INSTITUSI HUKUM PERCERAIAN DI PA.docx

INSTITUSI HUKUM PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Institusi Hukum Islam
Dosen Pengampu
Dr. Zaenul Mahmudi, MA

Oleh:
Ahkam Riza Kafabih
15781025

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA
UINVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian merupakan salah satu materi kompetensi absolut dalam

Peradilan Agama. Kewenangan mengadili perkara perceraian telah ada
bahkan sebelum Peradilan Agama mendapatkan dasar hukum yang kuat.
Perceraian harus dilakukan di Pengadilan Agama, adapun bentuk
perkaranya dapat dilihat dari pihak yang menghendaki perceraian, apakah
suami (permohonan cerai talak) atau isteri (cerai gugat). Adapun perceraian
yang dilakukan di luar Pengadilan Agama, maka dianggap tidak sah secara
hukum.
Pembahasan mengenai perkara perceraian di Peradilan Agama
merupakan suatu hal yang penting, karena menurut data statistik perkara pada
tahun 2013, perceraian merupakan kasus yang dominan di Pengadilan
Agama.1 Hal ini dapat menjadi indikasi tentang maraknya kasus perceraian di
masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perceraian?
2. Apa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkara
perceraian di Pengadilan Agama
3. Bagaimana prosedur penyelesaian perkara perceraian di Pengadilan
Agama?

1 Hermansyah, “Cerai Gugat 59 Persen Ekonomi Syariah 0,01 Persen”, Badilag Online,

http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjen-badilag/cerai-gugat-59-persenekonomi-syariah-001-persen-34 Diakses tanggal 4 November 2016.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perceraian
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perceraian, ada baiknya
jika terlebih dahulu memahami tentang istilah perceraian, sehingga dapat
diketahui batasan-batasan mengenai pembahasan perceraian dalam makalah
ini.
Perceraian berasal dari kata cerai, yang berarti pisah dan talak, kata
cerai berarti berpisah, sedang kata talak artinya sama dengan cerai. Kata
mentalak berarti menceraikan.2 Jadi kata talak sama artinya dengan cerai atau
menceraikan. Istilah talak, dan cerai itu dalam bahasa Indonesia sudah umum
dipakai oleh masyarakat Indonesia dengan arti yang sama.
Perceraian dalam bahasa Arab disebut “t}ala>k” atau “furqah”.
Adapun talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian,
sedangkan furqah berarti berpisah, lawan dari berkumpul, kemudian dua kata
itu dipahami oleh para ahli fiqh sebagai istilah yang berarti perceraian antara

suami istri.3 Sayid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah, menjelaskan
bahwa talak menurut istilah syara’ adalah: “melepaskan tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan perkawinan suami istri.”4
Menurut Amir Syarifuddin, putusnya perkawinan adalah istilah hukum
yang digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan
“perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan. Putusnya perkawinan
itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang
berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada empat
kemungkinan:5

2 W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 20,
998.
3 Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Bulan Bintang,
1993), 156.
4 Sayid Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992), II, 206.
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), 197.

2


1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah
seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula
hubungan perkawinan.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak suami oleh alasan tertentu dan
dinyatakan dengan ucapan tertentu (ikrar). Perceraian dalam bentuk ini
disebut dengan talak.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena adanya sesuatu yang
menghendaki putusnya perkawinan yang disampaikan istri dengan cara
tertentu dan diterima oleh suami, lalu dilanjutkan dengan ucapannya
untuk memutus perkawinan. Putus perkawinan dengan cara ini disebut
khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau istri yang menandakan tidak
dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan ini
disebut dengan fasakh.
Menurut pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dijelaska bahwa
putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena
talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Maka pengertian perceraian
menurut KHI terbatas pada cerai talak dan cerai gugat.
Dari penjelasan mengenai berbagai pengertian perceraian di atas, maka

perceraian dapat dimaknai dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti
sempit, perceraian dimaknai sebagai cerai talak dan cerai gugat. Sedangkan
dalam arti luas, perceraian dapat dimaknai dengan putusnya perkawinan, yang
mencakup di dalamnya kematian suami dan/atau istri serta pembatalan
perkawinan.
Karena pembahasan dalam makalah ini lebih difokuskan pada
perceraian sebagai institusi hukum serta penyelesaiannya dalam Pengadilan
Agama, maka menurut hemat penulis, alangkah tepatnya jika perceraian
dimaknai secara sempit sebagai cerai talak dan cerai gugat, dan
mengesampingkan kematian serta pembatalan pekawinan.

3

B. Peraturan Perundang-Undangan Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama
Ketika membahas tentang institusi hukum, maka tak akan lepas dari
peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, sehingga perlu
memunculkan pembahasan mengenai peraturan perundang undangan tersebut.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mendasari perkara
perceraian di Pengadilan agama antara lain adalah:

1. UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam bab VIII tentang
putusnya perkawinan,
a. Pasal 38 menjelaskan tentang sebab-sebab putusnya perkawinan,
yakni kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan. Pasal ini
menjelaskan secara umum tentang putusnya perkawinan, yang
termasuk di dalamnya khulu’, talak dan fasakh.
b. Pasal 39 menjelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan dengan cukup alasan bahwa suami dan istri
tidak dapat rukun setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dengan melalui
prosedur yang diatur dalam undang-undang.
c. Pasal 40 menjelaskan bahwa Gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan, sesuai ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Kata
Gugatan ini termasuk di dalamnya adalah permohonan cerai talak,
sebab dalam perkara permhonan cerai talak terdapat unsur gugatan
(contentius) dan bukan merupakan permohonan semata (voluntair).
d. Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan karena
perceraian
2. Kompilasi Hukum Islam dalam bab XVI tentan putusnya perkawinan,
a. Pasal 113 senada dengan UU Perkawinan pasal 38, yakni tentang

sebab-sebab putusnya perkawinan,
b. Pasal 114 menjelaskan tentang perceraian yang menjadi penyebab
putusnya perkawinan, yakni talak dan gugatan perceraian,
c. Pasal 115 senada dengan pasal 39 ayat 1 UU Perkawinan, yaitu
percraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak

4

d. Pasal 116 menjelaskan tentang alasan-alasan perceraian, dalam pasal
ini dijelaskan bahwa alasan-alasan perceraian antara lain:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2) Salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat

yang membahayakan pihak lain
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga
7) Suami menlanggar taklik talak
8) Peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga
e. Pasal 117 menjelaskan tentang pengertian talak, yaitu ikrar suami di
hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan
f. Pasal 118 sampai pasal 122 menjelaskan tentang istilah-istilah yang
berkaitan dengan talak dan uraiannya, yaitu talak raj’i, talak bain
sughra, talak bain kubro, talak sunni dan talak bid’i
g. Pasal 123 tertulis, Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian
itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Menurut penulis, yang
dimaksud pernyataan perceraian dalam pasal ini adalah ikrar talak,
sebab untuk cerai gugat terdapat pasal tersendiri yang membahasnya.
h. Pasal 124 menyatakan bahwa khuluk dapat didasarkan atas alasan

perceraian sesuai ketentuan pasal 116
i. Pasal 125 sampai 128 menjelaskan tentang li’an
j. Pasal 129 sampai 148 menjelaskan tentang mekanisme dan hukum
acara perceraian di pengadilan agama, termasuk di dalamnya cerai
talak dan cerai gugat.

5

k. Pasal 149 sampai 162 menjelaskan tentang akibat putusnya
perkawinan sebab perceraian, termasuk di dalamnya akibat talak,
khulu’, li’an dn cerai gugat
3. UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU PA) pada bab IV
tentang hukum acara bagian kedua tentang pemeriksaan sengketa
perceraian, pasal 65 menjelaskan bahwa percraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, senada dengan pasal
39 ayat 1 UU Perkawinan dan pasal 115 KHI. Adapun pasal 66 sampai
91, menjelaskan tentang hukum formal mengenai pemeriksaan sengketa
perkawinan.
Mengenai Pasal-pasal yang berhubungan dengan mekanisme dan

hukum acara dalam penyelesaian perkara perceraian akan diuraikan dalam
sub bab selanjutnya mengenai prosedur penyelesaian perkara perceraian di
Pengadilan Agama.
C. Prosedur Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama
1. Penerimaan Perkara
Berdasarkan ketentuan pasal 129 dan pasal 132 KHI, pengajuan
perkara perceraian dapat dilakukan secara tertulis (surat) dan secara
lisan. Surat tersebut ditujukan ke ketua Pengadilan Agama tempat istri
tinggal, kecuali apabila istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin
suami atau berada di luar negeri (Pasal 132 KHI jo. Pasal 66 dan 73 UU
PA).
Penggugat/pemohon menuju ke meja I untuk menyerahkan
berkas gugatan/permohonan. Perkara tersebut kemudian akan ditaksir
besarnya panjar biaya perkara oleh petugas meja I dan dituangkan
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).6
Berkas perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama harus
memuat antara lain:
a. Surat gugatan, yang juga memuat nama, umur dan tempat
kediaman para pihak serta alasan yang menjadi dasar perceraian
6 Ibrahim Ahmad Harun, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

(Mahkamah Agung RI: Dirjen Badan Peradilan Agama, 2013) II, 9.

6

(Pasal 67 UU PA) sebanyak jumlah pihak ditambah tiga rangkap
untuk majelis hakim
b. Surat kuasa khusus, jika menguasakan kepada pihak lain
c. Fotokopi kartu anggota advokat, bagi yang menggunakan jasa
advokat
d. Surat keterangan hubungan keluarga bagi kuasa insidentil.7
Setelah perkara diterima oleh meja I, petugas memberikan
SKUM untuk pemohon/penggugat. Pemohon/penggugat melakukan
pembayaran panjar biaya ke bank yang ditunjuk oleh Pengadilan,
kemudian menyerahkan bukti pembayaran kepada kasir (meja I). Meja I
kemudian memberikan surat gugatan yang telah diberi nomor perkara
kepada pemohon/penggugat untuk didaftarkan ke meja II. Oleh petugas
meja II, perkara didaftarkan dalam register buku induk perkara dan
dibuat berkas perkaranya, kemudian berkas perkara diserahkan kepada
panitera untuk kemudian disampaikan kepada ketua Pengadilan
Agama.8
2. Pemeriksaan Perkara
a. Pembukaan Sidang
Pada sidang pertama yang ditetapkan melalui penetapan hari
sidang, suami dan istri harus hadir secara pribadi di persidangan,
kecuali ketika bertempat tinggal di luar negeri (Pasal 82 UU PA).
Apabila pihak tergugat tidak hadir dalam sidang pertama karena
alamat tidak jelas, maka pengadilan mengeluarkan pengumuman
melalui media sebanyak dua kali dengan tenggang waktu selama satu
bulan (Pasal 138 KHI ayat 2), apabila telah diumumkan dan tidak
hadir, maka gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat kecuali gugatan
itu tanpa hak atau tidak beralasan pasal 138 KHI ayat 4).
b. Penanyaan identitas pihak
Setelah sidang dinyatakan terbuka, untuk menghindari error in
persona (keliru mengenai orang) maka hal pertama yang dilakukan
majelis hakim adalah menanyakan identitas pihak-pihak, dimulai dari
penggugat dan selanjutnya tergugat meliputi nama, bin/ti,
7 Harun, Pedoman Pelaksanaan Tugas., 9-10.
8 Harun, Pedoman Pelaksanaan Tugas., 9-12.

7

alias/julukan/gelar/, umur, agama, pekerjaan, dan tempat tinggal
terakhir.
Penanyaan identitas bersifat formal, meskipun majelis hakim
sudah mengenali pihak-pihak tetap harus dilakukan, penanyaan
identitas bersifat kebijaksanaan umum dalam persidangan yang
dilakukan oleh ketua majelis yang bertanggung jawab mengenai arah
pemeriksaan. Selain itu majelis juga menanyakan apakah para pihak
ada/tidak memiliki hubungan darah atau hubungan semenda dengan
para hakim dan panitera yang menyidangkan perkara, untuk
mengantisipasi adanya kewajiban hakim mengundurkan diri dalam
memeriksa perkara.
c. Anjuran damai
Pada sidang pertama jika kedua belah pihak hadir maka
pengadilan berusaha mendamaikan mereka melalui mediasi (Pasal 130
HIR / Pasal 154 RBg jo Pasal 82 UU PA, jo PERMA no. 1 tahun
2008)9, jika berhasil perkara diakhiri dengan perdamaian yang
dituangkan dalam akta perdamaian yang kekuatan hukumnya sama
dengan putusan, tetapi tidak dapat dibanding atau diajukan lagi (Pasal
83 UU PA). Dalam sengketa perceraian, anjuran damai menjadi satu
asas hukum acara Peradilan Agama yang menjadi kewajiban
pemeriksaan.10
Upaya mendamaikan menjadi kewajiban hukum bagi hakim
yang bersifat imperatif terutama dalam sengketa perceraian atas alasan
perselisihan dan pertengkaran. Upaya yang ditempuh oleh hakim
harus berupa usaha yang nyata dan optimal bahkan jika tidak berhasil
pada sidang pertama dapat terus diupayakan selama perkara belum
diputus (Pasal 143 KHI), dan dalam dalam proses tersebut, hakim
dapat meminta bantuan kepada orang atau badan hukum lain yang
ditunjuk, seperti mediator.
d. Pembacaan gugatan
9 Harun, Pedoman Pelaksanaan Tugas., 38-39.
10 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2006), 99.

8

Setelah gugatan dibacakan, sebelum tahap jawaban tergugat,
penggugat berkesempatan untuk menyatakan sikap sehubungan
dengan gugatannya.11 Terdapat kemungkinan sikap penggugat:
1) Mencabut gugatan
Menurut sistem HIR atau R.Bg tidak ada pengaturan
tentang pencabutan gugatan, akan tetapi karena majelis hakim
berperan aktif, majelis hakim dapat menyarankan kepada
penggugat untuk tidak meneruskan perkara yang bersangkutan dan
diupayakan diselesaikan saja diluar sidang pengadilan.12
2) Mengubah gugatan
Pengertian mengubah surat gugatan yang dibolehkan adalah
jika tuntutan yang dimohonkan pengubahan itu tetap berdasarkan
hubungan hukum yang menjadi dasar tuntutan semula. Jadi,
pengubahan yang dimaksud tidak mengubah kejadian materiil
yang menjadi dasar gugatan.13
e. Jawaban tergugat
Didalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat
untuk menjawab gugatan penggugat. Pasal 121 ayat 2 HIR (pasal 145
ayat 2 Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab, baik
secara tertulis maupun lisan.14
f. Replik dan duplik
Setelah tergugat memberikan jawabannya, selanjutnya
kesempatan beralih kepada penggugat untuk memberikan replik yang
menanggapi jawaban tergugat sesuai dengan pendapatnya. Penggugat
mungkin mempertahankan gugatan dan menambah keterangan untuk
memperjelas dalil-dalilnya atau mengubah sikap dengan
membenarkan jawaban/bantahan tergugat.15
Setelah replik penggugat, maka bagi tergugat dapat
membalasnya dengan mengajukan duplik yang kemungkinan sikapnya
11 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 23.
12 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2012), 68.
13 Muhammad, Hukum Acara Perdata., 64.
14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2013), 126.
15 Bintania, Hukum Acara Peradilan., 25.

9

sama seperti replik penggugat. Replik dan duplik (jawab-menjawab)
dapat terus diulangi sampai didapat titik temu atau dianggap cukup
oleh hakim.16
g. Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses pengungkapan fakta-fakta
yang menyatakan bahwa suatu peristiwa hukum benar sudah terjadi.
Peristiwa hukum yang sudah terjadi itu dapat berupa perbuatan,
kejadian, atau keadaan tertentu seperti yang diatur oleh hukum.
Peristiwa hukum yang sudah terjadi tersebut menimbulkan suatu
konsekuensi yuridis, yaitu suatu hubungan hukum yang menjadi dasar
adanya hak dan kewajiban pihak-pihak.17
Pembuktian dalam proses perdata adalah upaya yang dilakukan
para pihak untuk menyelesaikan persengketaan mereka atau untuk
memberi kepastian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu,
dengan menggunakan alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga
dapat dihasilkan suatu penetapan atau putusan oleh pengadilan.18
h. Kesimpulan para pihak
Setelah tahap pembuktian berakhir sebelum dibacakan
keputusan, para pihak diberikan kesempatan untuk memberikan
pendapat akhir yang merupakan kesimpulan mereka terhadap hasil
pemeriksaan selama persidangan. Konklusi sifatnya membantu
Majelis Hakim, pihak yang sudah biasa berperkara biasanya selalu
membuat catatan-catatan penting mengenai persidangan dan catatan
itulah biasanya yang diajukan sebagai konklusi, mengingat hakim
adalah juga manusia biasa yang kemampuan ingatannya juga terbatas,
disamping mungkin ada pergantian majelis hakim dalam persidangan.
Dalam perkara-perkara yang sederhana dan jika memang tidak
diperlukan konklusi para pihak dapat ditiadakan.19
i. Musyawarah majelis Hakim
16 Bintania, Hukum Acara Peradilan., 26.
17 Muhammad, Hukum Acara Perdata., 125.
18 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group. 2012), 21.
19 Rasyid, Hukum Acara Peradilan., 138.

10

Musyawarah majelis hakim merupakan perundingan yang
dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang
diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan di
pengadilan Agama yang berwenang. Musyawarah majelis hakim
dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun
hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Dikatakan rahasia
artinya, baik dikala musyawarah maupun sesudahnya, kapan dan
dimana saja hasil musyawarah majelis tersebut tidak boleh dibocorkan
sampai ia diucapkan dalam keputusan yang terbuka untuk umum.20
j. Putusan Perkara
Pengucapan keputusan dilakukan selalu dalam sidang terbuka
untuk umum sekalipun mungkin dahulunya, karena alasan tertentu
sidang-sidang dilakukan tertutup (Pasal 81 UU PA). Pengucapan
keputusan hanya boleh dilakukan minimal setelah keputusan selesai
terkonsep rapi yang sudah ditandatangani oleh hakim dan panitera
sidang.

20 A. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2009), 275.

11

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perceraian dapat dimaknai dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit, perceraian dimaknai sebagai cerai talak dan cerai gugat.
Sedangkan dalam arti luas, perceraian dapat dimaknai dengan putusnya
perkawinan, yang mencakup di dalamnya kematian suami dan/atau istri
serta pembatalan perkawinan.
Peraturan perundang-undangan yang mendasari perkara perceraian
di Pengadilan agama antara lain adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 174
tentang Perkawinan pasal 38 sampai 41, Kompilasi Hukum Islam pasal
113 sampai 162 dan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama pasal 65 sampai 91.
Pengajuan perkara perceraian dapat dilakukan secara tertulis (surat)
dan secara lisan. Surat tersebut ditujukan ke ketua Pengadilan Agama
tempat istri tinggal, kecuali apabila istri meninggalkan tempat kediaman
tanpa izin suami atau berada di luar negeri.
Prosedur pemeriksaan perkara perceraian diawali dengan
pembukaan sidang, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas
pihak dan anjuran damai. Apabila anjuran damai berhasil, maka perkara
diakhiri dengan perdamaian yang dituangkan dalam akta perdamaian yang
kekuatan hukumnya sama dengan putusan, tetapi tidak dapat dibanding
atau diajukan lagi, apabila gagal maka pemeriksaan dilanjutkan pada
pembacaan gugatan yang kemudian ditanggapi dengan jawaban tergugat.
Setelah itu, agenda persidangan selanjutnya adalah replik dan duplik, yang
diakhiri dengan kesimpulan para pihak untuk kemudian dimusyawarahkan
oleh majelis Hakim dan dilanjutkan dengan pembacaan putusan.

12

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2012).
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. 2012).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009).
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012).
A. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2009).
Hermansyah, “Cerai Gugat 59 Persen Ekonomi Syariah 0,01 Persen”, Badilag
Online, http://www.badilag.net/seputar-ditjen-badilag/seputar-ditjenbadilag/cerai-gugat-59-persen-ekonomi-syariah-001-persen-34 Diakses
tanggal 4 November 2016.
Ibrahim Ahmad Harun, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama (Mahkamah Agung RI: Dirjen Badan Peradilan Agama, 2013) II.
Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Yogyakarta:
Bulan Bintang, 993).
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006).
Sayid Sabiq,Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1992).
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, 2013).
W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1976).

13