MELIHAT POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA (1)

MELIHAT POTRET PENDIDIKAN DI INDONESIA (Studi Kritis Peran
Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia)
A. Pendahuluan
Suatu kenyataan, masyarakat terlanjur memandang Perguruan Tinggi sebagai kawah
candradimuka para intelektual "murni". Di dalamnya dihuni para mahasiswa yang memiliki
keberpihakan kepada keadilan, kebenaran, penegakan hak-hak civil society belum memiliki
interest kekuasaan, kepentingan pribadi, apalagi kepentingan politik. Jika pandangan ini
benar, maka sesungguhnya amanat Tri Dharma Perguruan tinggi, yang meliputi bidang
keilmuan (pendidikan dan pembelajaran), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,
akan
mudah
dilaksanakan.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertinggi di Indonesia, PTAI (PTAIN dan PTAIS) menjadi
satu harapan terbaik bagi masyarakat yang ingin mendalami kajian keislaman, bahkan biasa
dikatakan sebagai the best offer you can get. Oleh karenanya, dalam bidang keilmuan, PTAI
diharapkan menjadi tempat bermuaranya berbagai pandangan, pemikiran, dan pendekatan
studi Islam. Sedangkan dalam bidang pengabdian kepada masyarakat, diharapkan Perguruan
Tinggi dapat mewujudkan peran sosialnya kepada masyarakat luas. Bidang ini dimaksudkan
agar Perguruan Tinggi tidak menjadi tempat bermuaranya para elit terpelajar, tetapi menjadi
lembaga pencari dan pemberi solusi atau way out terhadap problem-problem sosial (social
problem solver). Dengan demikian mahasiswa sebagai salah satu asetnya diharapkan menjadi

generasi intelektual, agen perubahan (agent of change), dan mempunyai kepedulian sosial
(sense of social crisys). Namun hasil yang ideal itu nampaknya hanyalah sebuah harapan yang
jauh
dari
kenyataan
ibarat
api
jauh
dari
panggangnya.
Persoalannya adalah pertama, kurikulum yang masih bersifat eklusif, dan sarat muatan.
Kedua, corak dan kecenderungan mahasiswa yang, menurut Kuntowijoyo, terbagi menjadi
dua yaitu mahasiswa aktifis sosial dan mahasiswa profesionalis-pragmatis. Dari sana muncul
pertanyaan akademiknya adalah mengapa pendidikan di Indonesia tidak dapat memajukan
bangsa?. Apa saja faktor yang mempengaruhi?. Makalah sederhana ini mencoba menjawab
kegelisahan akademik tersebut dengan mengambil sampel kasus pendidikan tinggi di
Indonesia. Asumsinya adalah pendidikan tinggi sebagai pendidikan orang dewasa dirasa
cukup untuk menjelaskan gagal atau tidaknya sebuah pendidikan di Indonesia.
B. Pendidikan Sarat Beban
Pendidikan adalah usaha sadar dan direncanakan untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Dalam
pelaksanaannya sering kali dihadapkan problem-problem sistemik pembelajaran. Beberapa
diantaranya adalah sistem kurikulum pendidikan yang sarat dengan muatan (materi
pembelajaran) dan dalam kasus tertentu adalah problem manajemen yang kliru.
Problem-problem tersebut muncul akibat kesalahan mendasar pada tataran paradigma dalam
memahami filosofi pendidikan dan ilmu. Begitu pula tata kelola dan manajemen yang tidak
tepat juga memberikan andil yang signifikan dalam memunculkan problem sistemik tersebut.

Akibatnya muncul kesenjangan antara harapan yang dicita-citakan dalam Undang-Undang
Sisdiknas dan kenyataan yang ada. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu harus terjadi pada
dunia pendidikan di Indonesia?. Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita melihat
filosofi ilmu dan moral yang hendak dicapai oleh sebuah proses pendidikan.
Secara ontologi ilmu selalu berusaha menemukan kebenaran dan menghindar dari kesalahan.
Benar dan salah diukur dengan logika. Oleh karenanya pada hakikatnya berpikir sebagai
upaya mendapatkan ilmu itu bebas nilai. Oleh karenanya ilmu menjadi bebas nilai. Mengapa,
karena ketika ilmu dipasung dengan nilai-nilai tertentu, maka sesungguhnya itu merupakan
awal ketakberdayaan manusia. Ketika manusia tak berdaya, maka pada saat yang bersamaan
kebudayaan akan punah. Begitu pula, ketika dunia ini kosong kebudayaan, maka sudah tidak

perlu lagi apa yang di sebut sistem nilai-budaya (cultural value system) .
Tetapi pada ranah aksiologi, ketika ilmu telah melampaui batas kesantunannya yang secara
faktual telah dipergunakan secara destruktif bahkan akan mengancam eksistensi manusia itu
sendiri (misalnya rekayasa genetika manusia dan teknik perubahan sosial), maka sudah
saatnya ilmu harus dibatasai dengan nilai yakni secara moral ilmu harus ditujukan untuk
kebaikan (al-maslahah) dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian aplikasi pendidikan
sebagai proses epistemologi untuk mendapatkan ilmu, secara operasional-manajerial harus
diarahkan pada pencapaian kecakapan dalam tiga ranah utama yaitu ranah kognitif (akalpikir), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan) secara seimbang dan memadai. Jika
tiga ranah tersebut telah tergarap secara baik dengan manajemen yang tepat maka kiranya
tidak mustahil sumberdaya manusia Indonesia menjadi berkualitas tidak saja pada tataran
berteori
tetapi
terampil
dan
mempunyai
moral
yang
baik.
C.
Akibat

dan
Solusi
Cara pandang dan manajemen pendidikan (tidak terkecuali pendidikan Islam) yang tidak tepat
mengakibatkan pendidikan tidak menjadikan cerdas secara intelektual, sosial, emosional dan
spiritual secara seimbang. Kondisi seperti ini pada akhirnya berdampak ketidakmampuan
pendidikan tersebut untuk menjadi sarana bagi manusia mencapai kesejahteraannya.
Pendidikan tidak dapat menciptakan harmonisasi kehidupan, dan kesejahteraan social tetapi
hanya menciptakan individu-individu yang egois, elitis, dan tidak mempunyai kepekaan sosial
Ada satu kritik yang cerdas dari Mastuhu, bahwa pendidikan Islam dewasa ini masih berkutat
pada kerangka pendidikan Islam dengan nalar Islami klasik, belum berkutat pada nalar Islami
kontemporer. Nalar Islami kontemporer yang dimaksud adalah memahami Islam tidak lagi
pada tataran konsep (teoritis-normatif) tetapi lebih melihat kepada kenyataan pada ranah
sosial dengan mengedepankan metode empiris-historis. Kecerdasan dan kearifan bersumber
dari daya kritis dan kesadaran atas nilai diri dan sosial, sehingga tumbuh kepedulian pada
sesama.
Susah memang, untuk memproduk mahasiwa menjadi sarjana yang ideal dalam arti tersebut
di atas, karena pada kenyataannya kurikulum di Perguruan Tinggi masih berkutat (setidaknya
masih dominan) pada penggarapan ranah kognitif yang sarat muatan, belum (setidaknya
masih minim) pada ranah afektif dan psikomotorik. Sementara kehidupan di luar kampus
sangat menunggu peran aktif para mahasiswa dan lulusan Perguruan Tinggi, akibatnya

mahasiswa dihadapkan delima pada aktualisasi diri. Satu sisi mereka harus mampu
menyelesaikan beban kuliah yang sangat padat, di sisi lain mereka harus mampu membaca
dan merespon dunia masyarakat di luar kampus. Akibatnya mahasiswa memilih
kecenderungannya
masing-masing.
Bagi mahasiswa yang memilih corak profesional-pragmatis, akan memilih aktif kuliah di

kelas dengan harapan cepat lulus, IP bagus, "cepat mendapat pekerjaan", proses belajar yang
diikuti hanya dipahami sebagai transfer of knowledge. Mahasiswa dengan corak seperti ini
akan gagap ketika menghadapi kenyataan sosial masyarakatnya, bahkan kurang peka terhadap
keinginan masyarakat secara sosial. Kondisi ini setidaknya dapat dilihat ketika mereka
mengambil mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai mata kuliah praktis-aplikatif.
Mereka sama sekali (setidaknya pasif) tidak mempunyai ide kreatif dalam penyusunan
maupun pelaksanaan program-progaram KKN di kelompoknya. Jika dalam lingkup kecil dan
bersifat latihan saja mereka gagap, apa jadinya ketika mereka telah menjadi sarjana. Jelas
mereka tak akan mampu menggunakan ilmunya untuk mensejahterakan dirinya apalagi
mensejahterakan
orang
lain.
Sedangkan bagi mahasiswa yang memilih corak aktivis sosial, mereka terlibat aktif dalam

kegiatan secara intens yang bersifat extrakurikuler di luar aktivitas akademik intra kampus
(kuliah). Mahasiswa dengan corak seperti ini lebih peka dan peduli terhadap perubahan dan
tuntutan masyarakatnya, sehingga salah satu mainstream wacana dan kegiatannya adalah pada
upaya pemberdayaan masyarakat, dengan spirit penegakan keadilan, anti diskriminasi dan
penegakan hak-hak civil society. Efek negatifnya mereka lama lulusnya, IP pas-pasan, biaya
kuliah lebih banyak. Setelah menjadi sarjana biasanya mereka lebih memilih beraktivitas di
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), karena tidak harus membutuhkan IP tinggi, tetapi
butuh keterampilan, yang dapat diperoleh di luar kampus. Salah satu cara untuk itu adalah
terjun langsung berbaur dengan masyarakat untuk melihat realita sehingga dengan demikian
seorang mahasiswa akan terstimulasi untuk berkreasi dan berinovasi dan sekaligus mendapat
pengetahuan keterampilan. Lagi-lagi sarjana dengan corak seperti ini belum juga bisa
diharapkan
dapat
mensejahterakan
secara
social.
Solusinya adalah pertama, menyederhanakan kurikulum dengan memberikan muatan materi
ilmu-ilmu pokok saja (ilmu-lmu bantu diposisikan sebagai kokurikuler atau ekstra kurikuler).
Kedua, memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi peserta didik untuk beraktualisasi
disamping melakukan internalisasi ilmu yang sedang mereka pelajari. Ketiga, keseriusan

pemerintah dan political will dalam menangani pendidikan dengan memberikan kebijakan
yang berpihak pada lembaga pendidikan, tenaga pengajar, dan peserta didik. Keempat,
membuat standar mutu pendidikan yang jelas, terukur, terjangkau, dan tidak membebani.

DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi, Mamduh M., Manajemen, Yogyakarta: Unit penerbitan dan Percetakan Akademi
manajemen
Perusahaan
YKPN,
1997.
Jabali, Fuad dan Jamhari (peny.), IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos,
2002.
Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet. XIX, Jakarta: Djambatan, 2002.
Mahfud, Mahsun, "Tri Dharma Perguruan Tinggi, Sebuah Upaya Membumikan Lembaga
pendidikan Tinggi", Makalah, disampaikan pada acara Studi Pengenalan Kampus di STAI AnNawawi
Purworejo
tanggal
28
Agustus

2002.
-------, "Hakikat Kebebasan Berpikir (Mengintip Ruang Bertemu dan Ruang Berpisah)" dalam
Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol. 6, Nomor 1, Januari – Juni 2007.
Mastuhu, "Tradis Penelitian Agama: Dari Paradigma Normatif ke Arah Empirisisme", dalam
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan antar Disiplin Ilmu, Cet. I, Bandung: Nuansa
dan
Pusjarlit,
1998.
-------,"Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik", dalam
Jurnal
Taswirul
Afkar,
Edisi
No.
II/2001.
Pidarta, Made, Manajemen Pendidikan Indonesia, Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XVII, Jakarta: Pustaka
Sinar
Harapan,
2003.

Undang-undang No. 2o Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan
Penjelasannya, Yogyakarta: Media wacana Press, 2003.