MENGANALISIS WACANA DALAM RUANG KELAS

MENGANALISIS WACANA DALAM RUANG KELAS

Soraya Ramli, M.Hum.
Dosen J urusan Bahasa lnggris Sekolah Tinggi Bahasa Asing LlA

Abstrak
Analisis wacana digunakan untuk mengkaji hubungan antara bentuk dengan fungsi
dalam komunikasi verbal. Komunikasi dengan latar yang berbeda akan menghasilkan ciri
komunikasi yang khas. Wacana dengan latar ruang kelas dapat dianalisis secara deskriptif
maupun kritis. Analisis Wacana deskriptif terfokus pada bahasa dan struktur percakapan
an tara guru dan siswa dalam ruang kelas, sedangkan analisis wacana kritis berupaya melihat
bagaimana guru menggunakan dominasinya dalam mengajar siswa. Analisis wacana deskriptif
bermanfaat bagi dunia pendidikan untuk mengungkap tingkat pemerolehan kompetensi
komunikatif, strategi pemelajar dalam melakukan percakapan, dan pemerolehan struktur
pertukaran, kohesi serta koherensi. Di sisi lain, analisis wacana kritis menunjukkan bahwa guru
mempunyai ban yak peluang untuk mendominasi perilaku dan pemikiran siswa sehingga guru
harus berupaya menjalankan perannya dengan memanifestasi kuasa seperlunya.
Kata Kunci: analisis wacana, teks

Abstract
Discourse analysis is used to study the relationship of form dan function in verbal

communication. Communication with different settings will create certain features of
communication. Discourse with a classroom setting can be analyzed decriptively or critically.
Descriptive discourse analysis is focused on the language & conversation structure between a
teacher and the students in the classrooms, while critical discourse analysis tries to see how a
teacher manifests the domination in teaching the students. Descriptive discourse analysis is
useful to reveal the level of acquisition in communicative competence, learner's strategy, and
acquisition of exchange structure, cohesion, also coherence. On the other side, critical
discourse analysis shows that a teacher has chances to dominate the attitude & the thought of
the students. Thus, a teacher should do the roles by manifesting the power appropriately.
Key Words: discourse analysis, teks

Analisis wac ana merupakan disiplin ilmu yang mengkaji hubungan
bentuk dan fungsi dalam komunikasi verbal (tuturan). Dalam analisis wacana,
ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks
merupakan suatu unit semantis yang tidak tersusun dad klausa at au kalimat,
tetapi "direalisasi" dalam kalimat-kalimat (Halliday 1978). Fairclough
Menganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

121


(1995:135) mendefinisikan teks sebagai bahasa lisan atau tulisan yang
diproduksi dalam peristiwa diskursif. Konteks memasukkan semua situasi dan
hal yang berada di luar teks yang memengaruhi pemakaian bahasa, seperti
peserta dalam bahasa, situasi yang di dalamnya teks diproduksi, dan fungsi
yang dimaksudkan. Wacana terkait dengan penggunaan bahasa yang
ditentukan secara sosial. Dengan kata lain, teks merupakan bagian dari wacana.
Wodak (1996:16) melihat "wacana sebagai tindakan" dalam pengertian bahwa
sebuah tuturan bukanlah sebuah proses intelektual atau kognitif semata, tetapi
lebih merupakan bagian dari sebuah tindakan atau sebuah bentuk kehidupan.
Hubungan antara teks dan konteks mengimplikasikan hubungan dialektis
antara peristiwa diskursif tertentu dan situasi, institusi, serta struktur so sial
yang melingkupinya karena peristiwa diskursif dibentuk oleh konteks sosial.
Sebaliknya, peristiwa diskursif membentuk konteks sosial. Amanat sebuah
wacana secara linguistis bergantung pada konteksnya, baik yang bersifat
lingual (konteks linguistis) maupun non-lingual (konteks nonlinguistis). Fungsi
tuturan dapat dilihat dalam amanat yang terdapat dalam wacana. Teks
merupakan bagian dari wacana. Dengan demikian, Analisis wacana merupakan
suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara
alamiah, baik lisan maupun tulisan.
Analisis wacana berkembang dengan pesat setelah Zellig Harris

mempublikasikan makalahnya yang berjudul Discourse Analysis (1952).
Ketika para linguist hanya peduli pada analisis kalimat" Harris tertarik pada
distribusi unsur linguistik dalam teks dan hubungan teks dengan situasi sosial.
Analisis wacana mulai berkembang pada tahun 60-an dan awal 70-an dengan
bentuk analisis percakapan dalam berbagai institusi/latar. Salah satunya adalah
institusi pendidikan dengan latar ruang kelas. Bagaimana analisis wacana yang
berlatar ruang kelas dilakukan?

122

LINGUA VoL 6 No.2 Oktober 121-133

Wac ana dalam ruang kelasdapat dianalisis secara deskriptif maupun
kritis. Sebagai institusi yang berfungsi untuk membuat pembelajaran bagi
siswa,

wac ana dalam institusi pendidikan masih terbatas pada ruang kelas

dengan fokus interaksi antara guru dan siswa. Wacana dianalisis dengan
menggambarkan struktur pertukaran yang terjadi antar para peserta tutur yang

terlibat dalam wacana. Dalam ruang kelas, interaksi yang muncul adalah antara
guru, sebagai pengajar, dan siswa, sebagai yang menerima ilmu. Sebagai orang
yang berperan paling penting, tuturan guru merupakan objek penelitian analisis
wacana yang selama ini dilakukan.
Salah satu karya analisis wac ana dengan latar ruang kelas yang pertama
muncul adalah tulisan hasil penelitian Sinclair dan Coulthard yang termuat
dalam buku Introduction to Discourse Analysis. (1979). Mereka menuliskan
hasil kajian mereka mengenai wacana dalam interaksi guru dan siswa di kelas.
Sinclair dan Coulthard membuat struktur wacana interaksi di kelas. Struktur
terdiri atas pelajaran (lesson), transaksi (transaction), pertukaran (exchange),
gerak (move), dan tindak (act). Pelajaran terdiri atas beberapa transaksi (yang
meliputi pembukaan, inti, penutup), transaksi terdiri atas beberapa pertukaran
(yang meliputi inisiasi, respon, balikan),

Pertukaran terdiri atas beberapa

gerak, dan gerak terdiri atas beberapa tindak.
Pada tulisan selanjutnya di tahun 1992, Sinclair dan Coulthard
menghilangkan pelajaran dari strukturnya. Mereka juga membuat beberapa
bagian dari strukturnya menjadi lebih detil. Misalnya pada struktur pertukaran.

Mereka menyatakan bahwa struktur pertuturan dapat dimulai oleh guru
(pengambilan inisiatif oleh guru/teacher initiation) atau siswa (pengambilan
inisiatif oleh siswa/student initiation). Teacher initiation terbagi dalam
pertuturan bebas dan pertuturan terikat. Pertuturan bebas dapat berupa
pemancingan guru (teacher elicit),
Me?ganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

penjelasan guru (teacher inform),
123

pengarahan guru (teacher direct), dan pemeriksaan oleh guru (check).
Pengambilan inisiatif oleh siswa terbagi atas pemancingan siswa (pupil elicit)
dan penjelasan siswa (pupil inform). Tindak terbagi 14, di antaranya adalah,

marker, starter, elicitation, check, directive, informative, evaluate, dan
nomination ..
Terinspirasi dad Sinclair dan Coulthard, ada beberapa nama lain yang
juga melakukan kajian analisis wac ana dengan latar ruang kelas. Amy Tsui
melakukan kajian analisis wacana dengan fokus pada fungsi pertanyaan yang
diajukan guru pada siswa. Terkadang, suatu ujaran yang diajukan penutur

diidentifikasi sebagai sebuah pertanyaan, tetapi tidak befungsi untuk
mendapatkan informasi dari petutur. Dengan demikian, ada perbedaan apabila
suatu ujaran yang diidentifikasi sebagai pertanyaan berdasarkan kategori
sintaktis dianalisis berdasarkan kategori wacana. Tsui menganalisis pertanyaan
yang diajukan guru dalam kelas berdasarkan jawaban yang diharapkan. Ada
pertanyaan

yang

diujarkan

untuk

mendapatkan

affirmation/negation.

Pertanyaan jenis ini umumnya berbentuk Yes/No questions. Misalnya, Have

you finished? Selain itu, ada juga yang mengharapkan jawaban dari open-range

of replies. Biasanya bentuk pertanyaan ini berupa W-H Questions. Misalnya,
What is your name? Yang terakhir adalah pertanyaan yang diujarkan
membed pilihan. Misalnya "Would you like to go for a walk or to stay at

home? Tsui juga menganalisis tindak ilokusi dad pertanyaan-pertanyaan yang
terujar di kelas. Menurut Tsui, pertanyaan di kelas digunakan sebagai request
dan elisitasi.
Jane Willis menganalisis wacana kelas dengan membaginya menjadi

inner dan outer. Pembagian ini dilakukan karena bahasa dalam pengajaran
bahasa digunakan untuk dua tujuan: (1) sebagai subject matter dan (2) sebagai

medium of instruction. Struktur outer (luar) merupakan mekanisme untuk
124

LINGUA Vol. 6 No.2 Oktober 121-133

mengontrol dan menstimulasi ujaran dalam struktur inner (dalam) yang
merupakan ujaran pelatihan dalam bahasa asing yang dipelajari.
Martin Hewings melakukan kajian analisis wacana dengan fokus pada

balikan (feedback) di kelas EFL. Menurut Hewings, balikan dapat berfungsi
untllk menjadi sebagai assessment, baik positif maupun negatif Assessment
positif dalam balikan berupa inforrnasi, bahwa informasi tersebut benar.
Sebaliknya, assessment negatif merupakan balikan yang menyatakan bahwa
jawaban yang diberika siswa adalah salah. Selain itu, balikan juga digunakan
untuk me nahan assessment sampai pad a tahap tertentu, atau hanya memberi
penilaian sebagian (partial assessment)
Bellack dkk. juga telah melakukan

kajian analisis wacana dengan

fokus pada struktur pertukaran dalam kelas. Ada empat struktur yang
diusulkan, yaitu structuring, soliciting, responding, dan reacting. Structuring
merupakan merupakan perilaku untuk mengarahkan kelangsungan peristiwa
pedagogis dan mengajak siswa untuk memperhatikan sesuatu. Soliciting
merupakan suatu kategori unsur struktur yang dimaksudkan untuk memancing
munculnya tanggapan, baik verbal maupun nonverbal dari siswa. Selanjutnya,
responding merupakan tindak jawaban atas permintaan yang menyatakan
hubungan timbal balik. Reacting merupakan kategori tindak yang berupa
tindak lanjut dari kategori sebelumnya yang mungkin berupa penjelasan,

ringkasan, atau perluasan dari apa yang dikatakan lebih dahulu.
Kajian mengenai struktur pertukaran dalam kelas juga dilakukan oleh
Ramirez (1988). Umumnya dalarn interaksi antara guru dan siswa, pertukaran
terbentuk dalam rangkaian alih tutur dalam kelas terdiri atas pemicu dari guru
(opening), tanggapan dari siswa (answering),

dan balikan dari guru

(Answering).

Menganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

125

Hasil kajian analisis wacana yang berlatar ruang kelas memberi
manfaat untuk digunakan untuk berbagai hal dalam bidang pendidikan.
Manfaaat tersebut antara lain adalah untuk menerangkan proses pemerolehan
bahasa., memahami hakikat bahasa dan untuk memahami proses belajar bahasa
dan perilaku berbahasa (Hatch & Long 1981), mengkaji wacana dapat
mengungkap tingkat pemerolehan kompetensi komunikatif, mengetahui

strategi

pemelajar

dalam

melakukan

percakapan,

mendeskripsikan

penyimpangan kaidah penggunaan aturan bahasa (filmore), dan memperoleh
struktur pertukaran, alih tutur, topik, kohesi, serta koherensidalam wacana
kelas.
Namun, menurut Santoso (2003), analisis wacana deskriptif tidak dapat
digunakan untuk mengkaji manifestasi' kuasa karena memiliki kelemahan.
Pertama, kajian terfokus pada peserta komunikasi yang sejajar sehingga kurang
memerhatikan kajian dengan peserta percakapan yang kurang sejajar. Padahal,
dalam institusi pendidikan, hubungan antara pembuat kebijakan, baik lokal

maupu nasional, tidak sejajar. Selain itu, dalam ruang kelas hubungan antar
guru dan siswa juga tidak sejajar. Guru merupakan sosok yang mengatur proses
interaksi dalam kelas. Alasan selanjutnya adalah karena analisis wacana
deskriptif menggunakan "interpretasi lokal" dalam menafsirkan
wacana. Dengan demikian, analis wacana tidak menciptakan konteks yang
lebih luas dari yang diperlukan untuk memperoleh interpretasi yang mendekati
maksud aslinya. Dalam analisis wacana deskriptif, pengalaman seseorang
tentang peristiwa yang semacam memberikan suatu harapan yang memudahkan
analisis suatu wacana, padahal setiap wacana hadir terkait dengan konteks
kemunculannya. Karena itu, akan sulit bagi analisis wacana deskriptif untuk
menggali dimensi ideologi dan kekuasaan dalam praktik wacana mengingat
interpretasinya hanya bersifat "lokal", bukan "global".

126

LlNGliA Vol. 6 No.2 Oktober 121-133

Selama ini para ahli AWK, seperti Fairclough, van Dijk, dan lain-lain,
telah menyiratkan bahwa dalam ruang kelas, ada manifestasi kuasa yang dapat
diungkap dengan AWK. Istilah Analisis Wacana Kritis (AWK) , oleh
Fairclough, digunakan untuk mengacu pada ancangan dan model ancangan
untuk menginvestigasi wac ana secara sistematis yang dikembangkan olehnya
dan sebagai label gerakan yang lebih luas dalam anal isis wac ana dengan
beberapa ancangan, termasuk ancangannya. Kritis dalam AWK berarti
'mempunyai tujuan untuk mengungkap praktik diskursif (penyampaian
wacana) yang mengonstruksi representasi hubungan sosial, termasuk hubungan
kuasa, dan bagaimana praktik tersebut digunakan untuk kepentingan kelompok
tertentu'. Pada analisis wacana kritis, suatu wacana tidak lagi hanya dilihat
berdasarkan deskripsi

yang

tampak dipermukaan.

Dengan

kata lain,

menganalisis sebuah wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis
dimensi teks bahasa, praktik wacana, dan praktik sosiokultural secara simultan
sebagai aplikasi dari "dialektika" dalam analisis wacana. AWK dapat
digunakan untuk mengungkap ketidakadilan dan ketidaksamaan kuasa dan
bagaimana hal itu dimanifestasi karen a dalam AWK, keberadaan sebuah teks
tidak dapat dipisahkan dari pengaruh konteks sosiokultural dan institusional
yang determinatif.
Berdasarkan sintesis dari tulisan van Dijk, Fairclough, dan Wodak,
Eriyanto menuliskan ciri-ciri penting dari AWK (2001:8--14). Pertama,
wacana merupakan sebuah tindakan atau bentuk interaksi. Wacana dipandang
sebagai sesuatu yang bertujuan, misalnya, memengaruhi, mendebat, dan
membujuk. Selain itu, wacana juga harus dipahami sebagai sesuatu yang
diekspresikan secara sadar dan terkontrol. Kedua, A WK mempertimbangkan
konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana
dibentuk terkait dengan suatu konteks sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi
Menganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

127

dan situasi yang khusus. Ketiga, dengan menempatkan wacana dalam konteks
sosial tertentu berarti wacana diproduksi dalam suatu konteks yang tidak
mungkin dipahami tanpa memasukkan konteks yang menyertainya itu (konteks
historis). Keempat, AWK juga mempertimbangkan elemen .kuasa dalam
analisisnya. Aspek kuasa perlu ditelaah untuk melihat kontrol yang ada, baik
dalam isi maupun struktur wacana. Terakhir, ideologi juga merupakan konsep
sentral dalam AWK. Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan untuk
memproduksi dan melegitimasi dominasinya.
Ideologi

merupakan

salah

satu

modalitas

kuasa

atau

cara

mengekspresikan kuasa yang menggunakan kontrol makna dan definisi masuk
akal sebagai alat untuk memproduksi dan mereproduksi dominasi (Fairclough
1998). Ideologi yang dihasilkan melalui dominasi dibuat dan diproduksi secara
halus dan alami dalam teks sehari-hari. Dominasi merupakan suatu bentuk
penyalahgunaan kuasa yang dilakukan secara bertahap. Kelompok yang
mendominasi dapat mempengaruhi struktur teks dan pembicaraan sehingga
pengetahuan, sikap, norma, nilai, dan ideologi pihak lain dapat dipengaruhi.
Pihak berkuasa dapat memasukkan ideologinya sewajar mungkin dalam
komunikasi sehari-hari sehingga pihak yang didominasi dapat menerima
pembiasaan ini sebagai sesuatu yang normal atau biasa. Pihak yang didominasi·
tidak merasa bahwa pihak yang berkuasa sedang menanamkan suatu ideologi
padanya.
A WK dapat diterapkan untuk menganalisis teks, khususnya yang terkait
dengan wac ana institusi. Santoso (2003) menyatakan bahwa teks yang terkait
dengan institusi memperlihatkan adanya kuasa dari satu kelompok at as
kelompok lainnya dalam kehidupan sehari hari. Analisis wacana yang terkait
dengan institusi banyak dikaji untuk mengungkap "cara berbicara" dan "cara
melihat" suatu institusi so sial (Fairclough 1995). Setiap institusi sosial

128

LINGUA Vol. 6 No.2 Oktober 121-133

menghasilkan cara atau modus bertutur tertentu tentang area kehidupan yang
berhubungan dengan tempat dan hakikatnya.
Dalam ruang kelas, guru mempunyai kuasa untuk mempertimbangkan
elemen kuasa dalam melakukan pekerjaannya. Aspek kuasa dapat dilihat dalam
kontrol yang ada, baik dalam isi maupun struktur wacananya. Van Dijk
(2001:300) menyatakan bahwa kuasa melibatkan kontrol dari (anggota) suatu
kelompok terhadap kelompok lain dalam bentuk aksi at au kognisi sehingga
kelompok yang berkuasa dapat membatasi kebebasan kelompok tersebut
sekaligus memengaruhi pemikiran mereka. Dalam kelas guru merupakan
seseorang yang mempunyai kuasa dapat mengontrol perilaku siswa sebagai
orang yang dikuasai. Guru berpeluang mempunyai tiga jenis kuasa,
sebagaimana yang disebutkan oleh Thomas (1995). Pertama, legitimate power,
kuasa yang didapat karena peran, umur, atau status. Kedua, referent power,
yang mengacu pada kuasa yang didapat seseorang karena ia dikagumi dan
banyak orang yang ingin seperti dia. Terakhir, expert power, yang mengacu
pada kuasa yang dimiliki seseorang karena pengetahuan atau keahliannya.
Senada dengan Thomas, Jay (1999:157) menyatakan bahwa kuasa juga dapat
bersumber dari ras, umur, kekayaan, pekerjaan, dan pendidikan. Seorang guru
dapat dikatakan mempunyai legitimate power dan expert power atas siswa
karena ia mempunyai status sosial dan merupakan sumber pengetahuan. Jika
disukai siswa, ada kemungkinan guru memiliki referent power. Dengan
demikian, dikehendaki atau tidak, ekspresi kuasa guru melalui tindak tuturnya
akan berpengaruh pada siswa.
Di kelas kuasa guru tidak hadir semata-mata dalam perannya sebagai
sumber pengetahuan. Guru mengontrol proses belajar-mengajar agar interaksi
di kelas berjalan dengan baik. Guru juga mengatur tahap-tahap kegiatan belajar
yang harus dilakukan oleh siswa agar tujuan pemelajaran tercapai. Selain itu,
Menganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

129

untuk memeriksa apakah siswa telah memahami apa yang dipelajari, guru
dapat bertindak sebagai penilai, yang menyatakan benar at au tidaknya suatu
hal. Banyaknya peran yang dilakukan guru di dalam kelas memperlihatkan
bahwa guru mempunyai hak dan wewenang yang lebih daripada siswa. Hal ini
menunjukkan hubungan yang asimetris an tara guru dan siswa. Secara tidak
langsung, dapat dikatakan bahwa guru mempunyai kuasa atas siswa karena
guru dapat memengaruhi dan mengontrol aksi dan kognisi siswa. Ellis (dalam
Rani 2004) mengungkapkan bahwa wacana kelas berbeda dari wacana dengan
latar yang lain karena pada wacana kelas tidak perlu terjadi kesepakatan atau
kerja sarna antara guru dan murid dalam menentukan topik. Topik mencakup
semua ide pembicaraan. Dalam kelas, ketika berbicara tentang suatu pokok
bahasan, guru dapat saja tiba-tiba berbicara tentang suatu hal di luar pokok
bahasan tersebut tanpa meminta persetujuan siswa. Hubungan asimetris di
kelas memengaruhi guru dalam menentukan struktur pertukaran. Menurut Ellis
(dalam Rani 2004), dalam interaksi di kelas guru mempunyai peran sebagai (1)
peserta dalam seluruh pertukaran, (2) pemicu dalam pertukaran, (3) penutup
dalam pertukaran, (4) penentu ikut tidaknya peserta lain dalam sebuah
pertukaran, (5) penerima untuk beberapa pemicu, (6) penentu pembicara
selanjutnya, dan (7) penentu jumlah ujaran dalam setiap pembicaraan.
Dalam proses belajar mengajar, guru dapat memililih peran yang sesuai
agar siswa dapat memaksimalkan kompetensinya. Namun, dominasi dan
penyalahgunaan kuasa dapat menyebabkan tujuan tersebut tidak tercapai.
AWK dari Fairclough merupakan ancangan A WK yang terfokus pada
perubahan sosiokultural.

Maksudnya,

setelah suatu wacana dianalisis,

diharapkan ada perubahan sosiokultural sehingga praktik diskursif (praktik
penyampaian suatu wacana) sebagaimana yang diungkap dalam wacana tidak
terjadi lagi. Ancangan AWK dari Fairclough terdiri atas tiga dimensi yang
130

LlNGVA Vol. 6 No.2 Oktober 121-133

harus dianalisis. Ketiga dimensi tersebut adalah teks (text), praktik wacana
(discourse practice) yang me lib atkan pemproduksian dan pengonsumsian teks,

dan praktik sosiokultural (sociocultural practice).
Sering kali kajian AWK dari Fairclogh dibatasi pada proses produksi
teks karena untuk melihat bagaimana teks dikonsumsi membutuhkan
pengkajian lebih lanjut. Namun, hal ini tidak akan terjadi apabila AWK
diterapkan dalam wacana pendidikan, khususnya wacana yang berlatar ruang
kelas, karena proses pengkonsumsian teks dapat dilihat secara langsung
melalui respon siswa dalam interaksinya dengan guru.
Wac ana pendidikan dengan latar ruang kelas, secara deskriptif, dapat
dimanfaatkan untuk menganalisis perakapan dalam interaksi guru dan siswa
dan untuk melihat bagaimana guru melakukan perannya dalam kelas. Melalui
perannya, guru akan mendominasi karena guru adalah pengatur kegiatan dalam
kelas. Praktik ini dikonstruksikan secara sosial di antara individu, institusi, dan
masyarakat dalam praktik keseharian. Secara tidak langsung, dominasi ini juga
diterima dan dilestarikan sebagai sesuatu yang wajar dan alami karena dunia
pendidikan merupakan institusi yang bertujuan mulia sehingga segal a bentuk
dominasi dalam praktiknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang salah. Keadaan
ini dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, norma, nilai dan ideologi siswa.
Praktik kewacanaan dalam ruang kelas ternyata memberi kontribusi pada
upaya mempertahankan status quo kekuasaan guru.

Menganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

131

DAFTAR PUSAKA

Coulthard, Malcom. 1991. An Introduction to Discourse Analysis (edisi kedua).
Harlow-Essex: Longman Group Ltd.
___ 1992. 'Towards Discourse Analysis'. Dalam Malcom Coulthard (ed).

Advances in Spoken Discourse.London: Routledge.
Ellis, R. 1990. Instructed Second Language Acquisition. Oxford: Oxford
University Press Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar

Analisis Teks Media. LKiS: Jogjakarta.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman Group
UK limited.
___ 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language.
Harlow-Essex: Longman Group Limited.
_ _ _ 1985. Language, Context, and Text: Aspect of Language in Social

Semiotic. Victoria: Deakin University Press.
Johnstone, Barbara. 2002. Discourse Analysis. UK: Blackwell Publishers Inc.
Pus taka Pelajar.
Norton, Bonny. 2000. Identity and Language Learning. UK: Pearson
Education Ltd.
Pennycook, Alastair. 2001. Critical Applied Linguistics. NJ: Lawrence
Earlbaum Associates.
Ramirez, Arnulfo. 1988. 'Analyzing Speech Acts' Dalam Yudith Green dan
Yudith O. Harker (eds). Multiple Perspective Analysis of Classroom

Discourse, hIm 281--302. New Jersey: Ablex Publication Co.
Rani, Abdul, Bustanul Arifin, dan Martutik. 2004. Analisis Wacana: Sebuah

Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Wedatama
Widya Sastra.
132

LINGUA Vol. 6 No.2 Oktober 121-133

Van Dijk, Teun. 1997. 'The Study of Discourse'. Dalam Teun van Dijk.

Discourse as Structure and Process,

hIm 1--34. London: Sage

Publication.
_ _ _ 2001. 'Principles of Critical Discourse Analysis'. Dalam Margaret
Wetherwell et al (Eds). Discourse Theory and Practice: A Reader,
hIm 300--317. London: Sage Publication Ltd.
_ _ _ 1996. 'Discourse, Power, & access' dalam Carmen Rosa Couldhard
& Malcom Couldhard. Text & practices. Hal 84-104. London:
Routledge.
Wodak, Ruth. 1996. Disorders of Discourse. Harlow Essex: Addison Wesley
Longman Limited.

Menganalisis Wacana dalam Ruang Kelas (Soraya Ramli, M. Hum)

133