Imawan RP Involusi Ideologi Partai Pol

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

INVOLUSI IDEOLOGI PARTAI POLITIK1
Analisis Faktor Eksternal-Struktural Sebagai Faktor Pendorong
Involusi Ideologi Partai Politik di Indonesia
Rafif Pamenang Imawan2

Abstrak:
Analisis partai politik dan demokrasi di Indonesia banyak didominasi oleh
diskursus personifikasi maupun oligarki partai. Dari kacamata normatif, kegelisahan
personifikasi maupun oligarki partai cukup beralasan mengingat partai politik
merupakan institusi yang seharusnya mengagregasi dan mengartikulasikan
kepentingan publik dengan ideologi yang beragam. Pada konteks ini, personifikasi
maupun oligarki partai dilihat sebagai faktor internal-struktural yang mendorong
merosotnya ideologi dan pengorganisasian partai secara modern. Akibatnya, partai
politik di Indonesia sering kali tidak dilihat dari kacamata kapasitas ideologinya,
melainkan bagaimana konsensi elit politik yang terbangun.
Berbeda dengan diskursus dominan, penulis melalui tulisan ini berargumentasi

bahwa persoalan modernisasi partai politik juga mencakup dimensi eksternalstruktural, yakni atomisasi politik. Atomisasi politik yang didorong oleh kuatnya
perkembangan arus informasi, turut menjadi tantangan dalam menggaet konstituen.
Hal ini mendorong partai untuk menumpang pada gerakan-gerakan voluntarisme
dibanding memperkuat diskursus ideologis ke konstituen. Akibatnya debat ideologi
menjadi minim dibandingkan aspek terkenal-tidak terkenalnya bakal calon.
Tulisan ini menggunakan data sekunder berupa hasil penelitian, pernyataan, dan
liputan media massa dengan kata kunci relawan, media sosial, dan pengakaran partai.
Elaborasi kasus terkait dengan argumentasi yang hendak dibangun mengerucut pada
kasus Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Singkatnya, tulisan ini hendak melihat
sejauh mana faktor eksternal-struktural mempengaruhi involusi ideologi partai politik di
Indonesia? Tulisan ini diharapkan dapat memperkaya diskursus modernisasi partai
politik di Indonesia.
Kata Kunci: Eksternal-Struktural, Atomisasi Politik, Involusi Ideologi
1. Pendahuluan
Diskursus modernisasi partai politik (parpol) di Indonesia banyak didominasi
oleh tantangan modernisasi parpol yang menekankan faktor personifikasi dan oligarki
1

Tulisan ini dipresentasikan dalam konferensi Hukum Tata Negara ke-3 dengan tema ”Demokratisasi
Partai Politik” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas

Andalas di Bukit Tinggi pada tanggal 5 - 8 September 2016.
2

Alumnus Paskasarjana Ilmu Politik di Uppsala University, Swedia. Penulis dapat dihubungi melalui surel
di rafif.imawan@gmail.com

1

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

sebagai penghambat (Asshiddiqie, 2014, p.6; Ufen, 2006, p.29; Harjanto, 2011, p.158;
Djati, 2013, p.228; Nurhasim, 2013, p.25; Bathoro, 2011, p.124). Kuatnya analisis
dominan ini cukup beralasan, mengingat personifikasi dan oligarki parpol telah menjadi
faktor dominan penghambat modernisasi partai. Padahal parpol memiliki fungsi yang
sangat penting bagi demokrasi. Parpol memegang peran sebagai lembaga politik formal
yang mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan konstituen, di samping
perannya dalam kaderisasi dan rotasi kepemimpinan (Alrasyid, 2011, p.40; Asshiddiqie,

2014, p.2; Hague & Harrop, 2004, p.185).
Kuatnya diskursus personifikasi dan oligarki dalam parpol di Indonesia, secara
tidak langsung mendorong analisis yang menempatkan personifikasi dan oligarki
sebagai faktor pendorong merosotnya ideologi partai politik. Argumentasi yang
melingkupinya meliputi pengarusutamaan kepentingan elit dibandingkan platform
ideologi. Akibatnya, kerja partai politik di Indonesia lebih banyak dilihat dari bagaimana
konsensi elit politik dibentuk, dibandingkan dengan kapasitas ideologi partai tersebut.
Tulisan singkat ini mencoba untuk lepas dari hegemoni diskursus yang mengedepankan
dimensi internal-struktural berupa personifikasi dan oligarki sebagai penghambat
modernisasi parpol di Indonesia. Sebaliknya, tulisan ini hendak melihat dimensi
eksternal-struktural berpengaruh terhadap involusi ideologi partai politik di Indonesia.
Melalui tulisan ini, penulis hendak menunjukan faktor dominan pendorong
involusi ideologi parpol di Indonesia. Pertama, secara tidak langsung desentralisasi
telah memberikan ruang bagi partai politik di daerah untuk menekankan kebutuhan di
ranah lokal yang lebih pragmatis. Proses mengakar (rooting) ideologis ke masyarakat
menjadi lebih sulit bagi partai politik, sebab diskursus ideologi partai yang hanya
dipahami oleh elit partai (UGM, 2015). Langkah ini diikuti dengan semakin
pragmatisnya parpol di tingkat daerah.
Kedua, struktur politik yang berubah, perkembangan teknologi informasi telah
merubah interaksi antara individu dengan parpol. Kini sosialisasi politik warga negara

didorong melalui media sosial. Hal ini menjadi persoalan serius bagi parpol. Studi Lynch
dan Hogan (2012) terkait sosialisasi partai politik di Irlandia menunjukan adanya gap
budaya politik antara generasi tua dan muda. Bagi kalangan generasi tua, identifikasi
politik lebih ditekankan pada keterkaitan dengan instititusi politik lama seperti partai
politik. Sedang bagi generasi muda, interaksi secara langsung dengan aktor politik
(terutama melalui media sosial) menjadi kunci penting bagaimana keberpihakan politik
ditentukan. Padahal di sisi lain, pengurus partai politik yang didominasi golong tua
tidak memiliki kapasitas untuk melakukan sosialisasi politik melalui media sosial
(Lynch & Hogan, 2012, p.96). Hal ini mengakibatkan keterikatan generasi muda dengan
partai politik rendah.
Faktor struktural inilah yang coba untuk dielaborasi lebih jauh dalam tulisan ini
dengan mengambil kasus Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Melalui tulisan ini,
diharapkan muncul diskusi lebih lanjut mengenai pengaruh dimensi eksternalstruktural bagi usaha modernisasi partai politik. Secara umum, tulisan ini dibagi
menjadi lima bagian. Pertama, berisi elaborasi mengapa topik bahasan ini penting
dikaji. Kedua, berisi teorisasi mengenai modernisasi partai politik, utamanya
pembahasan diskursus dominan dan alternatif yang melingkupinya. Ketiga, berisi
metode dan rumusan masalah. Keempat, berisi analisis Pilkada DKI Jakarta 2012 dan
Pilpres 2014. Kelima, berisi kesimpulan, kontribusi, limitasi, dan rekomendasi tulisan
ini.
2


Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

2. Teorisasi Modernisasi Partai Politik
Teorisasi mengenai modernisasi partai politik dikerangkai oleh penulis dalam
dua kerangka besar, yakni kerangka internal-struktural dan eksternal-struktural.
Kerangka internal-struktural menjadi kerangka dominan dalam memahami partai
politik di Indonesia dengan menekankan pembahasan pada dimensi manajemen,
personifikasi, clientalisme, dan patronase partai. Sedang, dimensi eksternal-struktural
lebih menekankan pada faktor-faktor modernisasi partai politik yang berasal dari luar
struktur parpol seperti meningkatnya atomisasi politik.
Internal-Struktural
Debat akademik mengenai modernisasi partai politik banyak dikaitkan dengan
personifikasi dan oligarki partai. Dimensi personifikasi dan oligarki partai ini dalam
hemat penulis merupakan dimensi internal-struktural mengingat dimensi ini banyak
membahas manajemen parpol. Personifikasi dan oligarki partai telah banyak dikaji,
meski dengan hubungan variabel yang berbeda dan scope yang berbeda pula. Kajian

yang dilakukan Harjanto (2011) menunjukan bahwa otonomi daerah menjadi faktor
katalisator yang mendorong menguatnya kembali elit politik lokal dengan basis
tribalisme, feodalisme, jaringan maupun populisme (Harjanto, 2011, p.228-229). Hal ini
memungkinkan personifikasi partai di tingkat daerah. Parpol menjadi dipahami bukan
sebagai representasi ideologi, melainkan representasi elit parpol.
Gejala personifikasi partai politik juga terjadi pada tingkat pusat. Hal ini
merupakan ekses dari de-aliranisasi dan ’Fiilipinaisasi’ pada masa orde baru. Dimana
partai politik ditandai dengan lemahnya platform partai, mudahnya individu berganti
partai, koalisi dengan orientasi jangka pendek, dominasi aktor dalam kandidasi
presiden, dan jejaring kartel. Dalam kasus ini, terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) sebagai ketua partai Demokrat dan menjadi simbol partai tersebut telah
menunjukan gejala presidensialisasi partai (Ufen, 2006, p.28-29). Penguatan
personifikasi dan ’Fiilipinaisasi’ ditandai pula dengan menguatnya kartelisasi partai
politik yang membentuk rente antar parpol (Ambardi, 2009, p.347; Kopecký et al, 2016,
p.428; Nurhasim, 2013, p.28; Bathoro, 2011, p.124). Di sisi lain, paska Orde Baru
menghadapi kendala serius berupa hilangnya arah dan orientsi paska memiliki otonomi
dalam mengelola institusinya sendiri (Imawan, 2004). Faktor-faktor lemahnya orientasi
dan personifikasi parpol ini yang turut mendorong involusi ideologi parpol.
Diskursus dominan ini menekankan pada buruknya populisme maupun
personifikasi parpol bagi masa depan demokrasi di Indonesia. Pun demikian, berbeda

dengan diskursus dominan yang dibangun, studi yang dilakukan oleh Gurov dan Zakina
(2013) menunjukan bahwa populisme dan personifikasi parpol justru dapat
meminimalisir transaksi politik mengingat interaksi secara langsung mendorong
transparansi (Gurov & Zakina, 2013, p.3). Hasil analisis dari Marcus Meitzner pun
menempatkan temuan yang bertentangan dengan diskursus dominan dengan bahwa
partai politik di Indonesia tidak menghadapi personifikasi maupun oligarki parpol.
Sebaliknya, kewalahannya SBY dalam mengkontrol aliansinya dan konsistennya PDI
Perjuangan berjuang sebagai parpol oposisi telah menunjukan bahwa tidak terdapat
gejala de-institusionalisasi (Jaffrey, 2014, p.462-463). Meski demikian, kedua penelitian
ini tidak menjawab bagaimana modernisasi parpols secara institusional dilakukan.

3

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

Dimensi internal-struktural dalam diskursus personifikasi dan oligarki parpol
menunjukan dua cara pandang berbeda. Pertama, cara pandang yang melihat bahwa

personifikasi dan oligarki partai merupakan faktor yang menghambat modernisasi
partai. Kedua, cara pandang yang melihat bahwa personifikasi dan oligarki partai tidak
terjadi di Indonesia dan dalam beberapa hal berakibat positif terhadap asas
transparansi, seperti yang terjadi di Bulgaria. Analisis dominan ini tidaklah salah,
namun titik berat pembahasan modernisasi parpol pada dimensi internal-struktural
telah menutup peluang pembahasan mengenai modernisasi dari kacamata berbeda.
Persoalannya, terdapat pula perubahan pada konstituen parpol yang didorong oleh
faktor eksternal-struktural di luar partai politik yang mau tidak mau menuntut adaptasi
parpol.
Eksternal-Struktural
Pembahasan pada sub-bab sebelumnya telah membahas diskursus dominan
yang menempatkan personifikasi dan oligarki partai sebagai dimensi internalstruktural penghambat modernisasi partai politik. Menurut hemat penulis, analisis yang
banyak menempatkan personifikasi dan oligarki partai telah mengesampingkan faktor
eksternal-struktural. Debat seputar faktor eksternal-struktural ini meliputi perubahan
pengakaran dan sosialisasi politik yang gagal dilakukan oleh parpol.
Perkembangan teknologi telah mendorong atomisasi politik. Sosialisasi politik
saat ini dapat dilaksanakan menggunakan media sosial dan menekankan interaksi aktor
politik dengan konstituen. Kasus kapasitas parpol di Irlandia menunjukan lemahnya
kapasitas pengurus partai yang didominasi oleh golongan tua untuk menggaet suara
konstituen yang merupakan generasi Y3 dan Z4 (Lynch & Hogan, 2012, p.96). Model

atomisasi politik ini tidak menekankan pada identifikasi individu pada ideologi, tapi
lebih menekankan pada kedekatan individu dengan aktor politik.
Serupa dengan studi di Irlandia, studi mengenai pengaruh digital yang dilakukan
oleh Chadwick dan Stomer-Galley (2016) menunjukan bahwa perkembangan digital
media telah mendorong perubahan kultural organisasi partai, mengingat digital media
mendorong perubahan interaksi di dalam partai yang cenderung hirarkis. Studi ini
menunjukan bahwa perkembangan digital media telah menjadi katalisator perubahan
partai politik dari luar institusi partai itu sendiri. Dimensi yang berubah adalah model
partisipasi publik terhadap diskursus politik yang bergantung pada interaksi individual
(Chadwick & Stomer-Galley, 2016, p.283). Perubahan ini didorong oleh bekerjanya
atomisasi yang mendorong desentralisasi kekuasaan, seperti penerapan desentralisasi
dan otonomi daerah uang mendorong desentralisasi politik dalam tubuh parpol.
3

Terminologi ini pada dasarnya mengacu pada Diskusi dalam disiplin demografi atau banyak digunakan
dalam riset marketing, meski saat in hampir semua orang menggunakan terminology ini untuk
membahas spektrum demografi. Generasi Y dikenal sebagai individu yang rumit, terintegrasi dengan
teknologi dan tidak terpengaruh oleh pemasaran model lama. Generasi Y tidaklah loyal terhadap satu
brand tertentu, dimana perkembangan internet dengan sangat mudah merubah orientasi generasi ini.
Lihat:

Wjschroer,
(t.t).
Generations
X,Y,
Z
and
the
Others.
(Online).
(http://socialmarketing.org/archives/generations-xy-z-and-the-others/, diakses 24 Juli 2016)

4

Generasi Z mengacu pada individu yang memiliki eksposure yang lebih terhadap perkembangan
teknologi dibandingkan generasi Y. Generasi ini tumbuh di era perkembangan teknologi yang lebih
kompleks (ibid).

4

Konferensi KNHTN III


Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

Berbeda dengan studi Chadwick dan Stomer-Galley (2014), studi mengenai
pengaruh digital media yang dilakukan oleh Vaccari dan Valeriani (2016) dengan
menganalisis keterlibatan politik individu di Jerman, Italy dan United Kingdom. Studi ini
menunjukan bahwa tingkat keterlibatan politik warga negara bervariasi, dimana aktivis
partai lebih memiliki tingkat keterlibatan yang lebih dibandingkan dengan individu
yang tidak terafiliasi dengan partai politik. Menariknya, studi menunjukan bahwa
semakin meningkatnya diskusi politik di media sosial, hal tersebut mendorong semakin
turunnya keanggotaan dan keterikatan individu terhadap partai (Vaccari & Valeriani,
2016, p.294, 305). Studi ini menunjukan bahwa teknologi yang mendorong atomisasi
politik telah mendorong kemerosotan ikatan partai politik dengan individu.
Studi mengenai pengaruh media digital diatas menunjukan satu gejala yang
sama, yakni perkembangan teknologi mendorong kemorosotan kepercayaan warga
negara terhadap partai politik (Chadwick & Stomer-Galley, 2016, p.285; Vaccari &
Valeriani, 2016, p. 305). Perkembangan teknologi yang lebih mengedepankan dimensi
interaksi langsung antara aktor politik dengan konstituen. Dalam banyak hal, ini
sebenarnya merupakan peluang untuk memperkuat keterlibatan publik dalam
diskursus politik ideologis. Hanya saja, dunia digital yang anarkis menjadi faktor yang
mempersulit kontrol terhadap diskursus yang dibangun. Hal ini mendorong terbatasnya
interaksi antara aktor politik dengan konstituen (Lynch & Hogan, 2012, p.96; Vaccari &
Valeriani, 2016, p.306). Aktor politik memilih membatasi interaksi diri dengan
konstituen untuk menjaga legitimasi dan tingkat pengaruh.
Faktor eksternal-struktural ini menjadi penting untuk melihat merosotnya
dukungan publik terhadap parpol. Persoalannya bagaimana partai politik sebagai
lembaga formal demokrasi merespon merosotnya dukungan publik dengan
memanfaatkan sosial media. Di sisi lain, lembaga demokrasi formal mengalami
kemerosotan dengan menguatnya gerakan politik alternatif yang didorong melalui
semangat populisme (Samadhi & Warrow, 2009, p.157). Secara struktural, hal inilah
yang menjadi dasar gerakan volunterisme yang menjadi inti dari bekerja manajemen
pemenangan aktor politik di pemilu presiden maupun pilkada. Berbeda dengan partai
yang melekatkan gerakan pada label tertentu, volunterisme menekankan pada
kesukarelawanan dan interaksi dengan aktor politik. Pada konteks ini, voluntarisme
merupakan ekspresi dari keterlibatan atomisasi politik.
Idealnya partai politik merespon gejala atomisasi ini dengan manajemen
diskursus politik. Namun, nampaknya parpol di Indonesia lebih suka menduplikasi pola
gerakan voluntarisme, atau bahkan mendompleng gerakan volunterisme yang pada
awalnya kemunculannya merupakan respon/kritik terhadap kelemahan institusional
partai politik dalam mengagregasi kepentingan publik. Pada akhirnya, duplikasi
gerakan volunterisme ini menjadi langkah partai di bandingkan pembangunan
kapasitas pengelolaan diskursus. Strategi pragmatis ini tentu sangat berpotensi
mendorong involusi ideologi di tubuh partai politik itu sendiri.
Internal-Struktural vs Eksternal-Struktural
Dalam tulisan ini, debat teorisasi terkait dengan modernisasi partai politik
diklasifikasikan kedalam dua cara pandang utama, yakni dimensi internal-struktural
yang lebih mengedepankan diskursus personifikasi dan oligarki dalam tubuh parpol
yang menjadi penghambat utama modernisasi parpol. Sedang cara pandang lainnya
5

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

menyoal dimensi eksternal-struktural yang menekankan pada diskursus desentralisasi
power dan atomisasi warga negara sebagai dimensi yang menghambat modernisasi
partai politik. Dari dua cara pandang yang bertentangan ini, tulisan ini menggunakan
cara pandang kedua (eksternal-struktural) dalam membangun basis analisis untuk
melihat upaya modernisasi partai politik. Hipotesa yang dibangun, partai politik di
Indonesia gagal menjawab perubahan dimensi eksternal-struktural yang berakibat pada
involusi ideologi.
3. Metode
Analisis dalam tulisan ini menggunakan data sekunder berupa penelitian,
pernyataan, maupun berita terkait dengan gerakan volunterisme dalam Pilkada DKI
Jakarta 2012 dan Pilpres 2014. Analisis menekankan pada bagaimana atomisasi politik
dalam wujud gerakan voluntarisme mempengaruhi strategi partai. Apabila debat
ideologi menurun dan peran partai politik tidak dominan, maka hipotesa tulisan ini
bahwa faktor eksternal-struktural menjadi pendorong involusi ideologi partai politik di
Indonesia terbukti. Kedua kasus yang diangkat menempatkan gerakan volunterisme
sebagai strategi pemenangan calon. Dengan kata lain, faktor eksternal-struktur menjadi
corak di dua kasus tersebut.
Pada tataran teoritis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan dimensi penjelas
terkait dengan pengaruh faktor eksternal-struktural bagi modernisasi partai politik di
Indonesia. Tulisan ini diharapkan dapat membuka dimensi penjelas lain dari dominasi
diskursus faktor internal-struktural dengan membuka diskusi tentang dimensi
eksternal-struktural dalam diskusi modernisasi parpol.
Pada tataran praksis, tulisan ini diharap dapat memberikan rekomendasi terkait
bagaimana partai politik merespon kuatnya faktor eksternal-struktural bagi
modernisasi partai politik di Indonesia. Secara singkat, tulisan ini hendak melihat sejauh
mana faktor eksternal-struktural mempengaruhi involusi ideologi partai politik di
Indonesia?
4. Analisis Involusi Ideologi Partai Politik
Bagian ini membahas faktor eksternal-struktural terhadap involusi ideologi
partai politik di Indonesia dengan menganalisis gerakan volunterisme dalam Pilkada
DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 untuk menunjukan pengaruh faktor eksternalstruktural terhadap merosotnya kapasitas partai politik dalam mendorong diskursus
ideologis. Hal ini dimungkinkan mengingat pengaruh sosial media yang membuka ruang
publik baru bagi nilai-nilai demokrasi baru seperti voluntarisme, egalitarian, maupun
juga partisipastorisme (Jati, 2016, p.34). Kasus-kasus yang dielaborasi dalam bagian ini
menjadi penjelas pengaruh faktor eksternal-struktural tersebut.
Pilkada DKI Jakarta 2012
Gerakan voluntarisme mulai mengemuka pada event pemilihan gubernur
(pilgub) DKI pada tahun 2012 lalu. Pada pilgub DKI 2012 lalu, pasangan Jokowi-Ahok
memenangi pilgub dengan meraih 53,82 persen atau sekitar 2.472.130 suara
berbanding dengan pesaingannya yakni Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli yang meraih 46,17
6

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

persen atau sekitar 2.120.815 suara (Detik, 2012; Viva, 2012). Pada pilgub DKI ini,
pasangan Jokowi-Ahok hanya didukung oleh dua partai besar yakni PDI-Perjuangan dan
Gerindra, sedangkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli didukung oleh koalisi besar dalam
Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai
Matahari Bangsa (PMB), dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Kemenangan
Jokowi-Ahok ini diikuti dengan perubahan pola interaksi calon dengan konstituen dan
serta keberadaan relawan.
Keberadaan relawan dan pengunaan masif media sosial oleh pasangan JokowiAhok menjadi pembeda dalam pilgub DKI Jakarta 2012. Berbeda dengan pilkada
sebelumnya, relawan Jakarta baru melakukan sosialisasi langsung ke tengah warga dan
menggunakan media sosial secara masif untuk melakukan sosialisasi politik. Hal ini
diamini oleh Fadli Zon (Partai Gerinda), “Berbeda dengan 2009, sekarang banyak sekali
media sosial yang orang berinteraksi real time, jadi sangat penting”. Melalui media
sosial, konstituen Jakarta dimungkinkan mengakses informasi langsung terkait dengan
profil kandidat Jokowi-Ahok (Viva, 2012; Kompas, 2012). Hal ini mendorong bahwa
media sosial menajdi narasi penting dalam Pilgub DKI Jakarta 2012.
Melalui kampanye yang didorong melalui interaksi langsung kepada warga oleh
relawan serta aktifnya kampanye melalui media sosial. Sosialisasi politik dengan
penekanan atomistik ini menjadi terobosan baru dalam diskursus marketing politik,
dibanding marketing politik lama yang menekankan kampanye menggunakan media
massa tradisional. Media online berhasil menjadi arena artikulasi politik dari kelas
menengah yang memiliki kuantitas (populasi) di atas rata-rata yang kecewa terhadap
performa kandidat petahana (Utomo, 2013, p.81). Kelas menengah yang menjadi
relawan inilah yang memiliki keterlibatan yang kuat dengan media sosial yang menjadi
ujung tombak kampanye pasangan Jokowi-Ahok. Bahkan sekitar 6,5 juta dari 11 juta
penduduk DKI merupakan pengguna internet aktif dengan durasi rata-rata 2 jam per
orang tiap harinya (RMOL, 2016). Faktor ini diperkuat dengan komunikasi dua arah
yang terbangun dengan kandidat melalui media sosial (Suhendra, 2015, p.11). Hal ini
menunjukan bahwa kelas menengah yang terekspose dengan perkembangan teknologi
menjadi kelas sosial yang menentukan kemenangan Jokowi-Ahok di Pilgub DKI Jakarta
2012.
Diluar dimensi media sosial yang memudahkan interaksi pemilih dan aktor
politik. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam proses kemenangan Jokowi-Ahok
adalah kekuatan figur dalam diri Jokowi. Dukungan partai nampak tidak menjadi faktor
dominan dalam pilgub DKI, Toto Izul Fattah (Lingkaran Survei Indonesia)
membenarkan tidak signifikannya dukungan partai terhadap perolehan suara. “Jadi bisa
saja didukung oleh partai kecil. Namun kalau personal figur tinggi, maka suara yang
diperoleh akan tinggi" (Viva, 2012). Kuatnya sosok figur diperkuat dengan tingginya
kekecewaan masyarakat terhadap parpol, seperti pemaparan Andar Nubowo (Direktur
Eksekutif Indostrategi) yang menegaskan "Gerakan kerelawanan menganggap partai
politik sudah tidak sebangun dan sejalan dengan aspirasi publik" (Berita Satu, 2016).
Parpol menghadapi tantangan serius seiring persepsi politik publik yang lebih
menekankan pada politik aktor.
Kuatnya sosok figur dan kekecewaan publik terhadap parpol tergambar dalam
survey harian Kompas selama masa Pilgub DKI 2012. Dari beberapa pertanyaan yang
dikonstruksikan, pertanyaan perihal kesamaan parpol apakah mempengaruhi
7

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

responden dalam menentukan pilihan politik? Hasil responden yang mengatakan ’tidak’
sebesar 55% sedang yang mengatakan ’ya’ sebesar 39% (jajak pendapat 10-12
September 2012). Ketika berubah terkait dengan apakah koalisi parpol pendukung
menjadi pertimbangan mereka? Yang mengatakan "tidak mempertimbangkan" sebesar
40,1%, "sangat mempertimbangkan" 31,3%, sedangkan yang mengatakan "cukup
mempertimbangkan" 24,8%. Hal ini menunjukan rendahnya kualitas hubungan antara
konstituen-parpol serta menguatnya atomisasi politik (Lindawaty, 2012, p.19).
Secara singkat, Pilgub DKI 2012 menunjukan satu fenomena menarik terkait
atomisasi politik. Munculnya gerakan voluntarisme sebagai ekspresi atomisasi politik
menunjukan bahwa menurunnya fungsi partai politik. Hal ini dibuktikan dengan
keberhasilan koalisi kecil yang dibangun oleh Jokowi-Ahok lebih menekankan
penggunaan media sosial sebagai sarana penggalangan massa. Disamping itu, kekuatan
figur mempertegas bahwa arah politik di Indonesia menekankan pada faktor eksternal
berupa atomisasi. Hal ini tergambar dari keberhasilan Jokowi-Ahok dalam menggaet
30% swing voter di Pilkada DKI Jakarta 2012 dengan didorong melalui kampanye
kreatif (Tempo, 2012; Kompas, 2012). Hal ini diperkuat dengan ketidak berhasilan
penggunaan isu SARA yang digunakan oleh Fauzi Bowo di pilgub putaran kedua di
media sosial (Detik, 2012). Kegagalan mobilisasi ini menunjukan bahwa pada taraf
tertentu terdapat kegagalan pengakaran partai.
Pilpres 2014
Atomisasi politik dan gerakan voluntarisme semakin menguat dalam pilpres
2014. Pada pilpres ini, pasangan Jokowi-Jalla memenangkan pemilu dengan
mendapatkan 53,15% atau 70.633.576 suara dibanding dengan pasangan PrabowoHatta yang meraih meraih 46,85% atau 62.262.844 suara (BBC, 2014; Kompas, 2014).
Serupa dengan pilkada DKI Jakarta 2012, debat ideologi tidak menjadi narasi besar dan
peran partai politik nampak tidak dominan dalam narasi besar pilpres 2014. Sebaliknya,
terdapat tiga faktor kuat yang menjadi corak dari pilpres 2014, yakni faktor relawan,
kekuatan figur, dan menurunnya peran parpol.
Keberadaan relawan dalam pilpres 2014 muncul dengan narasi sebagai gerakan
alternatif atas merosotnya kepercayaan terhadap parpol. Relawan Projo sebagai contoh,
gerakan relawan ini muncul dengan narasi bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin
baru yang lahir dari rakyat dan membawa agenda rakyat (Giawa, 2014). Di sisi lain
keberadaan relawan Jokowi-JK kian memperkuat perbedaan identitas antara kekuatan
sipil melawan militer, mengingat Prabowo (pesaing Jokowi) mempunyai latar belakang
militer. Hanya saja, perlu kita cermati pula bahwa relawan Jokowi tidaklah tunggal.
Terdapat banyak kelompok sosial yang tergabung kedalam relawan Jokowi, mulai dari
buruh hingga pengusaha. Artinya, volunterisme pada pilpres 2014 tidak murni bebas
kepentingan elit politik dan tidak murni akumulasi aspirasi dari bawah (Irwansyah,
2014). Meski demikian, peran relawan politik ini menjadi indikator penting dari narasi
besar derasnya dukungan masyarakat sipil dalam kontestasi politik pilpres 2014, meski
pada akhirnya masyarakat sipil tidak punya pengaruh kuat dalam praktek
kepemerintahan sehari-hari (Sefsani & Ziegenhain, 2015, p.31-32).
Serupa dengan pilkada DKI Jakarta 2012, dalam pilpres 2014 kekuatan figur
sebagai sentrum dari strategi pemenangan pasangan Jokowi-JK. Serupa dengan pilkada
DKI Jakarta 2012, penguatan citra Jokowi sebagai pemimpin alternatif yang menjawab
8

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

problema dari presiden sebelumnya (Susilo Bambang Yudhoyono) yang pada masa
pemerintahannya banyak tersandera oleh kepentingan partai politik (Utami & Anshori,
t.t., p.16). Kepopuleran figur Jokowi semakin menguat kala dikaitkan dengan kampanye
hitam dalam pilpres 2014 dan diferensiasi antara sipil dan militer (Prathiwi, 2014, p.1516). Menariknya, kekecewaan publik terhadap partai politik disadari betul oleh JokowiJK dengan mengesampingkan atribut partai dalam kampanyenya dan memperbanyak
kalangan profesional dalam susunan kabinetnya (Giawa, 2014). Hal ini secara otomatis
memarjinalkan peran partai politik pengusung dalam diri PDI-Perjuangan, PKB, Hanura,
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI) dalam pemenangan Jokowi-JK. Partai tetap mengorganisasikan kampanye
pemenangan melalui mesin organisasi di daerah, namun relawan Jokowi-JK menjadi
sentrum dalam pilpres 2014 (Mangala, 2015, p.64; Agama, 2015).
Secara singkat, Pilpres 2014 menunjukan bagaimana dominannya atomisasi
politik. Menariknya, partai politik tidak merespon gerakan-gerakan volunterisme
dengan penguatan organisasi dan menghadirkan diskursus ideologis. Sebaliknya, partai
politik justru mengikuti strategi relawan dan menjadi bagian kerja relawan. Identitas
sebagai aktivis parpol melebur menjadi relawan Jokowi-JK. Disisi lain, pilpres 2014
menunjukan bahwa diskursus terkait dengan ideologi tidak terlalu mencolok
dibandingkan dengan diskursus sipil melawan militer ataupun diskursus bersih
tidaknya calon. Hal ini kian menunjukan bahwa parpol memilih jalan praktis yang
diiringi oleh menurunya debat ideologis.
5. Penutup
Tulisan ini menunjukan involusi ideologi partai politik yang ditandai dengan
lemahnya kapasitas dan marginalnya peran partai politik dalam mendorong diskursus
ideologis. Hal ini terlihat dalam kasus Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 yang
menunjukan dimensi pragmatis yang menjadi pilihan partai politik dibandingkan
dengan ideologi. Pada dua kasus tersebut, partai politik tidak menjadi sentrum
kampanye. Di sisi lain, debat ideologis juga absen dalam diskursus ini. Atomisasi warga
negara telah mendorong involusi ideologi partai politik dengan diterapkannya strategi
yang menekankan pada popularitas aktor. Di sisi lain, wacana terkait dengan ideologi
politik selama ini hanya menjadi domain dari elite partai dan digunakan dalam rangka
untuk mengkonstruksi standing dari partai politik dalam diskursus kepentingan publik.
Hal ini terlihat dari digunakannya strategi voluntarisme dibandingkan dengan
memperkuat kapasitas dan mendorong diskursus ideologis. Dengan kata lain, dalam hal
tertentu hipotesa tulisan bahwa partai politik di Indonesia gagal menjawab perubahan
dimensi eksternal-struktural yang berakibat pada involusi ideologi terbukti. Meski
demikian, kuatnya ideologi atau identitas dalam beberapa hal masih nampak dengan
bekerjanya isu SARA dan mobilisasi ikatan sebagai muslim dalam Pilkada DKI Jakarta
2012 dan Pilpres 2014.
Secara sadar, tulisan ini memiliki banyak kekurangan terutama terkait dengan
justifikasi argumentasi yang membutuhkan data empirik yang lebih kuat. Meski
demikian, tulisan ini berupaya untuk memberikan sumbangsih dalam diskusi
modernisasi partai politik dengan mengelaborasi faktor eksternal-struktural, di saat
diskusi mengenai modernisasi partai politik banyak didominasi oleh analisis internalstruktural. Dibutuhkan pendalaman penelitian pengaruh faktor eksternal-struktural
9

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

dalam modernisasi partai politik dengan melakukan interview mendalam (in-depth
interview) kepada pengurus partai dan relawan untuk memperkuat dimensi empiris
dari involusi ideologi.
Idealnya, parpol secara sadar melakukan penguatan kapasitas manajemen
ideologi dan organisasi mengingat ideologi tetap krusial dalam hal mempertajam
aspirasi publik. Di negara dengan demokrasi yang telah terkonsolidasi dengan dua
partai besar yang dominan, seperti Amerika Serika dan Swedia. Atomisasi politik tidak
lantas menurunkan pengaruh ideologi atau debat publik. Perdebatan publik ideologis
tidaklah absen antara tarikan liberal maupun konservatif. Atomisasi politik justru
menjadi peluang untuk mempertajam substansi dan mobilisasi debat publik.
Konsolidasi demokrasi yang matang inilah yang masih absen dalam konfigurasi peta
ideologis partai politik di Indonesia. Berdasarkan perkembangan peta partai paska
Pilpres 2014, nampaknya potensi dua peta ideologi lebih mengarah pada spektrum
sekuler/nasionalis dengan islam.
6. Daftar Pustaka
Agama, Y. (2015). Strategi PDI Perjuangan Dalam Memenangkan Pasangan Jokowi-Jusuf
Kalla Pada Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden 2014. JURNAL POLITICO,
2(6).
Alrasyid, M. H. (2011). Ancaman Oligarki Partai Dalam Pemilu. Jurnal FISIP: KYBERNAN,
1(02).
Ambardi, K. (2009). Mengungkap politik kartel: studi tentang sistem kepartaian di
Indonesia era reformasi. Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan
Lembaga Survei Indonesia.
Asshiddiqie, J. (2014). Dinamika Partai Politik dan Demokrasi.
Bathoro, A. (2011). Perangkap dinasti politik dalam konsolidasi demokrasi. Jurnal FISIP
Umrah, 2(2), 115-125.
BBC.

(2014).
KPU
tetapkan
Jokowi
menang
di
pilpres.
(Online).
(http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/07/140722_kpu_hasil_
pilpres, diakses 24 Juli 2016)

Berita Satu. (2016). Relawan Politik Muncul karena Rasa Kecewa terhadap Parpol.
(Online).
(http://www.beritasatu.com/nasional/370635-relawan-politikmuncul-karena-rasa-kecewa-terhadap-parpol.html, diakses 24 Juli 2016)
Chadwick, A., & Stromer-Galley, J. (2016). Digital Media, Power, and Democracy in
Parties and Election Campaigns Party Decline or Party Renewal?. The
International Journal of Press/Politics, 21(3), 283-293.
Detik. (2012). Isu SARA di Pilgub DKI 2012 Tak Baik Bagi Demokrasi Indonesia.
(Online). (http://news.detik.com/berita/1969840/isu-sara-di-pilgub-dki-2012tak-baik-bagi-demokrasi-indonesia, diakses 24 Juli 2016)
_______. (2012). KPU DKI: Jokowi-Ahok Pasangan Terpilih Pilgub DKI 2012. (Online).
(http://news.detik.com/berita/2045146/kpu-dki-jokowi-ahok-pasanganterpilih-pilgub-dki-2012, diakses 23 Juli 2016)

10

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

Djati, W. R. (2013). Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik
di Aras Lokal. JSM.
Giawa, F.D. (2014). Pemilu Berbasis Relawan, Paradigma Baru Politik Kita?. (Online).
(http://www.kompasiana.com/nabipalsu/pemilu-berbasis-relawan-paradigmabaru-politik-kita_54f5f1cea3331190088b45b7, diakses 24 Juli 2016)
Gurov, B., & Zankina, E. (2013). Populism and the Construction of Political Charisma:
Post-Transition Politics in Bulgaria. Problems of Post-Communism, 60(1), 3-17.
Hague, R., & Harrop, M. (2004). Political science: A comparative introduction. Palgrave
Macmillan.
Harjanto, N. (2011). Politik Kekerabatan dan Institusionalisasi Partai Politik di
Indonesia. Dalam Jurnal Analisis CSIS, 40(2).
Imawan, R. (2004). Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati
Diri. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.
Irwansyah. (2014). Pekik Perang ‘Relawan’ Melawan Oligarki Paska Pilpres 2014.
(Online). (http://indoprogress.com/2014/08/pekik-perang-relawan-melawanoligarki-paska-pilpres-2014/, diakses 24 Juli 2016)
Jaffrey, S. (2014). Indonesia. Money, power, and ideology: Political parties in postauthoritarian Indonesia By Marcus Mietzner Singapore: NUS Press, 2013. Pp.
301. Maps, Plates, Notes, Bibliography, Index. Journal of Southeast Asian Studies,
45(03), 462-464.
Jati, W. R. (2016). Cyberspace, Internet, Dan Ruang Publik Baru: Aktivisme Online Politik
Kelas Menengah Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(1), 25-35.
Kompas. (2012). Swing Voters Penentu Kemenangan Foke dan Jokowi. (Online).
(http://tekno.kompas.com/read/2012/09/17/17304246/swing.voters.penentu.
kemenangan.foke.dan.jokowi, diakses 24 Juli 2016)
_________. (2012). Tim Fauzi-Nachrowi Akui Peran Media Sosial. (Online).
(http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/03/16380329/Tim.FauziNach
rowi.Akui.Peran.Media.Sosial., diakses 24 Juli 2016)
_________. (2014). Ini Hasil Resmi Rekapitulasi Suara Pilpres 2014. (Online).
(http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/07/22/20574751/ini.hasil.resm
i.rekapitulasi.suara.pilpres.2014, diakses 24 Juli 2016)
Kopecký, P., Meyer Sahling, J. H., Panizza, F., Scherlis, G., Schuster, C., & Spirova, M.
(2016). Party patronage in contemporary democracies: Results from an expert
survey in 22 countries from five regions. European Journal of Political Research.
Lindawaty, D. S. (2012), Efektivitas Mesin Partai Politik dalam Pemilihan Gubernur DKI
2012, Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri. Vol. IV, No.
18/II/P3DI/September/2012
Lynch, K., & Hogan, J. (2012). How Irish political parties are using social networking
sites to reach generation Z: An insight into a new online social network in a small
democracy. Irish Communication Review, Vol. 13, 2012, pp.83-98

11

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

Manggala, M. (2015). Strategi pemenangan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada
Pilpres 2014: Studi atas marketing politik melalui mobil aspirasi. UIN Syarif
Hidayatulah
Nurhasim, M. (2013). Kegagalan Modernisasi Partai Politik Di Era Reformasi. Jurnal
Penelitian Politik, 10(1), 12.
Prathiwi, B. F. (2014). Persepsi Mahasiswa Tentang Calon Presiden Republik Indonesia
2014–2018: Studi Deskriptif Berdasarkan Perceptual Mapping Mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tentang
Calon Presiden RI 2014–2018 Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Jurnal Ilmu
Komuikasi, 1-19.
RMOL.

(2016). Adian Napitupulu: Pilkada Jakarta Itu Anomali. (Online).
(http://www.rmol.co/read/2016/07/21/253956/Adian-Napitupulu:-PilkadaJakarta-Itu-Anomali-, diakses 24 Juli 2016)

Samadhi, W. P., & Warrow, N. (2009). Demokrasi Di Atas Pasir: Kemajuan Dan
Kemunduran Demokrasi di Indonesia. Demos: Jakarta.
Sefsani, R., & Ziegenhain, P. (2015). Civil-society Support—A Decisive Factor in the
Indonesian Presidential Elections in 2014. ASIEN, 136, 14-33.
Suhendra, A. (2015). Senjata Baru Dalam Ruang Politik: Konstruksi Sosial Penggunaan
Jejaring Sosial Online dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012. Jurnal
Sejarah dan Budaya, 8(1).
Tempo. (2012). Mengapa Jokowi Bisa Memutarbalikkan Hasil Survei. (Online).
(https://m.tempo.co/read/news/2012/07/11/228416337/mengapa-jokowibisa-memutarbalikkan-hasil-survei, diakses 24 Juli 2016)
Ufen, A. (2006). Political Parties in Post-Suharto Indonesia: Between Politik Aliran
and'Philippinisation'. GIGA Working Paper
UGM, (2015). Teliti Ideologi Politik dan Basis Sosial PRD dan PK(S), Arie Sujito Raih
Doktor.
(Online).
(https://ugm.ac.id/id/berita/10541teliti.ideologi.politik.dan.basis.sosial.prd.dan.pk(s).arie.sujito.raih.doktor, diakses
23 Juli 2016)
Utami, I. T., & Anshori, M. (t.t). Citra Joko Widodo Dan Jusuf Kalla Dalam Iklan Politik
Televisi. Universitas Sebelas Maret
Utomo, W. P. (2013). Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia:
Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 17(1), 67-84.
Vaccari, C., & Valeriani, A. (2016). Party Campaigners or Citizen Campaigners? How
Social Media Deepen and Broaden Party-Related Engagement. The International
Journal of Press/Politics, 1940161216642152.
Viva. (2012). Ini Rekapitulasi Hasil Suara Pilkada DKI Putaran 2. (Online).
(http://metro.news.viva.co.id/news/read/354702-ini-rekapitulasi-hasil-suarapilkada-dki-putaran-2, diakses 24 Juli 2016)
_____. (2012). Rahasia Kemenangan Jokowi: Membangun “pusat syaraf”. Merakyat
dengan
15
ribu
relawan.
(Online).
12

Konferensi KNHTN III

Sub Tema:
Hubungan Kepengurusan Partai Politik di Tingkat Pusat dan Daerah

(http://sorot.news.viva.co.id/news/read/353339-rahasia-kemenangan-jokowi,
diakses 24 Juli 2016)
Wjschroer,
(t.t).
Generations
X,Y,
Z
and
the
Others.
(Online).
(http://socialmarketing.org/archives/generations-xy-z-and-the-others/, diakses
24 Juli 2016)

Biografi Penulis:
Rafif Pamenang Imawan, lahir di DeKalb, Illinois, USA tanggal 14 Oktober 1986.
Riwayat jenjang pendidikan S1 ditempuh di Departemen Ilmu Politik Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan jenjang pendidikan S2 dalam bidang
Ilmu Politik di Departemen Ilmu Pemerintahan di Uppsala University (UU) Swedia.
Penulis dapat dihubungi melalui surel di rafif.imawan@gmail.com

13