Pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi dengan Moderasi Akuntabilitas Pelaporan Keuangan (Studi Kasus pada Kabupaten/Kota se Provinsi Bali Tahun 2007-2013).

(1)

TESIS

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL PADA

PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN MODERASI

AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN

(STUDI KASUS PADA KABUPATEN/KOTA SE-PROVINSI

BALI TAHUN 2007-2013)

DEWA MADE ADI KESUMA YUDHA NIM. 1391662037

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(2)

ii

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL PADA

PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN MODERASI

AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN

(STUDI KASUS PADA KABUPATEN/KOTA SE-PROVINSI

BALI TAHUN 2007-2013)

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Akuntansi, Program Pascasarjana Universitas Udayana

DEWA MADE ADI KESUMA YUDHA NIM. 1391662037

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 15 JANUARI 2016

Pembimbing I,

Dr. Made Gede Wirakusuma, S.E., M.Si., Ak. NIP. 19651122 199203 1 004

Pembimbing II,

Dr. Ni Ketut Rasmini, S.E., M.Si., Ak. NIP. 19661008 199303 2 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Magister Akuntansi Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Dr. Dewa Gede Wirama, S.E., M.S.B.A., Ak. NIP. 19641224 199103 1 002

Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2 001


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada: Tanggal 22 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor: 0348/UN 14.4/HK/2016

Ketua : Dr. Made Gede Wirakusuma, S.E., M.Si., Ak. Anggota:

1. Dr. Ni Ketut Rasmini, S.E., M.Si., Ak. 2. Dr. I Ketut Budiartha, S.E., M.Si., Ak.

3. Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, S.E., M.Si. 4. Dr. Dewa Gede Wirama, SE., M.S.B.A., Ak.


(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama

NIM

Program Studi Judul Tesis

: : : :

Dewa Made Adi Kesuma Yudha 1391662037

Akuntansi

Pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi dengan Moderasi Akuntabilitas Pelaporan Keuangan (Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota Se-Provinsi Bali Tahun 2007-2013)

Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis tesis saya merupakan hasil karya sendiri dan bebas dari plagiasi. Apabila kelak di kemudian hari terbukti terdapat plagiasi dalam karya tulis tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan undang-undang yang berlaku.

Denpasar, 12 Januari 2016 Yang membuat pernyataan,

Dewa Made Adi Kesuma Yudha NIM. 1391662037


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji dan syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung kertha wara nugraha-Nya/karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Made Gede Wirakusuma, S.E., M.Si., Ak., sebagai pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Dr. Ni Ketut Rasmini, S.E., M.Si., Ak., selaku pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Pada kesempatan ini, penulis juga


(7)

vii

menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. A.A.G.P. Widana Putra, S.E., M.Si., Ak., Ketua Jurusan Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta kepada Dr. Dewa Gede Wirama, S.E., M.S.B.A., Ak., selaku Ketua Program Magister Akuntansi Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, yaitu Dr. I Ketut Budiartha, S.E., M.Si., Ak., Dr. I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, S.E., M.Si., dan Dr. Dewa Gede Wirama, S.E., M.S.B.A., Ak., yang telah memberikan masukan, saran, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia melalui Tim Program Beasiswa STAR-BPKP yang telah memberikan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh teman-teman mahasiswa STAR-BPKP khususnya angkatan II yang telah memberikan semangat, motivasi, bantuan dan kontribusinya dalam menyelesaikan tesis ini. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibu yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, memberikan pengorbanan yang besar sehingga tercapainya cita-cita yang diharapkan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini, serta kepada sekeluarga dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan semuanya.


(8)

viii

ABSTRAK

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL PADA

PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN MODERASI

AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN

(STUDI KASUS PADA KABUPATEN/KOTA SE-PROVINSI

BALI TAHUN 2007-2013)

Pertumbuhan ekonomi menjadi penting artinya sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pembangunan di daerah atas penerapan desentralisasi fiskal. Adanya perbedaan hasil penelitian desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemungkinan adanya faktor lain dalam pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi yang menjadi hal menarik untuk diteliti dari sudut pandang teori kontinjensi. Pada penelitian ini, akan ditambahkan variabel akuntabilitas pelaporan keuangan sebagai variabel pemoderasi. Terciptanya suatu pemerintah daerah yang akuntabel menjadi suatu harapan tersendiri bagi masyarakat, sehingga tercipta suatu sistem pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang mengelola dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi dan kemampuan akuntabilitas pelaporan keuangan dalam memoderasi desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi.

Sumber data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan APBD kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2007 sampai dengan 2012 dan laporan PDRB kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2008 sampai dengan 2013 dan opini audit BPK RI untuk kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2007 sampai dengan 2012. Pengujian hipotesis penelitian menggunakan Moderated Regression Analysis (MRA). Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa derajat desentralisasi fiskal berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi yang berarti upaya meningkatkan peran pemerintah daerah dalam proses pembangunan di daerahnya sudah berjalan secara efektif dalam memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi dan akuntabilitas pelaporan keuangan tidak memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam konteks desentralisasi fiskal yang harus lebih ditingkatkan secara optimal. Kepada peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini dengan menambahkan instrumen kuesioner, pengamatan langsung ke pemerintah daerah atau wawancara dengan pihak-pihak terkait untuk hasil yang lebih akurat, dan menambah waktu/periode serta luas wilayah penelitian.

Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Akuntabilitas Pelaporan Keuangan, Pertumbuhan Ekonomi.


(9)

ix ABSTRACT

THE EFFECT OF FISCAL DECENTRALIZATION ON ECONOMIC GROWTH WITH MODERATION OF FINANCIAL REPORTING ACCOUNTABILITY (CASE STUDY OF REGENCIES/CITIES IN

PROVINCE OF BALI IN THE YEAR OF 2007-2013)

Economic growth becomes important as a successful benchmark of development implementation in the region based on the application of fiscal decentralization. The differences of study results for fiscal decentralization on economic growth shows the probability for other factors in the effect of fiscal decentralization on economic growth that is attractive to examined from the viewpoint of the theory of contingency. In this study, the variable of financial reporting accountability will be added as a moderator variable. The creation of accountable regional government becomes a distinctive expectation for public, so that establishing an accountable system of regional government as an entity which will manage and be responsible on the use of regional wealth. The aim of this study is to obtain empirical evidence of the effect of fiscal decentralization on economic growth and the ability of financial reporting accountability in moderating fiscal decentralization on economic growth.

Data source being used is secondary data in the form of APBD report of regencies/cities in Province of Bali in the year of 2007 up to 2012 and PDRB report of regencies/cities in Province of Bali in the year of 2008 up to 2013 and opinion of BPK Republic of Indonesia’s audit for regencies/cities in Province of Bali in the year 2007 up to 2012. The test of research hypothesis is using Moderated Regression Analysis (MRA). The result of hypothesis test shows that the degree of fiscal decentralization has positive impact on economic growth which means that the effort to increase the role of regional government in development process in its region has been running effectively in providing stimuli for economic growth and financial reporting accountability does not moderate the effect of fiscal decentralization on economic growth.

The result of this study can become an input material for regional government in an effort to improve economic growth in the context of fiscal decentralization which should be improved more optimally. To the subsequent researchers that they can develop this study by adding the instrument of questionnaire, direct observation to regional government or interview with related parties for more accurate outcome, and adding the time/period as well as the extent of research area.

Key words: Fiscal Decentralization, Financial Reporting Accountability, Economic Growth.


(10)

x

RINGKASAN

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL PADA

PERTUMBUHAN EKONOMI DENGAN MODERASI

AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN

(STUDI KASUS PADA KABUPATEN/KOTA SE-PROVINSI

BALI TAHUN 2007-2013)

Pertumbuhan ekonomi menjadi penting artinya sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pembangunan di daerah atas penerapan desentralisasi fiskal, kemajuan suatu daerah bisa dilihat dari angka pertumbuhan ekonominya. Desentralisasi fiskal merupakan peluang bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan dan membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dari waktu ke waktu. Pembangunan daerah dalam bidang ekonomi diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan serta pembiayaan agar terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hasil studi desentralisasi fiskal seringkali tidak menghasilkan kesimpulan yang sama diantara para peneliti dan peminat desentralisasi. Adanya perbedaan hasil penelitian desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemungkinan adanya faktor lain dalam pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Teori utama penelitian ini menggunakan Teori Kontinjensi. Dengan didasarkan pada pendekatan kontinjensi maka ada dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi di dalam mempengaruhi situasi tertentu. Pada penelitian ini, akan ditambahkan variabel akuntabilitas pelaporan keuangan sebagai variabel pemoderasi. Terciptanya suatu pemerintah daerah yang akuntabel menjadi suatu harapan tersendiri bagi masyarakat, sehingga tercipta suatu sistem pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang mengelola dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bukti empiris kemampuan akuntabilitas pelaporan keuangan memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun amatan 2007 sampai dengan 2013. Data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder berupa data APBD Kabupaten/Kota se-Bali yang diperoleh dari Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Bali, data PDRB atas dasar harga konstan bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, dan opini yang diberikan BPK RI untuk Kabupaten/Kota se-Bali yang diperoleh pada Pusat Informasi dan Komunikasi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Populasi yang digunakan adalah seluruh APBD beserta opini yang dikeluarkan BPK pada LKPD Kabupaten/Kota se-Bali yang berjumlah 9 (sembilan) Kabupaten/Kota untuk kurun waktu 2007-2012 dan PDRB Kabupaten/Kota se-Bali yang berjumlah 9 (sembilan) Kabupaten/Kota untuk kurun waktu 2008-2013 jadi populasi dalam penelitian ini sebanyak 9 (sembilan) Kabupaten/Kota dikalikan dengan 6 (enam) tahun amatan yang berjumlah 54 amatan. Metode


(11)

xi

pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel jenuh (sensus) dimana seluruh populasi akan dijadikan sampel.

Hasil uji asumsi klasik menunjukkan model layak digunakan. Koefisien determinasi menunjukkan adjusted R square sebesar 0,253, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa variabel desentralisasi fiskal, akuntabilitas pelaporan keuangan, dan interaksi desentralisasi fiskal dengan akuntabilitas pelaporan keuangan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi sebesar 25,3 persen. Sisanya sebesar 74,7 persen pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti. Hasil uji F dengan tingkat signifikansi 0,05 dapat dilihat pada lampiran 9 menunjukkan nilai F test sebesar 6,998 dengan nilai signifikansi 0,01 lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel desentralisasi fiskal, akuntabilitas pelaporan keuangan, dan interaksi desentralisasi fiskal dengan akuntabilitas pelaporan keuangan secara simultan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pengujian hipotesis menunjukkan nilai sigifikansi (Sig. t) 0,00 lebih kecil dari Los (level of significance) 0,05 (α = 5%) dan mempunyai tanda positif pada beta artinya variabel desentralisasi fiskal berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi, sehingga hipotesis H1 diterima. Hal tersebut menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi fiskal sudah memberikan dampak positif yang signifikan pada pertumbuhan ekonomi daerah khususnya untuk kabpaten/kota di Provinsi Bali. Pengujian hipotesis interaksi desentralisasi fiskal dengan akuntabilitas pelaporan keuangan diperoleh nilai signifikansi 0,81 lebih besar dari Los (level of significance) 0,05 (α = 5%), dan hipotesis ditolak. Hal tersebut berarti akuntabilitas pelaporan keuangan tidak memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi daerah khususnya untuk kabupaten/kota di Provinsi Bali.

Simpulan dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, berarti upaya meningkatkan peran pemerintah daerah dalam proses pembangunan di daerahnya melalui peningkatan Pendapan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHPBP) dan total pengeluaran daerah bagi pembangunan di daerahnya sudah berjalan secara efektif dalam memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Hasil analisis desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi dengan akuntabilitas pelaporan keuangan sebagai pemoderasi, menunjukkan bahwa akuntabilitas pelaporan keuangan tidak memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Saran dari penelitian ini adalah kepada Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dalam konteks desentralisasi fiskal seyogyanya harus lebih ditingkatkan secara optimal serta pemberian kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur belanja daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diseimbangkan dengan pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah melalui upaya-upaya optimalisasi pengelolaan keuangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tersebut. Kepada peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini dengan menambahkan instrumen kuesioner, pengamatan langsung ke pemerintah daerah atau wawancara dengan pihak-pihak terkait untuk hasil yang lebih akurat, dan menambah waktu/periode serta luas wilayah penelitian.


(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACK ... ix

RINGKASAN ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Praktis ... 8

1.4.2 Manfaat Teoritis ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Teori Kontinjensi ... 10

2.2 Pertumbuhan Ekonomi ... 11

2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 12

2.4 Desentralisasi Fiskal... 14

2.5 Akuntabilitas ... 17

2.6 Pemeriksaan Keuangan Daerah... 19

BAB III RERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 22

3.1 Rerangka Berpikir ... 22

3.2 Rerangka Konsep Penelitian ... 25

3.3 Hipotesis Penelitian ... 26

3.3.1 Pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi ... 26

3.3.2 Pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi dengan Moderasi Akuntabilitas Pelaporan Keuangan ... 27


(13)

xiii

BAB IV METODE PENELITIAN ... 29

4.1 Rancangan Penelitian ... 29

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 30

4.3 Penentuan Sumber Data ... 31

4.4 Variabel Penelitian ... 31

4.4.1 Identifikasi Variabel ... 31

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 32

4.5 Analisis Data ... 33

4.5.1 Uji Asumsi Klasik ... 33

4.5.1.1 Uji Normalitas Residual ... 34

4.5.1.2 Uji Heteroskedastisitas ... 34

4.5.1.3 Uji Autokorelasi ... 34

4.5.2 Analisis Regresi ... 35

4.5.3 Uji Goodness of fit dan Uji Hipotesis ... 35

4.5.3.1 Uji Koefisien Determinasi(R2) ... 36

4.5.3.2 Uji F ... 36

4.6.3.3 Uji t ... 37

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1 Hasil Penelitian ... 38

5.1.1 Statistik Deskriptif ... 38

5.1.2 Uji Asumsi Klasik ... 40

5.1.2.1 Uji Normalitas Residual ... 40

5.1.2.2 Uji Heteroskedastisitas ... 40

5.1.2.3 Uji Autokorelasi ... 41

5.1.3 Analisis Regresi ... 41

5.1.4 Uji Goodness of fit dan Hipotesis ... 42

5.1.4.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 42

5.1.4.2 Uji F ... 43

5.1.4.3 Uji t ... 43

5.5 Pembahasan ... 44

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 Simpulan ... 48

6.2 Keterbatasan ... 49

6.3 Saran ... 49


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman 5.1 Statistik Deskriptif ... 39 5.2 Analisis Regresi Moderasi ... 41


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 3.1 Rerangka Berpikir ... 24 3.2 Konsep Penelitian... 25 4.1 Rancangan Penelitian ... 30


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Ringkasan Penelitian Sebelumnya ... 58

2 Pertumbuhan Ekonomi kabupaten/kota Di Provinsi Bali Tahun 2008-2013 ... 67

3 Derajat Desentralisasi Fiskal (PAD pada TPD) kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2007-2012 ... 69

4 Derajat Desentralisasi Fiskal (BHPBP pada TPD) kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2007-2012 ... 72

5 Derajat Desentralisasi Fiskal (Total Pengeluaran Pemda pada TPD) kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2007-2012 ... 75

6 Derajat Desentralisasi Fiskal (Dikompositkan) kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2007-2012 ... 78

7 Opini BPK RI kabupaten/kota di Provinsi Bali Tahun 2007-2012 ... 80

8 Statistik Deskriptif Data Uji ... 81

9 Regresi Moderasi ... 82

10 Uji Normalitas ... 83

11 Uji Autokorelasi ... 84


(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah dilaksanakan untuk memeratakan dan menyebarluaskan pembangunan di daerah dengan tujuan untuk menyerasikan dan menyeimbangkan atau memperkecil perbedaan tingkat laju pertumbuhan antar daerah, serta memadukan seluruh kegiatan pembangunan di daerah dalam rangka menunjang keberhasilan pembangunan nasional secara menyeluruh (Sibero; 1985). Pembangunan ekonomi suatu daerah (region) berkaitan erat dengan potensi ekonomi dan karakteristik yang dimiliki oleh daerah serta adanya keterkaitan (linkage) kegiatan ekonomi antar daerah sekitarnya. Potensi ekonomi maupun karakteristik yang dimiliki suatu daerah pada umumnya berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya (Glasson: 1977).

Pertumbuhan ekonomi menjadi penting artinya sebagai tolok ukur keberhasilan pelaksanaan pembangunan di daerah atas penerapan desentralisasi fiskal, kemajuan suatu daerah bisa dilihat dari angka pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi juga sebagai cerminan atas peningkatan ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup, serta dapat juga menjadi barometer peningkatan standar hidup penduduk yang jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan perkataan lain, kemampuan dari suatu negara atau daerah untuk meningkatkan standar hidup penduduknya dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonominya dalam jangka panjang (long run rate of economic growth) (Muana Naga, 2005).


(18)

2 Era baru Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia efektif dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001. Proses pelaksanaannya juga diwarnai dengan berbagai penyempurnaan pada kedua UU yang telah ada. Pada tahun 2004 dikeluarkan UU otonomi daerah yang baru, yakni UU no. 32 tahun 2004 mengganti UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta UU no. 33 tahun 2004 mengganti UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD). Desentralisasi fiskal merupakan peluang bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan dan membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerahnya masing-masing untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik dari waktu ke waktu. Pembangunan daerah dalam bidang ekonomi diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan serta pembiayaan agar terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.

Secara prinsipil, munculnya gagasan tentang desentralisasi merupakan suatu antithesis atas struktur politik yang sentralistis. Dengan kata lain, karena struktur politik yang sentralistis cenderung melakukan unifikasi kekuasaan politik pada tangan pemerintah pusat, maka sebaliknya desentralisasi mengajukan gagasan tentang pembagian kekuasaan politik, dan/atau wewenang administrasi antara pemerintah pusat dan daerah (Hidayat, 2005). Lebih jauh, mengutip pendapat Kuncoro (2004) menyatakan bahwa timbulnya perhatian pada desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya perencanaan terpusat dan populernya strategi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equality), tetapi juga adanya kesadaran bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuh ketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan direncanakan dari pusat. Karena itu dengan penuh keyakinan


(19)

3

para pelopor desentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumen tentang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan dan administrasi di negara dunia ketiga. Perhatian pada desentralisasi fiskal sebagai mesin pertumbuhan ekonomi ini tidak hanya terbatas pada negara-negara berkembang, tetapi juga muncul dan menjadi agenda utama negara-negara OECD (Vazquez and McNab, 2001).

Desentralisasi fiskal meningkatkan pendapatan dan meningkatkan efisiensi dalam sektor publik dan memotong defisit anggaran, serta menaikkan pertumbuhan ekonomi (Bird, 1993; Bird, Wallich, 1993; dan Bahl, Linn, 1992). Menurut Vazquez and McNab (2001) dua alasan mengenai efisiensi desentralisasi fiskal adalah, pertama, apabila pemerintah lokalnya cerdas dan mampu membaca keinginan konstituennya maka akan mudah dalam mengadaptasi kebijakan pengeluarannya, sehingga dengan hal tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan individu (consumer efficiency). Kedua, pembelanjaan dana di tingkat lokal akan mendorong “producer efficiency” akibat pelayanan yang lebih murah dalam penyediaan infrastruktur.

Hasil studi desentralisasi fiskal seringkali tidak menghasilkan kesimpulan yang sama diantara para peneliti dan peminat desentralisasi. Ada beberapa perbedaan pendapat dengan masing-masing pihak memiliki argumentasi logis serta telah membuktikannya secara empiris. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, hasil studi dari beberapa ahli seperti Davoodi and Zou (1998) serta Woller dan Phillips (1998) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal tidak mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Zhang and Zou (1998) serta Xie, Zou, and Davoodi (1999) mendapatkan hasil bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dan kurang menguntungkan bagi pembangunan. Sebaliknya, hasil studi Iimi (2005) dan Malik, Hassan, dan Hussein


(20)

4 (2006) menunjukkan hasil berbeda, yakni bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Atas fenomena ini, Breuss and Eller (2004) menyatakan bahwa ada efek embivalen dalam hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit untuk menarik rekomendasi yang tepat tentang bagaimana desentralisasi yang optimal. Lebih lanjut Breuss and Eller menyimpulkan bahwa tidak ada kejelasan, atau hubungan otomatis desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi.

Adanya perbedaan hasil penelitian desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemungkinan adanya faktor lain dalam pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian ini, akan ditambahkan variabel akuntabilitas pelaporan keuangan sebagai variabel pemoderasi. Pemerintah daerah harus mengelola dan melaporkan keuangannya secara akuntabel dan transparan. UU No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 yang disempurnakan dengan PP No. 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) mewajibkan pemerintah pada setiap level baik pusat maupun daerah untuk menyusun laporan keuangan. Laporan keuangan ini kemudian akan diperiksa oleh auditor eksternal pemerintah yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara berkala. Penyusunan dan pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) merupakan langkah untuk mewujudkan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan pemerintah.

Desentralisasi fiskal juga harus didukung dengan mekanisme good public governance khususnya dalam konteks pemerintahan atau tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Beberapa tujuan utama penerapan good governance dalam sektor pemerintahan adalah meningkatkan akuntabilitas, partisipasi, transparansi dan


(21)

5

kinerja publik dalam urusan pemerintahan (Kapucu, 2009). Otonomi daerah pada dasarnya diberikan kepada daerah agar pemerintah daerah dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas pemerintah daerah untuk tercapainya good governance. (Mardiasmo, 2009). Namun menurut Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti (2007) sejak diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di pemerintah daerah yang meningkat. Terciptanya suatu pemerintah daerah yang akuntabel menjadi suatu harapan tersendiri bagi masyarakat, sehingga tercipta suatu sistem pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang mengelola dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan wewenang pengelolaan beberapa urusan pemerintah pusat ke daerah mengharuskan reformasi pengelolaan pemerintah pada berbagai aspek termasuk pengelolaan keuangan daerah (Carnegie, 2005). Pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan keuangan pemerintahnya. Hasil penelitian Huther dan Shah (1998) di 80 negara menunjukkan bahwa desentralisasi memiliki korelasi positif dengan kualitas pemerintahan (Mardiasmo, 2009). Terciptanya suatu pemerintah daerah yang akuntabel menjadi suatu harapan tersendiri bagi masyarakat, sehingga tercipta suatu sistem pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang mengelola dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah. Menurut Mardiasmo (2009) akuntabilitas pada organisasi sektor publik, mempunyai arti bahwa pada pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan keagenan (teori keagenan) antara masyarakat sebagai principal dan pemerintah sebagai agent.


(22)

6 Menurut Lane (2000) dalam organisasi publik, teori keagenan dapat juga diterapkan. Dari konsep teori keagenan inilah bisa terjadi information asymmetry antara pihak pemerintah (agent) yang memiliki akses langsung pada informasi dengan pihak masyarakat (principal). Karena terjadi information asymmetry bisa menyebabkan terjadinya korupsi atau penyelewengan oleh agent (pemerintah). Untuk menghindari terjadinya korupsi di pemerintahan daerah, maka pengelolaan pemerintah daerah harus akuntabel dan diperlukan sistem pengawasan yang handal. Dengan terciptanya pemerintah daerah yang akuntabel berarti semakin sedikit terjadinya permasalahan information asymmetry, sehingga semakin sedikit peluang terjadinya penyelewengan atau korupsi oleh pihak pemerintah daerah (agent).

LKPD menggambarkan tingkat akuntabilitas keuangan pemerintah daerah yang menjadi kebutuhan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga untuk mengetahui akuntabilitas laporan keuangan pemerintah daerah sangat penting untuk selalu dilakukan audit atas LKPD oleh pihak independen (BPK RI) (Heriningsih dan Marita, 2013). Laporan hasil audit oleh BPK RI dapat berupa opini auditor, diantaranya terdapat lima jenis pendapat auditor (BPK). Apabila opini auditor unqualified opinion dan unqualified opinion with modified wording maka menunjukkan akuntabilitas suatu pemeritah daerah semakin bagus dan diharapkan akan mengurangi terjadinya korupsi. Sedangkan jika opini qualified opinion, adverse opinion, dan disclaimeropinion, maka masih ada kemungkinan terjadi salah saji yang material sehingga dapat juga mengindikasikan bisa terjadi korupsi. Dari penjelasan tersebut di atas dapat diartikan bahwa jika desentralisasi fiskal yang didukung dengan pelaporan keuangan suatu daerah yang akuntabel maka aliran dana untuk pembangunan daerah tersebut sudah teralokasi dengan benar yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah


(23)

7

tersebut, tetapi jika pelaporan keuangan daerah tersebut tidak akuntabel maka aliran dana untuk pembangunan daerah tersebut tidak teralokasi dengan benar yang akan menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tersebut.

Berdasarkan uraian diatas, fokus penelitian ini untuk mengetahui kemampuan akuntabilitas pelaporan keuangan dalam memperkuat pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan desentralisasi fiskal dengan merujuk penelitian Musgrave dan Musgrave (1991: 68) pada (Halim dan Damayanti, 2007), yang diukur dengan derajat desentralisasi fiskal dari sisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada Total Penerimaan Daerah (TPD), Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHPBP) pada Total Penerimaan Daerah (TPD), dan Total Pengeluaran Pemerintah Daerah pada Total Penerimaan Daerah (TPD). Akuntabilitas pelaporan keuangan yang merupakan cerminan pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat dalam mengelola sumber daya publik yang diukur dengan opini audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diduga dapat memperkuat desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini diukur dengan peningkatan PDRB setiap tahunnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1) Apakah desentralisasi fiskal berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi?

2) Apakah akuntabilitas pelaporan keuangan memoderasi desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi?


(24)

8 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan uraian latar belakang secara umum tujuan penelitian ini untuk mendapatkan bukti pengaruh desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Provinsi Bali pada peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini membahas pengaruh desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi dalam konteks otonomi daerah, untuk:

1) Mendapatkan bukti empiris pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi.

2) Mendapatkan bukti empiris kemampuan akuntabilitas pelaporan keuangan dalam memoderasi desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi pembuat kebijakan yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya daerah Provinsi Bali sebagai objek penelitian dalam upaya mendorong perekonomian daerah sehingga proses kebijakan desentralisasi ke daerah dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan yang disesuaikan dengan kemampuan manajemen pengelolaan keuangan Provinsi Bali untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengawasi penggunaan dana yang digunakan untuk pembangunan daerah agar pengelolaannya lebih akuntabel.


(25)

9

1.4.2 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian untuk pengembangan teori kontinjensi dalam hubungan desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi serta menjadi bahan bacaan bagi penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama.


(26)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Teori utama penelitian ini menggunakan Teori Kontinjensi didukung dengan Teori Pertumbuhan Ekonomi, Desentralisasi Fiskal, dan Akuntabilitas. Dengan didasarkan pada pendekatan kontinjensi maka ada dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi di dalam mempengaruhi situasi tertentu. Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang bisa digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan.

2.1 Teori Kontinjensi

Pendekatan kontinjensi yang digunakan para peneliti dalam penelitian seperti ini adalah dalam rangka memberikan masukan faktor-faktor yang sebaiknya dipertimbangkan dalam perancangan penelitian. Govindarajan (1986) dalam Sukardi (2002) mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari berbagai hasil penelitian, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontinjensi (contingency approach). Beberapa penelitian dalam akuntansi menggunakan pendekatan kontinjensi adalah untuk melihat hubungan variabel-variabel konstektual seperti ketidakpastian lingkungan (Otley, 1980). Pendekatan kontijensi pada akuntansi didasarkan pada premis bahwa tidak ada sistem akuntansi secara universal selalu tepat untuk bisa diterapkan pada seluruh organisasi dalam setiap keadaan, tetapi dipenaruhi juga oleh faktor-faktor situasional yang ada dalam organisasi (Hanu, 2006). Adopsi teori kontijensi pada akuntansi muncul sebagai suatu kebutuhan untuk menginterpretasikan hasil riset empiris (Hanu, 2006). Tujuan akhir sebuah organisasi dalam beroperasi


(27)

11

menurut Teori Kontijensi adalah agar bisa bertahan (survive) dan bisa tumbuh (growth) atau disebut juga keberlangsungan (viability). Teori kontijensi memberi penekanan pada perlunya memfokuskan pada perubahan dengan asumsi tidak ada satu aturan atau hukum yang memberi solusi terbaik untuk setiap waktu, tempat, semua orang atau semua situasi.

2.2 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil (Cahyono dan Darwanto, 2002). Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output produksi riil. Pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu indikator penting yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kemajuan pembangunan suatu daerah. Bahkan teori ekonomi klasik mengisyaratkan bahwa indikator ini merupakan indikator yang paling penting untuk menilai tingkat keberhasilan pembangunan di suatu daerah.

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda dengan daerah lain. Perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah dimulai dari perlunya mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain sehingga tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Penyusunan strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah (Cahyono dan Darwanto, 2002). Laju


(28)

12

pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung dengan formula (Sularso dan Restianto, 2011):

Keterangan :

G : Pertumbuhan Ekonomi

PDRBt : Produk Domestik Regional Bruto Tahun t

PDRBt−1 : Produk Domestik Regional BrutoTahunt−1

2.3 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk domestik regional bruto (PDRB) pada dasarnya merupakan total nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu unit region dalam periode tertentu (Bappeda dan BPS Provinsi Bali, 2014:13). Untuk menghitung PDRB, terdapat 3 metode perhitungan yang digunakan yaitu:

1) Dari sisi produksi, PDRB merupakan jumlah nilai produk barang-barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi sembilan lapangan usaha yaitu:

(1) Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan (2) Pertambangan dan Penggalian

(3) Industri Pengolahan

(4) Listrik, Gas dan Air Bersih (5) Bangunan

(6) Perdagangan, Hotel dan Restoran (7) Pengangkutan dan Komunikasi G =

PDRBt−1

………. 2.1


(29)

13

(8) Lembaga Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan (9) Jasa-jasa termasuk pelayanan pemerintah

2) Dari segi pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya dalam satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Selain variabel-variabel tersebut, penyusutan, pajak tidak langsung dan subsidi merupakan bagian yang harus diperhitungkan dalam penyusunan PDRB melalui pendekatan pendapatan ini.

3) Dari segi pengeluaran, PDRB merupakan jumlah pengeluaran yang digunakan untuk konsumsi rumah tangga, lembaga sosial yang tidak mencari untung, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan persediaan barang dan ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor.

Secara teoritis agregat PDRB dibedakan menjadi: 1) PDRB atas dasar harga berlaku

PDRB atas dasar harga berlaku diperoleh dari jumlah produksi, nilai pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun yang bersangkutan.

2) PDRB atas dasar harga konstan

PDRB atas dasar harga konstan diperoleh dari jumlah produksi, nilai pendapatan atau pengeluaran yang dinilai sesuai dengan harga yang berlaku pada tahun dasar.


(30)

14

2.4 Desentralisasi Fiskal

Terminologi desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup territorial suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005).

Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 1995). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya,


(31)

15

baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999):

1) Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.

2) Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.

3) Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.

Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan.

Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada


(32)

16

pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.

Menurut Halim (2001: 27), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu,


(33)

17

untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991: 68) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (Halim dan Damayanti, 2007):

2.5 Akuntabilitas

Akuntabilitas muncul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang menerima amanah harus memberikan informasi mengenai implementasi amanah yang telah dipercayakan kepadanya dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dirasakan baik yang mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan.

Untuk organisasi yang bertujuan laba (profit organization), dalam rangka penilaian kinerja (performance evaluation), konsep dasar akuntabilitas yang menekankan pada controllable dan uncontrollable costs pada tiap bagian dalam organisasi sudah lama digunakan. Implementasi akuntabilitas untuk pengukuran kinerja

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.2 Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHPBP)

Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.3 Total Pengeluaran Pemerintah Daerah

Total Penerimaan Daerah (TPD)


(34)

18

pada organisasi nirlaba banyak mengalami kesulitan, terutama dalam upaya penetapan indikator keberhasilan. Dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan segala kegiatan yang dilakukan sesuai dengan mandat/amanah yang diembannya kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Hal yang dipertanggungjawabkan adalah kinerja (keberhasilan dan kegagalan) yang dicapai organisasi (Mansfield, 1982 and Kearns, 1996).

Akuntabilitas berkenaan dengan kewajiban untuk menjawab (obligation to answer) terhadap amanah dan implementasi amanah/mandat tersebut, Ghartey (1997) menyebutkan bahwa akuntabilitas dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship-apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, bagaimana proses implementasi amanah, apa hasil yang telah dicapai, dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan birokrasi, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban pada otoritas yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan kebijakan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas tersebut.

Pemahaman atas akuntabilitas akan menimbulkan kesadaran bahwa implementasi akuntabilitas akan memberikan kemampuan yang lebih besar bagi organisasi untuk lebih kompetitif dengan pencapaian kinerja secara optimal (Epstein and Birchard, 1999). Akuntabilitas menitikberatkan pada efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, harta kekayaan, sumber daya manusia, dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini juga menitikberatkan pada peranan manajer atau pengawas.


(35)

19

Akuntabilitas pada dasarnya memberikan perhatian kepada pencapaian hasil organisasi. (Salleh dan Iqbal, 1995).

Mohammad dkk (2004) menyebutkan bahwa akuntabilitas merupakan elemen penting dalam good governance. Good governance dipandang sebagai paradigma baru dalam manajemen pembangunan dan menjadi ciri yang harus ada dalam sistem administrasi publik; yang ada dalam penyelenggaraan-nya harus secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administrasi efisien. Demikian pula dengan good corporate governance, yang merupakan cara dunia usaha melaksanakan praktek bisnis secara sehat, transparan dan akuntabel yang dilandasi oleh integritas para penyelenggaranya.

2.6 Pemeriksaan Keuangan Daerah

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menjelaskan fungsi pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Jadi, proses pemeriksaan dilakukan untuk memastikan keandalan dan akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan pengelolaan keuangan daerah.

Audit yang dilakukan oleh BPK berfungsi untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dan pelaporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan BPK berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan keuangan dengan tujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan


(36)

20

keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai prinsip akuntansi pemerintah (SAP) (Fontanella dan Rossieta, 2014). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara, opini audit merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Dalam melakukan proses pemeriksaan BPK tidak hanya memberikan opini atas laporan keuangan tersebut, tetapi juga melaporkan hasil pemeriksaan, baik terhadap sistem pengendalian internal maupun kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan. BPK memberikan lima jenis opini audit yaitu:

1) Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Opini wajar tanpa pengecualian merupakan opini tertinggi yang diberikan oleh BPK terhadap LKPD. Opini ini menjelaskan bahwa laporan keuangan telah diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga informasi dalam laporan keuangan tersebut dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan untuk mengambil keputusan.

2) Opini Wajar Tanda Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas, (Unqualified Opinion with Modified Wording)

Opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas mulai muncul sejak tahun 2010. Dalam kondisi tertentu auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelas dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan itu sendiri.

3) Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Opini Wajar Dengan Pengecualian merupakan opini yang paling sering muncul pada opini LKPD periode 2009-2011. Opini menyatakan bahwa


(37)

21

laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, namun terdapat hal-hal tertentu yang dikecualikan.

4) Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion)

Opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga informasi keuangan dalam LKPD tidak dapat digunakan.

5) Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)

Opini tidak memberikan pendapat adalah opini terburuk yang dikeluarkan oleh BPK terhadap audit atas LKPD. Opini menyatakan menolak memberikan opini dan sekaligus menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan.


(1)

pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.

Menurut Halim (2001: 27), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu,


(2)

untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991: 68) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (Halim dan Damayanti, 2007):

2.5 Akuntabilitas

Akuntabilitas muncul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang menerima amanah harus memberikan informasi mengenai implementasi amanah yang telah dipercayakan kepadanya dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dirasakan baik yang mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan.

Untuk organisasi yang bertujuan laba (profit organization), dalam rangka penilaian kinerja (performance evaluation), konsep dasar akuntabilitas yang menekankan pada controllable dan uncontrollable costs pada tiap bagian dalam organisasi sudah lama digunakan. Implementasi akuntabilitas untuk pengukuran kinerja

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.2 Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHPBP)

Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.3 Total Pengeluaran Pemerintah Daerah

Total Penerimaan Daerah (TPD)


(3)

pada organisasi nirlaba banyak mengalami kesulitan, terutama dalam upaya penetapan indikator keberhasilan. Dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan segala kegiatan yang dilakukan sesuai dengan mandat/amanah yang diembannya kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Hal yang dipertanggungjawabkan adalah kinerja (keberhasilan dan kegagalan) yang dicapai organisasi (Mansfield, 1982 and Kearns, 1996).

Akuntabilitas berkenaan dengan kewajiban untuk menjawab (obligation to answer) terhadap amanah dan implementasi amanah/mandat tersebut, Ghartey (1997) menyebutkan bahwa akuntabilitas dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship-apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, bagaimana proses implementasi amanah, apa hasil yang telah dicapai, dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan birokrasi, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban pada otoritas yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan kebijakan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas tersebut.

Pemahaman atas akuntabilitas akan menimbulkan kesadaran bahwa implementasi akuntabilitas akan memberikan kemampuan yang lebih besar bagi organisasi untuk lebih kompetitif dengan pencapaian kinerja secara optimal (Epstein and Birchard, 1999). Akuntabilitas menitikberatkan pada efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, harta kekayaan, sumber daya manusia, dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini juga menitikberatkan pada peranan manajer atau pengawas.


(4)

Akuntabilitas pada dasarnya memberikan perhatian kepada pencapaian hasil organisasi. (Salleh dan Iqbal, 1995).

Mohammad dkk (2004) menyebutkan bahwa akuntabilitas merupakan elemen penting dalam good governance. Good governance dipandang sebagai paradigma baru dalam manajemen pembangunan dan menjadi ciri yang harus ada dalam sistem administrasi publik; yang ada dalam penyelenggaraan-nya harus secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administrasi efisien. Demikian pula dengan good corporate governance, yang merupakan cara dunia usaha melaksanakan praktek bisnis secara sehat, transparan dan akuntabel yang dilandasi oleh integritas para penyelenggaranya.

2.6 Pemeriksaan Keuangan Daerah

Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menjelaskan fungsi pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Jadi, proses pemeriksaan dilakukan untuk memastikan keandalan dan akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan pengelolaan keuangan daerah.

Audit yang dilakukan oleh BPK berfungsi untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dan pelaporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan BPK berpedoman pada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan pemeriksaan keuangan dengan tujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan


(5)

keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai prinsip akuntansi pemerintah (SAP) (Fontanella dan Rossieta, 2014). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara, opini audit merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Dalam melakukan proses pemeriksaan BPK tidak hanya memberikan opini atas laporan keuangan tersebut, tetapi juga melaporkan hasil pemeriksaan, baik terhadap sistem pengendalian internal maupun kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan. BPK memberikan lima jenis opini audit yaitu:

1) Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion)

Opini wajar tanpa pengecualian merupakan opini tertinggi yang diberikan oleh BPK terhadap LKPD. Opini ini menjelaskan bahwa laporan keuangan telah diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga informasi dalam laporan keuangan tersebut dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan untuk mengambil keputusan.

2) Opini Wajar Tanda Pengecualian Dengan Paragraf Penjelas, (Unqualified Opinion with Modified Wording)

Opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas mulai muncul sejak tahun 2010. Dalam kondisi tertentu auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelas dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan itu sendiri.

3) Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

Opini Wajar Dengan Pengecualian merupakan opini yang paling sering muncul pada opini LKPD periode 2009-2011. Opini menyatakan bahwa


(6)

laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material, namun terdapat hal-hal tertentu yang dikecualikan.

4) Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion)

Opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal yang material sehingga informasi keuangan dalam LKPD tidak dapat digunakan.

5) Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion)

Opini tidak memberikan pendapat adalah opini terburuk yang dikeluarkan oleh BPK terhadap audit atas LKPD. Opini menyatakan menolak memberikan opini dan sekaligus menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan.