Kecelakaan di Freeport: Modernisasi "Rasa" Tradisional.
KECELAKAAN DI FREEPORT: MODERNISASI ”RASA” TRADISIONIL
Oleh: GPB Suka Arjawa
Keselamatan kerja di Indonesia masih belum bisa dikatakan maksimal. Tragedi
kecelakaan di PT Preeport Indonesia beberapa waktu lalu membuktikan hal itu. Dari 38
pekerja tambang yang terkena reruntuhan dan terjebak dalam gedung pelatihan di bawah
tanah, sebanyak 28 orang dinyatakan tewas dan sepuluh orang selamat. Kecelakaan kerja
itu boleh dikatakan sebagai salah satu tragedi buruk dalam sejarah pertambangan
Indonesia. Banyak yang kecewa dengan kejadian itu karena berharap seluruh pekerja
selamat. Tentu masyarakat juga mengucapkan terima kasih kepada para ahli yang
menolong, membongkar reruntuhan dan kemudian mampu mencapai lokasi dan
mengeluarkan jenazah. Kecelakaan di pabrik tambang terbesar di dunia itu kemudian
memberikan pesan kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia, bahwa keselamatan
kerja harus menjadi perhatian besar di negara yang masih mengandalkan pekerjaan fisik
bagi sebagian besar rakyatnya ini.
Dari sisi resiko, sesungguhnya pekerja tambang tidak mempunyai perbedaan besar
dengan penggali sumur, penggali batu kapur, pencari pasir di sungai atau seperti yang
kini banyak terjadi di Bali, pembongkaran bukit dan tebing untuk dijadikan kompleks
perumahan. Mereka menghadapi kondisi tanah yang masih belum mampu diukur
kekuatan dan daya tahannya. Karena itu, sangat memungkinkan para pekerja seperti ini
tertimpa longsoran yang tidak terduga. Sudah cukup banyak pekerja-pekerja seperti itu
yang tewas terkena longsoran tanah. Termasuk juga petani yang mengolah tanah di
sekitar tebing. Jadi, pekerja tambang (seperti di Freeport itu) mempunyai korelasi dengan
pekerja tradisionil.
Dalam hal peristiwa yang terjadi Papua, pilihan untuk melakukan kegiatan pelatihan di
bawah tanah bisa dikatakan sebagai hasil pemikiran dan teknologi modern. Hanya
melalui teknologi modern orang mampu membuat tempat tinggal, ruangan dan tempat
pelatihan di bawah tanah. Teknologi tradisionil tidak akan mungkin mampu membuat
lokasi kehidupan manusia sampai sekitar 25 meter di bawah tanah. Pemikiran modern
juga memberikan penilaian positif terhadap pilihan tempat pelatihan ini karena secara
sosial lebih aman dari gangguan serangan. Dikaitkan dengan kondisi keamanan yang
terjadi di sekitar tambang Freeport, pilihan ini akan lebih aman sebab peristiwa
penembakan dari penembak-penembak tersembunyi maupun gerakan pengacau
keamanan masih sering terjadi di wilayah itu. Dengan demikian, pilihan melakukan
pelatihan di bawah tanah adalah sebuah kemajuan berfikir. Tentu saja pelatihan di bawah
tanah itu lebih mendekatkan peserta pelatihan dengan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan sebagai seorang pekerja tambang.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh teoritisi-teoritisi modernisasi sosial, bahwa teknologi
modern, pemikiran modern maupun langkah modern tidak selalu mengandung makna
kemajuan yang sesungguhnya. Konteks kata kemajuan ini ada pada makna kenyamanan
dan keselamatan yang didapatkan oleh jiwa manusia. Karena itu modernisasi harus
disikapi dengan hati-hati terutama yang menyangkut hal ikhwal kedirian manusia. Disini
harus dilihat faktor apa yang paling memungkinkan terganggu dan terancamnya
eksistensial diri manusia sebagai akibat dari modernisasi itu. Faktor inilah mesti
diperhatikan dan harus dipikirkan manakala menerapkan hal-hal yang berbau modern.
Dari titik itulah kemudian, kecelakaan tambang yang terjadi di Freeport bisa dikritisi
lewat ketersediaan alat yang memungkinkan gerak cepat manusia apabila terjadi
kecelakaan kerja. Pada satu hal, meninggalnya sampai 28 orang pada kecelakaan itu
amat dimungkinkan oleh kegagalan perusahan dalam menyediakan alat, tenaga dan
peralatan yang memungkinkan penggalian dilakukan lebih cepat untuk mengetahui posisi
korban. Begitu banyaknya korban yang tewas mungkin juga disebabkan oleh lamanya
waktu pencarian korban reruntuhan. Atau bisa juga akibat tidak tersedianya sarana yang
memungkinkan adanya suplai bahan-bahan penopang kehidupan menuju wilayah
reruntuhan korban.
Modernisasi, apapun itu, selalu mempunyai sisi membahayakan kepada keeksistensialan
manusia. Pupuk buatan adalah sebuah produk modernisasi. Tetapi bahan makanan yang
terlalu tercemar pupuk buatan mengandung resiko menciptakan penyakit degeneratif
kepada manusia. Umur manusia menjadi lebih pendek. Air Condition (AC) memberikan
kenyamanan kepada hidup manusia. Tetapi peralatan yang digunakan di AC (freon)
justru membuat pemanasan global. Obat sudah tentu memberikan efek menyembuhkan.
Tetapi penggunaan yang tidak terkontrol, jutru memberikan efek tidak menyehatkan.
Apa yang diutarakan itu merupakan contoh-contoh dari modernisasi yang tidak selalu
menguntungkan manusia. Karena itu agen modernisasi harus juga menyertakan agen
pengontrol, yang tujuannya demi memberikan penyeimbangan kepada umat manusia agar
manusia itu tidak mendapat kerugian dari modernisasi itu.
Ada dua agen yang bisa dikatakan sebagai pengontrol. Pertama, secara sosial adalah
manusia atau kelompok, yang bertugas memberikan sosialisasi, termasuk mengawasi
dari lajunya modernisasi itu. Dalam hal tambang Freeport misalnya, ada manusia atau
kelompok yang selalu secara rutin melakukan kontrol terhadapp kondisi tanah di sekitar
lokasi pelatihan, memeriksa alat-alat penyelamatan tambang di bawah tanah serta para
aparatur perusahan yang cakap mengontrol para pekerja tersebut. Kedua, secara teknis,
agen itu adalah alat (instrumen) bisa berupa mesin yang mampu memberikan informasi
tentang kualitas dari berbagai alat modernisasi yang ada. Di Freeport sudah seharusnya
ada alat pengontrol atau alat yang mampu memberikan peringatan dini tentang kondisi
tanah atau lingkungan yang ada di sekitar. Bisa juga tersedianya alat yang bisa secara
cepat memberikan pertolongan apabila ada kecelakaan. Obat-obatan termasuk alat
operasi medis juga mesti harus tersedia dilokasi yang dekat.
Kecelakaan yang terjadi di Freport ini harus benar-benar memberikan pelajaran amat
berharga bagi Indonesia yang kini banyak sekali menghadirkan barang-barang modern
baik untuk pembangunan maupun untuk menggerakkan masyarakat (peralatan rumah
tangga misalnya). Di kota-kota besar terlalu banyak digunakan derek untuk mengangkut
materi sampai lantai ke 30 sebuah bangunan bertingkat. Tetapi yang sering terjadi, di
bawah dari bangunan itu ada segerombolan manusia yang juga bekerja tanpa alat
pengaman. Masih sangat senjang pemahaman hubungan antara modernisasi dengan
keselamatan manusia di Indonesia. Penerapan modernisasi tanpa memperhatikan efek
sampingnya sama saja dengan bunuh diri. Fenomena ini mempunyai hasil yang sama
dengan terlalu mengeksploatasi industri tanpa memperhatikan lingkungan pertanian.
Modernisasi tanpa kesadaran adalah sebuah kecelakaan yang membahayakan eksistensial
kehidupan manusia. Contoh paling menyolok lainnya adalah menyetir kendaraan sambil
sok aksi memakai telepon seluler!****
Penulis adalah staf pengajar sosiologi FISIP Universitas Udayana.
Oleh: GPB Suka Arjawa
Keselamatan kerja di Indonesia masih belum bisa dikatakan maksimal. Tragedi
kecelakaan di PT Preeport Indonesia beberapa waktu lalu membuktikan hal itu. Dari 38
pekerja tambang yang terkena reruntuhan dan terjebak dalam gedung pelatihan di bawah
tanah, sebanyak 28 orang dinyatakan tewas dan sepuluh orang selamat. Kecelakaan kerja
itu boleh dikatakan sebagai salah satu tragedi buruk dalam sejarah pertambangan
Indonesia. Banyak yang kecewa dengan kejadian itu karena berharap seluruh pekerja
selamat. Tentu masyarakat juga mengucapkan terima kasih kepada para ahli yang
menolong, membongkar reruntuhan dan kemudian mampu mencapai lokasi dan
mengeluarkan jenazah. Kecelakaan di pabrik tambang terbesar di dunia itu kemudian
memberikan pesan kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia, bahwa keselamatan
kerja harus menjadi perhatian besar di negara yang masih mengandalkan pekerjaan fisik
bagi sebagian besar rakyatnya ini.
Dari sisi resiko, sesungguhnya pekerja tambang tidak mempunyai perbedaan besar
dengan penggali sumur, penggali batu kapur, pencari pasir di sungai atau seperti yang
kini banyak terjadi di Bali, pembongkaran bukit dan tebing untuk dijadikan kompleks
perumahan. Mereka menghadapi kondisi tanah yang masih belum mampu diukur
kekuatan dan daya tahannya. Karena itu, sangat memungkinkan para pekerja seperti ini
tertimpa longsoran yang tidak terduga. Sudah cukup banyak pekerja-pekerja seperti itu
yang tewas terkena longsoran tanah. Termasuk juga petani yang mengolah tanah di
sekitar tebing. Jadi, pekerja tambang (seperti di Freeport itu) mempunyai korelasi dengan
pekerja tradisionil.
Dalam hal peristiwa yang terjadi Papua, pilihan untuk melakukan kegiatan pelatihan di
bawah tanah bisa dikatakan sebagai hasil pemikiran dan teknologi modern. Hanya
melalui teknologi modern orang mampu membuat tempat tinggal, ruangan dan tempat
pelatihan di bawah tanah. Teknologi tradisionil tidak akan mungkin mampu membuat
lokasi kehidupan manusia sampai sekitar 25 meter di bawah tanah. Pemikiran modern
juga memberikan penilaian positif terhadap pilihan tempat pelatihan ini karena secara
sosial lebih aman dari gangguan serangan. Dikaitkan dengan kondisi keamanan yang
terjadi di sekitar tambang Freeport, pilihan ini akan lebih aman sebab peristiwa
penembakan dari penembak-penembak tersembunyi maupun gerakan pengacau
keamanan masih sering terjadi di wilayah itu. Dengan demikian, pilihan melakukan
pelatihan di bawah tanah adalah sebuah kemajuan berfikir. Tentu saja pelatihan di bawah
tanah itu lebih mendekatkan peserta pelatihan dengan jenis pekerjaan yang akan
dilakukan sebagai seorang pekerja tambang.
Akan tetapi, seperti dikatakan oleh teoritisi-teoritisi modernisasi sosial, bahwa teknologi
modern, pemikiran modern maupun langkah modern tidak selalu mengandung makna
kemajuan yang sesungguhnya. Konteks kata kemajuan ini ada pada makna kenyamanan
dan keselamatan yang didapatkan oleh jiwa manusia. Karena itu modernisasi harus
disikapi dengan hati-hati terutama yang menyangkut hal ikhwal kedirian manusia. Disini
harus dilihat faktor apa yang paling memungkinkan terganggu dan terancamnya
eksistensial diri manusia sebagai akibat dari modernisasi itu. Faktor inilah mesti
diperhatikan dan harus dipikirkan manakala menerapkan hal-hal yang berbau modern.
Dari titik itulah kemudian, kecelakaan tambang yang terjadi di Freeport bisa dikritisi
lewat ketersediaan alat yang memungkinkan gerak cepat manusia apabila terjadi
kecelakaan kerja. Pada satu hal, meninggalnya sampai 28 orang pada kecelakaan itu
amat dimungkinkan oleh kegagalan perusahan dalam menyediakan alat, tenaga dan
peralatan yang memungkinkan penggalian dilakukan lebih cepat untuk mengetahui posisi
korban. Begitu banyaknya korban yang tewas mungkin juga disebabkan oleh lamanya
waktu pencarian korban reruntuhan. Atau bisa juga akibat tidak tersedianya sarana yang
memungkinkan adanya suplai bahan-bahan penopang kehidupan menuju wilayah
reruntuhan korban.
Modernisasi, apapun itu, selalu mempunyai sisi membahayakan kepada keeksistensialan
manusia. Pupuk buatan adalah sebuah produk modernisasi. Tetapi bahan makanan yang
terlalu tercemar pupuk buatan mengandung resiko menciptakan penyakit degeneratif
kepada manusia. Umur manusia menjadi lebih pendek. Air Condition (AC) memberikan
kenyamanan kepada hidup manusia. Tetapi peralatan yang digunakan di AC (freon)
justru membuat pemanasan global. Obat sudah tentu memberikan efek menyembuhkan.
Tetapi penggunaan yang tidak terkontrol, jutru memberikan efek tidak menyehatkan.
Apa yang diutarakan itu merupakan contoh-contoh dari modernisasi yang tidak selalu
menguntungkan manusia. Karena itu agen modernisasi harus juga menyertakan agen
pengontrol, yang tujuannya demi memberikan penyeimbangan kepada umat manusia agar
manusia itu tidak mendapat kerugian dari modernisasi itu.
Ada dua agen yang bisa dikatakan sebagai pengontrol. Pertama, secara sosial adalah
manusia atau kelompok, yang bertugas memberikan sosialisasi, termasuk mengawasi
dari lajunya modernisasi itu. Dalam hal tambang Freeport misalnya, ada manusia atau
kelompok yang selalu secara rutin melakukan kontrol terhadapp kondisi tanah di sekitar
lokasi pelatihan, memeriksa alat-alat penyelamatan tambang di bawah tanah serta para
aparatur perusahan yang cakap mengontrol para pekerja tersebut. Kedua, secara teknis,
agen itu adalah alat (instrumen) bisa berupa mesin yang mampu memberikan informasi
tentang kualitas dari berbagai alat modernisasi yang ada. Di Freeport sudah seharusnya
ada alat pengontrol atau alat yang mampu memberikan peringatan dini tentang kondisi
tanah atau lingkungan yang ada di sekitar. Bisa juga tersedianya alat yang bisa secara
cepat memberikan pertolongan apabila ada kecelakaan. Obat-obatan termasuk alat
operasi medis juga mesti harus tersedia dilokasi yang dekat.
Kecelakaan yang terjadi di Freport ini harus benar-benar memberikan pelajaran amat
berharga bagi Indonesia yang kini banyak sekali menghadirkan barang-barang modern
baik untuk pembangunan maupun untuk menggerakkan masyarakat (peralatan rumah
tangga misalnya). Di kota-kota besar terlalu banyak digunakan derek untuk mengangkut
materi sampai lantai ke 30 sebuah bangunan bertingkat. Tetapi yang sering terjadi, di
bawah dari bangunan itu ada segerombolan manusia yang juga bekerja tanpa alat
pengaman. Masih sangat senjang pemahaman hubungan antara modernisasi dengan
keselamatan manusia di Indonesia. Penerapan modernisasi tanpa memperhatikan efek
sampingnya sama saja dengan bunuh diri. Fenomena ini mempunyai hasil yang sama
dengan terlalu mengeksploatasi industri tanpa memperhatikan lingkungan pertanian.
Modernisasi tanpa kesadaran adalah sebuah kecelakaan yang membahayakan eksistensial
kehidupan manusia. Contoh paling menyolok lainnya adalah menyetir kendaraan sambil
sok aksi memakai telepon seluler!****
Penulis adalah staf pengajar sosiologi FISIP Universitas Udayana.