PERSPEKTIF HUMANISASI PENDIDIKAN DALAM K
PERSPEKTIF HUMANISASI PENDIDIKAN
DALAM KONTEKS KE-ISLAM-AN DAN KE-INDONESIA-AN
(Upaya Rekonstruksi Perspektif Pendidikan Berbasis Humanis, Unggul dan Islami)
Oleh : Willy Ramadan, S.Pd
A. PENDAHULUAN
Hampir semua kalangan masyarakat kita sepakat bahwa pendidikan merupakan
satu unsur yang memiliki kapasitas urgensitas yang kuat dan besar dalam
membangun dan mengembangkan kualitas masyarakat dan kondisi bangsa.
Suparlan menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan sistem proses perubahan
menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri.1 Pendidikan begitu
sangat berperan dalam menjadikan masyarakat bergerak menuju prosesi optimisme
untuk melepaskan diri dari segala bentuk keterpurukan dan ketertinggalan dalam
semua sektor, yang pada akhirnya akan berimpilakasi terhadap tatanan sosial
kemasyarakatan. Sehingga mustahil jika kita harus menolak sebuah urgensitas
pendidikan, apalagi peranan terpenting dalam sebuah pendidikan merupakan
landasan dan dasar dalam mewujudkan sebuah perubahan positif kehidupanan
masyarakat.
Dalam konteks kebangsaan, begitu juga halnya pemerintah dengan serta merta
memberi perhatian terhadap dunia pendidikan. Misalnya dalam UU No.20/2003
tentang
Sistem
bahwa, Pendidikan
Pendidikan
nasional
Nasional
berfungsi
(Sisdiknas)
Pasal
mengembangkan
3
disebutkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun pendidikan di indonesia pada faktanya sering kali diklaim belum mampu
menjawab dan menyelesaikan permasalahan, perubahan, kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Perilaku dan perlakuan kekerasan dalam pendidikan seringkali kita
jumpai dan dipublikasi melalui media-media massa. Begitu juga dengan formatisasi
kurikulum sebagai acuan dasar pembelajaran dan pendidikan cenderung tidak
mampu dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan.
Selain itu, pendidikan Indonesia juga mengalami pergesekan terhadap nilai-nilai
1
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 80.
1
2
agama. Seperti terpisahnya sains agama dan sains umum baik itu secara
kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Sehingga berakibat dikotomis
pendidikan yang mengkhawatirkan.2 Ditambah lagi kebijakan-kebijakan pendidikan
saat ini hanya berada dalam ranah kebijakan politik bukan dalam kebijakan publik.
Sehingga permasalahan pendidikan kontemporer sekarang ini harus berhadapan
dengan adanya persoalan politis antara para pemegang kekuasaan.
Menurut hasil survey UNDP (2002) misalnya, bahwa kualitas SDM Indonesia
ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia
hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina, Thailand,
Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal.
Fakta lain, berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 disebutkan bahwa sistem
pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang
disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura,
Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12,
setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
Menurut para pakar pemikiran pendidikan. Dunia pendidikan dewasa ini,
Indonesia khususnya, mengalami proses dehumanisasi. Dalam kata lain bahwa
pendidikan hari ini mengalami kecendrungan terhadap diskriminatif, penindasaan,
pengekangan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Pendidikan dijadikan sebagai
alat untuk melanggengkan sebuah doktrinisasi dan kekuasaan. Peserta didik hanya
dijadikan objek dan “diciptakan” menjadi penurut dengan alasan keseragaman
nasional. Sehingga wajar jika hasil survey diatas menghasilkan bahwa kualitas SDM
dan sistem pendidikan kita dalam posisi mengkhawatirkan.
Melirik problematika pendidikan kita di Indonesia, ditambah lagi konsepsi
pendidikan yang jauh dari nilai-nilai Islami. Dengan mengacu pada pemikiran
pemikir-pemikir pendidikan yang memiliki epistemologi umum maupun islam. Kami
bermaksud menelaah, mengkaji dan berupaya mencari solusi dengan konsep
humanisasi pendidikan dengan mencoba melalui integrasi terhadap nilai-nilai
pendidikan islam.
Sehingga
pada
akhirnya
kajian
ini
diharapkan
mampu
Lihat lebih lanjut pada Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012).
Dalam bukunya Amin Abdullah menawarkan epistemology paradigma keilmuuan interkoneksitas untuk menyelesaikan
permasalah yang dia sebut sebagai “keteganggan” antara pendidikan umum dan pendidikan agama.
2
3
mendapatkan satu konsep pendidikan humanis, terbuka, unggul dan islami yang
mengacu kepada nash Al-Qur’an dan Hadist.
B. PEMBAHASAN
1. Humanisasi Sebagai Hakikat Pendidikan
Secara umum pendidikan bertujuan membantu manusia untuk mendapatkan
eksistensi
kemanusiaannya
secara
utuh.
Pendidikan
juga
bertujuan
untuk
menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Unsur yang paling
membedakan manusia dengan hewan adalah anugrah akal yang telah diberikan
oleh Allah. Dengan begitu hanya manusia yang mengalami proses pendidikan.
Manusia dalam pandangan kaum eksistensialis merupakan makhluk yang dilahirkan
kedunia dalam keadaan tak berdaya dan ia terpaksa bertanggung jawab terhadap
eksistensinya.3 Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang diberikan akal untuk berpikir,
pendidikan tentu akan menjadi jalan bagi manusia dalam upaya maksimalisasi
potensi yang diberikan tersebut. Pendidikan akan menjadi landasan manusia dalam
bersikap dan bertindak dalam proses hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Sehingga diharapkan mampu hidup dalam keseimbangan.
Pendidikan bukan hanya dalam konteks sekolah-sekolah formal seperti yang kita
kenal selama ini. Namun, pendidikan lebih dari sekedar faham seperti itu.
Pendidikan bukan hanya proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan merupakan
sebuah kemampuan manusia untuk mengenal potensi dirinya sendiri dan mampu
mengembangkan potensi tersebut, sehingga pada akhirnya manusia dengan
kemampuan dan kesadarannya, menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat.
Namun pertanyaan kita kemudian, kesalahan apa yang mendasari fenomena
pendidikan kita saat ini?. Tentunya dalam konteks ke-islam-an dan ke-indonesiaan.
Fenomena-fenomena yang sudah dijelaskan pada pendahuluan diatas sedikit
melukis wajah pendidikan kita di Indonesia yang begitu sangat memperihatinkan.
Para pemikir pendidikan menilai bahwa ini adalah akibat menjamurnya praktek
pengekangan dan deksriminatif atas kebebasan anak didik.
Dehumanisasi juga bisa terlukis pada praktek-paraktek pendidikan formal.
“Kesewenangan” guru didalam dunia pendidikan kita sekarang ini makin mengakar.
Proses doktrinasi yang seakan-akan menganggap bahwa murid atau anak didik
3
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 20.
4
adalah sebuah wadah yang hanya dan harus menerima apa yang disampaikan guru,
tanpa memberi kesempatan kepada anak didik untuk menelaah dan menolak. Ini
tidak hanya terjadi didalam pendidikan formal yang berbasis umum, namun juga
terjadi dalam dunia pedagogi islam. Masih banyak lembaga dan institusi pendidikan
islam yang cendrung mengunakan metode doktrinisasi yang berakibat lahirnya
pelajar-pelajar muslim yang monoton dan tidak dinamis dalam mengkaji ilmu-ilmu
agama maupun ilmu umum.
Pada dasarnya ketika kita bicara tentang hakikat pendidikan tentu tidak lepas
membicarakan unsur hakikat manusia. Berdasarkan dua aliran besar yang memiliki
pendapat tentang hakikat manusia ini, aliran idelisme spritualisme dan materalisme,
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho menyimpulkan bahwa ada beberapa poin perihal
hakikat manusia. Diantaranya :
a. Manusia
adalah
satu-satunya
makhluk
yang
dapat
mewujudkan
kemanusiaannya yang berbeda dengan dunia binatang karena manusia itu
adalah makhluk yang memerlukan pendidikan.
b. Manusia adalah animal educabili, yang berarti bahwa manusia mempunyai
potensi untuk dididik atau dikembangkan.
c.
Manusia adalah makhluk sosial. Meski dalam kelompoknya binatang juga
mengenal kehidupan sosial, itu tidak sama halnya dengan hubungan
antarmanusia yang mengenal nila-nilai etika, baik-buruk.
Adapun tentang beberapa rumusan proses pendidikan. H.A.R. Tilaar & Riant
Nugroho mengklasifikasikan pada beberapa proses. Diantaranya adalah bahwa
pendidikan itu sebagai transmisi kebudayaan, pengembangan kepribadiaan,
pengembangan akhlak mulia serta religus, mempersiapkan pekerja-pekerja yang
terampil dan produktif, pengembangan pribadi paripurna atau seutuhnya dan
pembentukan manusia baru.4
Kami melihat, secara umum hakikat pendidikan adalah semua proses yang
sudah disebutkan diatas adalah keinginan untuk membantu manusia menemukan
eksistensi dirinya atau mewujudkan hakikat kemanusiaannya secara benar dan utuh.
Sehingga pada akhirnya tujuan dari pendidikan ini adalah pendidikan yang berujung
pada pembebasan manusia dari berbagai keterikatan, baik keterikatan biologis,
4
Lebih lanjut silahkan lihat H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2012), hal. 22-42.
5
keterikatan sosial dan keterikatan lingkungannya.5 Begitu juga sebaliknya,
pendidikan bukanlah tempat memasung dan memenjarakan kebebasan individual
dengan ikatan-ikatan peraturan yang tanpa dasar. Inilah satu persepsi yang kita
sebut dengan proses humanisasi dan dehumanisasi.
2. Humanisasi Dalam Konteks Pendidikan Islam
Banyak para pakar pendidikan yang menawarkan epistemologi pendidikan yang
berdasarkan huminasasi ini. Epistemologi pendidikan Paulo Freire misalnya, ialah
berangkat dari persepsi kaum tertindas dalam dunia pendidikan. Ia mengemukakan
salah satu problematika dalam dunia pendidikan yang ia istilahkan sebagai Banking
Concept of Education. Yaitu dimana anak didik tidak dilihat sebagai sesuatu yang
dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk
menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang
dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya.
Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid atau peserta
didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Paulo
menyajikan satu konsep yang ia sebut Problem Posing Method, dimana ia
memandang bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
6
Namun, pemikiran Paulo Freire masih berkutat dan terikat seputar kepentingan
di muka bumi, yaitu kepentingan yang masih bersentuhan dengan materialisme dan
positivisme, tetapi belum mempunyai kaitan dan menyentuh pada dimensi spiritual
transedental, yang mengarah pada dialog spiritual.
7
Oleh karena itu perlu untuk
melakukan integrasi konsepsi pendidikan humanisasi ini dengan nilai-nilai Islam
yang bersumber dari beberapa pandangan dan epistemologi pemikiran pemikirpemikir pendidikan islam.
Islam lahir sebagai sebuah agama yang berada di tengah sosio-kultural
masyarakat arab yang penuh dengan dinamika dan problematik sosial. Deskriminasi
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2012), hal. 19
Marten Manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dan Relevansinya Dalam Konteks
Indonesia, INTIM – Jurnal Teologi Kontekstual; Edisi No 8, 2005. Pemikiran Paulo ini bisa lebih lanjut dibaca dalam karyakaryanya. Seperti Pedagogy of the oppressed dan Education For Critical Consciousness. Kami hanya sekilas mencantukan
pemikirannya sebagai perbandingan dan refresentatif pemikir-pemikir humanisasi barat.
7 Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebesan Dalam Prespektif Barat Dan Timur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), hal. 11
5
6
6
dan kriminalitas terus menyelimuti kehidupan masyarakat pada saat itu. Seperti
halnya diskriminasi terhadap wanita, dikriminasi terhadap kaum miskin, dan
kriminalitas meraja lela. Kemudian lahirlah Islam sebagai sebuah solusi yang
melawan realitas yang sangat berlawanan dengan eksistensi kemanusiaan. Islam
sebagai sistem kehidupan yang memuat beberapa sub-sistem aspek, dan
diantaranya adalah sub-sistem pada sektor pendidikan. Dengan pendidikan sebagai
salah satu sub-sistem tersebutlah Islam memberi penawaran solusi.8 Melalui aspek
ajaran dan pendidikan, Islam menegaskan sebuah urgensi ilmu pengetahuan tidak
pernah memandang perbedaan ekonomi, sosial bahkan ras. Tentu dengan ini, Islam
menjadi revolusioner untuk menjadi motor pengerak dan pembebesan masyarakat
dari ikatan kedungguan, kebodohan, diskriminasi dan penindasan, yang ketika itu
mendominasi dalam semua aspek tatanan sosial kemasyarakatan.
Seperti yang sudah kita diskusikan diatas bahwa Paulo, sebagai refresentatif
pemikir pendidikan barat, hanya memandang pendidikan humanisasi pada
kepentingan yang masih bersentuhan dengan materialisme dan positivisme, tetapi
belum mempunyai kaitan dan menyentuh pada dimensi spiritual transedental, yang
mengarah pada dialog spiritual. Begitu juga pada hakikat manusia, Paulo hanya
berlandaskan eksistensi manusia sebagai manusia ansich. Sementara konsepsi
manusia dan hakikat pendidikan islam memiliki landasan teologis berupa Al-Qur’an
dan Al-Hadist. Dalam Islam, pendidikan dipahami sebagai sub-sistem dari essensi
islam secara makro yang tujuan akhir dari pendidikan Islam tersebut ialah
terciptanya manusia yang sempurna (insan kamil), melalui pendekatan diri kepada
Allah.
Banyak sudah penelitian-penelitian dan kajian-kajian akademik pada pendidikan
humanisasi ini terhadap konsepsi pemikir-pemikir pendidikan umum maupun islam.
Seperti kajian terhadap pemikiran pendidikan Paulo Freire, pemikiran pendidikan
Hasan Al-Banna, pemikiran pendidikan Mansour Fakih, pemikiran Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi hingga pemikiran Ki Hajar Dewantara. Konsep pendidikan
humanisasi ini melahirkan banyak konsep maupun istilah yang cukup beragam. Ada
yang mengunakan istilah pendidikan pembebasan-seperti banyak yang ditulis Paulo
Freire dalam tulisan-tulisannya-adapula yang mengunakan istilah pendidikan kritis
serta pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menarik pemerintah Indonesia untuk
8
Umiarso & Zamroni (2011), hal. 33
7
menjadikan landasan konsepsi pendidikan di Indonesia. Meski beragam dan
mempunyai pandangan metodologi yang bervarian, namun pada dasarnya semua
persepsi dan pemikiran mereka terhadap pendidikan adalah belandaskan eksistensi
fitrah manusia.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwa landasan teologis eksistensi
fitrah manusia dan hakikat pendidikan ialah berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist. Pada
Al-Qur’an QS Al-Rumm ayat 30, pada interpretasi Al-Munjid fil al-Lughah wa al-A’lam
dalam buku Usman Abu Bakar menjelaskan bahwa fitrah adalah suatu kekuatan
untuk mengenal Allah yang menancap didalam diri manusia. Masih dalam buku yang
sama, Usman juga mengutip pendapat Ramayulis yang mengatakan bahwa fitrah
manusia ialah kemampuan dasar bagi perkembangan manusia yang tiada ternilai
harganya dari Allah SWT dan harus dikembangkan untuk mencapai tingkat manusia
paripurna. Kemudian ia menyimpulkan bahwa potensi dasar atau fitrah manusia ini
merupakan sebuah kekuatan atau kemampuan yang ada didalam diri manusia sejak
ia diciptakan sebagai sifat kodrati untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan
kepada Allah SWT. Adapun potensi-potensi itu menurut Al-Qur’an ialah basyar
(makhluk biologis), al-nas (makhluk Sosial), bani adam (makhluk rasional) dan alinsan (makhluk spiritual).9Sedangkan alat-alat potensial yang dimiliki manusia dalam
Al-Qur’an ialah Al-lams dan Al-syum (alat peraba dan alat pencium), Al-sam’u (alat
pendengaran), Al-abshar (penglihatan), Al-Aql (akal) dan Al-qalb (hati).
Dalam bukunya, Usman Abu Bakar juga menjelaskan beberapa klasifikasi
potensi dasar atau fitrah manusia dalam perspektif Islam dari Muhaimin dan
Syahminan. Diantaranya adalah :
a. Fitrah Agama
b. Fitrah berakal budi
c.
Fitrah kebersihan dan kesucian
d. Fitrah bermoral/berakhlak
e. Fitrah kebenaran
f.
Fitrah kemerdekaan
g. Fitrah Keadilan
h. Fitrah persamaan dan persatuan
i.
Fitrah individu
9
Umiarso & Zamroni (2011), hal. 85-86
8
j.
Fitrah sosial.10
Maka dengan potensi itulah manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk
yang mengemban tugas atau amanah dari Allah sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Begitu banyak cakupan dan penjelasan Al-Qur’an mengenai tugas manusia didunia
ini. Diantara adalah keharusan hamba untuk menjadi makhluk berilmu dan beriman.
Dengan ilmu pengetahuan itulah manusia menjadi wakil tuhan dimuka bumi untuk
menciptakan kemakmuran, kedamaian dan ketentraman. Ia memiliki tanggungjawab
terhadap amal ma’ruf nahi mungkar.
Dengan penjelasan itu maka bisa disimpulkan bahwa Islam begitu tegas
memberi kebebasan kepada hamba atau manusia untuk mengekplorasi potensi
yang
dia
punyai
agar
ia
mampu
mewujudkan
eksistensi
dan
nilai-nilai
eksistensialnya tersebut. Disinilah letak humanisasi dalam pandangan Islam. Meski
Islam telah memberikan manusia sebuah kebebasan, tentu bebas yang tidak
melenceng dari fitrah dan eksistensi penciptaannya itu sendiri. Sebab, dalam
kebebasaan juga ada sebuah rambu-rambu yang menjadi penuntun akan substansi
kefitrhan manusia. Bebas dalam Islam adalah bebas dalam aturan. Jika ia
mengkhianati
eksistensinya,
maka
harus
ada
konsekwensi
yang
harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Seperti yang ditulis Siti Muri’ah dalam pengatar buku Pendidikan Pembebasan
Dalam Prespektif Barat dan Timur bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan Islam
yakni secara murni menjadikan manusia sebagai insan kamil. Yaitu pendidikan yang
berupaya membentuk insan akademis yang memiliki wawasan holistik-integralistik
serta mempunyai kepribadian kemanusiaan yang semua ini didasari atas keimanan
kepada Allah SWT.11 Pada buku yang sama Umiarso & Zamroni juga menyimpulkan
bahwa dalam paradigma pendidikan Islam perihal pembebasan manusia harus
ditempatkan pada posisi dimensi sekuler dan trasenden yang diintegrasi.
Kebebasaan tersebut harus dimanifestasikan dengan bertanggungjawan terhadap
Allah SWT.
10
11
Abu Bakar, Usman, Paradigma Dan Epistemologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UAB Media, 2013), hal. 87-89
Umiarso & Zamroni (2011), hal. 17
9
3. Humanisasi Dalam Konteks Keindonesiaan
Musthofa Rahman menjelaskan bahwa ketika kita bicara dalam konteks
kebangsaan
(ke-Indonesia-an),
pendidikan
sangat
berperan
agar
mampu
menyiapkan peserta didik untuk menghadapi masa depan dan menjadikannya
bermartabat
di
antara
bangsa-bangsa
lain.
Menurutnya
pendidikan
perlu
membiasakan anak-anak memahami eksistensi bangsa. Pendidikan di Indonesia
diarahkan untuk mewujudkan manusia yang kreatif, mandiri dan bertanggung jawab
yang menjadi orientasi utama pendidikan humanistik.
Menurutnya Rumusan tujuan pendidikan nasional ini memiliki titik sinkron
dengan konsep pendidikan humanistik sehingga arah pendidikannya sudah
humanis.
Pendapatnya
ini
berdasarakan
pandangannya
terhadap
nilai-nilai
kemanusiaan yang telah disepakati dalam rumuskan Pancasila. Pancasila sering
disebut
humanistik-universalistik.
Pendidikan
yang
berdasarkan
nilai-nilai
kemanusiaan Pancasila memiliki lima ciri, yaitu: (1) hormat terhadap keyakinan
relijius setiap orang, (2) hormat terhadap martabat manusia dan hak asasinya, (3)
berwawasan kebangsaan, (4) demokratis, serta (5) menjunjung dan menegakkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, humanis saja tidaklah cukup, dan
inilah poin integrasi yang ingin Musthofa sampaikan bahwa humanis harus menyatu
dengan upaya membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang tidak
kehilangan ciri kebangsaannya. Karena sistem pendidikan nasional itu berakar pada
nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional. 12
Disisi lain sayangnya, banyak juga peneliti dan pengamat memandang bahwa
arah pendidikan yang sudah humanistik tersebut dalam konteks keindonesiaan
dewasa ini belum mampu teraplikasikan secara total dan utuh, pendidikan di
Indonesia sangat miskin dari syarat keilmuaan yang meniscayakan jaminanan atas
perbaikan kondisi sosial yang ada atau perubahan masyarakat menuju masyarakat
humanis, demokratis, dan memiliki kesejaahteraan tinggi. Sehingga konsepsi arah
pendidikan yang sudah cukup matang untuk dikatakan sebagai pendidikan
humanisasi belum bisa dirasakan. Banyak paparan pemikir dan peneliti pendidikan
yang menjelaskan sebab-sebab pendidikan di Indonesia ini begitu mengkhawatirkan
12 Rahman, Musthofa, Humanisasi Sistem Pendidikan Islam Di Indonesia (Tinjauan Filosofis), Jurnal NADWA, Vol.
3, Nomor 2, 2009.
10
dan bahkan dengan gamblang mengatakan masalah pendidikan di Indonesia sangat
begitu kompleks.
Berangkat dari larat belakang permasalahan ini, menunjukkan bahwa prosesproses dehumanisasi dalam pendidikan Indonesia dan Islam di Indonesia, sebab
islam adalah sub sistem pendidikan nasional, masih terjadi. Kami melihat bahwa
salah satu pangkal dehumanisasi ini adalah menyangkut soal problem kebijakan.
Ini juga diamini oleh Arif Rohman dalam tulisannya. Menurutnya paling tidak
masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama,
(elitism perumusan kebijakan), pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih
berpusat pada elit kekuasaan dengan sistem top-down di satu sisi sementara
partisipasi masyarakat relatif masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah
memasuki era otonomi daerah, namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama
masih tetap mengemuka. Kedua, (distorsi implementasi), banyaknya rumusan
kebijakan pendidikan yang sudah dirancang secara rumit dan mahal ternyata ketika
sampai pada tataran implementasi mengalami distorsi dan banyak penyimpangan.
Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi kebijakan di lapangan
masih sering terjadi. Ketiga, (Proses yang Instant), berbagai paket kebijakan tentang
inovasi pendidikan hampir selalu dilakukan dengan serba cepat (instant) dan kurang
mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang.13 Tentu apa yang dijelaskan
Arif diatas menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kecendrungan
terhadap pendidikan dehumanisasi. Kebijakan yang berporos pada kepentingan
individu atau kelompok tertentu.
Perihal kebijakan pendidikan selanjutnya Arif menambahkan bahwa suatu
kebijakan pendidikan bukan hanya sekedar dirancang lalu dirumuskan untuk
selanjutnya
dapat
diimplementasikan.
Namun,
kebijakan
pendidikan
yang
dirumuskan harus secara hati-hati apalagi yang menyangkut persoalan krusial atau
persoalan makro, maka hampir pasti perumusan kebijakan pendidikan tersebut
dilandasi oleh suatu faham teori tertentu. Dalam proses perumusannya, para
pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan (decision maker) terlebih
dahulu mempertimbangkan secara masak-masak.
Menurutnya ada dua pendekatan yang ia tawarkan dalam perumusan kebijakan
pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand approach, dan (2) Man-power
13
Rohman, Arif, Akar Ideologis Problem Kebijakan Pendidikan Di Indonesia, Fondasia, Volume II, No-2/ Th. I, 2002.
11
approach. Pendekatan pertama, Social demand approach adalah suatu pendekatan
dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi,
tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pendekatan
kedua adalah man-power approach, yakni sebuah pendekatan yang lebih
menekankan
kepada
pertimbangan-pertimbangan
rasional
dalam
rangka
menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai
di masyarakat.
Dengan solusi-solusi diatas maka proses humanisasi dalam pendidikan di
Indonesia akan terwujud. Sebab kebijakan yang belandaskan humanisasi adalah
kebijakan yang berdasarkan kebutuhan atau hajat masyarakat luas bukan kebijakan
yang menjadi komoditi yang diperdagangkan atau kebijakan untuk kepentingan
kekuasaan. Semua ini sesuai dengan pembukaan (Preambule) UUD 1945. Bunyi
hak konstitusional yang diberikan tersebut adalah sebagai berikut:
”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial,...”
Dalam Pasal 31 UUD 1945 juga berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya;
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”
12
4. Kesimpulan
Pada akhirnya sudah sepantasnya kita menyadari bahwa akhir tujuan dari
pendidikan adalah proses humanisasi atau dalam bahasa yang sederhana
memanusiakan manusia. Bukan justru proses dehumanisasi terhadap anak didik.
Pendidikan mempunyai tanggungjawab untuk mengonstruksikan manusia yang
mampu membawa perubahan dari self empowerment menuju social empowerment.
Perihal ini Islam juga sudah lama menjelaskan. Islam tidak pernah mengenal
apalagi mengajarkan kepada umatnya untuk menciptakan perbedaan derajat sosial,
gender, atau budaya dalam bermasyarakat. Konsepsi kemanusiaan di dalam Islam
sangat tegas bahwa ketakwaan manusia kepada Tuhan-nya lah yang menjadi tolak
ukur derajat tersebut. Begitu juga dalam konteks ke-indonesia-an, pancasila sebagai
landasan bernegara dan Undang-undang sebagai aturannya dengan tegas
menjelaskan tentang konsep ini.
Dengan digunakannya konsep humanisasi dalam pendidikan akan menelurkan
peserta didik yang cerdas, kreatif, inovatif dan memilik akhlak yang baik. Konsep
humanisasi juga akan menciptakan kepada anak didik rasa memiliki terhadap proses
pendidikan, pengajaran dan pengembangan tersebut (Sense of belonging). Tanpa
konsepsi tersebut, justru sebaliknya, pendidikan dehumanisasi akan mencetak
peserta didik yang liar mencari kebebasan dan akan memicu konflik sosial sebagai
pelampiasaan mereka terhadap proses “penjara” kreasi dan keinginan mereka
dalam dunia pendidikan. Dengan begitu maka harapan akan lahirnya pendidikan
yang unggul dan islami lalu kemudian mampu mencetak manusia-manusia
berkualitas bisa terwujud. Wallahu a’alam.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Usman, Paradigma Dan Epistemologi Pendidikan Islam,
Yogyakarta: UAB Media, 2013.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2012.
Collins, Denis, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, terj Henry
Heyneardhi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Proses, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
__________, Pedagogy of the oppressed, Translated Myra Bergman Ramos,
New York: The Continuum International Publishing Group, 2000.
__________, Education For Critical Consciousness, New York: The Continuum
International Publishing Group, 2005.
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Manggeng, Marten, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dan
Relevansinya Dalam Konteks Indonesia, INTIM – Jurnal Teologi Kontekstual; Edisi
No 8, 2005
Palmer, Joy A, 50 Pemikir Pendidikan, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual
Tradition, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982.
Rahman, Musthofa, Humanisasi Sistem Pendidikan Islam Di Indonesia
(Tinjauan Filosofis), Jurnal NADWA, Vol. 3, Nomor 2, 2009.
Rohman, Arif, Akar Ideologis Problem Kebijakan Pendidikan Di Indonesia,
Fondasia, Volume II, No-2/ Th. I, 2002.
Sutrisno, Fazrlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan, Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007.
Soleh, Khudori, Filsafat Islam; Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2013.
Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebesan Dalam Prespektif Barat Dan
Timur, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Yuliana, Lia, Humanisasi Pendidikan Sebagai Solusi Kekerasan Dalam
Pendidikan, Jurnal Penelitian.
DALAM KONTEKS KE-ISLAM-AN DAN KE-INDONESIA-AN
(Upaya Rekonstruksi Perspektif Pendidikan Berbasis Humanis, Unggul dan Islami)
Oleh : Willy Ramadan, S.Pd
A. PENDAHULUAN
Hampir semua kalangan masyarakat kita sepakat bahwa pendidikan merupakan
satu unsur yang memiliki kapasitas urgensitas yang kuat dan besar dalam
membangun dan mengembangkan kualitas masyarakat dan kondisi bangsa.
Suparlan menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan sistem proses perubahan
menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri.1 Pendidikan begitu
sangat berperan dalam menjadikan masyarakat bergerak menuju prosesi optimisme
untuk melepaskan diri dari segala bentuk keterpurukan dan ketertinggalan dalam
semua sektor, yang pada akhirnya akan berimpilakasi terhadap tatanan sosial
kemasyarakatan. Sehingga mustahil jika kita harus menolak sebuah urgensitas
pendidikan, apalagi peranan terpenting dalam sebuah pendidikan merupakan
landasan dan dasar dalam mewujudkan sebuah perubahan positif kehidupanan
masyarakat.
Dalam konteks kebangsaan, begitu juga halnya pemerintah dengan serta merta
memberi perhatian terhadap dunia pendidikan. Misalnya dalam UU No.20/2003
tentang
Sistem
bahwa, Pendidikan
Pendidikan
nasional
Nasional
berfungsi
(Sisdiknas)
Pasal
mengembangkan
3
disebutkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Namun pendidikan di indonesia pada faktanya sering kali diklaim belum mampu
menjawab dan menyelesaikan permasalahan, perubahan, kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Perilaku dan perlakuan kekerasan dalam pendidikan seringkali kita
jumpai dan dipublikasi melalui media-media massa. Begitu juga dengan formatisasi
kurikulum sebagai acuan dasar pembelajaran dan pendidikan cenderung tidak
mampu dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan.
Selain itu, pendidikan Indonesia juga mengalami pergesekan terhadap nilai-nilai
1
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 80.
1
2
agama. Seperti terpisahnya sains agama dan sains umum baik itu secara
kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Sehingga berakibat dikotomis
pendidikan yang mengkhawatirkan.2 Ditambah lagi kebijakan-kebijakan pendidikan
saat ini hanya berada dalam ranah kebijakan politik bukan dalam kebijakan publik.
Sehingga permasalahan pendidikan kontemporer sekarang ini harus berhadapan
dengan adanya persoalan politis antara para pemegang kekuasaan.
Menurut hasil survey UNDP (2002) misalnya, bahwa kualitas SDM Indonesia
ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia
hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina, Thailand,
Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal.
Fakta lain, berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 disebutkan bahwa sistem
pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang
disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura,
Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12,
setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
Menurut para pakar pemikiran pendidikan. Dunia pendidikan dewasa ini,
Indonesia khususnya, mengalami proses dehumanisasi. Dalam kata lain bahwa
pendidikan hari ini mengalami kecendrungan terhadap diskriminatif, penindasaan,
pengekangan kebebasan untuk melakukan sesuatu. Pendidikan dijadikan sebagai
alat untuk melanggengkan sebuah doktrinisasi dan kekuasaan. Peserta didik hanya
dijadikan objek dan “diciptakan” menjadi penurut dengan alasan keseragaman
nasional. Sehingga wajar jika hasil survey diatas menghasilkan bahwa kualitas SDM
dan sistem pendidikan kita dalam posisi mengkhawatirkan.
Melirik problematika pendidikan kita di Indonesia, ditambah lagi konsepsi
pendidikan yang jauh dari nilai-nilai Islami. Dengan mengacu pada pemikiran
pemikir-pemikir pendidikan yang memiliki epistemologi umum maupun islam. Kami
bermaksud menelaah, mengkaji dan berupaya mencari solusi dengan konsep
humanisasi pendidikan dengan mencoba melalui integrasi terhadap nilai-nilai
pendidikan islam.
Sehingga
pada
akhirnya
kajian
ini
diharapkan
mampu
Lihat lebih lanjut pada Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012).
Dalam bukunya Amin Abdullah menawarkan epistemology paradigma keilmuuan interkoneksitas untuk menyelesaikan
permasalah yang dia sebut sebagai “keteganggan” antara pendidikan umum dan pendidikan agama.
2
3
mendapatkan satu konsep pendidikan humanis, terbuka, unggul dan islami yang
mengacu kepada nash Al-Qur’an dan Hadist.
B. PEMBAHASAN
1. Humanisasi Sebagai Hakikat Pendidikan
Secara umum pendidikan bertujuan membantu manusia untuk mendapatkan
eksistensi
kemanusiaannya
secara
utuh.
Pendidikan
juga
bertujuan
untuk
menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Unsur yang paling
membedakan manusia dengan hewan adalah anugrah akal yang telah diberikan
oleh Allah. Dengan begitu hanya manusia yang mengalami proses pendidikan.
Manusia dalam pandangan kaum eksistensialis merupakan makhluk yang dilahirkan
kedunia dalam keadaan tak berdaya dan ia terpaksa bertanggung jawab terhadap
eksistensinya.3 Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang diberikan akal untuk berpikir,
pendidikan tentu akan menjadi jalan bagi manusia dalam upaya maksimalisasi
potensi yang diberikan tersebut. Pendidikan akan menjadi landasan manusia dalam
bersikap dan bertindak dalam proses hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Sehingga diharapkan mampu hidup dalam keseimbangan.
Pendidikan bukan hanya dalam konteks sekolah-sekolah formal seperti yang kita
kenal selama ini. Namun, pendidikan lebih dari sekedar faham seperti itu.
Pendidikan bukan hanya proses transfer of knowledge, tetapi pendidikan merupakan
sebuah kemampuan manusia untuk mengenal potensi dirinya sendiri dan mampu
mengembangkan potensi tersebut, sehingga pada akhirnya manusia dengan
kemampuan dan kesadarannya, menjadi manusia yang bebas dan tidak terikat.
Namun pertanyaan kita kemudian, kesalahan apa yang mendasari fenomena
pendidikan kita saat ini?. Tentunya dalam konteks ke-islam-an dan ke-indonesiaan.
Fenomena-fenomena yang sudah dijelaskan pada pendahuluan diatas sedikit
melukis wajah pendidikan kita di Indonesia yang begitu sangat memperihatinkan.
Para pemikir pendidikan menilai bahwa ini adalah akibat menjamurnya praktek
pengekangan dan deksriminatif atas kebebasan anak didik.
Dehumanisasi juga bisa terlukis pada praktek-paraktek pendidikan formal.
“Kesewenangan” guru didalam dunia pendidikan kita sekarang ini makin mengakar.
Proses doktrinasi yang seakan-akan menganggap bahwa murid atau anak didik
3
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 20.
4
adalah sebuah wadah yang hanya dan harus menerima apa yang disampaikan guru,
tanpa memberi kesempatan kepada anak didik untuk menelaah dan menolak. Ini
tidak hanya terjadi didalam pendidikan formal yang berbasis umum, namun juga
terjadi dalam dunia pedagogi islam. Masih banyak lembaga dan institusi pendidikan
islam yang cendrung mengunakan metode doktrinisasi yang berakibat lahirnya
pelajar-pelajar muslim yang monoton dan tidak dinamis dalam mengkaji ilmu-ilmu
agama maupun ilmu umum.
Pada dasarnya ketika kita bicara tentang hakikat pendidikan tentu tidak lepas
membicarakan unsur hakikat manusia. Berdasarkan dua aliran besar yang memiliki
pendapat tentang hakikat manusia ini, aliran idelisme spritualisme dan materalisme,
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho menyimpulkan bahwa ada beberapa poin perihal
hakikat manusia. Diantaranya :
a. Manusia
adalah
satu-satunya
makhluk
yang
dapat
mewujudkan
kemanusiaannya yang berbeda dengan dunia binatang karena manusia itu
adalah makhluk yang memerlukan pendidikan.
b. Manusia adalah animal educabili, yang berarti bahwa manusia mempunyai
potensi untuk dididik atau dikembangkan.
c.
Manusia adalah makhluk sosial. Meski dalam kelompoknya binatang juga
mengenal kehidupan sosial, itu tidak sama halnya dengan hubungan
antarmanusia yang mengenal nila-nilai etika, baik-buruk.
Adapun tentang beberapa rumusan proses pendidikan. H.A.R. Tilaar & Riant
Nugroho mengklasifikasikan pada beberapa proses. Diantaranya adalah bahwa
pendidikan itu sebagai transmisi kebudayaan, pengembangan kepribadiaan,
pengembangan akhlak mulia serta religus, mempersiapkan pekerja-pekerja yang
terampil dan produktif, pengembangan pribadi paripurna atau seutuhnya dan
pembentukan manusia baru.4
Kami melihat, secara umum hakikat pendidikan adalah semua proses yang
sudah disebutkan diatas adalah keinginan untuk membantu manusia menemukan
eksistensi dirinya atau mewujudkan hakikat kemanusiaannya secara benar dan utuh.
Sehingga pada akhirnya tujuan dari pendidikan ini adalah pendidikan yang berujung
pada pembebasan manusia dari berbagai keterikatan, baik keterikatan biologis,
4
Lebih lanjut silahkan lihat H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2012), hal. 22-42.
5
keterikatan sosial dan keterikatan lingkungannya.5 Begitu juga sebaliknya,
pendidikan bukanlah tempat memasung dan memenjarakan kebebasan individual
dengan ikatan-ikatan peraturan yang tanpa dasar. Inilah satu persepsi yang kita
sebut dengan proses humanisasi dan dehumanisasi.
2. Humanisasi Dalam Konteks Pendidikan Islam
Banyak para pakar pendidikan yang menawarkan epistemologi pendidikan yang
berdasarkan huminasasi ini. Epistemologi pendidikan Paulo Freire misalnya, ialah
berangkat dari persepsi kaum tertindas dalam dunia pendidikan. Ia mengemukakan
salah satu problematika dalam dunia pendidikan yang ia istilahkan sebagai Banking
Concept of Education. Yaitu dimana anak didik tidak dilihat sebagai sesuatu yang
dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah untuk
menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak isi yang
dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah gurunya.
Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia. Jadi, murid atau peserta
didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh gurunya tanpa mengerti. Paulo
menyajikan satu konsep yang ia sebut Problem Posing Method, dimana ia
memandang bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
6
Namun, pemikiran Paulo Freire masih berkutat dan terikat seputar kepentingan
di muka bumi, yaitu kepentingan yang masih bersentuhan dengan materialisme dan
positivisme, tetapi belum mempunyai kaitan dan menyentuh pada dimensi spiritual
transedental, yang mengarah pada dialog spiritual.
7
Oleh karena itu perlu untuk
melakukan integrasi konsepsi pendidikan humanisasi ini dengan nilai-nilai Islam
yang bersumber dari beberapa pandangan dan epistemologi pemikiran pemikirpemikir pendidikan islam.
Islam lahir sebagai sebuah agama yang berada di tengah sosio-kultural
masyarakat arab yang penuh dengan dinamika dan problematik sosial. Deskriminasi
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2012), hal. 19
Marten Manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dan Relevansinya Dalam Konteks
Indonesia, INTIM – Jurnal Teologi Kontekstual; Edisi No 8, 2005. Pemikiran Paulo ini bisa lebih lanjut dibaca dalam karyakaryanya. Seperti Pedagogy of the oppressed dan Education For Critical Consciousness. Kami hanya sekilas mencantukan
pemikirannya sebagai perbandingan dan refresentatif pemikir-pemikir humanisasi barat.
7 Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebesan Dalam Prespektif Barat Dan Timur, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011), hal. 11
5
6
6
dan kriminalitas terus menyelimuti kehidupan masyarakat pada saat itu. Seperti
halnya diskriminasi terhadap wanita, dikriminasi terhadap kaum miskin, dan
kriminalitas meraja lela. Kemudian lahirlah Islam sebagai sebuah solusi yang
melawan realitas yang sangat berlawanan dengan eksistensi kemanusiaan. Islam
sebagai sistem kehidupan yang memuat beberapa sub-sistem aspek, dan
diantaranya adalah sub-sistem pada sektor pendidikan. Dengan pendidikan sebagai
salah satu sub-sistem tersebutlah Islam memberi penawaran solusi.8 Melalui aspek
ajaran dan pendidikan, Islam menegaskan sebuah urgensi ilmu pengetahuan tidak
pernah memandang perbedaan ekonomi, sosial bahkan ras. Tentu dengan ini, Islam
menjadi revolusioner untuk menjadi motor pengerak dan pembebesan masyarakat
dari ikatan kedungguan, kebodohan, diskriminasi dan penindasan, yang ketika itu
mendominasi dalam semua aspek tatanan sosial kemasyarakatan.
Seperti yang sudah kita diskusikan diatas bahwa Paulo, sebagai refresentatif
pemikir pendidikan barat, hanya memandang pendidikan humanisasi pada
kepentingan yang masih bersentuhan dengan materialisme dan positivisme, tetapi
belum mempunyai kaitan dan menyentuh pada dimensi spiritual transedental, yang
mengarah pada dialog spiritual. Begitu juga pada hakikat manusia, Paulo hanya
berlandaskan eksistensi manusia sebagai manusia ansich. Sementara konsepsi
manusia dan hakikat pendidikan islam memiliki landasan teologis berupa Al-Qur’an
dan Al-Hadist. Dalam Islam, pendidikan dipahami sebagai sub-sistem dari essensi
islam secara makro yang tujuan akhir dari pendidikan Islam tersebut ialah
terciptanya manusia yang sempurna (insan kamil), melalui pendekatan diri kepada
Allah.
Banyak sudah penelitian-penelitian dan kajian-kajian akademik pada pendidikan
humanisasi ini terhadap konsepsi pemikir-pemikir pendidikan umum maupun islam.
Seperti kajian terhadap pemikiran pendidikan Paulo Freire, pemikiran pendidikan
Hasan Al-Banna, pemikiran pendidikan Mansour Fakih, pemikiran Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi hingga pemikiran Ki Hajar Dewantara. Konsep pendidikan
humanisasi ini melahirkan banyak konsep maupun istilah yang cukup beragam. Ada
yang mengunakan istilah pendidikan pembebasan-seperti banyak yang ditulis Paulo
Freire dalam tulisan-tulisannya-adapula yang mengunakan istilah pendidikan kritis
serta pendidikan karakter yang akhir-akhir ini menarik pemerintah Indonesia untuk
8
Umiarso & Zamroni (2011), hal. 33
7
menjadikan landasan konsepsi pendidikan di Indonesia. Meski beragam dan
mempunyai pandangan metodologi yang bervarian, namun pada dasarnya semua
persepsi dan pemikiran mereka terhadap pendidikan adalah belandaskan eksistensi
fitrah manusia.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwa landasan teologis eksistensi
fitrah manusia dan hakikat pendidikan ialah berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist. Pada
Al-Qur’an QS Al-Rumm ayat 30, pada interpretasi Al-Munjid fil al-Lughah wa al-A’lam
dalam buku Usman Abu Bakar menjelaskan bahwa fitrah adalah suatu kekuatan
untuk mengenal Allah yang menancap didalam diri manusia. Masih dalam buku yang
sama, Usman juga mengutip pendapat Ramayulis yang mengatakan bahwa fitrah
manusia ialah kemampuan dasar bagi perkembangan manusia yang tiada ternilai
harganya dari Allah SWT dan harus dikembangkan untuk mencapai tingkat manusia
paripurna. Kemudian ia menyimpulkan bahwa potensi dasar atau fitrah manusia ini
merupakan sebuah kekuatan atau kemampuan yang ada didalam diri manusia sejak
ia diciptakan sebagai sifat kodrati untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan
kepada Allah SWT. Adapun potensi-potensi itu menurut Al-Qur’an ialah basyar
(makhluk biologis), al-nas (makhluk Sosial), bani adam (makhluk rasional) dan alinsan (makhluk spiritual).9Sedangkan alat-alat potensial yang dimiliki manusia dalam
Al-Qur’an ialah Al-lams dan Al-syum (alat peraba dan alat pencium), Al-sam’u (alat
pendengaran), Al-abshar (penglihatan), Al-Aql (akal) dan Al-qalb (hati).
Dalam bukunya, Usman Abu Bakar juga menjelaskan beberapa klasifikasi
potensi dasar atau fitrah manusia dalam perspektif Islam dari Muhaimin dan
Syahminan. Diantaranya adalah :
a. Fitrah Agama
b. Fitrah berakal budi
c.
Fitrah kebersihan dan kesucian
d. Fitrah bermoral/berakhlak
e. Fitrah kebenaran
f.
Fitrah kemerdekaan
g. Fitrah Keadilan
h. Fitrah persamaan dan persatuan
i.
Fitrah individu
9
Umiarso & Zamroni (2011), hal. 85-86
8
j.
Fitrah sosial.10
Maka dengan potensi itulah manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk
yang mengemban tugas atau amanah dari Allah sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Begitu banyak cakupan dan penjelasan Al-Qur’an mengenai tugas manusia didunia
ini. Diantara adalah keharusan hamba untuk menjadi makhluk berilmu dan beriman.
Dengan ilmu pengetahuan itulah manusia menjadi wakil tuhan dimuka bumi untuk
menciptakan kemakmuran, kedamaian dan ketentraman. Ia memiliki tanggungjawab
terhadap amal ma’ruf nahi mungkar.
Dengan penjelasan itu maka bisa disimpulkan bahwa Islam begitu tegas
memberi kebebasan kepada hamba atau manusia untuk mengekplorasi potensi
yang
dia
punyai
agar
ia
mampu
mewujudkan
eksistensi
dan
nilai-nilai
eksistensialnya tersebut. Disinilah letak humanisasi dalam pandangan Islam. Meski
Islam telah memberikan manusia sebuah kebebasan, tentu bebas yang tidak
melenceng dari fitrah dan eksistensi penciptaannya itu sendiri. Sebab, dalam
kebebasaan juga ada sebuah rambu-rambu yang menjadi penuntun akan substansi
kefitrhan manusia. Bebas dalam Islam adalah bebas dalam aturan. Jika ia
mengkhianati
eksistensinya,
maka
harus
ada
konsekwensi
yang
harus
dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Seperti yang ditulis Siti Muri’ah dalam pengatar buku Pendidikan Pembebasan
Dalam Prespektif Barat dan Timur bahwa tujuan pendidikan dalam pandangan Islam
yakni secara murni menjadikan manusia sebagai insan kamil. Yaitu pendidikan yang
berupaya membentuk insan akademis yang memiliki wawasan holistik-integralistik
serta mempunyai kepribadian kemanusiaan yang semua ini didasari atas keimanan
kepada Allah SWT.11 Pada buku yang sama Umiarso & Zamroni juga menyimpulkan
bahwa dalam paradigma pendidikan Islam perihal pembebasan manusia harus
ditempatkan pada posisi dimensi sekuler dan trasenden yang diintegrasi.
Kebebasaan tersebut harus dimanifestasikan dengan bertanggungjawan terhadap
Allah SWT.
10
11
Abu Bakar, Usman, Paradigma Dan Epistemologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UAB Media, 2013), hal. 87-89
Umiarso & Zamroni (2011), hal. 17
9
3. Humanisasi Dalam Konteks Keindonesiaan
Musthofa Rahman menjelaskan bahwa ketika kita bicara dalam konteks
kebangsaan
(ke-Indonesia-an),
pendidikan
sangat
berperan
agar
mampu
menyiapkan peserta didik untuk menghadapi masa depan dan menjadikannya
bermartabat
di
antara
bangsa-bangsa
lain.
Menurutnya
pendidikan
perlu
membiasakan anak-anak memahami eksistensi bangsa. Pendidikan di Indonesia
diarahkan untuk mewujudkan manusia yang kreatif, mandiri dan bertanggung jawab
yang menjadi orientasi utama pendidikan humanistik.
Menurutnya Rumusan tujuan pendidikan nasional ini memiliki titik sinkron
dengan konsep pendidikan humanistik sehingga arah pendidikannya sudah
humanis.
Pendapatnya
ini
berdasarakan
pandangannya
terhadap
nilai-nilai
kemanusiaan yang telah disepakati dalam rumuskan Pancasila. Pancasila sering
disebut
humanistik-universalistik.
Pendidikan
yang
berdasarkan
nilai-nilai
kemanusiaan Pancasila memiliki lima ciri, yaitu: (1) hormat terhadap keyakinan
relijius setiap orang, (2) hormat terhadap martabat manusia dan hak asasinya, (3)
berwawasan kebangsaan, (4) demokratis, serta (5) menjunjung dan menegakkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, humanis saja tidaklah cukup, dan
inilah poin integrasi yang ingin Musthofa sampaikan bahwa humanis harus menyatu
dengan upaya membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang tidak
kehilangan ciri kebangsaannya. Karena sistem pendidikan nasional itu berakar pada
nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional. 12
Disisi lain sayangnya, banyak juga peneliti dan pengamat memandang bahwa
arah pendidikan yang sudah humanistik tersebut dalam konteks keindonesiaan
dewasa ini belum mampu teraplikasikan secara total dan utuh, pendidikan di
Indonesia sangat miskin dari syarat keilmuaan yang meniscayakan jaminanan atas
perbaikan kondisi sosial yang ada atau perubahan masyarakat menuju masyarakat
humanis, demokratis, dan memiliki kesejaahteraan tinggi. Sehingga konsepsi arah
pendidikan yang sudah cukup matang untuk dikatakan sebagai pendidikan
humanisasi belum bisa dirasakan. Banyak paparan pemikir dan peneliti pendidikan
yang menjelaskan sebab-sebab pendidikan di Indonesia ini begitu mengkhawatirkan
12 Rahman, Musthofa, Humanisasi Sistem Pendidikan Islam Di Indonesia (Tinjauan Filosofis), Jurnal NADWA, Vol.
3, Nomor 2, 2009.
10
dan bahkan dengan gamblang mengatakan masalah pendidikan di Indonesia sangat
begitu kompleks.
Berangkat dari larat belakang permasalahan ini, menunjukkan bahwa prosesproses dehumanisasi dalam pendidikan Indonesia dan Islam di Indonesia, sebab
islam adalah sub sistem pendidikan nasional, masih terjadi. Kami melihat bahwa
salah satu pangkal dehumanisasi ini adalah menyangkut soal problem kebijakan.
Ini juga diamini oleh Arif Rohman dalam tulisannya. Menurutnya paling tidak
masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama,
(elitism perumusan kebijakan), pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih
berpusat pada elit kekuasaan dengan sistem top-down di satu sisi sementara
partisipasi masyarakat relatif masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah
memasuki era otonomi daerah, namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama
masih tetap mengemuka. Kedua, (distorsi implementasi), banyaknya rumusan
kebijakan pendidikan yang sudah dirancang secara rumit dan mahal ternyata ketika
sampai pada tataran implementasi mengalami distorsi dan banyak penyimpangan.
Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi kebijakan di lapangan
masih sering terjadi. Ketiga, (Proses yang Instant), berbagai paket kebijakan tentang
inovasi pendidikan hampir selalu dilakukan dengan serba cepat (instant) dan kurang
mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang.13 Tentu apa yang dijelaskan
Arif diatas menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia mengalami kecendrungan
terhadap pendidikan dehumanisasi. Kebijakan yang berporos pada kepentingan
individu atau kelompok tertentu.
Perihal kebijakan pendidikan selanjutnya Arif menambahkan bahwa suatu
kebijakan pendidikan bukan hanya sekedar dirancang lalu dirumuskan untuk
selanjutnya
dapat
diimplementasikan.
Namun,
kebijakan
pendidikan
yang
dirumuskan harus secara hati-hati apalagi yang menyangkut persoalan krusial atau
persoalan makro, maka hampir pasti perumusan kebijakan pendidikan tersebut
dilandasi oleh suatu faham teori tertentu. Dalam proses perumusannya, para
pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan (decision maker) terlebih
dahulu mempertimbangkan secara masak-masak.
Menurutnya ada dua pendekatan yang ia tawarkan dalam perumusan kebijakan
pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand approach, dan (2) Man-power
13
Rohman, Arif, Akar Ideologis Problem Kebijakan Pendidikan Di Indonesia, Fondasia, Volume II, No-2/ Th. I, 2002.
11
approach. Pendekatan pertama, Social demand approach adalah suatu pendekatan
dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi,
tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pendekatan
kedua adalah man-power approach, yakni sebuah pendekatan yang lebih
menekankan
kepada
pertimbangan-pertimbangan
rasional
dalam
rangka
menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai
di masyarakat.
Dengan solusi-solusi diatas maka proses humanisasi dalam pendidikan di
Indonesia akan terwujud. Sebab kebijakan yang belandaskan humanisasi adalah
kebijakan yang berdasarkan kebutuhan atau hajat masyarakat luas bukan kebijakan
yang menjadi komoditi yang diperdagangkan atau kebijakan untuk kepentingan
kekuasaan. Semua ini sesuai dengan pembukaan (Preambule) UUD 1945. Bunyi
hak konstitusional yang diberikan tersebut adalah sebagai berikut:
”…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial,...”
Dalam Pasal 31 UUD 1945 juga berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya;
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang;
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional;
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung
tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.”
12
4. Kesimpulan
Pada akhirnya sudah sepantasnya kita menyadari bahwa akhir tujuan dari
pendidikan adalah proses humanisasi atau dalam bahasa yang sederhana
memanusiakan manusia. Bukan justru proses dehumanisasi terhadap anak didik.
Pendidikan mempunyai tanggungjawab untuk mengonstruksikan manusia yang
mampu membawa perubahan dari self empowerment menuju social empowerment.
Perihal ini Islam juga sudah lama menjelaskan. Islam tidak pernah mengenal
apalagi mengajarkan kepada umatnya untuk menciptakan perbedaan derajat sosial,
gender, atau budaya dalam bermasyarakat. Konsepsi kemanusiaan di dalam Islam
sangat tegas bahwa ketakwaan manusia kepada Tuhan-nya lah yang menjadi tolak
ukur derajat tersebut. Begitu juga dalam konteks ke-indonesia-an, pancasila sebagai
landasan bernegara dan Undang-undang sebagai aturannya dengan tegas
menjelaskan tentang konsep ini.
Dengan digunakannya konsep humanisasi dalam pendidikan akan menelurkan
peserta didik yang cerdas, kreatif, inovatif dan memilik akhlak yang baik. Konsep
humanisasi juga akan menciptakan kepada anak didik rasa memiliki terhadap proses
pendidikan, pengajaran dan pengembangan tersebut (Sense of belonging). Tanpa
konsepsi tersebut, justru sebaliknya, pendidikan dehumanisasi akan mencetak
peserta didik yang liar mencari kebebasan dan akan memicu konflik sosial sebagai
pelampiasaan mereka terhadap proses “penjara” kreasi dan keinginan mereka
dalam dunia pendidikan. Dengan begitu maka harapan akan lahirnya pendidikan
yang unggul dan islami lalu kemudian mampu mencetak manusia-manusia
berkualitas bisa terwujud. Wallahu a’alam.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Usman, Paradigma Dan Epistemologi Pendidikan Islam,
Yogyakarta: UAB Media, 2013.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2012.
Collins, Denis, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya, terj Henry
Heyneardhi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Proses, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
__________, Pedagogy of the oppressed, Translated Myra Bergman Ramos,
New York: The Continuum International Publishing Group, 2000.
__________, Education For Critical Consciousness, New York: The Continuum
International Publishing Group, 2005.
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012.
Manggeng, Marten, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire Dan
Relevansinya Dalam Konteks Indonesia, INTIM – Jurnal Teologi Kontekstual; Edisi
No 8, 2005
Palmer, Joy A, 50 Pemikir Pendidikan, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual
Tradition, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982.
Rahman, Musthofa, Humanisasi Sistem Pendidikan Islam Di Indonesia
(Tinjauan Filosofis), Jurnal NADWA, Vol. 3, Nomor 2, 2009.
Rohman, Arif, Akar Ideologis Problem Kebijakan Pendidikan Di Indonesia,
Fondasia, Volume II, No-2/ Th. I, 2002.
Sutrisno, Fazrlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan, Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007.
Soleh, Khudori, Filsafat Islam; Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2013.
Umiarso & Zamroni, Pendidikan Pembebesan Dalam Prespektif Barat Dan
Timur, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Yuliana, Lia, Humanisasi Pendidikan Sebagai Solusi Kekerasan Dalam
Pendidikan, Jurnal Penelitian.