PERPEKTIF ISLAM DALAM SENI BUDAYA Oleh

PERPEKTIF ISLAM DALAM SENI BUDAYA
Oleh: ALI IMRON A.M.

Bagi islam, agama bukan bagian dari kebudayaan, demikian Ali Imron membuat simpul
diskusi tentang hubungan Agama dan Kebudayaan. Keduanya berbeda, tetapi dapat saling
mempengaruhi, sehingga agama dapat menjadi sumber kekuataan terbitnya suatu
kebudayaan tertentu. Oleh karena itu, tiap gerak langkah dalam kehidupan hendaklah berpangkal pada agama dan berujung pada kebudayaan. Jadi keindahan dalam seni buda Islam
itu karna Allah untuk manusia. Dengan demikian bukan seni untuk seni dan juga bukan seni
untuk sesuatu.
Tantangan muncul ketika melihat bahwa di kalangan umat islam masih banyak yang belum
bisa memanfaatkan seni budaya sebagai alat dakwah, karena ternyata seni budaya islam
semakin surut pengemarnya. Untuk itulah di perlukan upaya-upaya kreatif dan inovatif di
kalangan seniman dan budayawan islam untuk pembaharuan konsep seni budaya yang
religius.
A.

Buka Wicara
“Islam is indeed much more than a system of teology, it is a compelate civilization”,
demikian tutur H.A.R. Gibb dalam bukunya Wither Islam. Menurut Gibb Islam
sesungguhnya lebih daripada suatu sistem agama saja, islam adalah suatu kebudayaan yang
lengkap.

Terlepas dari keyakinan atau pengertian pemeluknya, bahwa islam adalah “agama wahyu”
atau “agama samawi” yaitu agama yang diwahyukan oleh Allah swt. Kepada Rasul-Nya dan
bukan “agama budaya”, yakni agama yang diciptakan oleh manusia sebagai bagian dari
kebudayaannya, Gibb memang dapat memperlihatkan bahwa sejarah membuktikan Islam
bukan lah hanya agama yang dianut oleh sebagian umat manusia sebagai sistem peribadatan
saja, melainkan merupakan sumber kekuatan yang mendorong terbitnya suatu kebudayaan.
Kebudayaan islam bukanlah terbatas pada ap yang ditangkap oleh ilmu-ilmu keagamaan
tradisional seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, dan ilmu tasawuf saja, melainkan turut juga
menghasilkan apa yang kini dikenal sebagai “Sains Modern” seperti ilmu ekonomi,
sosiologi, politik, kedokteran, fisika, yang semuanya tercakup dalam ilmu-ilmu sosial dan
pasti alam itu (Dawam Rahardja, 1985).
B. Sorotan Islam terhadap Seni Budaya

Islam adalah agama yang mencintai keindahan. Sampai-sampai tak urung Rasulullah saw.
sempat bersabda “Innallaaha jamiilun yuhibbul jamal”. Allah swt. Sesungguhnya Maha
indah dan Dia mencintai keindahan”. Keindahan disini tentulah dimaksudkan adalah sesuatu
yang berkaitan dengan seni dalam arti ciptaan disamping yang secara alamiah/natural.
Seni, ungkap Herbet Read, adalah penciptaan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Yang
dimaksud dengan kesenangan dalam kaitan ini adalah kesenangan estetik (aesthetic
pleasure). Karena itulah seni itu adalah penjelmaan rasa estetik atau keindahan (Herbet

Read, 1959).
Sejak awal evolusi kebudayaan meramu, tatkala manusia itu tinggal di gua-gua, seni telah
menghadirkan diri dan menyatakan eksistensinya. Ia selalu ada dalam kebudayaan sebagai
“cultural universal”. Habya saja posisinya dalam kebudayaan terhaap bidang-bidang
kebudayaan lain berubah dan berbeda. Pada pertumbuhan kebudayaan yakni pda awal
evolusi kebudayaan, seni lahir dari agama primitif.
Agama mewarnai seni budaya yang diciptakan sehingga benar-benar seni budaya mampu
tampil sebagai wahana pengembangan agama. Lewat seni sastra seperti syair yang mendapat
tempat khusus dihati Rasulullah saw. Roman novel, hikayat dan cerita cerpen yang bnyak
menghembuskan nafas keislaman, lalu seni rupa seperti seni lukis dan kaligrafi mampu
menyetuh kehalusan indra dan hati penikmatnya hingga mengingatkannya kepada Sang
Khalik. Juga seni musik dan seni suara yang sering menggugah penghayatan iman dan
sempat menggugah semangat islamisme, seni Radatan dan Rebana yang kadang masih
mampu menggelitik perasaan – perasaan religius lewat alunan – alunan suara dan musik
genderang yang ditata nan apik. Dakwah yang sifatnya tidak formalistik dan tidak lewat
mimbar juga mampu diantarkan dengan seni.
Berbeda dengan keadaan diatas, seni budaya Barat yang relatif dapat dikatakan sebagai
wakil seni budaya modern masa kini, hubungan antara seni dengan agama telah terputus.
Seni hidup dan berdiri sendiri, sudah tentu tetap masih saling mempengaruhi dengan bidang
– bidang kebudayaan yang lain. Bidang – bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi

yang begitu dominan pada kebudayaan Barat membawa masyarakatnya kepada
materialisme. Materialisme mengarah kepada alam nyata sehingga masalah – masalah
bendawi lebih berharga dari pada soal – soal ukhrawi. Atau dengan kata lain, alam nyata itu
adalah dunia sebagai lawan daripada alam gaib yang disajikan oleh spiritualisme.
Berpijak pada pandangan – pandangan itulah, maka seni dalam kebudayaan Barat adalah
seni sekular, putus hubungannya dengan agama tetapi, sangat mesra dengan duniawi. Inilah
yang membedakannya dengan seni budaya islam yang meletakkan agama sebagai dasar seni
budaya. Kebudayaan islam, ungkap Natsir lebih lanjut cukup kaya akan sumber – sumber

inspirasi. Kebudayaan hendaknya tidak lepas dari pimpinan Tauhid yang suci bersih, akhlak
dan ibadah yang sehat (Dawan Rahardja, 1985).
C. Seni Budaya Islam: Karena Allah untuk Manusia.
Timbulnya karya – karya seni demikian tidak lain sebenarnya adalah pantulan agama pada
seni budaya. Melagukan dengan indah ayat – ayat Alquran misalnya, lagu indah itu bukan
untuk Tuhan, Tuhan tidak memerlukan lagu. Dia tidak akan terharu apalagi terbujuk oleh
karya-karya seni yang dipersembahkan kepada-Nya, seperti praktek-praktek ibadah pada
agama non islam. Jika masjid dibuat dengan seni arsitektur yang indah, keindahan itu adalah
untuk jamaah itu sendiri bukan untuk Tuhan.
Agama memang bukan bagian kebudayaan dari Islam. Keduanya berbeda tetapi dapat saling
mempengaruhi sehingga agama dapat menjadi sumber kekuatan terbitnya suatu kebudayaan

tertentu. Oleh karenanya, tiap gerak langkah dalam kehidupan hendaklah berpangkal pada
agama (karena Tuhan) dan berujung pada kebudayaan (untuk manusia). Jadi, keindahan
dalam seni budaya islam itu “Karena Allah, untuk manusia”. Dengan demikian bukan “seni
untuk seni” (I’Art pour I’Art) dan juga bukan “Seni untuk Sesuatu” (I’Art engage). Seni
untuk seni, mudah hanyut dalam ekses, yakni melewati batas.
Seni budaya islam adalah manifestasi kerja intensitas jiwa manusia muslim yang didasari
dan dijiwai ajaran islam dalam arti yang seluas-luasnya. Sepanjang seni budaya itu tetap
mencerminkan nilai-nilai islam, minimal tidak bertentangan dengan ajaran islam. Seni
budaya dan akhlak berjalin erat di dalam islam. Dengan menyandang prinsip “keindahan itu
karena Tuhan untuk manusia”, dengan sendirinya ia, seni budaya islam mengandung akhlak,
nilai moral. Nilai makruh atau haram mungkn ada dalam karya yang beraliran “seni untuk
seni” atau “seni untuk sesuatu”.
Berteulah tiga titik dalam segi tiga yang saling menopang. Pertemuan itu dapat digambar
kan demikian:
Agama
Akhlak
Seni
Jadi, agama membentuk akhlak, seni mestinya mengandung nilai akhlak dan seni itu refleksi
agama pada kebudayaan.
D. Kreativisasi Ajaran Islam dalam Seni Budaya.

Kesenian pada agama sering menimbulkan akibat yang menyangkut kedua simbol itu sendiri
(seni dan agama). Demikian konstatasi Kuntowijoyo, seniman, budayawan dan sejarawan
yang pemikiran – pemikirannya banyak menarik perhatian para ahli. Baginya terhadap
kesenian subordinasi itu berakibat negatif antara lain:
1. Terikatnya bentuk dan isi kesenian yang berpretensi abadi.

2. Timbul ketegangan antara nilai-nilai agama termasuk hukum-hukumnya yang keras
dengan nilai-nilai kesenian yang longgar.
3. Penggunaan kesenian untuk tujuan praktek agama membatasi ruang gerak kesenian.
4. Kebebasan mencipta tergantung oleh ingatan tentang norma-norma.
Sementara itu terhadap agama, subordinasi membawa pengaruh negatif pula antara lain:
1. Pernyataan-pernyataan dalam kesenian sering mengacaukan ajaran agama, misalnya
kekacauan semantik.
2. Hasil kesenian kadang disucikan sebagai bentuk ibadah.
3. Aqidah-aqidah agama sering di taklukkan oleh perkembangan kesenian. Dan terlepas
dari dampak negatif itu, segi positif yang timbul adalah kebesaran agama yang dapat
mempengaruhi kehidupan manusia semakin tampak nyata (Faisal Ismail, 1983).
Dari sisi lain kita melihat betapa seni budaya islam di Indonesia(juga agaknya di negaranegara islam pada belahan bumi) mengalami degradasi atau mungkin stagnasi.
Kreativisasiajaran-ajaran islam seluruh derap langkah dan ruh seni budaya sehingga tercipta
lah seni budaya islam moderndan digandrungi masyarakat masa kini, namun tetap berjiwa

dan bernafaskan islami.
Untuk menumbuhkan dan mengembangkan seni budaya islam agar lebih kreatif dan variatif,
agaknya perlu ditempuh upaya-upaya yang dinyatakan Kutowijoyo:
1. Subordinasi seni kepada agama.
2. Kualitas primer kesenian sebagai pernyataan pribadi.
3. Otonomi yang luas terhadap kesenian.
4. Kesenian islam diartikan sebagai kesenian individual bukan kesenian kolektif.
5. Pendalaman ajaran-ajaran islam oleh seniman budayawan lewat pertemuan dan tukar
pikiran dengan ulama perlu lebih diintensifkan.
Seni budaya islam modern yang penampilannya segar dan penuh pesona namun tetap sarat
akan nilai-nilai islam.

E. (Umat) Islam dan Tantangan Kultural.
Keadaan umat islam dari aspek seni budaya agaknya tidak menggembirakan. Begitupun
kurang respeknya umat islam terhadap masalah seni budaya membuat seni budaya islam
mengalami degradasi. Jika kita ingin mengubah keadaan, tentunya konklusi itu segera di
ubah dan di luruskan agar tidak sempat merasuk dalam jiwa dan akhirnya merusak
pandangan yang terpantul pada pola pandangan hidupnya. Didasari bahwa yang baik dan
modern itu tidak harus datang dari Barat. Banyak seni budaya Barat yang justru tidak baik,
dalam bahasa agama tidak benar. Islam jauh lebih kaya dan lebih mampu memberikan

sinyal-sinyal inspirasi terhadap pengembangan seni budaya modern.

F. Simpul Wicara.
Adalah tugas dan kewajiban kita besama umat islam, terutama para ilmuwan, budayawan,
seniman, dan pendidik baik formal maupun informal untuk meluruskan kembali sikap dan
pola berpikir kawula muda islam yang keliru, yang mengagung-agungkan seni budaya Barat.
Dngan menyadari bahwa islam kaya dan lebih mampu memberikan inspirasi dalam
kreativitas seni budaya, mereka akan menjadi muslim seutuhnya, sebagaimana
diperintahakan Allah swt., “Udhuluu fis silmi kaffah”.