Dosis efektif air kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai antidotum terhadap keracunan propoxur pada mencit putih jantan - USD Repository

  

DOSIS EFEKTIF AIR KELAPA WULUNG (Cocos nucifera L. Var.

rubescens) SEBAGAI ANTIDOTUM TERHADAP KERACUNAN

  

PROPOXUR PADA MENCIT PUTIH JANTAN

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:

  Pius Perwita Setyo Hadi NIM : 068114018

  

DOSIS EFEKTIF AIR KELAPA WULUNG (Cocos nucifera L. Var.

rubescens) SEBAGAI ANTIDOTUM TERHADAP KERACUNAN

  

PROPOXUR PADA MENCIT PUTIH JANTAN

SKRIPSI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

  Program Studi Ilmu Farmasi Oleh:

  Pius Perwita Setyo Hadi NIM : 068114018

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Pius Perwita Setyo Hadi NIM : 068114018 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

  

” Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai

Antidotum terhadap Keracunan Propoxur pada Mencit Putih Jantan”

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 9 Juni 2010

  

PRAKATA

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa di Surga dan Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat, hikmat, kasih, kekuatan, dan cinta-nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum terhadap Keracunan Propoxur pada Mencit Putih Jantan”.

  Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu Farmasi (S. Farm.), program Studi Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk menambah pengetahuan dalam dunia kefarmasian pada umumnya.

  Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang penulis terima baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus khususnya penulis tujukan kepada :

  1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing dan penguji yang telah mengarahkan, mendampingi, dan meluangkan waktu untuk

  4. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan waktu, saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

  5. Staf laboratorium, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.

  6. Bapak dan Ibu atas doa, bimbingan, nasehat dan dukungannya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

  7. Adikku Ambar dan Gigih, terimakasih atas dukungan dan semangat.

  8. Paulina Maya terima kasih atas doa, kasih sayang, pendapat, perhatian dan dukungannya.

  9. Bapak Yunadir yang telah memberikan tips-tips dalam pengambilan dan pemotongan organ, membuatkan preparat dengan cepat dan baik.

  10. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. yang telah membantu dalam analisis dan memotret organ histopatologi.

  11. Teman-teman 2006 Zihendra, Daryono, Novianti, Ricky, Felix, Dewi, Reyni untuk diskusi, semangat dan dukungannya.

  12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang ada dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itulah penulis mengaharapkan kritik dan

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 9 Juni 2010 Penulis,

  Pius Perwita Setyo Hadi

  

INTISARI

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui wujud dan sifat penawaracunan propoxur oleh air kelapa wulung secara peroral sebagai antidotum melalui pengamatan struktural, serta dosis efektif air kelapa wulung untuk kasus keracunan propoxur.

  Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak pola satu arah. Tiga puluh ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I diberi propoxur dosis 0,315 ml/20gBB mencit secara per-oral sebagai kontrol positif; kelompok II-IV diberi propoxur masing-masing dengan dosis berturut-turut 0,315 ml/20gBB mencit secara per-oral kemudian diberi antidotum air kelapa wulung pada masing-masing kelompok secara berturut-turut: 0,350 ml/20gBB mencit; 0,500 ml/20gBB mencit; 0,715 ml/20gBB mencit. Kelompok V diberi air kelapa wulung dosis 0,715 ml/20gBB mencit secara per-oral sebagai kontrol negatif.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa wujud dari pemberian antidotum air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit bersifat terbalikan. Dosis efektif air kelapa wulung sebagai antidotum keracunan propoxur adalah air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit.

  Kata kunci : antidotum, air kelapa wulung, propoxur , dosis efektif

  

ABSTRACT

  The research aims to know form and nature of poison antidote of propoxur by “wulung” coconut water by per oral, and also the effective dose of “wulung” coconut water as antidote for the case of poisoned of propoxur.

  This research is a pure experimental research by completed random of direct-current plan. Thirty mice are divided into five groups. Group I is given propoxur with dosage 0,315 ml/20gBW mice as a positive control; group II-IV is given propoxur each group 0,315 ml/20gBW mice then given coconut water each group successively 0,350 ml/20gBW mice; 0,500 ml/20gBW mice; 0,715 ml/20gBW mice. Group V is given coconut water with dosage 0,715 ml/20gBW mice as a negative control.

  The results showed that the form of giving antidote of “wulung” coconut water have character of inversion. Effective dosage “wulung” coconut water as antidote for propoxur poisioning is “wulung” coconut water dosage 0,500 ml/20gBW mice.

  Key word: antidote, coconut water, propoxur, effective dosage

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................. vi PRAKATA ............................................................................................................ vii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... ix

  INTISARI ............................................................................................................ x

  

ABSTRACT ........................................................................................................... xi

  DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix

  BAB I. PENGANTAR ......................................................................................... 1 A. Latar Belakang .......................................................................................... 1

  1. Permasalahan .................................................................................... 3

  A. Toksikologi ................................................................................................ 5

  B. Cara Penanganan Keracunan ..................................................................... 6

  C. Penanganan Keracunan Insektisida Karbamat .......................................... 7

  D. Asas Umum Terapi Antidot ...................................................................... 8

  E. Propoxur .................................................................................................... 11

  F. Asetilkolin ................................................................................................. 15

  G. Enzim Asetilkolinesterase ......................................................................... 16

  H. Kelapa Wulung .......................................................................................... 16

  I. Anatomi Fisiologi ...................................................................................... 19 J. Kerusakan Organ ....................................................................................... 22 K. Landasan Teori .......................................................................................... 26 L. Hipotesis .................................................................................................... 27

  BAB III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 28 A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................ 28 B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……................................... 28 C. Bahan dan Alat Penelitian ......................................................................... 30

  1. Bahan .................................................................................................. 30

  2. Alat ..................................................................................................... 31

  Tata Cara Penelitian

  D. .................................................................................... 31

  5. Pengelompokan hewan uji ................................................................. 32

  6. Pengamatan ........................................................................................ 33

  7. Pemeriksaan histopatologi .................................................................. 34

  E. Tata Cara Analisis Hasil ............................................................................ 35

  BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 36 A. Orientasi Dosis Perlakuan Dan Waktu Pemberian .................................... 36 B. Wujud dan Sifat Penawaracunan Propoxur oleh Air Kelapa Wulung....................................................................................................... 38 C. Dosis Efektif Air Kelapa Wulung sebagai Antidotum .............................. 56 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 65 A. Kesimpulan ................................................................................................ 65 B. Saran .......................................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 66 LAMPIRAN .......................................................................................................... 71 BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 87

  

DAFTAR TABEL

  Tabel I. Komposisi Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) ...... 18 Tabel II. Hasil Penelitian % Kematian akibat Pemejanan Propoxur ..................... 37 Tabel III. Hasil Perbandingan Pengamatan Gejala Efek Toksik Waktu

  Kematian.................................................................................................. 41 Tabel IV. Hasil Perbandingan Antar Kelompok pada Pengamatan Gejala Efek

  Toksik Waktu Kematian ......................................................................... 42 Tabel V. Hasil Pemeriksaan Histopatologis Organ Mencit .................................. 45

  

DAFTAR GAMBAR

  Gambar 1. Penghambatan Absorpsi dan Distribusi (Translokasi) ........................ 9 Gambar 2. Peningkatan Eliminasi ......................................................................... 10 Gambar 3. Penaikkan Ambang Toksik Racun dalam Tubuh ................................ 11 Gambar 4. Struktur Propoxur (2-isopropoxyphenyl methylcarbamate) ................ 11 Gambar 5. Jalur Biosintesis Asetilkolin ................................................................ 15 Gambar 6. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Oleh Enzim Asetilkolin Esterase ......... 16 Gambar 7. Perbedaan Buah Kelapa Wulung dengan Kelapa Hijau ...................... 17 Gambar 8. Skema Prosedur Kerja ......................................................................... 33 Gambar 9. Penghambatan Enzim Asetilkolinesterase oleh Propoxur ................... 39 Gambar 10. Diagram Batang Mean ± SE untuk Gejala Efek Toksik Waktu

  Kematian Akibat Keracunan Propoxur ................................................... 43 Gambar 11. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Kontrol Negatif

  Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin ............................................................................... 46

  Gambar 12. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin .. 47

  Gambar 13. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis I Propoxur

  Gambar 14. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin ................................................ 49

  Gambar 15. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin ................................................ 51

  Gambar 16. Gambaran Histopatologi Organ Lambung Perlakuan (a) Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit dan (b) Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin- Eosin ....................................................................................................... 52

  Gambar 17. Gambaran Histopatologi Organ Lambung Perlakuan (c) Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,350 ml/20g BB mencit; (d) Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit; (e) Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit ..................................................................................................... 53

  Gambar 18. Gambaran Histopatologi Organ Jantung Perlakuan (a) Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit dan (b) Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-

  Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit; (e) Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit ..................................................................................................... 55

  Gambar 20. Diagram Batang Kelompok Perlakuan vs Persen Hidup .................. 57 Gambar 21. Interaksi Antara Asetilkolin dengan Enzim Asetilkolinesterase........ 59 Gambar 22. Skema hidrolisis asetilkolin oleh asetilkolinesterase dan reaksi antara propoxur dengan asetilkolinesterase …........................................ 61 Gambar 23. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Asetilkolin …................................... 62 Gambar 24. Proses Biotransformasi Propoxur ….................................................. 63

  

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran 1. Orientasi ............................................................................................ 71 Lampiran 2. Perhitungan Dosis ............................................................................. 73 Lampiran 3. Hasil Pengamatan Efek Toksik ......................................................... 76 Lampiran 4. Hasil Penimbangan Organ Histopatologi ......................................... 78 Lampiran 5. Analisa Data Gejala Efek Toksik Waktu Kematian ......................... 80 Lampiran 6. Tabel Hasil Perbandingan Antar Kelompok Pada Pengamatan

  Gejala Efek Toksik Waktu Kematian ..................................................... 83 Lampiran 7. Diagram Batang Kelompok Perlakuan vs % Hidup ......................... 84 Lampiran 8. Hasil Pemeriksaan Histopatologis .................................................... 85 Lampiran 9. Surat Keterangan Hewan Uji ............................................................ 86

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Keracunan merupakan suatu keadaan penyakit akut yang diakibatkan oleh

  obat atau zat kimia lain yang masuk kedalam tubuh manusia secara berlebihan (over dosage) baik disengaja maupun tidak disengaja (Sjamsuir, 1983).

  Keracunan dapat ditimbulkan berbagai macam zat yang terdapat dalam lingkungan sehari-hari: seperti obat-obatan, makanan, pestisida dan lain-lain.

  Sebab-sebab terjadinya keracunan ini dapat dibagi atas 3 golongan yaitu keracunan karena kecelakaan atau tidak di sengaja, keracunan karena di sengaja untuk maksud bunuh diri dan keracunan kriminil atau tindak kejahatan (Sjamsuir, 1983). Keracunan dapat berakibat fatal mulai dari bahaya yang paling ringan yaitu kejang, muntah, pingsan hingga bahaya yang paling berat yaitu kematian.

  Propoxur atau C -H -N-O yang biasa disebut Aprocarb (senyawa

  11

  15

  3

  karbamat) banyak digunakan dalam racun pembasmi nyamuk yang memiliki risiko terhadap kesehatan. Propoxur juga dapat menurunkan aktivitas enzim yang berperan pada saraf transmisi, dan berpengaruh buruk pada hati dan reproduksi (Olson, 2007).

  Insektisida golongan karbamat ini dapat menghambat enzim asetilkolin mual, muntah, kehilangan selera makan, kram abdominal, dan diare (Anonim, 2007a).

  Di Indonesia, kasus kematian remaja akibat keracunan pembasmi nyamuk dengan zat aktif propoxur sering terjadi (Henaldi, 2009). Tragedi di Bhopal-India pada tahun 80-an yang menyebabkan ribuan orang meninggal seketika dan ratusan ribu lainnya menjadi cacat dan mengalami kerusakan syaraf yang disebabkan oleh propoxur (senyawa antaranya MIC atau metil isosianat) (Srinoeni, 2008).

  Melihat banyaknya kasus keracunan yang terjadi akibat senyawa aktif propoxur pada pembasmi nyamuk, maka diperlukan strategi terapi yang cepat dan tepat untuk meningkatkan usaha dalam pencegahan maupun dalam penanggulangan kasus-kasus keracunan (Sjamsuir, 1983). Menurut Donatus (1997), strategi terapi tersebut adalah strategi terapi antidotum.

  Menurut Barlina (2004); Rachman (2007), salah satu khasiat air kelapa adalah sebagai antidotum (penawar) keracunan makanan, arsenik. Air kelapa muda juga berkhasiat untuk diuretikum, pembersih darah, obat TBC, obat sifilis, obat demam, dan gangguan pada saluran kencing. Menurut Hadi dkk (2009), Air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit memiliki daya sebagai antidotum untuk mengatasi keracunan propoxur dosis 0,125 ml/20gBB mencit, akan tetapi belum diketahui dosis efektifnya.

  1. Permasalahan

  a. Bagaimana wujud dan sifat penawaracunan propoxur oleh air kelapa wulung secara pengamatan struktural? b. Berapakah dosis efektif air kelapa wulung sebagai antidotum secara peroral untuk kasus keracunan propoxur?

  2. Keaslian penelitian Berdasarkan sumber-sumber informasi yang diperoleh, penelitian ilmiah mengenai air kelapa sebagai antidotum pada kasus keracunan propoxur sudah pernah dilakukan adalah daya antidotum air kelapa terhadap keracunan propoxur pada mencit galur Swiss oleh Hadi, dkk (2009) dengan hasil penelitian yaitu air kelapa wulung memiliki daya antidotum pada kasus keracunan propoxur ditunjukkan pada dosis 0,5ml/20gBB mencit sedangkan air kelapa hijau volume 0,5ml/20g BB mencit tidak memiliki daya antidotum. Selain itu penelitian mengenai efek toksik pestisida propoxur pada hepar dilakukan oleh Nandang (2004) dengan hasil penelitian yaitu propoxur dapat menyebabkan perubahan sitologi hepar.

  Penelitian mengenai Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos

  nucifera L. Var. rubescens ) sebagai Antidotum terhadap Keracunan Propoxur

  3. Manfaat penelitian

  a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kefarmasian, terkait dengan bidang toksikologi klinik.

  b. Manfaat praktis Penelitian ini dapat memberikan informasi wujud dan sifat serta dosis efektif air kelapa wulung secara peroral sebagai antidotum keracunan propoxur 0,315 ml/20g BB mencit.

B. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian mengenai Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum terhadap Keracunan Propoxur pada Mencit Putih Jantan yaitu:

  1. Mengetahui wujud dan sifat penawaracunan propoxur oleh air kelapa wulung secara pengamatan struktural.

  2. Mengetahui dosis efektif air kelapa wulung sebagai antidotum secara peroral untuk kasus keracunan propoxur.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Toksikologi Menurut beberapa sumber, toksikologi adalah ilmu yang mempelajari

  tentang zat kimia dan aksinya di dalam tubuh (Clarke and Clarke,1975); aksi bahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu (Loomis, 1978); ilmu pengetahuan mengenai kerja senyawa kimia yang merugikan terhadap organisme hidup (Ariens, Mutschler, Simonis, 1986). Lu (1995) mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya.

  Jadi istilah toksikologi ialah ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem-sistem biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001). Menurut Purwandari (2006) didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan.

  Salah satu cabang ilmu toksikologi yang mempelajari tentang racun adalah toksikologi klinik. Menurut berbagai sumber, toksikologi klinik merupakan cabang ilmu toksikologi yang mempelajari tentang gangguan didefinisikan sebagai cabang ilmu toksikologi yang mempelajari penanganan kearcunan suatu obat atau senyawa beracun.

B. Cara Penanganan Keracunan

  Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para pakar, tindakan pada pasien keracunan menurut Donatus (1997), yaitu:

  1. Terapi suportif Tindakan ini merupakan pertolongan pertama yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi dan menyelamatkan jiwa penderita. Tindakan ini akan memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan peredaran darah, sehingga penderita selamat serta menjadi lebih mudah dan kooperatif untuk menjalani terapi antidot berikutnya. Untuk itu terapi suportif harus dilakukan dengan cepat dan sesegera mungkin.

  2. Penyidikan jenis racun penyebab Penyidikan ini dilakukan untuk menentukan pilihan terapi antidot.

  Tindakan ini dilakukan dengan cara: a. Wawancara dengan penderita atau penghantar.

  b. Pemeriksaan gejala-gejala keracunan secara sistematis.

  c. Pemeriksaan wadah dan sisa bahan penyebab yang dicurigai melalui sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Pemilihan strategi terapi antidot bergantung pada pengetahuan atau informasi tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya gejala-gejala toksik, dan saat penderita siap menjalankan terapi

  Ketiga strategi di atas dapat dikerjakan secara khas maupun tidak. Metode yang khas hanya dapat digunakan bila zat beracunnya telah diketahui serta zat antidotnya tersedia. Sedangkan yang tidak khas adalah metode umum yang dapat digunakan untuk sebagian besar zat beracun (Donatus, 1997).

C. Penanganan Keracunan Insektisida Karbamat

  Olson (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam menangani keracunan khususnya keracunan organofosfat dan insektisida karbamat, yaitu:

  1. Terapi suportif dan penanganan darurat

  2. Pemberian obat seperti agen antimuskarinik yaitu atropin atau dengan pemberian reaktivator enzim yaitu pralidoxime.

  3. Dekontaminasi yaitu dengan cara membersihkan bagian tubuh yang telah terkontaminasi dengan sabun maupun air.

  4. Peningkatan eliminasi yang dilakukan dengan cara dialisis dan hemoperfusi.

D. Asas Umum Terapi Antidot

  Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun (Donatus, 2001).

  Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun (bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001).

  Tujuan terapi antidot ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun, sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya.

  Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek toksik racun (Donatus, 2001).

  Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot dapat dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian

  Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidot meliputi:

  1. Penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi) Sumber: Donatus (2001)

  Gambar 1. Penghambatan Absorpsi dan Distribusi (Translokasi)

  Dalam mekanisme penawaracunan dengan cara penghambatan absorpsi dan distribusi. Pada gambar 1, garis putus-putus menunjukkan apabila terdapat racun maka absorpsi obat akan melebihi ambang kadar toksik maksimal (KTM) sehingga senyawa beracun akan semakin cepat terdistribusi pula keseluruh tubuh. Sedangkan pada garis lurus, dengan adanya pemberian

  2. Peningkatan eliminasi Sumber: Donatus (2001)

  Gambar 2. Peningkatan Eliminasi Dalam mekanisme penawaracunan dengan cara peningkatan eliminasi.

  Pada gambar 2, garis putus-putus menunjukkan apabila terdapat racun maka absorpsi obat akan melebihi ambang kadar toksik maksimal (KTM) sehingga senyawa beracun akan semakin lama berada di dalam tubuh sehingga proses eliminasi senyawa beracun tersebut juga lama. Sedangkan pada garis lurus, dengan adanya pemberian antidotum maka eliminasi terhadap senyawa beracun akan dipercepat sehingga dapat segera di ekskresikan dari dalam tubuh (Donatus, 2001).

  3. Penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001). maka ambang kadar toksik maksimal (KTM) akan ditingkatkan menjadi 100 sehingga tidak menimbulkan keracunan (Donatus, 2001).

  Sumber: Donatus (2001)

  Gambar 3. Penaikkan Ambang Toksik Racun dalam Tubuh

E. Propoxur

  O C CH 3 O N H O CH 3 CH CH 3 Sumber: Anonim (1973)

Gambar 4. Struktur Propoxur (2-isopropoxifenil metilkarbamat) Propoxur, C

11 H

  15 NO 3 termasuk racun kelas menengah. Racun ini biasa

  disebut dengan Aprocarb yang biasa digunakan sebagai zat aktif dalam insektisida (Anonim, 2007b).

  1. Mekanisme Propoxur Propoxur merusak kesehatan dengan cara menurunkan aktivitas enzim yang berperan pada saraf transimisi dalam darah. Enzim yang dimaksud di atas adalah enzim kolinesterase. Kolinesterase berfungsi menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat (Putri, 2004).

  Jika enzim ini terikat oleh jenis insektisida ini, maka kerja syaraf akan menjadi terganggu sehingga gerak otot tidak dapat dikendalikan, timbul kejang, lumpuh atau pingsan sehingga dapat menyebabkan kematian (Widiarini, 2001).

  Untuk mengetahui kadar racun di dalam tubuh dengan melakukan pemeriksaan aktivitas kolinesterase dalam darah merah dengan alat tintometer

  kit (Putri, 2004).

  Dalam metabolisme manusia, terdapat enzim asetilkolinesterase yang terdapat dalam darah. Fungsi normal dari enzim ini adalah menghidrolisis sehingga menonaktifkan kerja asetilkolin. Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmitter untuk memperbanyak konduksi saraf

  pseudocholinesterase atau serum cholisterase yang berada pada serum, plasma

  dan hati (Lubis, 2002). Insektisida yang mengandung bahan ini akan menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali dan bersifat irreversibel. Penghambatan ini terjadi sampai suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Jika penghambatan AChE diabaikan maka kerja asetilkolin akan berlangsung terus sehingga kontraksi otot berjalan terus menerus (Lubis, 2002).

  2. Efek toksik propoxur Propoxur dapat mengakibatkan beberapa efek yang berbahaya antara lain: a. Jika tertelan

  Proses pencernaan dapat menghasilkan mual, muntah, kehilangan selera makan, kram abdominal, dan diare.

  b. Jika terkena mata Propoxur dapat menyebabkan iritasi mata dan kerusakan pada beberapa individu. Jika melakukan kontak mata secara langsung dapat menghasilkan air mata, pelipatan pada kelopak mata, kontraksi atau pengucupan anak mata, kehilangan fokus dan pengaburan penglihatan. mengeluarkan keringat dan terjadi kekejangan otot. Namun reaksi ini tertunda untuk beberapa jam.

  d. Jika terhirup Bahan ini tidak mengiritasi saluran pernapasan. Namun penghirupan debu atau uap dalam periode yang cukup lama dapat menimbulkan gangguan saluran pernapasan. Efek pada sistem saraf meliputi kehilangan keseimbangan, sulit berbicara, gemetar pada kelopak mata dan lidah, kelumpuhan otot tangan dan otot saluran pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian yang dikaitkan dengan adanya kegagalan jantung.

  e. Efek bahaya kronis Efek ini terjadi jika orang yang bersangkutan melakukan kontak secara berulang kali terhadap unsur ini. Efek yang ditimbulkan antara lain menyebabkan memori menjadi lemah dan hilangnya konsentrasi, depresi parah dan penyakit kejiwaan akut, sifat lekas marah, kebingungan, kelesuan, emosional, sulit berbicara, disorientasi pada ruang, penundaan waktu untuk bereaksi, berjalan sambil tidur, mengantuk, sulit tidur, emosional, berbagai kesulitan berbicara, sakit kepala, diorientasi pada ruang, penundaan waktu untuk bereaksi. Selain itu bisa menyebabkan perilaku atau perubahan neuro- kimia selama berhari-hari atau beberapa bulan. Efek jangka panjang ini

F. Asetilkolin

  Asetilkolin merupakan substrat alam asetilkolinesterase, yaitu enzim yang terdapat pada jaringan pembuluh darah vena mamalia dan serangga. Oleh kerja katalitik asetilkolinesterase, asetilkolin dihidrolisis dan menghasilkan kolin dan asetat (Niksolihin, 1996a).

  Di dalam susunan saraf pusat, asetilkolin dibuat oleh saraf yang batang selnya terdapat pada batang otak dan forebrain, dan juga disintesis dalam saraf di berbagai daerah di tempat lain di dalam otak. Ia beraksi pada sistem saraf otonom di perifer maupun pusat. Asetilkolin merupakan transmitter utama dalam saraf motorik di neuromuscular junction pada vertebrata. Setelah disintesis, asetilkolin dimetabolisme lebih lanjut menjadi kolin dan asetat oleh enzim asetilkolinesterase. Kolin selanjutnya akan direuptake (Gambar 5) ke dalam ujung presinaptik untuk menjadi prekursor sintesis asetilkolin (Ikawati, 2008).

G. Enzim Asetilkolinesterase

  Enzim merupakan suatu makromolekul yang berperan dalam katalis suatu reaksi biokimia. Asetilkolinesterase merupakan suatu enzim esterase yang mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin menjadi kolin and asetat pada saraf sinaptik. Enzim asetilkolinesterase ini mengandung suatu serin yang merupakan pusat aktif dari enzim sebagai katalis dalam reaksi hidrolisis asetilkolin (Bug, 2004). H C C O H C O 3 N C C H 2 Asetilkolinesterase H C C OH 3 H C 3 N C C H 2 HO O

  3 CH 3 H 2 CH 3 CH 3 H CH 2 3 Asetilkolin Asam Asetat Kolin

  Sumber: Bug (2004) Gambar 6. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Oleh Enzim Asetilkolin Esterase

H. Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. Rubescens)

  Kelapa (Cocos nucifera) termasuk jenis tanaman familia palmae, dibagi menjadi 3 ,yaitu:

  1. Kelapa dalam dengan varietas: viridis (kelapa hijau), rubescens (kelapa merah), macrocorpu (kelapa kelabu), sakarina (kelapa manis)

  2. Kelapa genjah dengan varietas: eburnea (kelapa gading), regia (kelapa raja), pumila (kelapa puyuh), pretiosa (kelapa raja malabar)

  Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Familia : Arecaceae Genus : Cocos Spesies : Cocos nucifera L. Var. rubescens (Anonim, 2005).

  Menurut BPPT (2005), kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var. Rubescens) termasuk dalam famili palmae golongan kelapa dalam. Varietas dari kelapa wulung ini yaitu kelapa merah (Rubescens). Berbeda dengan kelapa hijau, kelapa merah memiliki sabut kelapa berwarna kemerahan serta bunganya berwarna semburat kemerahan.

  

Gambar 7. Perbedaan Buah Kelapa Wulung dengan Kelapa Hijau

  Kelapa wulung mempunyai buah berukuran cukup besar. Batang berdiri menopang tiap helaian. Buahnya terbungkus serabut dan batok cukup kuat. Pohon Kelapa dapat menghasilkan 2 - 10 buah kelapa setiap tangkainya (Anonim, 2005).

  Tabel I. Komposisi Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens)

Komposisi Jumlah Komposisi Jumlah

  Kalori 17,4 kkal Nitrogen (N) 432 mg/l Kadar Air 95,50% Fosfor (P) 186 mg/l Kadar Lemak <0,10% Kalium (K) 7300 mg/l Kadar Protein 0,10% Kalsium (Ca) 994 mg/l Kadar Karbohidrat 4,00% Magnesium (Mg) 262 mg/l Kadar Gula Total 5,60% Klorida (Cl) 1830 mg/l Kadar Gula Reduksi 5,40% Sulfur (S) 35,40 ppm Glutamat 14,50% Besi (Fe) 11,54 ppm Arginin 12,75% Mangan (Mn) 49 ppm Leusin 4,18% Seng (Zn) 18 ppm Lisin 4,51% Tembaga (Cu) 0,80 ppm Prolin 4,12% Vitamin C 2,2-3,4 mg/100 ml Aspartam 3,60% Asam Nikotinat 64 µg/100 ml Tirosin 2,83% Asam Pantotenat 52 µg/100 ml Alanin 2,41% Biotin 2 µg/100 ml Histidin 2,05% Vitamin B2 < 0,01 µg/100 ml Fenilalanin 1,23% Asam Folat 0,3 µg/100 ml Serin 0,91% Vitamin B1 Sedikit Sistein 1,17% Piridoksin Sedikit

  Sumber: Kemala dan Velayutham (1978), Thampan (1981), Sison (1977) Air kelapa muda bila diminum segar, rasanya manis karena mengandung total gula 5,6%. Selain memiliki sejumlah makro dan mikromineral, juga mengandung vitamin dan protein meskipun dalam jumlah yang kecil. Meskipun

  Selanjutnya dari 12 jenis asam amino pada air kelapa, tujuh di antaranya adalah esensial, yaitu: arginin, leusin, lisin, tirosin, histidin, fenilalanin dan sistein.

  Sedangkan glutamat adalah jenis asam amino tertinggi dan seperti yang dijelaskan pada nilai gizi daging buah kelapa muda, glutamat juga yang paling tinggi dimana asam amino tersebut merupakan nutrisi penting untuk otak (Barlina, 2004).

I. Anatomi Fisiologi

1. Jantung

  Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmik, yang memompa darah melalui sistem sirkulasi. Jantung juga berfungsi menghasilkan sebuah hormon yang disebut faktor natriuretik atrium (Junquiera dan Carneiro, 2007).

  Lapisan dinding pada jantung terdiri atas 3 tunika : bagian dalam atau endokardium, bagian tengah atau miokardium, dan bagian luar atau epikardium. Endokardium bersifat homolog dengan intima pembuluh darah. Endokardium terdiri atas selapis sel endotel gepeng, yang berada di atas selapis tipis subendotel jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin dan kolagen, selain sel otot polos. Yang menghubungkan miokardium pada lapisan subendotel adalah selapis jaringan ikat (yang sering disebut lapisan

  Miokardium adalah tunika yang paling tebal dari jantung yang tersusun dalam lapisan yang mengelilingi bilik-bilik jantung dalam bentuk pilihan yang rumit. Dalam miokardium terdapat sel otot yang bervariasi sehingga sediaan histology dari sebagian kecil daerahnya akan memperlihatkan sel-sel yang tersusun dalam berbagai arah. Bagian luar jantung dilapisi oleh epitel selapis gepeng (mesotel) yang ditopang oleh selapis tipis jaringan ikat yang membentuk epikardium. Lapisan jaringan ikat longgar subepikardium mengandung vena, saraf, dan ganglia saraf (Junquiera dan Carneiro, 2007).

  Jantung sebagai pompa merupakan salah satu bagian dari sistem kardiovaskular disamping sistem pembuluh darah dan darah. Ketiga komponen tersebut dapat dipengaruhi oleh zat toksik (Bergman, Adel dan Paul, 1996).

2. Lambung

  Lambung, seperti usus halus, merupakan organ gabungan eksokrin dan endokrin yang mencernakan makanan dan sekresi hormon. Lambung merupakan bagian yang melebar disaluran cerna, yang fungsi utamanya adalah melanjutkan pencernaan karbohidrat yang sudah dimulai dimulut, menambah cairan asam kepad makanan, mengubah makanan oleh kerja otot menjadi suatu massa kental (kimus), dan membantu dimulainya pencernaan protein oleh makroskopis, hanya tiga daerah yang dapat dikenali secara histologis. Mukosa dan submukosa lambung yang kosong memperlihatkan adanya lipatan-lipatan memanjang yang dikenal sebagai rugae. Saat lambung terisi oleh makanan, lipatan-lipatan ini menjadi rata (Alya, 2004).

  Mukosa lambung terdiri atas epitel permukaan yang berlekuk ke dalam lamina propria dengan kedalaman yang bervariasi, membentuk sumur- sumur lambung (foveola gastrika). Ke dalam foveola gastrika ini, dicurahkan isi kelenjar tubular bercabang (kardiak, korpus, dan pilorus) yang khas untuk setiap bagian lambung. Lamina propria lambung terdiri atas jaringan ikat longgar yang disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Yang memisahkan mukosa dari submukosa dibawahnya adalah selapis otot polos, yaitu muskularis mukosa (Junquiera dan Carneiro, 2007).

3. Hati

  Hati adalah organ terbesar kedua ditubuh (yang terbesar adalah kulit) dan kelenjar terbesar, dengan berat sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut dibawah diagfragma (Junquiera dan Carneiro, 2007). Hati mempunyai banyak fungsi kompleks, di antaranya pembentukan empedu, penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan

  Posisi hati dalam sistem sirkulasi sangat cocok untuk menampung, mengubah dan mengumpulkan metabolit serta untuk menetralisasi dan mengeluarkan zat toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, yakni suatu secret eksokrin dari hati yang penting untuk pencernaan lipid (Junquiera dan Carneiro, 2007).

  Hati dibungkus oleh suatu simpai tipis jaringan ikat (kapsula glisson) yang menebal di hilus, tempat vena porta dan arteri hepatica memasuki hati dan keluarnya duktus hepatica kiri dan kanan serta pembuluh limfe dari hati. Pembuluh-pembuluh dan duktus ini dikelilingi jaringan ikat disepanjang perjalanannya ke bagian ujung (atau bagian asal) didalam celah portal antar lobuli hati. Ditempat ini, terbentuk jaringan serat retikulin halus yang menopang hepatosit dan sel endotel sinusoid di lobulus hati (Junquiera dan Carneiro, 2007).

  

J. Kerusakan Organ

  1. Nekrosis Perubahan sel berupa nekrosis adalah bentuk kematian sel pada jaringan organisme hidup dan merupakan proses patologis setelah terjadi cidera sel dan sering mengenai jaringan padat (Underwood, 1994). Inti sel yang

  Nekrosis hati membentuk pola-pola yang bersifat fokal, zona, atau massif (Chandrasoma dan Taylor, 2006). Gambaran makroskopik jaringan yang mengalami nekosis terlihat lebih pucat dan transparan bila dibandingkan dengan jaringan normal disekitarnya. Penyebab nekrosis hati dapat dipengaruhi secara langsung oleh agen yang bersifat tosik seperti zat-zat kimia maupun toksin kuman (nekrosis toksopatik), ataupun dapat juga disebabkan karena kekurangan faktorfaktor yang sangat dibutuhkan sel seperti O2 dan zat-zat makanan (nekrosistrofopatik) (Ressang, 1984). Infeksi bakteri dapat pula menyebabkan terjadi nekrosis (Graves dan Faccini, 1984). Berikut adalah keterangan tentang pola-pola nekrosis.

  a. Nekrosis fokal Nekrosis sel hati fokal merupakan nekrosis yang terjadi secara acak atau sekelompok sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Tidak semua lobulus terkena. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik dan daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan radang. Badan asidofilik merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda (Chandrasoma dan Taylor, 2006).

  b. Nekrosis zona karbon tetraklorida dan kloroform, serta keadaan anoksia seperti gagal jantung dan syok. Nekrosis midzona jarang terjadi dan timbul pada demam kuning. Nekrosis zona perifer yang mengenai sel hati di sekeliling traktus porta terjadi pada eklampsia dan keracunan fosfor (Chandrasoma dan Taylor, 2006).

  c. Nekrosis submasif dan masif Nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah porta dengan vena sentralis (“bridging necrosis”). Bentuk nekrosis yang paling berat adalah nekrosis hati masif, dengan daerah hati yang berkonfluensi luas mengalami nekrosis sehingga tertinggal pulau-pulau kecil sel hati viabel yang tetap utuh. Nekrosis masif ditandai oleh pengecilan hati mendadak, yang tampak kuning, dan membubur, dengan kapsul yang berkerut. Daerah sisa sel hati viabel tampak sebagai daerah bercak coklat tua yang kontras dengan zona kuning nekrotik (Chandrasoma dan Taylor, 2006).

  2. Degenerasi Degenerasi merupakan perubahan morfologik yang diakibatkan oleh pengaruh luka yang tidak fatal dan kondisi ini masih dapat terbalikkan

  (reversibel) (Anonim, 1973; Robbins, 1974). Degenerasi diklasifikasikan mempetahankan homeostasis antara ion dan cairan (Anonim, 1973; Robbins, 1974). Adanya hambatan dalam pompa ion natrium mengakibatkan masuknya ion natrium ke intrasel meningkat. Keadaan ini diikuti oleh adanya kenaikan isoosmosi air intrasel sehingga terjadi pembengkakan sel (Donatus, 2001). Penampakan degenerasi hidrofik pada hati secara mikroskopik sering terlihat sebagai ruangan yang kosong dalam sitoplasma (Anonim, 1973; Atmodjo, 1990; Robbins, 1974).

  b. Degenerasi melemak Degenerasi melemak merupakan perubahan morfologik pada organ hati akibat luka yang ditandai dengan adanya lemak pada sel (Hagazy,

  2009). Pada beberapa keadaan, degenerasi melemak dapat sebagai indikator lain untuk jejas reversibel sel. Ini merupakan reaksi yang kurang umum, terutama dijumpai dalam sel-sel yang terlibat dan tergantung pada metabolisme lemak, seperti hepatosit dan sel-sel miokardium, karena ini adalah bentuk penimbunan intrasel (Robbins dan Kumar, 1995).

  c. Degenerasi albuminous Degenerasi albuminous merupakan perubahan sel yang ditandai pembengkakan sel dan granulasi di sitoplasma (Hagazy, 2009).

  d. Degenerasi hyaline

  3. Radang Radang ialah reaksi jaringan hidup terhadap semua bentuk jejas.

  Dalam aksi ini ikut berperan pembuluh darah, saraf, cairan dan sel-sel tubuh di tempat jejas. Proses radang merupakan proses memusnahkan, melarutkan atau membatasi agen penyebab jejas dan merintis jalan untuk pemulihan jaringan yang rusak pada tempat itu (Robbins dan Kumar, 1995).

  

K. Landasan Teori

  Propoxur merupakan racun yang dapat mengakibatkan timbulnya kejang, lumpuh dan gerak otot tidak dapat dikendalikan sehingga dapat menyebabkan kematian. Propoxur bekerja dengan menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga terjadi akumulasi asetilkolin yang menyebabkan terjadinya kejang otot yang berlebihan, Propoxur dapat merusak sel-sel organ pada hati, lambung dan jantung.

  Hati merupakan organ yang berperan dalam metabolisme. Apabila organ hati ini rusak maka dapat menyebabkan kematian. Pada organ lambung dan jantung terdapat banyak otot polos di mana otot polos merupakan tempat penyimpanan asetilkolin.