Paparan Pestisida dan Kondisi Kesehatan Petani Hortikultura Pengguna Pestisida dan Keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.

(1)

i

TESIS

PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KELUHAN KESEHATAN PETANI

HORTIKULTURA DAN KELUARGANYA DI DESA

PANCASARI KECAMATAN SUKASADA

KABUPATEN BULELENG

IDA AYU DWI ASTUTI MINAKA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TESIS

PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KELUHAN KESEHATAN PETANI

HORTIKULTURA DAN KELUARGANYA DI DESA

PANCASARI KECAMATAN SUKASADA

KABUPATEN BULELENG

IDA AYU DWI ASTUTI MINAKA

NIM 1492161047

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KELUHAN KESEHATAN PETANI

HORTIKULTURA DAN KELUARGANYA DI DESA

PANCASARI KECAMATAN SUKASADA

KABUPATEN BULELENG

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

IDA AYU DWI ASTUTI MINAKA

NIM 1492161047

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai

oleh Panitia Penguji pada

Progam Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 18 Juli 2016

Berdasarkan SK Rektorat Universitas Udayana

No.

: 3257/UN 14.4/HK/2016

Tanggal

: 18 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis adalah:

Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

Anggota :

1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH

2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp. PD

3. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si.

4. Ir. Nengah Sujaya, M.Agr, Sc, PhD.


(5)

v

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama

: Ida Ayu Dwi Astuti Minaka

NIM

: 1492161047

Program Studi

: Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis

: Dampak Penggunaan Pestisida Terhadap Keluhan

Kesehatan Petani Hortikultura dan Keluarganya di Desa

Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI Nomor 17,

tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Denpasar, Juli 2016


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan anugrah-Nyalah penulis

dapat menyelesaikan p

enelitian yang berjudul “

Penggunaan Pestisida dan

Hubungannya dengan Keluhan Kesehatan Petani Hortikultura dan

Keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng

tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. dr.

Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku pembimbing I yang telah berkenan

memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperoleh bimbingan dan arahan

selama penulis menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula

penulis sampaikan kepada Ibu dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH selaku

pembimbing II yang telah dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan

bimbingan, arahan, dan saran kepada penulis.

Ucapan terima kasih penulis juga tujukan kepada Rektor Universitas

Udayana Bapak Prof. Dr. dr.I Ketut Suastika, Sp.PD(KEMD) atas kesempatan

dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program

Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih

ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Ibu Prof. Dr. dr.A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan

kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada Program

Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih

kepada Bapak Prof. dr.Dewa Nyoman Wirawan, MPH selaku ketua PS MIKM

Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima

kasih kepada sekretariat PS MIKM Universitas Udayana, Koordinator Peminatan

Epidemiologi Lapangan PS MIKM Universitas Udayana, dan seluruh dosen dan

staf PS MIKM Universitas Udayana.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Desa

Pancasari, Ketua Gapoktan Desa Pancasari dan seluruh pihak yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan ijin serta telah banyak

membantu penulis dalam penyelesaian penelitian ini. Akhirnya penulis ucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua beserta keluarga besar

penulis yang telah memberikan dukungan moral dan material kepada penulis

untuk menyelesaikan penelitian ini.

Denpasar, Juli 2016


(7)

vii

ABSTRAK

PENGGUNAAN PESTISIDA DAN HUBUNGANNYA DENGAN

KELUHAN KESEHATAN PETANI HORTIKULTURA DAN

KELUARGANYA DI DESA PANCASARI KECAMATAN SUKASADA

KABUPATEN BULELENG

Pestisida digunakan secara luas dalam bidang pertanian untuk membunuh

organisme pengganggu tanaman. WHO memperkirakan bahwa keracunan

pestisida menyumbang 300.000 kematian per tahun diseluruh dunia terutama di

negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Desa Pancasari merupakan

salah satu daerah pertanian di Provinsi Bali dengan penggunaan pestisida yang

tinggi. Hasil pemeriksaan

cholinesterase

di desa tersebut menemukan tingkat

keracunan pada petani yang tinggi dibandingkan dengan desa-desa pertanian

lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku penggunaan pestisida,

alat pelindung diri (APD) dan hubungannya dengan keluhan kesehatan petani.

Penelitian survei

cross sectional

dilakukan pada 87 petani hortikultura di

Desa Pancasari. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan

kuesioner dan observasi. Data tentang karakteristik sosiodemografi, pengetahuan

dan perilaku dalam menggunakan pestisida dan APD dihubungkan dengan

keluhan kesehatan akibat pestisida (sakit kepala, gatal-gatal, kelelahan meningkat

dan mual). Keluhan kesehatan ditentukan apabila terdapat minimal dua keluhan

dari empat keluhan tersebut. Hubungan kedua variabel pada analisis bivariat

menggunakan uji

chi square

dan analisis multivariate menggunakan uji regresi

logistic.

Mayoritas (94,3%) petani beru

mur ≥30 tahun, jenis kelamin laki

-laki

(81,6%) dengan pendidikan menengah kebawah (78,2%). Lebih dari setengahnya

(54,1%) petani memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai pestisida dan

APD namun perilakunya masih buruk. Sebanyak 60,9% petani dijumpai

mengalami keluhan kesehatan spesifik akibat pestisida dengan faktor-faktor yang

terbukti berhubungan yaitu menggunakan pestisida golongan organophosfat

(AOR=3,74; 95% CI: 1,33-10,48), lama hari pemakaian baju kerja sebelum dicuci

(AOR=1,37; 95% CI: 1,08-1,75), tidak menggunakan baju panjang pada saat

pencampuran (AOR=0,25;95% CI: 0,09-0,76) dan masker pada saat

penyemprotan (AOR=0,18; 95% CI: 0,05-0,69).

Risiko paparan pestisida tidak hanya terjadi pada petani penyemprot saat

penyemprotan namun juga terjadi mulai dari pencampuran sampai dengan

penanganan pestisida serta aktifitas lainnya di areal pertanian. Hal ini juga

ditunjukkan dengan adanya keluhan kesehatan pada keluarga petani yang hampir

sama dengan keluhan spesifik dari petani penyemprot diantaranya sakit kepala,

gatal-gatal dan mual. Hasil analisis kluster menunjukkan separuh keluarga petani

masih dalam paparan risiko rendah (44,83%) sedangkan sisanya berada dalam

risiko sedang (47,12%) dan tinggi (8,05%).

Kata kunci: Penggunaan Pestisida, Keluhan Kesehatan, Petani Hortikultura,

Keluarga Petani


(8)

viii

ABSTRACT

PESTICIDE USE AND THE CORRELATION WITH HEALTH

COMPLAINTS AMONG HORTICULTURE FARMER AND THEIR

FAMILY IN PANCASARI SUKASADA BULELENG

Pesticides are widely used in agricultural production to prevent or control

pests, diseases, weeds, and other plant pathogens. According to estimates by the

World Health Organization (WHO) that 300.000 death cases of pesticide

intoxication occur in workers who work in agriculture regions especially in

low-middle income country. Pancasari is one of the agricultural centers on the

Province of Bali which still uses the high level of chemical pesticides. Based on

the result of cholinesterase examination was conducted in this region, the toxicity

to the famers is considered in high level compared with other famers in other

different villages. This study aims to discover the behavior of horticulture farmers

in using pesticide, personal protective equipments (PPE) and the correlation with

their health complaints.

The method of this study was based on cross

sectional which was carried

out on eighty seven (87) horticulture farmers (respondents) who were selected

purposively as the samples of this research. The respondents (famers) were

interviewed and observed directly by means of structured questionnaires and

observations papers. The characteristics of the sosiodemografi data, the

knowledge and the behavior in using pesticides, and personal protective

equipments were related to the health complaints due to poison effect of pesticide

use (headache, skin irritation, fatigue and nausea).The indication of health

complaints were determined by, at least, two minimal health complaint categories

among four common health complaints. The correlation of both variables which

based on bivariat analysis uses chi square test and multivariate analysis which

uses logistic regression test.

Majority of the farmers (94.3%) were under 30 years old and 81.6%

among them were male with secondary education down (78.2). Actually, more

than a half (51.4%) of the farmers had good enough knowledge about pesticide

and personal protective equipments. However, in terms of the implementation,

they had bad and risky behaviors. The majority of the farmers (60.9%) in this

study were suffering from specific health complaints due to the poison effects of

the type of organophosfat pesticide use (AOR =3.74 ;95% CI : 1.33-10.48), the

couple day use of work cloth before being washed ( AOR=1.37 ; 95% CI :

1.08-1.75), no using long sleeves when mixing process of pesticide ( AOR =0.25 ; 95%

CI : 0.09-0.76), no using mask when spraying activity (AOR=0.18;95% CI

:0.05-0.69).

Keyword: Pesticide use, health complaint, horticulture farmer, farmworker

family.


(9)

ix

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM ... ii

LEMBAR PERSYARATAN GELAR ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT

... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3

Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum ... 7

1.3.2

Tujuan Khusus ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1

Manfaat Praktis ... 8

1.4.2

Manfaat Teoritis ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1

Pestisida ... 10

2.1.1

Pengertian Pestisida ... 10

2.1.2

Penggolongan Pestisida ... 10

2.1.3

Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pestisida ... 17


(10)

x

2.2.1

Pengaruh Pestisida Terhadap Kesehatan ... 20

2.2.2

Faktor-Faktor

yang

Mempengaruhi

Keracunan

Pestisida ... 23

2.2.3

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku/Praktik ... 31

BAB III KERANGKA

BERPIKIR,

KONSEP

DAN

HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ... 34

3.2 Konsep Penelitian ... 36

3.3 Hipotesis ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1

Rancangan Penelitian ... 38

4.2

Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

4.2.1 Tempat Penelitian ... 38

4.2.2 Waktu Penelitian ... 39

4.3

Ruang Lingkup Penelitian ... 39

4.4

Penentuan Sumber Data ... 39

4.4.1

Populasi Penelitian... 39

4.4.2

Kriteria Sampel Penelitian ... 39

4.4.3

Teknik Pengambilan Sampel ... 41

4.4.4

Cara Pengambilan Sampel ... 41

4.5

Variabel Penelitian ... 42

4.5.1

Variabel Penelitian... 42

4.5.2

Definisi Operasional ... 43

4.6

Instrumen Pengumpulan Data ... 51

4.7

Prosedur Pengumpulan Data ... 51

4.7.1

Pengumpulan Data Awal ... 51

4.7.2

Pengumpulan Data Penelitian ... 52

4.7.3

Jenis dan Sumber Data yang Dikumpulkan ... 52

4.8

Pengolahan dan Analisis Data ... 52

4.8.1 Pengolahan Data... 52


(11)

xi

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1

Karakteristik Sampel Penelitian ... 59

5.2

Pengetahuan Petani tentang Pestisida, APD dan Dampaknya

Terhadap Kesehatan ... 60

5.3

Karakteristik Pestisida yang Digunakan Petani di Desa

Pancasari ... 62

5.4

Perilaku Penggunaan Pestisida dan APD ... 64

5.5

Peranan Keluarga Petani dalam Aktifitas Pertanian dan

Penggunaan APD pada Keluarga Petani ... 68

5.6

Keluhan Kesehatan Petani dan Keluarganya ... 69

5.7

Hubungan Penggunaan Pestisida dengan Keluhan Kesehatan

Petani ... 70

5.8

Hubungan antara Jenis Pestisida dan Penggunaan APD dengan

Keluhan Kesehatan Pada Petani ... 73

5.9

Risiko Keluarga Petani Akibat Paparan Pestisida Berdasarkan

Aktifitasnya dalam Pertanian ... 75

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Pengetahuan dan Perilaku Penggunaan Pestisida dan APD

pada Petani di Desa Pancasari ... 78

6.2 Perilaku Penggunaan Pestisida yang Tidak Sesuai dengan

Regulasi ... 83

6.3 Keluhan Kesehatan Petani Pengguna Pestisida dan

Keluarganya ... 86

6.4 Faktor-Faktor yang Tidak Signifikan Berhubungan dengan

Keluhan Kesehatan ... 92

6.5 Keterbatasan Penelitian ... 94

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ... 95

7.2 Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Definisi Operasional ... 43

Tabel 5.1 Karakteristik Sosiodemografi Petani dan Keluarganya di Desa

Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 60

Tabel 5.2 Tingkat Pengetahuan Petani di Desa Pancasari Kecamatan

Sukasada Kabupaten Buleleng tentang Pestisida, APD dan

Dampak Pestisida Terhadap Kesehatan ... 61

Tabel 5.3 Karakteristik Pestisida yang Digunakan Petani di Desa Pancasari

Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 63

Tabel 5.4 Perilaku Petani dalam Penggunaan Pestisida di Desa Pancasari

Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 64

Tabel 5.5 Persentase Petani yang Tidak Menggunakan APD pada Saat

Menggunakan Pestisida di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada

Kabupaten Buleleng ... 67

Tabel 5.6 Peranan dalam Aktifitas Pertanian dan Persentase yang Tidak

Menggunakan APD pada Keluarga Petani di Desa Pancasari

Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 68

Tabel 5.7 Keluhan Kesehatan Petani dan Keluarganya di Desa Pancasari

Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 69

Tabel 5.8 Hubungan Penggunaan Pestisida dengan Keluhan Kesehatan

Petani di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten

Buleleng ... 71

Tabel 5.9 Adjusted OR Keluhan Kesehatan pada Petani Pengguna Pestisida

di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng ... 74

Tabel 5.10 Risiko Keluarga Petani Akibat Paparan Pestisida Berdasarkan


(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ACHe

:

Asetilcholinesterase

ADHD

: Attention Deficit

Hyperactivity Disorder

AOR

:

Addjusted Odds Ratio

ASEAN

:

Association of Southeast Asian Nations

BPS

: Badan Pusat Statistik

BPTPH

: Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura

CI

:

Confidence Interval

EP

:

Emulsifable Concentrate

INOFICE

: Indonesia Organic Farming Certification

Kesbangpol

: Kesatuan Bangsa dan Politik

OPT

: Organisme Pengganggu Tanaman

OSHANET

: Occupational Safety and Health Administration

OR

:

Odds Ratio

Permentan

: Peraturan Menteri Pertanian

RI

: Republik Indonesia

UPT

: Unit Pelaksana Teknis

WHO

:

World Health Organization


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Partisipasi Dalam Penelitian ... 104

Lampiran 2. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 105

Lampiran 3. Kuesioner (Petani Penyemprot Pestisida) ... 106

Lampiran 4. Kuesioner (Istri/Suami dan Anak petani penyemprot pestisida) 115

Lampiran 5. Karakteristik pestisida yang digunakan di wilayah Desa

Pancasari ... 119

Lampiran 6. Nama dagang, jenis bahan aktif dan golongan pestisida

yang digunakan oleh petani di Desa Pancasari ... 120

Lampiran 7. Keluhan Kesehatan Pada Petani Penyemprot Pestisida... 121

Lampiran 8. Kelompok keluarga petani berdasarkan alamat tinggal,

pendidikan dan keluhan kesehatan ... 122

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian ... 123

Lampiran 10. Hasil analisis bivariat, multivariat dan hasil analisis kluster

dengan program komputer ... 124

Lampiran 11. Surat Ijin Penelitian ... 149


(16)

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bidang pertanian saat ini masih merupakan aktivitas perekonomian terbesar salah satunya di Indonesia. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Jumlah angkatan kerja di bidang pertanian berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia hingga bulan Agustus 2014 mencapai 38,97% dari total 151,9 juta angkatan kerja (BPS,2014).

Secara luas pestisida dalam bidang pertanian digunakan untuk membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT) dan merupakan zat yang dapat bersifat racun (WHO, 2006; Permentan, 2007). Penggunaan pestisida di dunia mencapai 3,5 juta ton pertahun dimana pengguna terbanyak pestisida dengan jenis highly toxic adalah dari negara-negara berkembang seperti Indonesia (Perveen,2011).

Berdasarkan data dari INOFICE (Indonesia Organic Farming

Certification) disebutkan bahwa jumlah formula pestisida yang terdaftar di Indonesia meningkat sangat signifikan. Pada tahun 1996 terdaftar 520 formula, meningkat hampir tiga kali lipat di tahun 2006 menjadi 1.300 formula. Berikutnya meningkat hampir tiga kali lipat di tahun 2015 mencapai 3.459 formula (per bulan Mei) atau dalam 9 tahun terakhir jumlah rata-rata formula yang didaftarkan per tahun mencapai sekitar 240 formula.

Peranan pestisida dalam sistem pertanian menjadi dilema yang sangat menarik untuk dikaji oleh karena pestisida memberikan manfaat pada petani


(18)

2

namun di sisi lain pestisida memberikan dampak negatif baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap kesehatan lingkungan. Data dari database ASEAN OSHANET dan ILO dalam Haerani (2010), menunjukkan bahwa kecelakaan kerja termasuk keracunan pestisida di Indonesia yang terjadi di industri pertanian menduduki tempat kedua atau ketiga terbesar dibanding industri lain. WHO memperkirakan bahwa keracunan pestisida menyumbang 300.000 kematian per tahun di seluruh dunia, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Goel dan Aggarwal 2007).

Dalam Afriyanto (2008), dikemukakan oleh Asosiasi Industri

Perlindungan Tanaman Indonesia (AIPTI) dari 1000 petani, kurang dari 10% petani yang telah menerapkan pola pemakaian pestisida secara benar. Hasil penelitian Asep Nugraha (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian) pada buku “Prinsip dan Teknologi Pertanian Organik Tahun 2014” menunjukkan bahwa residu pestisida di sentra produksi pertanian terdapat pada padi, sayuran, perairan, tanah, bahkan ada pestisida yang sudah puluhan tahun yang lalu digunakan namun residunya masih terdeteksi, sehingga sangat membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Tingkat pekerjaan masyarakat di bidang pertanian dan perkebunan di Provinsi Bali berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik Bali tahun 2014 mencapai 23,25% dari seluruh angkatan kerja dan merupakan bidang kerja tertinggi kedua diantara bidang pekerjaan lainnya. Penggunaan pestisida pada sektor pertanian di Bali mengalami peningkatan dari tahun 2001 (28.663,90 lt/kg) ke tahun 2005 sebanyak 31.568,21 lt/kg sedangkan total pestisida yang digunakan untuk


(19)

3

pertanian hortikultura tahun 2015 sampai dengan bulan Agustus adalah sebanyak 6152,25 lt/kg (UPT.BPTPH Prov. Bali, 2015).

Hasil pengujian dampak penggunaan pestisida melalui pemeriksaan cholinesterase oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2014 dan 2015 di beberapa wilayah pertanian hortikultura di Bali diantaranya pada 45 petani di Desa Landih Bangli, pada 57 petani di Desa Sinduwati Karangasem dan 30 petani di Desa Songan Kinatamani Bangli tidak terdapat petani yang mengalami keracunan sedangkan hasil pemeriksaan pada 22 orang petani di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada sebanyak 18% petani mengalami keracunan (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2014). Hasil penelitian lain yang sebelumnya pernah dilaksanakan terkait dengan penggunaan pestisida di Desa Pancasari adalah pemeriksaan kualitas air Danau Buyan yang merupakan salah satu badan air sekaligus sumber air bersih di Desa Pancasari diketahui bahwa air danau Buyan positif mengandung residu pestisida golongan organokhlorin, oragnophosfat dan karbamat (Manuaba, 2009).

Desa Pancasari merupakan salah satu desa di Kabupaten Buleleng Provinsi Bali dengan aktivitas pertanian hortikultura merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk yaitu sebanyak 1698 penduduk laki-laki sebagai petani dan 1274 penduduk perempuan sebagai petani atau sebesar 64% penduduk laki-laki dan perempuan sebagai petani dari 4610 jumlah penduduk. Hasil dari studi pendahuluan melalui wawancara pada 10 orang petani disebutkan bahwa selama penggunaan pestisida keseluruhan petani yang diwawancara pernah mengalami keluhan mata perih dan berair, mual dan muntah, sakit kepala serta gatal-gatal


(20)

4

pada kulit. Selain itu sistem pencampuran pestisida bervariasi yaitu 2-5 jenis pestisida dalam satu kali aplikasi sementara berdasarkan petunjuk aplikasi pestisida dari UPT BPTPH Provinsi Bali maksimal campuran pestisida yang dianjurkan adalah 1-2 jenis pestisida. Jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani di wilayah tersebut diantaranya Mitracol (fungisida, bahan aktifnya Propineb 70%) dan Dithane (fungisida, bahan aktifnya Mancozeb 80%) sedangkan jenis insektisida yang banyak digunakan adalah Promectin 18 EC (bahan aktifnya Abamectin 18 g/L).

Dampak penggunaan pestisida pada aktivitas pertanian di Desa Pancasari juga diindikasikan dengan tingginya angka kejadian dermatitis kontak di wilayah Desa Pancasari. Berdasarkan data morbiditas Puskesmas II Sukasada yang berlokasi di Desa Pancasari, prevalensi kejadian dermatitis kontak tahun 2014 sebesar 45 per 1000 penduduk dengan kejadian kasus tertinggi pada golongan usia 20-69 tahun. Kejadian kasus tersebut tinggi jika dibandingkan dengan wilayah puskesmas lain yang karakteristik penduduknya bermata pencaharian bukan petani yaitu di Puskesmas Sukasada I kejadian dermatitis sebesar 19 per 1000 penduduk dan di Puskesmas Tejakula I sebesar 15 per 1000 penduduk dengan diagnosa dermatitis yang tidak ditentukan.

Dermatitis kontak merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan penggunaan pestisida. Hasil penelitian di Taiwan menyebutkan bahwa prevalensi kejadian dermatitis kontak pada 122 orang petani berhubungan dengan frekuensi penyemprotan pestisida dan lebih banyak terjadi pada petani yang langsung meracik pestisida (Kim et al., 2013). Hasil penelitian lain oleh Butinof


(21)

5

(2015), pada petani di Cordoba Argentina menunjukkan bahwa gejala iritasi pada kulit meningkat sebesar 1,58 kali pada petani yang pemakaian alat pelindung diri tidak lengkap dengan nilai OR 1,58 ; 95% CI: 1,05-2,37.

Dampak lain dari penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani ditunjukkan oleh hasil penelitian Perez et al., (2014) pada petani di Mindanao, Philipina disebutkan bahwa keluhan paling umum dirasakan oleh petani yang menerapkan pestisida diantaranya iritasi kulit (32,95%), sakit kepala (29,55%), batuk (23,30%), tenggorokan kering (15,34%), sesak nafas (14,96%), pusing (14,20%), mual (12,69%) dan iritasi mata (11,36%). Hasil penelitian lainnya oleh Lekei et al., (2014), menyebutkan bahwa sebagian besar kejadian keracunan akibat pestisida khususnya di negara berkembang disebabkan oleh penyimpanan pestisida pada tempat yang tidak aman dan mudah dijangkau oleh anak-anak. Penelitian oleh Kim et al., (2013), menyebutkan, peningkatan aktivitas di wilayah pertanian (OR 1,74; 95% CI; 1,32–2,29), tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti selop tangan (OR 1,29 ; 95% CI 1,04 -1,60) atau masker (OR 1,39; 95% CI 1,11-1,73) dan penyemprotan yang dilakukan pada siang hari meningkatkan keluhan kesehatan pada petani (OR 1,48 ; 95% CI 1,09-2,01).

Mengingat pentingnya monitoring terhadap kesehatan masyarakat khususnya petani di wilayah Desa Pancasari berkaitan dengan tingginya tingkat pemakaian pestisida pada aktivitas pertanian maka penelitian mengenai dampak penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani sangat penting dilakukan di samping itu berdasarkan informasi dari salah satu dokter praktek swasta di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng disebutkan bahwa terdapat


(22)

6

beberapa kasus vertigo pada anak sehingga melalui penelitian ini juga diperoleh gambaran situasi kesehatan pada keluarga petani yang kemungkinan secara tidak langsung terkena dampak dari penggunaan pestisida.

Penelitian terkait dengan penggunaan pestisida dan hubungannya dengan keluhan kesehatan petani dan keluarga petani di wilayah Desa Pancasari masih jarang dilaksanakan. Oleh karena itu hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan sosialisasi dalam rangka mencegah dampak negatif dari penggunaan pestisida terhadap kesehatan petani dan keluarga petani mulai dari jenis pestisida yang digunakan sampai dengan cara penggunaan dan pengelolaan pestisida yang tepat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah karakteristik petani hortikultura dan keluarganya berdasarkan faktor sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, luas lahan dan jenis lahan di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?

1.2.2 Bagaimanakah tingkat pengetahuan petani hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng mengenai pestisida., APD dan dampaknya terhadap kesehatan?

1.2.3 Bagaimanakah karakteristik pestisida yang digunakan (jenis campuran, bahan aktif dan dosis), perilaku penggunaan pestisida (saat pencampuran,


(23)

7

penyemprotan dan pengamanan pestisida) dan pemakaian APD oleh petani hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng? 1.2.4 Bagaimanakah gambaran keluhan kesehatan petani hortikutltura pengguna

pestisida dan keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?

1.2.5 Apakah masa kerja, luas lahan dan jenis lahan yang digarap berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?

1.2.6 Apakah tingkat pengetahuan, karakteristik pestisida, perilaku dalam pencampuran, penyemprotan dan pengamanan pestisida serta perilaku pemakaian APD berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perilaku penggunaan pestisida oleh petani dan hubungannya dengan keluhan kesehatan petani hortikultura dan keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian dampak penggunaan pestisida terhadap keluhan kesehatan petani hortikultura dan keluarganya di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng adalah mengetahui hal-hal berikut:


(24)

8

a. Karakteristik sosiodemografi petani dan keluarga petani dalam hal umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, luas lahan dan jenis lahan.

b. Tingkat pengetahuan petani mengenai pestisida, APD dan dampaknya terhadap kesehatan.

c. Karakteristik pestisida yang digunakan (jenis campuran, bahan aktif dan dosis), perilaku penggunaan pestisida (saat pencampuran, penyemprotan dan pengamanan pestisida) dan pemakaian APD oleh petani.

d. Jenis-jenis keluhan kesehatan yang dialami petani dan keluarganya.

e. Hubungan antara masa kerja, luas lahan dan jenis lahan dengan keluhan kesehatan pada petani.

f. Hubungan antara tingkat pengetahuan karakteristik pestisida, perilaku dalam pencampuran, penyemprotan dan pengamanan pestisida serta perilaku pemakaian APD berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani hortikultura di Desa Pancasari Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dengan bukti ilmiah bagi instansi terkait maupun pembuat kebijakan terutama dalam hal pengawasan pemakaian pestisida serta dampaknya terhadap kesehatan.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya petani pengguna pestisida mengenai dampak dari penggunaan pestisida terhadap kesehatan.


(25)

9

1.4.2 Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan kesehatan khususnya terkait dengan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan terutama bagi petani pengguna pestisida.

b. Data yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai informasi awal untuk penelitian terkait dengan pestisida dan dampaknya terhadap kesehatan yang lebih luas dengan analisis yang lebih mendalam tidak hanya terbatas pada kesehatan petani namun juga dampaknya terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat sebagai konsumen.


(26)

10

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

2.1.1 Pengertian Pestisida

Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-bahan lain yang bersifat racun dan bioaktif. Oleh sebab sifatnya sebagai racun pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme pengganggu tanaman (OPT). Menurut The United State Federal Environmental Pesticide Control Act, pestisida merupakan suatu zat yang fungsinya untuk memberantas atau mencegah gangguan OPT diantaranya serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama pengganggu tanaman (Kardinan, 2000). Pestisida dalam pertanian secara spesifik disebut sebagai produk perlindungan tanaman (crop protection products) (Djojosumarto, 2008).

2.1.2 Penggolongan Pestisida

Menurut Departemen Kesehatan Indonesia dalam Khamdani (2009), persentase penggunaan pestisida di Indonesia diantaranya insektisida 55,42%, herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen 3,61%, bahan pengawet kayu 3,61%, zat pengatur pertumbuhan 3,21%, rodentisida 2,81%, bahan perata atau perekat 2,41%, akarisida 1,4%, moluskisida 0,4%, nematisida 0,44%, dan 0,40% ajuvan serta lain-lain berjumlah 1,41%. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa insektisida merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan. Secara umum pestisida digolongkan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut.


(27)

11

a. Menurut sasaran atau organisme target

Pestisida diklasifikasikan menjadi 16 jenis menurut sasaran atau organisme targetnya diantaranya (1) Insektisida untuk mengendalikan serangga, (2) Herbisida untuk membunuh gulma, (3) Fungisida untuk membunuh jamur, (4) Algasida untuk membunuh alga, (5) Avisida untuk mengontrol populasi burung, (6) Akarisida untuk membunuh tungau atau kutu, (7) Bakterisida untuk membunuh bakteri, (8) Larvasida untuk membunuh larva, (9) Moluskisida untuk membunuh siput, (10) Nematisida untuk membunuh cacing, (11) Ovisida untuk membunuh telur, (12) Pedukulisida untuk membunuh kutu, (13) Piscisida untuk membunuh ikan, (14) Rodentisida untuk membunuh binatang pengerat, (15) Predisida untuk membunuh pemangsa atau predator, (16) Termisida untuk membunuh rayap.

b. Menurut cara kerja

Dalam sistem pertanian hortikultura jenis insektisida, herbisida dan fungisida yang banyak digunakan oleh petani jika dilihat dari cara kerjanya diantaranya sebagai berikut (Djojosumarto, 2000).

1. Insektisida

Insektisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya menurut cara kerja pada tanaman terdiri dari (1) Insektisida Sistemik yaitu jenis insektisida yang diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun daun. Contoh insektisida sistemik adalah Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran, dan Monokrotofos. (2)Insektisida Nonsistemik merupakan jenis insektisida yang hanya menempel pada bagian luar tanaman saja. Contohnya adalah Dioksikarb,


(28)

12

Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos. Jenis insektisida lainnya berdasarkan cara kerjanya yaitu Insektisida sistemik lokal. Contohnya adalah Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.

2. Fungisida

Fungisida dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan cara kerjanya di dalam tubuh tanaman diantaranya Fungisida Nonsistemik, Fungisida Sistemik dan Fungisida Sistemik Lokal. Contoh fungisida nonsitemik adalah Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan Probineb sedangkan fungsida sistemik tidak akan hilang apabila terjadi hujan. Contoh fungisida

sistemik adalah Benomil, Difenokonazol, Karbendazim, Matalaksil,

Propikonazol, dan Triadimefon dan fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan oleh jaringan tanaman contohnya adalah Simoksanil.

Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Multiside inhibitor contoh dari multiside inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb, Ziram, dan Thiram dan monoside inhibitor yaitu fungisida yang bekerja dengan menghambat salah satu proses metabolisme jamur. Contoh dari monoside inhibitor adalah Metalaksil, Oksadisil, dan Benalaksil.

3. Herbisida

Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (1) Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput, misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin. (2) Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma berdaun lebar dan pakis, misalnya 2,4-D, MCPA dan (3)


(29)

13

Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai herbisida nonselektif contohnya Glifosat, Glufosinat, dan Paraquat.

Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya yaitu (1) Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides. Contohnya adalah herbisida kelompok urea (Diuron, Linuron, Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin), karbamat (Asulam, Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor, Pretilaklor), dan urasil (Bromasil) dan (2) Herbisida yang aktif pada gulma yang sudah tumbuh. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat. Selain kedua kelompok utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah yang aktif terhadap gulma yang baru tumbuh, misalnya beberapa herbisida dari jenis urea dan triazim

c. Menurut struktur bahan kimia

Berdasarkan struktur kimianya, Sudarmo (1991) dalam Runia (2008) pestisida terdiri dari empat kelompok besar yaitu organokhlorin, organophosfat, karbamat dan piretiroid.

Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf. Organofosfat merupakan senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas 1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus organik C2H5O (R1 dan R2) serta

gugus (X) atau leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin. Gugus X merupakan bagian yang paling mudah terhidrolisis. Gugus


(30)

14

R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah dimetoksi atau dietoksi. Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen , fluorida, halogen lain dan dimetoksi atau dietoksi. Bahan aktif organophosfat yang sudah dilarang beredar di Indonesia diantaranya diazinon, fention, fenitrotion, fentoat, klorfirifos, kuinalfos dan malation. Pestisida ini memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim achetylcholinesterase (ACHe) yang merupakan neurohormon pada ujung syaraf untuk meneruskan rangsang (Sitepu, 2010). Berdasarkan toksisitasnya pestisida golongan organophosfat dibagi menjadi kelompok sangat toksik (extremely toxic) (klorpirifos, parathion dan metil parathion) dan kelompok toksisitas sedang (dimethoate dan malathion). Gejala keracunan yang ditimbulkan akibat pestisida golongan organophosfat terhadap fungsi enzim cholinesterase diantaranya mudah letih, tidak bertenaga, mual muntah dan merasa lemah, sakit kepala, gangguan penglihatan, sesak nafas, banyak kelenjar cairan hidung, banyak keringat dan air mata, dan akhirnya menyebabkan kelumpuhan otot-otot rangka, sukar bicara, kejang dan koma. Berdasarkan masa degradasinya dalam lingkungan, frekuensi/jarak penyemprotan sebaiknya adalah 2 minggu sekali (Ardiyanto, 2013).

Kelompok pestisida golongan Karbamat (carbamat) yang terkenal antara lain proxposure (baygon), carbofuran (furadan), carbaryl (sevin). Insekisida golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti juga insektisida dari golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa golongan ini tidak banyak berbeda dengan senyawa golongan organosfosfat baik dari segi aktivitas maupun daya racunnya. Senyawa karbamat merupakan turunan dari asam karbamik


(31)

HO-15

CO-NH2. Seperti halnya pada senyawa golongan organosfosfat, senyawa golongan karbamat juga menghambat kerja enzim cholinesterase. Berdasarkan toksisitasnya pestisida golongan karbamat juga dibagi menjadi toksisitas tinggi (highly toxic) (carbofuran, methomyl dan temik) dan kelompok toksisitas sedang (carbaryl dan baygon). Sama halnya dengan Organophosfat, pestisida jenis ini menghambat kerja enzim cholinesterase. Gejala keracunan yang timbul sebagian besar hampir sama dengan gejala yang muncul akibat keracunan Organophosfat yang paling umum diantaranya sakit kepala, gangguan penglihatan, muntah dan merasa lemah. Keracunan akut dapat menimbulkan terjadinya kelumpuhan otot-otot rangka, bingung, sukar bicara, kejang-kejang dan koma. Masa degradasi di lingkungan hampir sama dengan Organophosfat yaitu sekitar 12-14 hari, oleh karena itu maka frekuensi penyemprotannya berkisar 12-14 hari.

Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu susunan syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida golongan ini berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik sebagai pelarut. Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh udara, cahaya, panas, dan karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat rusak oleh asam kuat, namun bisa rusak dengan basa dimana pestisida jenis ini akan menjadi tidak stabil dan mengalami deklorinase. Senyawa organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui


(32)

16

udara, saluran pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam bentuk serbuk, absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila digunakan sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka toksisitasnya akan meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk menembus membran sel dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam jaringan lemak tubuh. Karena bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di Organokhlorin dalam sistem pertanian juga dilarang penggunaannya seperti dieldrin, endosulfan, dan clordan. Nama formulasi yang beredar di Indonesia adalah herbisida garlon 480 EC dan fungisida Akofol 50 WP. Golongan ini dapat mengakibatkan sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang dan hilang kesadaran (Wudianto, 2005).

Piretiroid merupakan jenis golongan pestisida lainnya selain dari organophosfat, karbamat dan organokhlorin serta secara alamiah piretroid diperoleh dari ekstrak bunga chrysanthemum. Senyawa aktifnya adalah piretrin I dan II cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II, yang merupakan ester dari tiga alkohol, pyrethrolone, cinerolone, dan jasmolone, dengan asam chrysanthemic dan pyrethric. Karena sifat toksiknya terhadap mamalia yang sangat rendah dibanding pestisida jenis lain, piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif dari produk insektisida yang ada di pasaran. Pada umumnya piretroid mengalami metabolisme pada mamalia melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi. Tidak ada kecenderungan terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan terhadap piretroid. Piretroid bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan cara mempengaruhi permeabilitas membran terhadap ion, sehingga mengganggu


(33)

17

impuls saraf. Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah Deltametrin, Permetrin, Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate, Siflutrin, Fenpropatrin, Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin, dan Bioresmetrin.

2.1.3 Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pestisida

Dalam penggunaan pestisida aktivitas yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan diantaranya adalah pada saat pencampuran, penyemprotan dan penanganan pestisida. Mencampur pestisida merupakan pekerjaan yang paling berisiko oleh karena bekerja secara langsung dengan konsentrat. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindarkan diri dari kontak secara langsung dengan pestisida diantaranya pemilihan tempat pencampuran yang sirkulasi udaranya lancar dan penggunaan alat pelindung diri. Dalam pencampuran pestisida wadah yang digunakan adalah khusus untuk pencampuran bisa menggunakan ember dan corong untuk memindahkan pestisida ke tangki penyemprotan. Pada saat pencampuran pestisida, dosis dan konsentrasi disesuaikan dengan yang dianjurkan pada kemasan. Pada saat pencampuran APD yang dianjurkan untuk digunakan adalah masker (pelindung pernafasan) dan sarung tangan karet. Selain itu juga makan, minum, dan merokok selama melakukan pencampuran sangat tidak dianjurkan (Wudianto, 2005).

Penyemprotan sebagai aktivitas dalam aplikasi pestisida juga perlu memperhatikan hal-hal berikut diantaranya (1) pemilihan alat semprot sesuai dengan luas areal yang akan di semprot, jenis-jenis alat semprot pestisida diantaranya sprayer tangan (hand sprayer) merupakan sprayer dengan kapasitas


(34)

18

tangki paling kecil dan mudah untuk dipindahkan ke bagian tanaman yang akan disemprot sedangkan sprayer lainnya yaitu back sprayer (sprayer knap sack) digunakan dengan cara menggendong di punggung dan menggunakan tenaga manusia untuk memompa dan sprayer mesin (machine sprayer) menggunakan mesin untuk menggerakkan pompa. Waktu untuk melakukan penyemprotan sebaiknya antara pukul 08.00-11.00 WIB atau sore hari pukul 15.00-18.00 WIB dan tidak dilakukan pada saat aliran udara meningkat (thermik) selain itu tidak dianjurkan melakukan penyemprotan di saat angin kencang dan melawan arah angin karena banyak pestisida yang tidak mengenai sasaran (Wudianto, 2005).

Dalam hal penyimpanan pestisida, perlu diperhatikan beberapa hal seperti penyimpanan pestisida harus jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan tempat makan atau bahan makanan dan tersedia tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah selesai penyemprotan hal-hal yang juga perlu diperhatikan diantaranya alat semprot segera dibersihkan setelah selesai digunakan sedangkan untuk sisa cairan pestisida dan bekas kemasan pestisida dikubur atau dibakar jauh dari sumber mata air untuk menghindari pencemaran ke badan air dan tidak menggunakan bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman. Selain itu, setelah selesai aplikasi pakaian yang digunakan segera dicuci dengan bersih dan petani penyemprot segera mandi dengan bersih menggunakan sabun (Wudianto, 2005).

Dalam Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida yang diterbitkan oleh Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementrian Pertanian Tahun 2011 disebutkan bahwa pakaian dan atau peralatan pelindung tubuh harus dipakai bukan saja waktu


(35)

19

aplikasi, tetapi sejak mulai mencampur, mencuci peralatan aplikasi dan sesudah aplikasi selesai. Pakaian serta peralatan pelindung yang harus dipakai adalah sebagai berikut (1) untuk menutupi seluruh atau sebagian dari percikan bahan beracun dapat digunakan pakaian terusan dengan celana panjang dan lengan panjang. Baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah berbahan kulit atau plastik. Jika baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah pakaian kerja sehari-hari maka pada saat melakukan penyemprotan harus dilapisi dengan beberapa baju dan celana panjang atau pakaian terusan yang berbahan tenunan rapat atau menggunakan apron (bahan kulit atau plastik) (2) penutup kepala yang digunakan petani dapat berupa topi atau tudung untuk melindungi kepala dari zat-zat kimia dan kondisi iklim yang buruk dan penutup mata untuk menghindari kontak pada mata dapat menggunakan kaca mata (3) alat pelindung hidung dan mulut dapat berupa masker untuk melindungi pernafasan dari gas, uap, debu atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun dan korosi, (4) sarung tangan dapat terbuat dari karet untuk melindungi diri dari paparan bahan kimia sehingga larutan pestisida tidak masuk ke kulit dan (5) sepatu kerja untuk melindungi kaki dari larutan kimia dapat terbuat dari kulit, karet sintetik atau plastik. Ketika menggunakan sepatu boot ujung celana tidak boleh dimasukkan ke dalam sepatu, karena cairan pestisida dapat masuk ke dalam sepatu.


(36)

20

2.2 Dampak Penggunaan Pestisida

2.2.1 Pengaruh Pestisida Terhadap Kesehatan

Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara diantaranya melalui kulit (epidermis) apabila pestisida kontak dengan kulit. Lebih dari 90% kasus keracunan di seluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Selain itu pestisida masuk melalui sistem pernafasan (inhalation) apabila terhisap/terhirup, dan melalui mulut/pencernaan (ingestion) apabila terminum/tertelan (Wudianto, 2005). Organ-organ tubuh yang biasanya terkena dampak dari racun pestisida diantaranya paru-paru, hati (hepar), susunan saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang), sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan saraf tepi, dan darah. Efek racun pada tubuh juga akan memberikan efek lokal seperti iritasi, reaksi alergi, dermatitis, ulkus dan gejala lain.

a. Keracunan Kronis

Keracunan kronis timbul setelah terjadinya pemaparan dalam jangka panjang karena racun terakumulasi di dalam tubuh khususnya dalam lemak tubuh. Keracunan kronik lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronik dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Keracunan kronis dapat ditemukan dalam bentuk kelainan syaraf dan perilaku (bersifat neuro toksik) atau mutagenitas. Selain itu ada beberapa dampak kronis keracunan pestisida, antara lain gangguan otak dan syaraf (ingatan, kelumpuhan, bahkan kehilangan kesadaran dan koma), gangguan pada fungsi hati diantaranya paparan selama bertahun-tahun dapat menyebabkan Hepatitis.


(37)

21

Hasil penelitian Fleming, Gomez-Martin, Zheng Ma, Lee, et al., (2003), melalui analisis data survei kematian oleh National Health di Amerika diperoleh bahwa petani penyemprot pestisida baik laki-laki maupun perempuan berisiko tinggi untuk menderita kanker, gangguan limfa dan kelainan susunan saraf. Selain itu pestisida juga berdampak terhadap kesehatan keluarga petani di wilayah Neonates oleh hasil penelitian Eskenazi et al.,(2005), diperoleh hasil penggunaan pestisida Organophosfat mempengaruhi fungsi organ dan sistem saraf.

Studi di Amerika Serikat (AS) oleh Bouchard et al., (2010), membuktikan bahwa anak yang di dalam urinnya terdeteksi mengandung metabolit pestisida golongan Organophosfat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) yaitu suatu gangguan perkembangan yang bila dalam derajat berat disebut sebagai autisme, yang jumlah kasusnya juga semakin meningkat di Indonesia. Hasil penelitian di Ekuador oleh Grandjean et al., (2006), membuktikan bahwa pajanan pestisida merupakan prediktor untuk terjadinya keterlambatan tumbuh-kembang pada anak (Suhartono,2014).

b. Keracunan akut.

Keracunan akut terjadi apabila efek keracunan pestisida langsung pada saat aplikasi atau seketika setelah aplikasi pestisida. Dampak dari Keracunan akut dibedakan menjadi (1) efek akut lokal, apabila efeknya hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida biasanya bersifat iritasi mata, hidung, tenggorokan dan kulit dan (2) efek akut sistemik, terjadi apabila pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dan mengganggu sistem tubuh.


(38)

22

Darah akan membawa pestisida keseluruh bagian tubuh yang menyebabkan bergeraknya saraf-saraf otot secara tidak sadar dengan gerakan halus maupun kasar dan pengeluaran air mata serta pengeluaran air ludah secara berlebihan, pernafasan menjadi lemah/cepat (tidak normal).

Hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa dampak penggunaan pestisida pada 880 petani yang diobservasi di wilayah Cordoba Argentina sebanyak 47,4% mengalami iritasi, 35,5% mengalami fatigue, 40,4% menderita sakit kepala dan 27,6% mengalami gangguan saraf dan depresi selama menggunakan pestisida. Hasil penelitian di Indonesia oleh Catur, (2012) menunjukkan keluhan utama yang dirasakan oleh petani penyemprot pestisida yang mengalami keracunan pestisida diantaranya sakit kepala (25,6%), mudah lelah (13,95%). Hasil penelitian oleh Choudary (2011), pada 175 petani di Bhopal Madhya Pradesh, India gejala keracunan akut yang dialami oleh para petani diantaranya iritasi mata/mata merah sebanyak 62,5%, 37,5% mengalami gangguan pada kulit dan gangguan saraf selama aplikasi pestisida.

Baik petani maupun keluarga petani memiliki risiko yang sama terkena dampak akut penggunaan pestisida seperti keluhan sakit kepala, iritasi kulit dan gangguan pernafasan. Sebagian besar istri petani ikut terlibat dalam sistem pertanian dalam hal menyiangi rumput/tanaman pengganggu, memanen, atau menata dan mengikat hasil panen, hal tersebut menempatkan mereka sebagai populasi yang berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan akibat pajanan pestisida (Leilanie, 2009).


(39)

23

Keluarga petani yang tinggal di kawasan pertanian meskipun tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan pertanian juga memiliki risiko kontak dengan pestisida melalui residu yang ada di lingkungan, seperti hasil panen, air maupun tanah. Kebiasaan petani dalam penanganan pestisida pasca penyemprotan ( take-home pathway) oleh Fenske et al., (2000), dan Curl et al., (2002), diantaranya membawa pakaian kerja pulang tanpa dibersihkan terlebih dahulu, membawa atau menyimpan sisa pestisida dan kemasan pestisida dengan tidak aman dari jangkauan anak-anak diidentifikasikan sebagai sumber utama paparan pestisida pada keluarga petani.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida dan gangguan kesehatan lainnya pada petani diantaranya dapat dibedakan menjadi dua kelompok meliputi faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor eksternal

Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida diantaranya sebagai berikut.

1. Suhu lingkungan dan waktu penyemprotan

Suhu lingkungan berkaitan dengan pengaruh penguapan melalui keringat petani, sehingga tidak dianjurkan menyemprot pada suhu udara lebih dari 35oC. Suhu lingkungan pada saat penyemprotan juga berkaitan dengan waktu penyemprotan yang sesuai sehingga menurut Sartono (2002), secara umum disarankan waktu yang baik untuk melakukan penyemprotan pestisida adalah pada


(40)

24

pagi hari pukul 07.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-18.00 (Budiawan, 2013). Waktu penyemprotan pestisida berkaitan dengan suhu lingkungan yang mana penyemprotan pestisida pada siang hari dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak sehingga kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih mudah selain itu kondisi panas yang terik menyebabkan kecenderungan petani menyeka APD karena kondisi panas (Dahlan, 2009).

2. Arah kecepatan angin

Penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin sehingga kabut semprot tidak mengarah kepada penyemprot dan sebaiknya penyemprotan dilakukan pada kecepatan angin dibawah 750 mil permenit. Petani yang melakukan penyemprotan melawan arah angin memiliki risiko 1,54 kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang menyemprot mengikuti arah angin dengan nilai OR 1,54 ; 95%CI : 1,20-1,94 (Kim et al., 2013).

3. Dosis pestisida

Pestisida merupakan racun sehingga jika penggunaan dosisnya ditingkatkan dapat mempermudah terjadinya keracunan karena efek toksik juga akan meningkat. Berkaitan dengan penggunaan pestisida yang juga sering menjadi masalah adalah dalam penentuan dosis, dimana dalam anjuran pakai pestisida untuk dosis cair rata-rata 1,5 - 2,5 cc per 1 liter air sedangkan untuk pestisida bubuk 1,5 – 2,5 gram per 1 liter air. Tangki yang umum digunakan berkapasitas 17 liter. Dalam perhitungan luas tanaman 1 hektar diperlukan sekitar 500 liter pestisida yang sudah dilarutkan dalam air untuk satu kali penyemprotan.


(41)

25

Kim et al., (2013) menyatakan bahwa penggunaan dosis pestisida tanpa mengikuti label instruksi kemasan pestisida meningkatkan risiko keracunan akut sebesar 1,61 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengikuti label instruksi kemasan pestisida dengan nilai OR 1,61; 95% CI 1,21-213.

4. Lama penyemprotan

Semakin lama seseorang kontak dengan pestisida, semakin besar risiko mengalami keracunan, penyemprotan hendaknya tidak melebihi 4-5 jam secara terus-menerus dalam sehari. Hasil penelitian oleh Mahyuni (2015), menunjukkan bahwa lama menyemprot berhubungan dengan keracunan pestisida pada petani bawang merah di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo dengan nilai p value kurang dari 0,05 (0,018<0,05). Selain itu hasil penelitian oleh Nasruddin (2001), menyatakan bahwa petani yang melakukan penyemprotan lebih dari 3 jam per hari memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami keracunan (OR 3,32; 95% CI 1,39 6,14).

5. Masa kerja

Semakin lama seseorang menjadi petani maka semakin banyak pula kemungkinan untuk kontak dengan pestisida sehingga risiko untuk mengalami keracunan juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), disebutkan bahwa masa kerja > 10 tahun berhubungan dengan kejadian iritasi kulit pada petani dengan nilai p value < 0,05 (0,03<0,05). Hasil penelitian oleh Zuraida (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan keluhan kesehatan pada petani dimana dijelaskan bahwa petani petani yang memiliki masa kerja < 5 tahun dianggap pengetahuan dalam menggunakan


(42)

26

pestisida lebih baik daripada petani yang memiliki masa kerja sudah lebih dari 10 sehingga lebih mampu untuk menjaga kesehatannya pada saat akan kontak dengan pestisida.

6. Jenis lahan dan tinggi tanaman yang disemprot

Jenis lahan pertanian khususnya hortikultura dapat berupa ladang terbuka dan juga greenhouse. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013), menunjukkan bahwa jenis lahan greenhouse bukan merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 0,55; 95% CI 0,24-1,29) selain itu jenis tanaman yang ditanam akan berkaitan dengan tinggi tanaman yang disemprot karena semakin tinggi tanaman maka petani cenderung mendapat pemaparan yang lebih besar.

7. Luas lahan

Luas lahan yang digarap oleh petani memberikan risiko kepada petani untuk mengalami keracunan. Hal ini dikaitkan dengan lama kontak petani dengan pestisida semakin luas lahan yang digarap kemungkinan untuk mengalami

keracunan akan meningkat, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Kim et al., (2013) yaitu petani yang menggarap lahan ≥ 1 ha memiliki risiko 1,9

kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan < 1 ha (OR 1,90 ; 95% CI 1,53-2,53).

8. Kebiasaan memakai alat pelindung diri

Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang akan mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim. Hasil uji regresi logistik multinomial dalam penelitian Kim et al., (2013), menunjukkan bahwa risiko keracunan pestisida akut meningkat pada petani yang tidak memakai


(43)

27

masker (OR 1,46; 95% CI 1,04-2,06) sedangkan hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak lengkap berhubungan dengan gejala iritasi pada petani pengguna pestisida dengan nilai p adalah 0,004 dan hasil uji regresi pemakaian APD sebagai faktor protektif dengan nilai (OR 0.61; 95% CI 0.40-0.92).

9. Jenis pestisida

Penggunaan pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan dalam bentuk tunggal, hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada dalam pestisida. Hasil penelitian Butinof (2015), menyatakan bahwa mencampur pestisida atau mengaplikasikan pestisida lebih dari 10 jenis dalam sekali campuran meningkatkan risiko terjadinya gejala iritasi pada kulit (OR 1,56; 95%CI: 1.04-2.35). Hasil penelitian di Kecamatan Kersana oleh Siwiendayanti (2011), menunjukkan jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu yang sama menimbulkan efek sinergistik dan memberikan risiko 3 kali lebih besar untuk terjadinya keracunan bila dibandingkan dengan 1 jenis pestisida yang digunakan karena daya racun dan dosis pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efek samping yang semakin besar pula.

10.Frekuensi menyemprot

Semakin sering petani melakukan penyemprotan akan lebih besar risiko keracunan karena menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi lebih tinggi. Namun hasil penelitian oleh Mahyuni (2015) menunjukkan bahwa frekuensi penyemprotan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada dengan nilai p lebih besar dari 0,05 (0,406>0,05). Petani yang melakukan penyemprotan pestisida ≥ 2 kali dalam seminggu memiliki risiko 4,95 kali lebih


(44)

28

tinggi untuk mengalami keracunan dengan nilai OR 4,95; 95% CI 2,03-12,07 (Mualim, 2002).

11.Pengelolaan pestisida

Pengelolaan pestisida meliputi tindakan pencampuran, penyemprotan sampai dengan penanganan pestisida setelah selesai penyemprotan. Tindakan ini berpengaruh terhadap kejadian keracunan jika tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan. Hasil penelitian oleh Prijanto (2009), menunjukkan bahwa cara penyimpanan (OR 1,61; 95% CI 1,090-2,369), tempat pencampuran (OR 1,51; 95% CI 1,030-2,218) dan cara penanganan pestisida (OR 2,44; 95%CI 1,182-5,057) berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida golongan Organophosfat pada petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

12.Jenis alat semprot

Keterpaparan pestisida juga dapat terjadi melalui kontak langsung saat penggunaan pompa gendong (back sprayer). Pada saat pemindahan pestisida yang telah dicampur ke pompa gendong ada risiko pestisida tertumpah dan mengenai bagian tubuh secara langsung. Namun hasil uji chi square pada penelitian Mahyuni (2014), menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara keluhan dengan jenis alat penyemprot yang digunakan dengan nilai p sebesar 0,685 (0,685>0,05). Jika dilihat dari aspek ergonomi, berat pompa gendong juga mempengaruhi kelelahan kerja akibat manual handling (mulai dari mengangkat, menopang beban, menurunkan dan memindahkan beban dari satu tempat ke tempat lainnya) yang dialami penyemprot. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),


(45)

29

penggunaan alat semprot back sprayer berhubungan dengan keluhan pusing (sakit kepala) dengan nilai p < 0,05 (0,02<0,05).

13.Kebiasaan merokok, makan, minum diladang dan kebersihan baju kerja Dalam aplikasi pestisida, makan, minum dan merokok sangat tidak dianjurkan. Sesuai dengan penelitian Budiyono (2004), merokok saat menyemprot dapat memberikan kontribusi terhadap absorbsi pestisida pada petani penyemprot. Namun, dari hasil penelitian Kim et al., (2013), kebiasaan merokok selama menangani pestisida tidak berhubungan dengan kejadian keracunan akut pada petani dengan nilai OR 1,02; 95% CI 0,79 – 1,33. Selain itu mencuci tangan dan muka sebaiknya dilakukan jika akan makan, minum dan merokok. Kebiasaan mencuci tangan dibutuhkan selalu setiap selesai melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pestisida.

Budiyono, 2006 juga mengemukakan bahwa proporsi keracunan pestisida melalui absorpsi tubuh sebesar 64,72% jika tidak mengganti pakaian setelah menyemprot dan proporsi yang tidak mandi setelah menyemprot sebesar 55,88% dapat pula meningkatkan keracunan pestisida pada petani penyemprot. Peningkatan dampak pestisida terhadap petani dikarenakan juga oleh petani setelah melakukan penyemprotan tidak langsung pulang ke rumah tetapi masih melanjutkan aktivitas di sawah. Hal ini yang membuat mereka rentan terpapar pestisida, pakaian yang mereka pakai tidak langsung dicuci tetapi masih dikenakan untuk aktivitas selanjutnya.


(46)

30

b. Faktor internal

Beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya keracunan sebagai berikut.

1. Umur petani

Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh yang berakibat pada menurunnya aktivitas cholinesterase darahnya dan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013) menunjukkan bahwa umur > 30 tahun tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida pada petani (OR 0,81 ; 95% CI 0,57-1,17).

2. Jenis kelamin

Petani dengan jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar cholinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar cholinesterase cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisa acethilcholin berkurang. Hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dengan nilai p 0,697 > 0,05.

3. Status gizi

Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk mendapatkan risiko keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida organophosfat dan karbamat oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap kadar enzim yang bahan dasarnya adalah protein. Status gizi pada orang dewasa


(47)

31

dapat diukur dengan perhitungan BMI/IMT, status gizi berkaitan dengan kadar cholinesterase. Dalam Mualim (2002) disebutkan bahwa status gizi merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 6,87; 95% CI 2,08-22,62).

4. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai pestisida termasuk cara penggunaan dan penanganannya secara aman dan tepat sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan akan dapat dihindari. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Cordoba, Argentina dengan nilai p value > 0,005 (0,20>0,05).

5. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan tentang pestisida sangat penting untuk dimiliki oleh petani khususnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan petani dalam melakukan pengelolaan pestisida dengan baik pula, sehingga risiko terjadinya keracunan dapat dihindari.Hasil penelitian Prijanto (2009), menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan dengan nilai OR 1,96; 95% CI 1,09-3,15. Namun hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keracunan pestisida pada petani dengan nilai p>0,05 (0,423>0,05).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Praktik/Perilaku

Berdasarkan penelitian Wahyuni (2010), diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam penggunaan pestisida adalah pengaruh


(48)

32

teman seprofesi, kurangnya sosialisasi kebijakan, serta persepsi petani yang masih keliru tentang pestisida. Oleh Azwar (2013) disebutkan bahwa perilaku juga berorientasi pada tujuan dengan kata lain perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Hal ini berdampak pada penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan petunjuk dan aturan yang tepat karena adanya tujuan untuk memperoleh hasil panen yang baik. Pola penggunaan pestisida harus mengacu kepada 6T yaitu tepat jenis, dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, sasaran, dan kombinasi (Djojosumarto, 2008). Dalam Khamdani, (2009) disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya praktik oleh Green dikenal dengan model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling). a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah dan mempengaruhi terjadinya perilaku diantaranya pendidikan, pengetahuan, umur dan masa kerja. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memahami perubahan yang terjadi dilingkungannya dan orang tersebut akan menyerap perubahan tersebut apabila merasa bermanfaat bagi dirinya.

Pengetahuan, menurut Notoatmodjo, (2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Umur sebagai bagian dari faktor predisposisi mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemauan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Menurut teori psikologi, masa dewasa di bagi menjadi dewasa awal adalah usia 18-40 tahun dan dewasa lanjut usia 41-60 tahun sedangkan lansia adalah di atas 60 tahun (Irwanto, 2002). Umur pekerja dewasa awal diyakini dapat


(49)

33

membangun kesehatannya dengan cara mencegah suatu penyakit atau menanggulangi gangguan penyakitnya. Masa kerja akan berkaitan dengan semakin lama tenaga kerja bekerja, semakin banyak pengalaman yang dimiliki begitu pula sebaliknya semakin singkat masa kerja, akan semakin sedikit pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja, sebaliknya terbatasnya pengalaman kerja mengakibatkan tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki makin rendah.

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Sarana dan prasarana atau fasilitas yang di maksud adalah alat pelindung diri yang digunakan petani pengguna pestisida semprot seperti pakaian kerja, penutup kepala, alat pelindung pernafasan, sarung tangan dan sepatu kerja atau boot, sehingga memungkinkan petani untuk memakai alat pelindung diri tersebut.

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor ini meliputi sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan dalam hal sosialisasi pengamanan dalam penggunaan pestisida. Faktor tersebut akan mempengaruhi petani dalam pemakaian alat pelindung diri. Selain itu pengelolaan produk pestisida oleh pemerintah seperti sistem pengawasan langsung, ketersediaan pelatihan bagi petani penyemprot pestisida dan dikeluarkannya perundang-undangan serta buku-buku petunjuk mengenai pengelolaan pestisida.


(1)

tinggi untuk mengalami keracunan dengan nilai OR 4,95; 95% CI 2,03-12,07 (Mualim, 2002).

11.Pengelolaan pestisida

Pengelolaan pestisida meliputi tindakan pencampuran, penyemprotan sampai dengan penanganan pestisida setelah selesai penyemprotan. Tindakan ini berpengaruh terhadap kejadian keracunan jika tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan. Hasil penelitian oleh Prijanto (2009), menunjukkan bahwa cara penyimpanan (OR 1,61; 95% CI 1,090-2,369), tempat pencampuran (OR 1,51; 95% CI 1,030-2,218) dan cara penanganan pestisida (OR 2,44; 95%CI 1,182-5,057) berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida golongan Organophosfat pada petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.

12.Jenis alat semprot

Keterpaparan pestisida juga dapat terjadi melalui kontak langsung saat penggunaan pompa gendong (back sprayer). Pada saat pemindahan pestisida yang telah dicampur ke pompa gendong ada risiko pestisida tertumpah dan mengenai bagian tubuh secara langsung. Namun hasil uji chi square pada penelitian Mahyuni (2014), menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara keluhan dengan jenis alat penyemprot yang digunakan dengan nilai p sebesar 0,685 (0,685>0,05). Jika dilihat dari aspek ergonomi, berat pompa gendong juga mempengaruhi kelelahan kerja akibat manual handling (mulai dari mengangkat, menopang beban, menurunkan dan memindahkan beban dari satu tempat ke tempat lainnya) yang dialami penyemprot. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),


(2)

penggunaan alat semprot back sprayer berhubungan dengan keluhan pusing (sakit kepala) dengan nilai p < 0,05 (0,02<0,05).

13.Kebiasaan merokok, makan, minum diladang dan kebersihan baju kerja Dalam aplikasi pestisida, makan, minum dan merokok sangat tidak dianjurkan. Sesuai dengan penelitian Budiyono (2004), merokok saat menyemprot dapat memberikan kontribusi terhadap absorbsi pestisida pada petani penyemprot. Namun, dari hasil penelitian Kim et al., (2013), kebiasaan merokok selama menangani pestisida tidak berhubungan dengan kejadian keracunan akut pada petani dengan nilai OR 1,02; 95% CI 0,79 – 1,33. Selain itu mencuci tangan dan muka sebaiknya dilakukan jika akan makan, minum dan merokok. Kebiasaan mencuci tangan dibutuhkan selalu setiap selesai melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pestisida.

Budiyono, 2006 juga mengemukakan bahwa proporsi keracunan pestisida melalui absorpsi tubuh sebesar 64,72% jika tidak mengganti pakaian setelah menyemprot dan proporsi yang tidak mandi setelah menyemprot sebesar 55,88% dapat pula meningkatkan keracunan pestisida pada petani penyemprot. Peningkatan dampak pestisida terhadap petani dikarenakan juga oleh petani setelah melakukan penyemprotan tidak langsung pulang ke rumah tetapi masih melanjutkan aktivitas di sawah. Hal ini yang membuat mereka rentan terpapar pestisida, pakaian yang mereka pakai tidak langsung dicuci tetapi masih dikenakan untuk aktivitas selanjutnya.


(3)

b. Faktor internal

Beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya keracunan sebagai berikut.

1. Umur petani

Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh yang berakibat pada menurunnya aktivitas cholinesterase darahnya dan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hasil penelitian oleh Kim et al.,

(2013) menunjukkan bahwa umur > 30 tahun tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida pada petani (OR 0,81 ; 95% CI 0,57-1,17).

2. Jenis kelamin

Petani dengan jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar

cholinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada kehamilan kadar cholinesterase cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisa

acethilcholin berkurang. Hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida dengan nilai p 0,697 > 0,05.

3. Status gizi

Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk mendapatkan risiko keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida organophosfat dan karbamat oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap kadar enzim yang bahan dasarnya adalah protein. Status gizi pada orang dewasa


(4)

dapat diukur dengan perhitungan BMI/IMT, status gizi berkaitan dengan kadar

cholinesterase. Dalam Mualim (2002) disebutkan bahwa status gizi merupakan faktor risiko keracunan pada petani (OR 6,87; 95% CI 2,08-22,62).

4. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai pestisida termasuk cara penggunaan dan penanganannya secara aman dan tepat sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan akan dapat dihindari. Hasil penelitian oleh Butinof (2015), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Cordoba, Argentina dengan nilai p value > 0,005 (0,20>0,05).

5. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan tentang pestisida sangat penting untuk dimiliki oleh petani khususnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan petani dalam melakukan pengelolaan pestisida dengan baik pula, sehingga risiko terjadinya keracunan dapat dihindari.Hasil penelitian Prijanto (2009), menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan dengan nilai OR 1,96; 95% CI 1,09-3,15. Namun hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keracunan pestisida pada petani dengan nilai p>0,05 (0,423>0,05).

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Praktik/Perilaku

Berdasarkan penelitian Wahyuni (2010), diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani dalam penggunaan pestisida adalah pengaruh


(5)

teman seprofesi, kurangnya sosialisasi kebijakan, serta persepsi petani yang masih keliru tentang pestisida. Oleh Azwar (2013) disebutkan bahwa perilaku juga berorientasi pada tujuan dengan kata lain perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Hal ini berdampak pada penggunaan pestisida yang tidak sesuai dengan petunjuk dan aturan yang tepat karena adanya tujuan untuk memperoleh hasil panen yang baik. Pola penggunaan pestisida harus mengacu kepada 6T yaitu tepat jenis, dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan, sasaran, dan kombinasi (Djojosumarto, 2008). Dalam Khamdani, (2009) disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya praktik oleh Green dikenal dengan model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling). a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

Faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah dan mempengaruhi terjadinya perilaku diantaranya pendidikan, pengetahuan, umur dan masa kerja. Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memahami perubahan yang terjadi dilingkungannya dan orang tersebut akan menyerap perubahan tersebut apabila merasa bermanfaat bagi dirinya.

Pengetahuan, menurut Notoatmodjo, (2003), perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Umur sebagai bagian dari faktor predisposisi mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemauan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Menurut teori psikologi, masa dewasa di bagi menjadi dewasa awal adalah usia 18-40 tahun dan dewasa lanjut usia 41-60 tahun sedangkan lansia adalah di atas 60 tahun (Irwanto, 2002). Umur pekerja dewasa awal diyakini dapat


(6)

membangun kesehatannya dengan cara mencegah suatu penyakit atau menanggulangi gangguan penyakitnya. Masa kerja akan berkaitan dengan semakin lama tenaga kerja bekerja, semakin banyak pengalaman yang dimiliki begitu pula sebaliknya semakin singkat masa kerja, akan semakin sedikit pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian dan keterampilan kerja, sebaliknya terbatasnya pengalaman kerja mengakibatkan tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki makin rendah.

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Sarana dan prasarana atau fasilitas yang di maksud adalah alat pelindung diri yang digunakan petani pengguna pestisida semprot seperti pakaian kerja, penutup kepala, alat pelindung pernafasan, sarung tangan dan sepatu kerja atau boot, sehingga memungkinkan petani untuk memakai alat pelindung diri tersebut.

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor ini meliputi sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan dalam hal sosialisasi pengamanan dalam penggunaan pestisida. Faktor tersebut akan mempengaruhi petani dalam pemakaian alat pelindung diri. Selain itu pengelolaan produk pestisida oleh pemerintah seperti sistem pengawasan langsung, ketersediaan pelatihan bagi petani penyemprot pestisida dan dikeluarkannya perundang-undangan serta buku-buku petunjuk mengenai pengelolaan pestisida.