa negara tidak boleh campur tangan
tentang urusan agama, apalagi mengakomodir keinginan kelompok agama beraliran
keras yang menginginkan penerapan Syari’ah Islam di Indonesia yang senantiasa
mendesak disahkannya Undang-Undang bernuasa Syari’ah Islam. Hal ini terlihat,
sejak disahkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
terdapat berbagai macam Peraturan Daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan
Syari’at Islam.2 Bahkan Penerapan Perda-perda di berbagai daerah wilayah Indonesia
2 Maria Farida Indrati, Penerapan Perda-Perda Syari’at Islam Dikaji dari Sudut Hukum di
Indonesia, 2006, hal. 14. Makalah yang disampaikan pada Loka Karya yang diselenggarakan oleh
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
21
(Sulawesi Selatan, Nangro Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, Padang, beberapa
Kabupaten di Jawa Barat, Tangerang, dan Banten) merupakan bentuk politik identitas
Islam yang tidak menghargai pluralisme dan meniadakan sekularime.
Masalah penerapan Syarit Islam di Indonesia sudah dimulai pada prakemerdekaan, hal ini jelas ketika para pendiri Republik ini mengesahkan Piagam
Jakarta, yaitu: yang dikenal dengan tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.3 Hingga pada masa pemerintahan Orde
Baru sampai pada era Reformasi, keinginan kelompok-kelompok Islam yang terlibat
dalam Partai politik Islam terlihat jelas dengan tuntutan amandemen pasal 29 UUD
1945 dan kelompok Islam radikal atau kelompok pengusung Syari’ah masih getol
memperjuangkan penerapan Syari’ah Islam.4
Tetapi gerakan-gerakan Islam yang
mengusung perjuangan menegakkan Syari’at Islam dalam struktur negara itu akhirnya
gagal dalam memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945 pada
momentum Sidang MPR 2000. Kelompok Islam yang membangkitkan kembali
Piagam Jakarta dan penegakan Syari’at Islam menurut Syafii Maarif sebagaimana
dikutip Nashir adalah tergolong dalam kategori Islam ideologis. Dikatakan Islam
ideologis karena watak dan orientasi agamanya berbasasis pada agama Islam sebagai
ideologi yang mempertautkan secara langsung hubungan Islam dan negara atau politik
serta memperjuangkan cita-cita Islam.5
Mengingat Indonesia bukanlah negara teokrasi atau sekular, tetapi negara
berdasarkan Pancasila, maka saya pikir perlu menghargai pluralisme agama-agama
yang ada di wilayah Indonesia dengan tidak mengeksklusifkan ataupun menonjolkan
salah satu agama. Belajar dari pengalaman negara-negara Muslim (seperti Sudan,
Pakistan), perdebatan mengenai penerapan Syari’at Islam telah menjadi salah satu
faktor disintegrasi sosial. Pengalaman negara-negara tersebut menunjukkan bahwa
dosis penerapan Syari’at Islam dapat melebihi daya tahan integrasi negara-negara
tersebut sehingga krisis konstitusi dan perang saudara menjadi ancaman nyata.
Menanggapi perkataan Meij yang mengatakan ”kecenderungan orang sekuler,
menjadi lebih beragama” tidak bisa dipungkiri. Pandangan ini juga dibenarkan oleh
PGI pada tanggal 4 Oktober 2006 di Pondok Remaja PGI Cipayong-Bogor.
3 B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945 – 1970, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 97-100.
4 Hal ini tampak jelas dengan berdirinya beberapa Komite Persiapan Penegak Penerapan Syariah
Islam (KPPSI) di berbagai daerah dan provinsi dan Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) di
Sulawesi Selatan, menunjukkan adanya suatu gerakan keagamaan yang sangat aktif memperjuangkan
politik Islam di negara ini. Bnd. Taufik Adnan Amal dan Syamsurizal Panggabean, Politik Syariat
Islam dari Indonesia sampai Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004), hlm. 82-95.
5 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat, (Jakarta: Psap, 2007), hlm. 271.
Kuliah
Aktualita
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
22
Berger seperti yang dikutip AL Qurtuby yang mengatakan ”dunia sekarang bukan
berjalan menuju tahap sekularisasi tanpa iman, tetapi sebaliknya berjalan melangkah
menuju sakralisasi (istilah lain desekularisasi) yang penuh keimanan. 6 Pandangan
Berger ini merupakan hasil rekonstruksi atas fenomen keagamaan masyarakat agama
dewasa ini. Berger berkeyakinan bahwa ”spirit ke-Tuhan-an” tidak akan pernah
rontok dari kehidupan manusia meskipun digembur oleh arus sekularisasi dan
rasionalisasi bahkan sebaliknya proses sekularisasi dan rasionalisasi justru semakin
menyuburkan praktik spritualisasi dan mistifikasi pada diri umat beragama. 7 Dari
pemahaman Berger ini, tidak heran jika ”demam Syari’at” yang melanda negeri ini
merupakan serangan balik Islam kepada arus sekularisme dan modernisasi.
6 Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, (Yogyakarta: ILHAM Institute & Rumah Kata, 2005),
hlm. 21-22.
7 Ibid., hlm. 22.
Kuliah
Aktualita