Pengaruh Persepsi Iklim Sekolah Terhadap Student Engagement pada Siswa SMA Sultan Iskandar Muda Medan

BAB II
LANDASAN TEORI

A. STUDENT ENGAGEMENT
1. Definisi Student Engagement
Fredricks, dkk (2004) mendefinisikan student engagement melalui tiga
dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang
mengganggu dan perilaku yang negatif), emotional engagement (ketertarikan,
kegembiraan, sense of belonging) dan cognitive engagement (seperti usaha siswa
untuk menyelesaikan tugas dan strategi yang digunakan dalam belajar). Menurut
National Survey on Student Engagement, student engagement adalah frekuensi
siswa dalam berpartisipasi pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan praktik
pendidikan, dan memahami itu sebagai pola keterlibatan dalam berbagai kegiatan
dan interaksi baik di dalam dan luar kelas selama karirnya di sekolah (dalam
Barkley, 2010).
Definisi lain juga dikemukakan oleh Chapman (2003) yaitu student
engagement merupakan kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan rutin
sekolah dengan indikator kognitif, perilaku, dan afektif dalam melaksanakan
tugas-tugas belajar tertentu. Sedangkan menurut Natriello (1984) student
engagement merupakan partisipasi siswa di dalam kegiatan yang ditawarkan oleh
sekolah sebagai bagian dari program sekolah.


12
Universitas Sumatera Utara

13

Jadi berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa student engagement adalah frekuensi siswa untuk memiliki
kemauan dalam kegiatan rutin maupun program sekolah baik di dalam dan di luar
kelas dengan indikator perilaku, emosional dan kognitif selama karirnya di
sekolah.

2. Dimensi Student Engagement
Fredericks, Blumenfeld, & Paris, (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga
dimensi pada student engagement, yaitu:
a. Behavioral Engagement
Behavioral engagement didefinisikan sebagai keterlibatan dalam tugas
belajar dan akademik, termasuk perilaku-perilaku seperti usaha, ketekunan,
konsentrasi, perhatian, meminta pertanyaan dan memberikan kontribusi
untuk diskusi di dalam kelas. Siswa yang memiliki keterlibatan perilaku

yang positif ditandai dengan mengikuti aturan dan norma-norma kelas,
serta tidak adanya perilaku yang mengganggu seperti bolos sekolah dan
membuat masalah.
b. Emotional Engagement
Emotional engagement adalah reaksi afektif siswa di dalam kelas, seperti
ketertarikan, bosan, senang, sedih dan cemas. Keterlibatan emosional dapat
dinilai dengan mengukur reaksi emosional terhadap sekolah dan guru.
Keterlibatan emosi berfokus pada sejauh mana reaksi positif (dan negatif)
siswa terhadap guru, teman dan akademik. Keterlibatan ini mencakup rasa

Universitas Sumatera Utara

14

memiliki dan menjadi bagian dari sekolah, serta menghargai atau
mengapresiasi keberhasilan terhadap hasil akademik.
c. Cognitive Engagement
Cognitive engagement didefinisikan sebagai tingkat yang diinvestasikan
siswa dalam pembelajaran; hal ini termasuk perhatian dan tujuannya dalam
pendekatan untuk tugas sekolah dan bersedia untuk mengerahkan upaya

yang diperlukan untuk memahami ide-ide yang kompleks dan menguasai
keterampilan yang sulit. Keterlibatan kognitif terjadi ketika individu
memliki strategi dan dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating). Siswa
yang terlibat secara kognitif akan memiliki keinginan untuk terlibat dalam
belajar dan memiliki keinginan untuk menguasai pengetahuan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Student Engagement
Menurut Fredericks, Blumenfeld, & Paris (2004) terdapat tiga faktor yang
dapat mempengaruhi student engagement, yaitu:
a.

School-Level
Karakteristik dari sekolah dapat menurunkan keterasingan siswa dan
meningkatkan involvement, engagement dan integration siswa di sekolah.
Hal ini meliputi tujuan yang jelas dan konsisten, ukuran sekolah yang
kecil, kebijakan dan manajemen sekolah mengenai partisipasi siswa, staff
dan siswa yang mungkin untuk terlibat bekerjasama dan proses akademik
yang memperbolehkan siswa untuk berkembang. Sebagai contoh, ukuran
sekolah akan mempengaruhi behavioral dan emotional engagement.


Universitas Sumatera Utara

15

Kemungkinan siswa untuk berpartisipasi dan mengembangkan hubungan
sosial akan lebih baik pada sekolah yang kecil daripada yang besar. Siswa
di sekolah yang kecil lebih ikut berpartisipasi pada ekstrakurikuler dan
kegiatan sosial. Kemudian siswa yang merasa peraturan di sekolahnya
kurang adil dalam mengimplementasikannya akan lebih sering tidak
terlibat secara perilaku.
b.

Classroom Context
Classroom context tersusun oleh beberapa dimesi diantaranya dukungan
guru, teman sebaya, struktur kelas, dukungan otonomi dan karakteristik
tugas.
i. Dukungan Guru
Dukungan guru dapat berupa akademik maupun interpersonal. Kualitas
hubungan guru dengan murid pada tahun awal sekolah telah
diasosiasikan dengan behavioral engagement seperti tingkat partisipasi

dan self-directedness. Guru lebih suka dengan murid yang secara
akademis kompeten, bertanggung jawab, dan dapat menyesuaikan
dengan peraturan sekolah daripada mereka yang mengganggu dan
agresif. Kemudian keterlibatan guru secara positif diasosiasikan dengan
keterlibatan siswa, sebaliknya keterlibatan siswa yang tinggi akan
memunculkan kerlibatan guru yang besar.
ii. Teman Sebaya
Teman sebaya juga berpengaruh pada keterlibatan siswa. Penerimaan
teman sebaya pada anak-anak maupun remaja berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

16

tingkat kepuasan di sekolah (yang mana hal ini adalah aspek dari
emotional engagement), dan perilaku yang tidak tepat secara sosial dan
upaya dalam akademis (yang mana hal ini adalah aspek dari behavioral
engagement). Kemudian anak-anak yang ditolak ketika SD memiliki
partisipasi kelas yang rendah, yang mana hal ini termasuk kedalam
aspek behavioral engagement, dan rendahnya ketertarikan di sekolah

(yang mana hal ini termasuk kedalam aspek dari emotional
engagement).
iii. Struktur Kelas
Struktur mengacu pada kejelasan dari harapan guru untuk perilaku
akademik dan sosial dan konsekuensi apabila mereka gagal memenuhi
harapannya tersebut. Guru yang memiliki harapan yang jelas dan
memberikan respon yang konsisten akan memiliki siswa yang secara
perilaku akan lebih terlibat. Siswa yang yang mempersepsikan normanorma tersebut secara positif akan berhubungan dengan behavioral,
emotional, dan cognitive engagement.
iv. Dukungan Otonomi
Kelas yang memiliki dukungan otonomi dikarakteristikkan dengan
pilihan, berbagi keputusan, dan tidak adanya pengendalian eksternal
seperti nilai atau hadian dan hukuman sebagai alasan untuk
mengerjakan tugas sekolah atau berperilaku baik. Karena dengan
mengendalikan lingkungan akan mengurangi ketertarikan, tantangan
dan ketekunan.

Universitas Sumatera Utara

17


v. Karakteristik Tugas
Instruksi yang otentik dan dukungan sosial pada keterlibatan di sekolah
dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi menunjukkan bahwa
persepsi siswa SD, SMP dan SMA terhadap instruksi tersebut menjadi
prediktor yang kuat dalam keterlibatan siswa. Kemudian persepsi
terhadap tugas yang menantang diasosiasikan dengan setiap behavioral,
emotional dan cognitive engagement.
c. Individual Needs
Pada pandangan mengenai kebutuhan individu, kebutuhan dasar
psikologis tersebut terdiri dari need for relatedness, need for autonomy,
dan need for competency.
i. Need for relatedness
Siswa akan lebih terlibat ketika konteks kelas dikaitkan dengan need for
relatedness, hal ini sering terjadi di ruang kelas dimana guru dan teman
sebaya membuat lingkungan yang peduli dan mendukung. Siswa yang
mempersepsikan relatedness tinggi, yang diukur dengan kualitas
emosional mereka dalam menjalin hubungan, akan lebih terilbat
dibandingkan dengan yang rendah. Kemudian persepsi relatedness
siswa dengan guru, orang tua dan teman sebaya juga memiliki

kontribusi pada emotional engagement siswa.
ii. Need for autonomy
Individu mempunyai kebutuhan untuk otonomi atau keinginan
melalkukan sesuatu karena alasan personal, daripada melakukan sesuatu

Universitas Sumatera Utara

18

tetapi tindakan mereka dikendalikan oleh orang lain. Beberapa
penelitian telah menguji hubungan antara keterlibatan dan kebutuhan
untuk otonomi. Siswa yang terlibat dengan alasan otonomi (internal),
seperti melakukan kegiatan yang diluar ketertarikannya atau hanya
untuk kesenangan saja, memiliki hubungan yang positif dengan
behavioral engagement (seperti tingkat partisipasi dan keterlibatan
dalam bekerja) dan emotional engagement (seperti ketertarikan dan
kesenangan) pada sekolah SD.
iii. Need for Competence
Kompetensi melibatkan kontrol, strategi dan kapasitas. Ketika
seseorang butuh untuk berkompetensi, mereka percaya akan dapat

menentukan kesuksesan mereka, dapat mengerti apa yang harus
dilakukan dan percaya untuk mencapai sukses. Beberapa penelitian
telah menguji hubungan antara persepsi terhadap kompetensi dengan
keterlibatan. Persepsi terhadap kompetensi dan keyakinan untuk
mengendalikan diri diasosiasikan dengan behavioral dan emotional
engagement.

B. PERSEPSI IKLIM SEKOLAH
1. Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai proses dalam
mengorganisir dan menginterpretasi informasi yang diterima dari luar. Menurut

Universitas Sumatera Utara

19

Robbins

(1996)


persepsi

merupakan

suatu

proses

dimana

individu

mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna
kepada lingkungan. Sedangkan menurut Chaplin (1999) persepsi merupakan
upaya mengamati dunia, mencakup pemahaman dan mengenali atau
mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
persepsi merupakan upaya mengamati dunia dengan memberi makna oleh
indera individu dengan proses mengorganisir dan menginterpretas untuk

mengenali dan mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian yang di
dalamnya.

2. Iklim Sekolah
a. Pengertian Iklim Sekolah
Menurut National School Climate Council (2007) iklim sekolah
merupakan pola pengalaman hidup orang-orang yang terlibat di sekolah yang
mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek
pengajaran dan pembelajaran, dan struktur organisasi. Thapa dkk (2012)
menambahkan bahwa iklim sekolah merupakan refleksi dari pengalaman
siswa, personil sekolah dan orang tua dalam kehidupan sekolah secara sosial,
emosional, etis dan akademis.
Definisi lain juga dikemukakan oleh Freiberg (2005) yang menyatakan
bahwa iklim sekolah sebagai persepsi orang-orang yang ada di sekolah
mengenai kehidupan sekolah. Sedangkan definisi iklim sekolah. Menurut

Universitas Sumatera Utara

20

Gruenert (2008) yaitu interaksi antara orang dewasa dengan para siswa di
sekolah dengan melibatkan faktor lingkungan seperti sarana dan prasarana
gedung, serta rasa aman dan percaya.
Jadi berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa iklim sekolah merupakan pola pengalaman orang-orang di
sekolah sebagai interaksi antara orang dewasa dengan para siswa yang
mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek
pengajaran dan pembelajaran, dan struktur organisasi di sekolah secara sosial,
emosional, etis dan akademis.

b. Dimensi Iklim Sekolah
Adapun dimensi iklim sekolah menurut Thapa dkk (2012), yaitu:
i. Safety
Merasa aman secara sosial, emosional, intelektual dan fisik adalah
kebutuhan

dasar

manusia.

Merasa

aman

di

sekolah

dapat

membangkitkan pembelajaran siswa dan perkembangan yang sehat
pada siswa. Siswa yang berada di sekolah tanpa norma, struktur, dan
hubungan yang mendukung akan merasa sering mengalami kekerasan,
menjadi korban oleh temannya dan terlibat pada kegiatan yang
melanggar disiplin. Bahkan hal tersebut seringkali disertai dengan
meningkatnya ketidakhadiran di sekolah dan prestasi akademik siswa
akan cenderung menurun. Di dalam dimesi ini terdapat aturan dan
norma yang berkaitan dengan keamanan di sekolah tersebut. Peraturan

Universitas Sumatera Utara

21

di sekolah dan persepsi yang adil mengenai peraturan tersebut berkaitan
dalam menangani perilaku siswa. Sekolah yang aturannya dapat
diterapkan secara efektif atau sekolah yang memiliki pengelolaan
disiplin yang baik lebih memiliki tingkat kekerasan dan kenakalan yang
rendah pada siswa.
ii. Relationship
Pola dari norma, tujuan, nilai-nilai dan interaksi di sekolah akan
membentuk hubungan di sekolah yang memberikan kontribusi yang
penting pada iklim sekolah. Hubungan di sekolah adalah bagaimana
orang-orang di sekolah merasa terhubung dengan satu yang lainnya.
Hubungan tidak hanya seperti memiliki suatu hubungan dengan orang
lain melainkan dengan diri kita, seperti bagaimana kita merasa dan
menjaga diri kita. Bila siswa mempersespsikan hubungan interpersonal
yang positif maka siswa cenderung mau terlibat dan berperilaku yang
sesuai aturan.
iii. Teaching and Learning
Sebagai aspek yang paling penting pada iklim sekolah, kepala sekolah
dan guru sudah semestinya dapat berjuang untuk secara jelas dalam
mendefinisikan norma-norma, tujuan dan nilai-nilai yang membentuk
lingkungan pengajaran dan pembelajaran. Karena iklim sekolah yang
positif adalah yang memberikan proses belajar mengajar yang suportif,
partisipatif, saling menghargai, serta kompak.

Universitas Sumatera Utara

22

iv. Institutional Environment
Pada dimensi ini dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu school
connectedness dan keadaan fisik sekolah. School connectedness
merupakan kepercayaan siswa bahwa orang dewasa dan teman sebaya
di sekolahnya peduli dengannya mengenai pembelajaran dan pada
dirnya sendiri. School connectedness menjadi prediktor yang kuat
dalam hubungannya mengenai kesehatan remaja dan hasil akademik.
Pada fisik sekolah, gedung sekolah yang kecil dapat meningkatkan
iklim sekolah dan tata letak sekolah yang baik dapat berdampak pada
rasa aman siswa. Penelitian pada siswa SMP menunjukkan bahwa
ukuran sekolah yang kecil akan mengarah ke performa akademik yang
lebih baik.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Iklim Sekolah
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi iklim sekolah menurut
Noonan (2004), yaitu:
i. Models
Setiap guru memiliki lebih dari satu cara dalam mengajar. Hal tersebut
tentu memiliki dampak yang besar pada siswa. Guru harus bertindak
sebagai model yang baik, menawarkan keseimbangan pada alasan
tertentu, memberikan kesepatan pada pilihan yang otentik, menunda
harapan anak atau menolongnya. Siswa yang merasa diperhatikan dan

Universitas Sumatera Utara

23

dihargai akan lebih termotivasi untuk bekerja dan peduli dengan dirinya
dan orang lain.
ii. Consistency
Para staff sekolah harus berhati-hati dalam memberikan pesan yang
jelas dan konsisten kepada siswa dan keluarganya. Sekolah harus
menentukan tujuan yang harus dicapai pada guru, yang hal tersebut
tidak hanya efektif tetapi kualitas program yang paling diinginkan
siswa.
iii. Depth
Misi sekolah, janji sekolah dan ritual sekolah merupakan komponen
penting pada iklim sekolah. Terutama mengingat bahwa hal tersebut
seringkali menjadi kesar pertama mereka saat mengunjungi sekolah.
Untuk itu hal tersebut perlu didukung seperti struktur, buku-buku, mars,
kurikulum dan kegiatan kelas yang merefleksikan sekolah tersebut.
Apabila elemen penting ini tidak diterapkan secara mendalam maka hal
tersebut akan menghilang begitu saja.
iv. Democracy
Kekuatan yang secara tradisional terstruktur seperti tingkat hirarki dari
atas ke bawah dapaat menakutkan dan akan sulit untuk berubah. Tetapi
kelas dan sekolah yang demokratis tidak perlu terjadi perubahan yang
radikal. Pendidik harus tertantang pada dirinya sendiri untuk dapat
membuat iklim yang demokratis di kelas dan sekolahnya. Karena para

Universitas Sumatera Utara

24

siswa dituntut untuk menjadi pemimpin yang professional, sehingga
para siswa membutuhkan praktik dan bimbingan dari guru.
v. Community
Kebanyakan orang yang bekerja di sekolah akan mengatakan kepadamu
bahwa sekolah tidak dapat membantumu terlalu banyak. Karena
semakin sedikit komunitas sekolah yang licik, maka semakin positif
iklim sekolahnya. Secara tradisional, sekolah menutup pintu satu harian
sampai waktu pulang siswa. Bagaimanapun, anggota komunitas seperti
tetangga, pembisnis dan terutama keluarga dapat memberikan
kontribusi mereka pada kesuksesan sekolah. Bekerja sama dengan
komunitas lain membuka kesempatan yang baik bagi para siswa untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki.
vi. Engagement
Banyak keterampilan yang melekat pada praktik pendidikan. Secara
konsisten hal tersebut dapat mempengaruhi sekolah dan siswanya.
Dengan diberikan kesempatan dalam mengidentifikasi masalah, siswa
sebagai agents of change juga dapat mengambil bagian pada proses
pendidikan baik di dalam dan luar sekolah. Pandangan ini adalah
dengan melihat siswa bukan lagi sebagai sumber masalah melainkan
pemecah masalah. Mengikutsertakan siswa dalam menyelesaikan
masalah sama dengan mendorong siswa untuk dapat berperilaku
bertanggung jawab.

Universitas Sumatera Utara

25

vii. Leadership
Membuat dan memelihara iklim sekolah yang baik perlu melibatkan
staff, keluarga, anggota komunitas dan siswa di sekolah. Hal itu
memerlukan pemimpin yang baik yang didukung oleh staff dan
keluarga. Pemimpin yang baik harus bersedia untuk mengambil resiko
untuk merubah iklim dan melibatkan semua yang terlibat dalam segala
proses perubahan tersebut.

3. Persepsi Iklim Sekolah
Menurut Pintrich & Schunk (1996) persepsi terhadap iklim sekolah
merupakan proses penggambaran informasi tentang perasaan pribadi setiap
anggota sekolah mengenai pengalamannya terhadap situasi dan kondisi
lingkungan sekolah yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dan guru dalam
mencapai tujuan (goal orientation), meningkatkan self efficacy, usaha, ketekunan,
prestasi belajar siswa serta kepuasan guru terhadap kemampuannya dalam
mengajar.
Menurut Jessor (1991) resiko yang muncul adalah ketika persepsi siswa
pada sekolahnya menjadi negatif. Mereka yang tidak suka dengan sekolahnya
akan lebih sering untuk gagal secara akademis dan resiko yang lebih besar lagi
akan mempunyai perilaku tidak sehat, menunjukkan masalah psikosomatik dan
menurunnya kualitas hidup. Persepsi siswa terhadap hubungan antar warga
sekolah akan mempengaruhi keterlibatan siswa secara emosional. Persepsi siswa
terhadap kemampuan warga sekolah mengatasi kegagalan akan mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

26

keterlibatan siswa secara kognitif. Sedangkan persepsi siswa terhadap kejelasan
peraturan dan lingkungan sekolah mempengaruhi keterlibatan siswa secara
behavior (Purwita, 2013).
Persepsi siswa terhadap sekolahnya merupakan suatu hal yang subyektif,
sehingga penilaian siswa terhadap norma dan kondisi lingkungan sekolahnya bisa
berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Iklim sekolah yang positif dapat
dipersepsi siswa secara negatif. Sehingga perbedaan persepsi ini akan
mempengaruhi tingkah laku dan perasaan siswa di sekolah (Purwita, 2013).

C. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan multikultural merupakan sebuah pemikiran dimana semua
siswa tanpa memperhatikan gender, kelas sosial, etnis, ras atau budaya yang
berbeda harus mendapatkan peluang yang sama untuk belajar di sekolah (Banks,
2007). Gollnick & Chinn (2013) berpendapat bahwa pada pendidikan
multikultural guru harus memperhatikan perbedaan yang ada pada siswa,
mengenali beberapa siswa yang tidak mau belajar, menarik diri, dan menerapkan
berbagai strategi yang tepat bagi setiap siswa dan guru harus mencoba berbagai
cara untuk menolong siswa dalam belajar dan menghargai pembelajaran.
Menurut Banks (2007), pendidikan multikultural mempunyai 5 dimensi,
yaitu:
1. Penggabungan Konten
Penggabungan konten diberikan dengan sejauh mana guru menggunakan
contoh

dan

konten

dari

berbagai

budaya

dan

kelompok

untuk

Universitas Sumatera Utara

27

mengilustrasikan suatu konsep, prinsip-prinsip, penggeneralisasian dan teori
dalam pelajaran tertentu. Pemberian konten mengenai etnis dan budaya ke
dalam pelajaran tertentu harus logis, tidak dibuat-buat.
2. Proses Membangun Pengetahuan
Proses membangun pengetahuan dihubungkan dengan sejauh mana guru
membantu murid-murid agar memahami, menyelidiki dan menentukan
bagaimana asumsi budaya, kerangka acuan, perspektif dan bias dalam
mempengaruhi cara dimana pengetahuan itu dibangun (Banks, 1996).
3. Pengurangan Prasangka
Penggunaan pengurangan prasangka dalam pelajaran dan aktivitas oleh guru
akan membantu murid-murid

membentuk sikap yang positif terhadap

perbedaan ras, etnis dan kelompok budaya.
4. Kesetaraan Pengajaran
Guru di masing-masing bidang harus menganalisis prosedur dan gaya
mengajar mereka untuk menentukan sejauh mana mereka merefleksikan isuisu multikultural. Keseimbangan dalam mengajar akan tercapai jika guru
memodifikasi cara mengajar mereka sehingga dapat memfasilitasi prestasi
akademik bagi murid yang memiliki perbedaan ras, budaya, gender, dan
kelompok kelas sosial tertentu.
5. Menguatkan Budaya Sekolah dan Struktur Sosialnya
Budaya dan organisasi sekolah harus di uji oleh seluruh pegawai sekolah.
Pengelompokkan
ketidakseimbangan

dan

pemberian

dalam

prestasi,

label

pada

orang

ketidakseimbangan

tertentu,

dalam

hal

Universitas Sumatera Utara

28

penerimaan siswa berbakat dalam program pendidikan tertentu, dan
interaksi antara staf sekolah terhadap siswa berlainan etnis dan ras
merupakan variabel yang penting yang perlu dikaji dalam rangka
menciptakan budaya sekolah yang dapat membebaskan siswa dari
perbedaan kelompok ras dan etnis serta gender.

D. SMA SULTAN ISKANDAR MUDA MEDAN
1. Sejarah Sekolah
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda didirikan pada tanggal 25
Agustus 1987 oleh dr. Sofyan Tan. Lokasi sekolah ini terletak di Jl. Tengku
Amir Hamzah Pekan I, Gang Bakul, Medan Sunggal. Gedung Sekolah Sultan
Iskandar Muda berdiri di atas tanah sawah yang sudah tidak bisa dimanfaatkan
lagi, dengan luas kurang lebih 1.500 m2. Tanah tersebut dibeli dari hasil
penjualan perhiasan isterinya yang didapat dari hadiah pernikahan.
Hampir selama kurang lebih 10 tahun setelah bangunan awal selesai
dibangun, sekolah sempat terbelit utang di sebuah bank swasta. Pada beberapa
tahun pertama, Sofyan Tan bahkan tidak sanggup mencicil bunga, apalagi
membayar angsuran kreditnya. Kemudian Sofyan mendatangi sejumlah
pengusaha dan pejabat negara yang dikenalnya, mencari dukungan agar
sekolahnya yang menyekolahkan anak-anak miskin bisa bertahan. Ia juga
membuat gerakan orangtua asuh untuk mengetuk dermawan agar memberi
santunan biaya sekolah untuk siswa miskin di sekolahnya. Beberapa NGO
Internasional yang sejalan dengan visi dan misi sekolahnya diajak kerjasama

Universitas Sumatera Utara

29

seperti Caritas Switzerland, Pan Eco Foundation dsb. Mereka memberikan
bantuan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur dan fasilitas di
Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda.

2. Visi dan Misi
Visi yang dianut oleh Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda yaitu
mendidik generasi muda Indonesia menjadi manusia yang religius, humanis
dalam bingkai kesetaraan dan keberagaman. Sedangkan misi dari Yayasan
Perguruan Sultan Iskandar Muda yaitu:
a.

Menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat play group, TK, SD,
SMP, SMA/SMK berdasarkan kurikulum nasional yang berlaku dengan
muatan khusus berbasis budaya, karakter, dan kewirausahaan

b.

Menyelenggarakan program anak asuh silang dan berantai, untuk
memberdayakan generasi muda dari beragam suku yang secara ekonomi
berkekurangan agar bisa melakukan mobilitas sosial

c.

Menyelenggarakan pendidikan ekstra kurikuler yang bertujuan untuk
mempererat kerjasama, membangun kebersamaan, serta mengikis cara
berpikir yang penuh muatan prasangka kesukuan dan kebencian rasial

d.

Menumbuhkan sikap saling menghormati dan menjaga toleransi antar
umat beragama sesuai kepercayaan yang dianutnya.

Universitas Sumatera Utara

30

E. DINAMIKA PERSEPSI IKLIM SEKOLAH DENGAN STUDENT
ENGAGEMENT
Fredricks, dkk (2004) mendefinisikan student engagement melalui tiga
dimensi, yaitu behavioral engagement (partisipasi, tidak adanya perilaku yang
mengganggu dan perilaku yang negatif), emotional engagement (ketertarikan,
kegembiraan, sense of belonging) dan cognitive engagement (seperti usaha siswa
untuk menyelesaikan tugas dan strategi yang digunakan dalam belajar).
Sedangkan menurut Chapman (2003) student engagement merupakan kemauan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan rutin sekolah dengan indikator kognitif,
perilaku, dan afektif dalam melaksanakan tugas-tugas belajar tertentu.
Salah satu sekolah yang memiliki sistem pendidikan multikultural yaitu
SMA Sultan Iskandar Muda Medan. Nilai-nilai multikultural di sekolah tersebut
telah dijelaskan di dalam visi sekolah tersebut, yaitu mendidik generasi muda
Indonesia menjadi manusia yang religius, humanis dalam bingkai kesetaraan dan
keberagaman. Di dalam pendidikan multikultural, setiap anggota dari kelompok
ras, etnis, dan budaya yang bermacam-macam di dalam lingkungan sekolah
tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi. Sebagai
sekolah dengan pendidikan multikultural, tentunya SMA Sultan Iskandar Muda
memiliki siswa dengan berbagai etnis. Menurut Gay (2003), sekolah dengan
berbagai perbedaan etnis di dalamnya seringkali membuat siswa untuk tidak
senang dan tidak tertarik dengan sekolahnya. Sehingga sekolah dengan perbedaan
etnis tersebut lebih mungkin siswanya untuk tidak tertarik dan tidak terlibat dalam
proses pembelajaran.

Universitas Sumatera Utara

31

Menurut Fredricks, dkk (2004) terdapat tiga faktor yang dapat
mempengaruhi student engagement, salah satunya yaitu school-level. School-level
merupakan hal-hal yang berkaitan dengan ukuran sekolah, peraturan yang
diterapkan di sekolah dan lingkungan sekolah. Wang & Halcombe (2010)
menjelaskan bahwa persepsi warga sekolah terhadap lingkungan sekolahnya dapat
menjadi prediktor terhadap keterlibatan siswanya. Phinney (dalam Matsumoto,
2008) menyatakan bahwa individu dengan etnis atau ras yang berbeda akan
menghasilkan perbedaan psikologis pada cognition, emotion, motivation dan
health. Menurut Thapa, dkk (2012) perbedaan ras dan etnis di sekolah dapat
menjadi prediktor penting di dalam menentukan persepsi iklim sekolah. Dengan
demikian lingkungan sekolah tersebut dapat berkaitan dengan iklim sekolah
mereka.
Menurut National School Climate Council (2007) iklim sekolah
merupakan pola pengalaman hidup orang-orang yang terlibat di sekolah yang
mencerminkan norma, tujuan, nilai-nilai, hubungan interpersonal, praktek
pengajaran dan pembelajaran dan struktur organisasi di sekolah. Menurut Thapa
dkk (2012) ada beberapa elemen yang membentuk iklim sekolah yaitu keamanan
sekolah, hubungan interpersonal yang baik, proses belajar mengajar, serta
lingkungan fisik sekolah. Keamanan sekolah meliputi secara fisik, verbal, dan
emosional. Hubungan interpersonal yang meliputi setiap orang di sekolah
menghormati dan menghargai satu sama lain, membangun hubungan yang akrab.
Kemudian proses belajar dan mengajar yang efektif bagi siswa seperti proses
belajar yang kondusif ataupun cara mengajar guru yang dapat dipahami.

Universitas Sumatera Utara

32

Selanjutnya, lingkungan fisik sekolah yang berupa lingkungan yang bersih,
gedung sekolah yang layak serta fasilitas sekolah yang memadai yang dapat
mempermudah aktivitas siswa.
Iklim sekolah yang positif memiliki ciri-ciri di antaranya hubungan baik
antar warga sekolah, kemampuan warga sekolah untuk mengatasi kegagalan,
metode belajar yang menunjang pembelajaran siswa, kejelasan peraturan, dan
kondisi lingkungan sekolah yang nyaman. Iklim sekolah juga memiliki hubungan
yang kuat terhadap prestasi siswa, ketika siswa merasa senang berada di sekolah,
maka besar kemungkinannya untuk siswa tersebut mengikuti kegiatan kegiatan di
sekolah dengan baik. Sebaliknya, siswa akan cenderung menghindari sekolah
ketika siswa mempersepsikan iklim sekolah sebagai iklim yang negatif. Iklim
sekolah negatif meliputi rasa tidak aman di sekolah, merasa sekolah memberikan
banyak tekanan bagi siswa serta menganggap sekolah bukan menjadi tempat
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
Thapa dkk (2012) berpendapat bahwa di dalam iklim sekolah, ketika
masyarakat sekolah saling menghargai dan saling berbagi dapat secara positif
mempengaruhi keterlibatan siswanya. Penelitian yang dilakukan oleh Purwita
(2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa
terhadap iklim sekolah dengan keterlibatan siswa di sekolah. Maka dari itu, siswa
yang mempersepsikan iklim sekolah dengan positif akan mempengaruhi student
engagement mereka di sekolah meskipun siswa tersebut berada pada sekolah
dengan pendidikan multikultural yang memiliki siswa dengan etnis yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara

33

F. HIPOTESIS PENELITIAN
Bedasarkan uraian di atas, maka peneliti membuat hipotesa bahwa
terdapat pengaruh persepsi iklim sekolah terhadap student engagement pada siswa
SMA Sultan Iskandar Muda Medan.

Universitas Sumatera Utara