KEKEWATIRAN PADA KEBEBASAN PERS SAAT INI
The freedom of the press
KEKEWATIRAN PADA KEBEBASAN PERS SAAT INI
Muhammad Mashuri Alif
Mata Kuliah: Media Law, Ethics, and Policy
Dosen: Dr. Indrawadi Tamin, Msc
Sistem pers memang tidak terlepas hubungannya dengan sistem sosial dan sistem politik
dari suatu masyarakat atau bangsa, karena hubungan pers itu adalah dengan pemerintah dan
masyarakat, di mana hubungannya atau interaksinya itu tidak bisa dihilangkan. Jadi sistem
pers itu tidak akan terlepas dari pengaruh pemikiran atau filsafat yang mendasari sistem
masyarakat dan sistem pemerintahan, dimana pers itu berada dan beroperasi.
(F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers, Jakarta: Gramedia, hlm. 14.)
Sebait kutipan diatas dari F. Rachmadi diatas untuk mengambarkan fungsi media pers yang
merupakan pilar ke 4 dari sistem demokrasi kita. Tetapi sayangnya di era reformasi peran
yang tinggi tersebut tidak lagi sejalan dengan prakteknya sebagai sarana penyeimbang, dan
juga kontrol publik. Apakah benar proses sosial dan politik sedang berlangsung ke arah
yang lebih liberal, dari yang sebelumnya bercorak otoritarian?
Di masa Orde Baru dahulu, pers diatur dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1966,
Undang-undang No. 4 Tahun 1967 dan Undang-undang No. 21 Tahun 1982 yang
merupakan produk represif pada saat itu, sedangkan di era Reformasi setelah lengsernya
Soeharto kehidupan pers diberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
yang penuh dengan euforia.
Di era Reformasi sistem pers menuju ke sistem pers bebas (liberal) yaitu dengan adanya
euforia kebebasan yang kebablasan karena tidak ada lagi ketentuan regulasi yang represif.
Walaupun sekarang ini sudah muncul UU 32 tahun 2002 tentang Media Penyiaran
elektronik. Dalam undang-undang ini tidak mengatur hubungan yang jelas antara pemilik
dan pengelola berbeda dengan UU Pers. Sehingga dalam kasus yang berhubungan dengan
media Pers masih banyak dipergunakan KUHP, seperti dalam kasus Olga. Berikutnya, UU
11 tahun 2008 yang mengatur ITE dan sangsinya sudah ada seperti pada jaman SBY yang
situsnya di Hack orang. Akhirnya yang melakukan hal tersebut diberikan sangsi pidana dan
yang terakhir yang menimpa JKW, tetapi kemudian dimaafkan. UU 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi publik dan terakhir UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pertanyaannya kemudian apakah persnya ini sudah sejalan dengan keinginan masyarakat
pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari cita-cita Commission on The Freedom of The
Press sekitar tahun 1945 di Amerika sebagai salah satu tolak ukur kebebasan pers. Komisi
ini mengawatirkan kondisi di Amerika pada saat itu meliputi hak akses terhadap pers,
mercenary; atau media hanya dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai uang.
Akibatnya banyak pers yang dihujat oleh masyarakat. Bagaimana dengan di Indonesia
apakah masih relefan hal diatas. Mari kita lihat perkembangannya sejak bergulirnya
kebebasan pers di era reformasi.
1. Berdasarkan data yang dihimpun Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada era
Reformasi terjadi kenaikan jumlah penerbitan yang sangat signifikan setelah keran
kemerdekaan pers dibuka tahun 1999. Pada tahun 1997, jumlah media cetak di
Indonesia memiliki 289 penerbitan, kemudian pada tahun 1999 jumlah penerbitan
melonjak drastis menjadi 1687.
2. Gejala kemerdekaan pers di Indonesia, tercermin pula melalui hasil survey
organisasi Reporter Without Border, di Paris tahun 2002, bahwa kemerdekaan pers
di Indonesia terbaik di Asia Tenggara.
Tetapi disamping makin beragamnya media yang hadir, muncul kekewatiran.
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI dan MPPI dengan anggota Panitia Ad Hoc I BP
MPR masih menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan terhadap kebebasan pers.
Mereka mengkhawatirkan kebebasan pers akan menjadi sebebas- kebebasan pers itu
perlu diatur. Reaksi ini merupakan rejuvenansi konsep pengekangan pers oleh
pemerintah pra-transisi. Kekhawatiran tersebut senada dengan kecurigaan pemerintah
bahwa kebebasan pers yang tanpa kontrol telah melahirkan satu model kebebasan
pers yang saat ini sudah berlebihan dan menjadi sumber kekuasan baru. Hal ini
antara lain di tandai dengan penyerangan terhadap harian Jawa Post di Surabaya
oleh Banser (Barisan Serba Guna) Anshor yang merupakan pendukung Presiden
Abdurrahman Wahid.
2. Menurut catatan AJI. Periode 2004 menyebutkan, terdapat 32 kasus gugatan terhadap
media dan jurnalis, yang meliputi: pertama, kasus Redaktur Harian Rakyat Merdeka,
Supratman yang mempublikasikan isi berita berupa penghinaan terhadap Presiden.
Akhirnya terbukti dihukum dengan KUHP, dengan masa hukuman 6 bulan.
3. Kemudian majalah Tempo dua tahun terakhir (2003-2004) harus bolak-balik ke
pengadilan guna melayani kasus yang dibawa ke meja hijau oleh pengusaha Tomy
Winata, akibat pemberitaan di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang berjudul
”Ada Tomy di Tenah abang”.
4. Pada tahun 2013, wartawan masih rentan dijadikan sasaran penganiayaan dan
perampasan atribut atau alat liputan. Seperti penganiayaan jurnalis foto Riau Pos,
Didik Herwanto. Dilansir dari jaringannews.com Didik ditendang dan dibanting oleh
terdakwa Letkol Robert Simanjuntak saat memotret puing pesawat Hawk 200 yang
jatuh di Jalan Amal Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Kampar, Oktober tahun lalu.
Selain Didik, Aurel Do’o seorang kontributor TVRI Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara
Timur (NTT), juga mengalami peristiwa yang membahayakan dirinya setelah
memberitakan Bupati setempat berselingkuh dengan pembantunya. Aurel diancam
akan dibunuh oleh kelompok pendukung Bupati Ngada, Marianus Sae. Kemudian
Edi Winarko seorang jurnalis media online di Jember juga mengalami penganiayaan
oleh warga yang merasa tersinggung terhadap pertanyaan korban terkait isu ‘haji
palsu’nya. Ahmad Kholil yang merasa tersinggung merasa gelap mata dan
menganiaya Edi dengan parang.
5. Bahkan sejak 1996 sampai saat ini sudah terjadi 10 kasus pembunuhan, dua di antaranya terjadi di masa Orde Baru. Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap Fuad
Muhammad Syarifudin alias Udin jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, dia dianiaya
pada 13 Agustus 1996 dan meninggal. Sampai saat ini belum terungkap. Hal yang
sama terjadi dalam kasus pembunuhan wartawan Sun TV Maluku, Ridwan Salamun.
Naimullah, jurnalis Sinar Pagi, Agus dari Asia Pers, Muhammad Jamaluddi dari TVRI,
Ersa Siregar dari RCTI, Herliyanto Tabloid Delta Pos Sidoarjo, dan Alfred Mirulewan
dari Tabloid Pelangi. Dari sederet kasus itu hanya satu kasus terungkap, yaitu pembunuhan wartawan Radar Bali Anak Agung Prabangsa. Sedangkan tujuh kasus
lainnya hingga kini masih gelap.
6. Kasus terbaru di tahun 2014 adalah Penetapan Pemimpin Redaksi Jakarta Post
sebagai tersangka karena laporan Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps
Mubaligh Jakarta Edy Mulyadi. Edy menyebut, permintaan maaf dari Meidyatama tak
cukup. Menurut dia, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post menista agama dan kasus
tersebut harus dibawa ke ranah hukum pidana.
Akibatnya kondisi pers kita di penghujung tahun 2014 terus mengawatirkan berdasarkan
survei global yang dilakukan oleh lembaga pemantau media Reporters Without Borders
(RSF-RWB), dari 180 negara, ternyata Indonesia berada di peringkat 132 di Indeks
Kebebasan Pers Dunia. Kebebasan pers Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Timor
Leste di peringkat 77. Adapun Malaysia berada di posisi 147, Myanmar peringkat 145 dan
terburuk Singapura di peringkat 150. Adapun Cina diperingkat 175.
Berawal dari sinilah muncul berbagai ancaman terhadap pers, seperti isu SARA, tekanan
massa, bahkan legal resentment (ancaman gugatan), business interest (kepentingan bisnis),
suap dan sebagainya. Satu hal yang kini menonjol sebagai ancaman adalah kekecewaan
terhadap pers bebas, yang jika dicermati bisa menjadi satu opini publik luas di masyarakat,
yang disebut pers kebablasan. Fenomena kebebasan pers ini harus dilihat dalam
keseluruhannya, dalam arti kebebasan pers dilihat dalam kaitannya dengan nilai-nilai kultur,
sosial, politik dan ekonomi semua persoalan dalam negara yang kita alami sekarang
adalah suatu harapan yang berlebihan.
Selain itu bentuk-bentuk kriminalisasi menjadi ancaman terhadap kebebasan pers, padahal
seharusnya kalaupun terdapat pemberitaan yang keliru, dapat mengikuti mekanisme yang
diatur dalam UU Pers, seperti hak jawab dan hak koreksi; bukan dengan cara
memenjarakan wartawan, itu yang menjadi suatu kekeliruan Kasus kriminalisasi terhadap
pers dapat dilihat pada Kasus Tempo, Rakyat Merdeka, Radar Yogya, kemudian kasus
Suara Indonesia Baru (SIB) Medan, yang menurunkan serial investigasi tentang judi illegal
yang dibekingi oleh pejabat Sumatera Utara. Kemudian sekelompok anak muda yang
dipolitisir masuk dan mengobrakabrik SIB. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap pers
merupakan masalah yang sangat dirisaukan oleh kalangan jurnalis dan media.
Di sisi lain, kebebasan pers yang juga mengundang hal yang mengkhawatirkan. Dalam
beberapa tahun terakhir pers di Indonesia cenderung tak lagi menjadi corong agendaagenda publik. Hal ini setelah sejumlah grup media dikuasai para politisi sebagai pemiliknya.
Pers, terutama yang dimiliki orang partisan, pemberitaannya cenderung partisan pula. Hal ini
memuncak saat era pemilu presiden seperti sekarang ini. Beberapa media mengusung
agenda yang mencerminkan agenda politik si empunya. Grup Metro TV mengusung agenda
Surya Paloh untuk capres Jokowi-JK. Grup TV One mengusung agenda Aburizal Bakrie
untuk Prabowo-Hatta. Demikian pula media di grup MNC mengusung agenda Hary Tanoe
untuk Prabowo-Hatta. Tak beda pula dengan untuk pers cetak main online yang masuk
dalam grup di atas. Jauh sebelum pemilu 2014 yang lalu, majalah Tempo lewat edisi 18 Mei
2008 pun memuat artikel yang berjudul “Hidup Adalah Beriklan”. Para politikus tersebut
benar-benar memanfaatkan media sebagai sarana untuk mempromosikan diri mereka.
Publik tak lagi memiliki hak penuh untuk mendapatkan informasi yang benar. Ini karena
informasi yang disampaikan “dimasak” sedemikian rupa sehingga publik merasakan racikan
informasi dengan “rasa” pemiliknya. Kepentingan-kepentingan privat disampaikan melalui
media yang sebenarnya milik publik. Sebab meski secara modal media massa adalah milik
privat, dalam pemberitaan pada hakekatnya media adalah milik publik. Sehingga apapun
yang diberitakan, seharusnya mencermikan kepentingan publik. Tapi siapa yang bisa
mencegah pemilik-pemilik modal itu tidak menyalahkan gunakan medianya untuk
kepentingan dirinya? Ancaman kebebasan pers berpindah dari penguasa ke pemilik modal.
Sebagai dikutip diatas media sebagai pilar ke empat harus mampu menjadi agen of change,
mengimplementasikan kesejahteraan rakyat dan pencerdasan kehidupan bangsa. Dengan
prinsip-prinsip indepeden, cover both sides, bebas dari campur tangan modal dan politik.
Thomas Jeffersen, pernah mengatakan : “Lebih baik memiliki pers tanpa pemerintah,
daripada memiliki pemerintah tanpa pers.”
Kini ketika kontrol politik melonggar dan kebebasan pers cukup besar, tantangan utama
media pers adalah kontrol dari pemilik modal. Watak pers sebagai industri dewasa ini sangat
rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik. Lebih-lebih mengingat
persaingan antar lembaga pers/media yang begitu ketat sehingga masing-masing lembaga
media/pers berusaha menarik audiens dengan berbagai cara. Independensi lembaga pers
dan idealisme jurnalis kini benar-benar diuji. Pertanyaannya, apakah kode etik jurnalistik
mampu menangkal kecenderungan dampak buruk dari industrialisi pers tersebut?
Mengenai soal kelembagaan ini ada satu masalah yang masih krusial di negeri ini yaitu soal
kepemilikan perusahaan media khususnya media televisi. Ada kecenderungan kepemilikan
media televisi di Indonesia mengarah pada bentuk oligopolis di mana lembaga-lembaga
media yang ada hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Hal ini merupakan satu tantangan
tersendiri bagi dunia jurnalistik untuk mewujdukan pluralitas media yang menjamin
penyebaran infromasi secara lebih demokratis.
Selain itu banyak pemberitaan yang menurut masyarakat diluar kaidah jurnalistik dan etika
jurnalistik. Misalnya munculnya istilah junk food news, yaitu berita yang dianggap
overxposed tinggi dalam intensitas peliputan, tapi tak selalu penting atau punya relevensi
bagi konsumennya, di Indonesia contohnya adalah Infotainmen tentang selebritis.
Karena berorientasi pada profit maka, pemberitaan yang dibuat oleh media massa juga
cenderung memberitakan isu-isu yang popular dikalangan masyarakat. Contoh masih ingat
pemberitaan Kasus Ryan. Sejak terkuatnya Kasus Ryan, hampir seluruh media massa
nasional mengulas kasus tersebut. Bahkan Kasus Ryan juga masuk dalam infotainment
yang biasanya mengulas tentang kehidupan seleberiti.
Oleh sebab itu jurnalis selain memahami etika jurnalistik, juga harus mengetahui
pengembangan tentang prinsip pers di dunia, salah satunya adalah 9 elemen jurnalis Bill
Kovach dan Tom Rosensteil yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka (etika)
Sumber:
1. http://www.rri.co.id/post/berita/77602/nasional/kasus_pembunuhan_wartawan_tidak_
tuntas_penyebab_indeks_kebebasan_pers_indonesia_terpuruk.html
2. http://www.tempo.co/read/news/2014/12/11/078627972/Dewan-Pers-Kasus-TheJakarta-Post-Sudah-Selesai
3. Winarto, senior news producer RCTI, lulusan Pascasarjana Sosiologi Universitas
Indonesia
4. http://legatuspropraetor.wordpress.com/2011/11/12/demokrasi-dan-kebebasan-pers/
5. http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/sembilan-elemen-jurnalisme-pluselemen.html
6. http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/12/10/masalah-jurnalisme-diindonesia-615170.html
7. http://www.rmol.co/read/2012/05/06/62897/45-Kasus-Tindak-KekerasanMenghantui-Misi-Wartawan8. LBH PERS
KEKEWATIRAN PADA KEBEBASAN PERS SAAT INI
Muhammad Mashuri Alif
Mata Kuliah: Media Law, Ethics, and Policy
Dosen: Dr. Indrawadi Tamin, Msc
Sistem pers memang tidak terlepas hubungannya dengan sistem sosial dan sistem politik
dari suatu masyarakat atau bangsa, karena hubungan pers itu adalah dengan pemerintah dan
masyarakat, di mana hubungannya atau interaksinya itu tidak bisa dihilangkan. Jadi sistem
pers itu tidak akan terlepas dari pengaruh pemikiran atau filsafat yang mendasari sistem
masyarakat dan sistem pemerintahan, dimana pers itu berada dan beroperasi.
(F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers, Jakarta: Gramedia, hlm. 14.)
Sebait kutipan diatas dari F. Rachmadi diatas untuk mengambarkan fungsi media pers yang
merupakan pilar ke 4 dari sistem demokrasi kita. Tetapi sayangnya di era reformasi peran
yang tinggi tersebut tidak lagi sejalan dengan prakteknya sebagai sarana penyeimbang, dan
juga kontrol publik. Apakah benar proses sosial dan politik sedang berlangsung ke arah
yang lebih liberal, dari yang sebelumnya bercorak otoritarian?
Di masa Orde Baru dahulu, pers diatur dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1966,
Undang-undang No. 4 Tahun 1967 dan Undang-undang No. 21 Tahun 1982 yang
merupakan produk represif pada saat itu, sedangkan di era Reformasi setelah lengsernya
Soeharto kehidupan pers diberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
yang penuh dengan euforia.
Di era Reformasi sistem pers menuju ke sistem pers bebas (liberal) yaitu dengan adanya
euforia kebebasan yang kebablasan karena tidak ada lagi ketentuan regulasi yang represif.
Walaupun sekarang ini sudah muncul UU 32 tahun 2002 tentang Media Penyiaran
elektronik. Dalam undang-undang ini tidak mengatur hubungan yang jelas antara pemilik
dan pengelola berbeda dengan UU Pers. Sehingga dalam kasus yang berhubungan dengan
media Pers masih banyak dipergunakan KUHP, seperti dalam kasus Olga. Berikutnya, UU
11 tahun 2008 yang mengatur ITE dan sangsinya sudah ada seperti pada jaman SBY yang
situsnya di Hack orang. Akhirnya yang melakukan hal tersebut diberikan sangsi pidana dan
yang terakhir yang menimpa JKW, tetapi kemudian dimaafkan. UU 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi publik dan terakhir UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Pertanyaannya kemudian apakah persnya ini sudah sejalan dengan keinginan masyarakat
pada umumnya. Hal ini bisa kita lihat dari cita-cita Commission on The Freedom of The
Press sekitar tahun 1945 di Amerika sebagai salah satu tolak ukur kebebasan pers. Komisi
ini mengawatirkan kondisi di Amerika pada saat itu meliputi hak akses terhadap pers,
mercenary; atau media hanya dikuasai oleh segelintir orang yang mempunyai uang.
Akibatnya banyak pers yang dihujat oleh masyarakat. Bagaimana dengan di Indonesia
apakah masih relefan hal diatas. Mari kita lihat perkembangannya sejak bergulirnya
kebebasan pers di era reformasi.
1. Berdasarkan data yang dihimpun Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada era
Reformasi terjadi kenaikan jumlah penerbitan yang sangat signifikan setelah keran
kemerdekaan pers dibuka tahun 1999. Pada tahun 1997, jumlah media cetak di
Indonesia memiliki 289 penerbitan, kemudian pada tahun 1999 jumlah penerbitan
melonjak drastis menjadi 1687.
2. Gejala kemerdekaan pers di Indonesia, tercermin pula melalui hasil survey
organisasi Reporter Without Border, di Paris tahun 2002, bahwa kemerdekaan pers
di Indonesia terbaik di Asia Tenggara.
Tetapi disamping makin beragamnya media yang hadir, muncul kekewatiran.
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI dan MPPI dengan anggota Panitia Ad Hoc I BP
MPR masih menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan terhadap kebebasan pers.
Mereka mengkhawatirkan kebebasan pers akan menjadi sebebas- kebebasan pers itu
perlu diatur. Reaksi ini merupakan rejuvenansi konsep pengekangan pers oleh
pemerintah pra-transisi. Kekhawatiran tersebut senada dengan kecurigaan pemerintah
bahwa kebebasan pers yang tanpa kontrol telah melahirkan satu model kebebasan
pers yang saat ini sudah berlebihan dan menjadi sumber kekuasan baru. Hal ini
antara lain di tandai dengan penyerangan terhadap harian Jawa Post di Surabaya
oleh Banser (Barisan Serba Guna) Anshor yang merupakan pendukung Presiden
Abdurrahman Wahid.
2. Menurut catatan AJI. Periode 2004 menyebutkan, terdapat 32 kasus gugatan terhadap
media dan jurnalis, yang meliputi: pertama, kasus Redaktur Harian Rakyat Merdeka,
Supratman yang mempublikasikan isi berita berupa penghinaan terhadap Presiden.
Akhirnya terbukti dihukum dengan KUHP, dengan masa hukuman 6 bulan.
3. Kemudian majalah Tempo dua tahun terakhir (2003-2004) harus bolak-balik ke
pengadilan guna melayani kasus yang dibawa ke meja hijau oleh pengusaha Tomy
Winata, akibat pemberitaan di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang berjudul
”Ada Tomy di Tenah abang”.
4. Pada tahun 2013, wartawan masih rentan dijadikan sasaran penganiayaan dan
perampasan atribut atau alat liputan. Seperti penganiayaan jurnalis foto Riau Pos,
Didik Herwanto. Dilansir dari jaringannews.com Didik ditendang dan dibanting oleh
terdakwa Letkol Robert Simanjuntak saat memotret puing pesawat Hawk 200 yang
jatuh di Jalan Amal Kecamatan Pasir Putih Kabupaten Kampar, Oktober tahun lalu.
Selain Didik, Aurel Do’o seorang kontributor TVRI Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara
Timur (NTT), juga mengalami peristiwa yang membahayakan dirinya setelah
memberitakan Bupati setempat berselingkuh dengan pembantunya. Aurel diancam
akan dibunuh oleh kelompok pendukung Bupati Ngada, Marianus Sae. Kemudian
Edi Winarko seorang jurnalis media online di Jember juga mengalami penganiayaan
oleh warga yang merasa tersinggung terhadap pertanyaan korban terkait isu ‘haji
palsu’nya. Ahmad Kholil yang merasa tersinggung merasa gelap mata dan
menganiaya Edi dengan parang.
5. Bahkan sejak 1996 sampai saat ini sudah terjadi 10 kasus pembunuhan, dua di antaranya terjadi di masa Orde Baru. Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap Fuad
Muhammad Syarifudin alias Udin jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, dia dianiaya
pada 13 Agustus 1996 dan meninggal. Sampai saat ini belum terungkap. Hal yang
sama terjadi dalam kasus pembunuhan wartawan Sun TV Maluku, Ridwan Salamun.
Naimullah, jurnalis Sinar Pagi, Agus dari Asia Pers, Muhammad Jamaluddi dari TVRI,
Ersa Siregar dari RCTI, Herliyanto Tabloid Delta Pos Sidoarjo, dan Alfred Mirulewan
dari Tabloid Pelangi. Dari sederet kasus itu hanya satu kasus terungkap, yaitu pembunuhan wartawan Radar Bali Anak Agung Prabangsa. Sedangkan tujuh kasus
lainnya hingga kini masih gelap.
6. Kasus terbaru di tahun 2014 adalah Penetapan Pemimpin Redaksi Jakarta Post
sebagai tersangka karena laporan Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps
Mubaligh Jakarta Edy Mulyadi. Edy menyebut, permintaan maaf dari Meidyatama tak
cukup. Menurut dia, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post menista agama dan kasus
tersebut harus dibawa ke ranah hukum pidana.
Akibatnya kondisi pers kita di penghujung tahun 2014 terus mengawatirkan berdasarkan
survei global yang dilakukan oleh lembaga pemantau media Reporters Without Borders
(RSF-RWB), dari 180 negara, ternyata Indonesia berada di peringkat 132 di Indeks
Kebebasan Pers Dunia. Kebebasan pers Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Timor
Leste di peringkat 77. Adapun Malaysia berada di posisi 147, Myanmar peringkat 145 dan
terburuk Singapura di peringkat 150. Adapun Cina diperingkat 175.
Berawal dari sinilah muncul berbagai ancaman terhadap pers, seperti isu SARA, tekanan
massa, bahkan legal resentment (ancaman gugatan), business interest (kepentingan bisnis),
suap dan sebagainya. Satu hal yang kini menonjol sebagai ancaman adalah kekecewaan
terhadap pers bebas, yang jika dicermati bisa menjadi satu opini publik luas di masyarakat,
yang disebut pers kebablasan. Fenomena kebebasan pers ini harus dilihat dalam
keseluruhannya, dalam arti kebebasan pers dilihat dalam kaitannya dengan nilai-nilai kultur,
sosial, politik dan ekonomi semua persoalan dalam negara yang kita alami sekarang
adalah suatu harapan yang berlebihan.
Selain itu bentuk-bentuk kriminalisasi menjadi ancaman terhadap kebebasan pers, padahal
seharusnya kalaupun terdapat pemberitaan yang keliru, dapat mengikuti mekanisme yang
diatur dalam UU Pers, seperti hak jawab dan hak koreksi; bukan dengan cara
memenjarakan wartawan, itu yang menjadi suatu kekeliruan Kasus kriminalisasi terhadap
pers dapat dilihat pada Kasus Tempo, Rakyat Merdeka, Radar Yogya, kemudian kasus
Suara Indonesia Baru (SIB) Medan, yang menurunkan serial investigasi tentang judi illegal
yang dibekingi oleh pejabat Sumatera Utara. Kemudian sekelompok anak muda yang
dipolitisir masuk dan mengobrakabrik SIB. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap pers
merupakan masalah yang sangat dirisaukan oleh kalangan jurnalis dan media.
Di sisi lain, kebebasan pers yang juga mengundang hal yang mengkhawatirkan. Dalam
beberapa tahun terakhir pers di Indonesia cenderung tak lagi menjadi corong agendaagenda publik. Hal ini setelah sejumlah grup media dikuasai para politisi sebagai pemiliknya.
Pers, terutama yang dimiliki orang partisan, pemberitaannya cenderung partisan pula. Hal ini
memuncak saat era pemilu presiden seperti sekarang ini. Beberapa media mengusung
agenda yang mencerminkan agenda politik si empunya. Grup Metro TV mengusung agenda
Surya Paloh untuk capres Jokowi-JK. Grup TV One mengusung agenda Aburizal Bakrie
untuk Prabowo-Hatta. Demikian pula media di grup MNC mengusung agenda Hary Tanoe
untuk Prabowo-Hatta. Tak beda pula dengan untuk pers cetak main online yang masuk
dalam grup di atas. Jauh sebelum pemilu 2014 yang lalu, majalah Tempo lewat edisi 18 Mei
2008 pun memuat artikel yang berjudul “Hidup Adalah Beriklan”. Para politikus tersebut
benar-benar memanfaatkan media sebagai sarana untuk mempromosikan diri mereka.
Publik tak lagi memiliki hak penuh untuk mendapatkan informasi yang benar. Ini karena
informasi yang disampaikan “dimasak” sedemikian rupa sehingga publik merasakan racikan
informasi dengan “rasa” pemiliknya. Kepentingan-kepentingan privat disampaikan melalui
media yang sebenarnya milik publik. Sebab meski secara modal media massa adalah milik
privat, dalam pemberitaan pada hakekatnya media adalah milik publik. Sehingga apapun
yang diberitakan, seharusnya mencermikan kepentingan publik. Tapi siapa yang bisa
mencegah pemilik-pemilik modal itu tidak menyalahkan gunakan medianya untuk
kepentingan dirinya? Ancaman kebebasan pers berpindah dari penguasa ke pemilik modal.
Sebagai dikutip diatas media sebagai pilar ke empat harus mampu menjadi agen of change,
mengimplementasikan kesejahteraan rakyat dan pencerdasan kehidupan bangsa. Dengan
prinsip-prinsip indepeden, cover both sides, bebas dari campur tangan modal dan politik.
Thomas Jeffersen, pernah mengatakan : “Lebih baik memiliki pers tanpa pemerintah,
daripada memiliki pemerintah tanpa pers.”
Kini ketika kontrol politik melonggar dan kebebasan pers cukup besar, tantangan utama
media pers adalah kontrol dari pemilik modal. Watak pers sebagai industri dewasa ini sangat
rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik. Lebih-lebih mengingat
persaingan antar lembaga pers/media yang begitu ketat sehingga masing-masing lembaga
media/pers berusaha menarik audiens dengan berbagai cara. Independensi lembaga pers
dan idealisme jurnalis kini benar-benar diuji. Pertanyaannya, apakah kode etik jurnalistik
mampu menangkal kecenderungan dampak buruk dari industrialisi pers tersebut?
Mengenai soal kelembagaan ini ada satu masalah yang masih krusial di negeri ini yaitu soal
kepemilikan perusahaan media khususnya media televisi. Ada kecenderungan kepemilikan
media televisi di Indonesia mengarah pada bentuk oligopolis di mana lembaga-lembaga
media yang ada hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Hal ini merupakan satu tantangan
tersendiri bagi dunia jurnalistik untuk mewujdukan pluralitas media yang menjamin
penyebaran infromasi secara lebih demokratis.
Selain itu banyak pemberitaan yang menurut masyarakat diluar kaidah jurnalistik dan etika
jurnalistik. Misalnya munculnya istilah junk food news, yaitu berita yang dianggap
overxposed tinggi dalam intensitas peliputan, tapi tak selalu penting atau punya relevensi
bagi konsumennya, di Indonesia contohnya adalah Infotainmen tentang selebritis.
Karena berorientasi pada profit maka, pemberitaan yang dibuat oleh media massa juga
cenderung memberitakan isu-isu yang popular dikalangan masyarakat. Contoh masih ingat
pemberitaan Kasus Ryan. Sejak terkuatnya Kasus Ryan, hampir seluruh media massa
nasional mengulas kasus tersebut. Bahkan Kasus Ryan juga masuk dalam infotainment
yang biasanya mengulas tentang kehidupan seleberiti.
Oleh sebab itu jurnalis selain memahami etika jurnalistik, juga harus mengetahui
pengembangan tentang prinsip pers di dunia, salah satunya adalah 9 elemen jurnalis Bill
Kovach dan Tom Rosensteil yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka (etika)
Sumber:
1. http://www.rri.co.id/post/berita/77602/nasional/kasus_pembunuhan_wartawan_tidak_
tuntas_penyebab_indeks_kebebasan_pers_indonesia_terpuruk.html
2. http://www.tempo.co/read/news/2014/12/11/078627972/Dewan-Pers-Kasus-TheJakarta-Post-Sudah-Selesai
3. Winarto, senior news producer RCTI, lulusan Pascasarjana Sosiologi Universitas
Indonesia
4. http://legatuspropraetor.wordpress.com/2011/11/12/demokrasi-dan-kebebasan-pers/
5. http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/sembilan-elemen-jurnalisme-pluselemen.html
6. http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/12/10/masalah-jurnalisme-diindonesia-615170.html
7. http://www.rmol.co/read/2012/05/06/62897/45-Kasus-Tindak-KekerasanMenghantui-Misi-Wartawan8. LBH PERS