POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG UNDANG

POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Program Legislasi Nasional Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Politik Hukum

Dosen:
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H
Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M

Oleh:
Rayenda Resviana S 110620170042
Kelas A

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2017

POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Rayenda Resviana
Universitas Padjadjaran
Abstrak
Perkembangan teknologi saat ini secara global di seluruh dunia sudah sangat
pesat, khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi
informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan
kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia,
sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. hal tersebut yang
mendasari pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang
kemudian di revisi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan perundang-undangan pada
dasarnya akan mencerminkan berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang
paling berpengaruh serta bersumber kepada ideologi tertentu. Sehingga hadirnya
Undang-Undang ITE ini disambut positif berbagai kalangan walaupun tidak
sedikit juga yang menentangnya.
Kata kunci: Informasi dan Transaksi Elektronik, UU ITE


PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi saat ini secara global di seluruh dunia sudah
sangat pesat, khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Perubahan ini tentunya membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi
kehidupan manusia dari berbagai bidang, antara lain politik, ekonomi, sosial,
pendidikan dan bidang-bidang lainnya. Teknologi informasi saat ini menjadi
pedang bermata dua,1 karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan
kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif
perbuatan melawan hukum. Untuk mengatasi hal ini tidak lagi dapat dilakukan
pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi
bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan

1

I Made Marthana, Sinergi Sains teknologi dan Seni: Dalam Proses Berkarya Kreatif Di
Dunia Teknologi Informasi, Denpasar: STMIK STIKOM INDONESIA, 2016, hlm. 51.

dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi
maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam
pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Karena itulah halhal yang berhubungan dengan Teknologi Informasi memerlukan penanganan dan

pengaturan hukum secara khusus,2 hal tersebut yang mendasari pemerintah
Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Tujuan dari pembentukan sebuah Undang-Undang3 semestinya terarah
dan pasti, baik dalam muatan definitif tentang semua yang terpaut di dalamnya,
maupun muatan hukum secara umum di dalamnya. Sebagai sebuah produk hukum
dari penguasa, Undang-Undang ITE ini semestinya memberikan rasa aman dan
tenteram, dengan kata lain tidak mengusik ketertiban umum yang diupayakan.
Politik hukum yang dimuatnya pun harus transparan, berkaca kepada bagaimana
negara yang lebih maju dalam sistem, semestinya setiap rumusan pasal-pasalnya
memiliki dokumen yang tercatat secara baku, dan tidak berbenturan dengan
Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya. 4
Sejak disahkan pada 2008, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah menjerat berbagai
kalangan pengguna internet, terutama dalam sangkaan pelanggaran Pasal 27 ayat
(3) mengenai pencemaran nama baik. Kasus pelanggaran UU ITE yang pertama
kali menyedot perhatian publik adalah kasus Prita Mulyasari pada 2009. Dia
ditangkap dan ditahan atas dakwaan pencemaran nama baik dengan menulis email terkait pelayanan RS Omni International, dengan sanksi pidana penjara
maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.
Dalam rentang periode 28 Agustus 2008 hingga 23 Agustus 2016, dari

total 126 laporan terkait UU ITE yang tercatat, 50 kasus di antaranya dilaporkan
oleh mereka yang merupakan aparatur negara, seperti kepala daerah, anggota
Muhammad Sobri. Dkk, Pengantar Teknologi Informasi – Konsep dan Teori, Yogyakarta:
Andi, 2017, hlm 231.
3
Anggito Abimanyu, Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal, Jakarta: Gramedia, 2011,
hlm. 14.
4
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Kebijakan Publik Negara Berkembang, Jakarta: Pt.
Gramedia, 2006, hlm. 41.
2

legislatif di tingkat daerah, hakim atau jaksa serta aparat penegak hukum.
Undang-Undang ITE ini juga banyak digunakan oleh kalangan profesional dan
pelaku bisnis. Alasan yang paling sering digunakan adalah penghinaan terhadap
pejabat negara. Di samping itu, tuduhan lain seperti melakukan korupsi dan
kekerasan juga menjadi alasan kuat mengapa mereka melakukan pelaporan.
Laporan paling banyak ditujukan kepada aktivis LSM sehingga wartawan serta
masyarakat awam. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan UndangUndang ITE banyak digunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik
yang memiliki jabatan, kekuatan politik ataupun pemilik modal.

Delapan tahun berlalu, pemerintah akhirnya mengusulkan revisi UndangUndang ITE dengan berbagai penyempurnaan. Hal ini merespon berbagai judicial
review atas Undang-Undang ini ke Mahkamah Konstitusi karena berbagai

ketentuannya dinilai terlalu multi tafsir dan cenderung mudah mengkriminalisasi
pengguna internet. Meski Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah
diubah dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2016, arah kebijakan politik hukum
dan hak asasi manusia (HAM) pemerintah dinilai malah mengalami kemunduran.
Tapi bagi kalangan legislatif, Undang-Undang ITE teranyar justru memberikan
kelonggaran terhadap masyarakat yang tersandung kasus pencemaran nama baik
melalui dunia maya untuk tidak dilakukan penahanan di tingkat penyidikan.

Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas
adalah bagaimana politik hukum dalam revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Informasi dan Transaksi Elektronik
Terdapat beberapa pengertian dan definisi informasi menurut para pakar:
a. Menurut Raymond Mc.Leod,informasi adalah data yang telah diolah menjadi

bentuk yang memiliki arti bagi si penerima dan bermanfaat bagi pengambilan
keputusan saat ini atau mendatang. b. Menurut Tata Sutabri, informasi adalah data

yang telah diklasifikasikan atau diolah atau diinterpretasikan untuk digunakan
dalam proses pengambilan keputusan. c. Menurut Joneer Hasugian, informasi
adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi
banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah
media.5 d. Menurut Jogiyanto HM, informasi dapat didefinisikan sebagai hasil
dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi
penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian–kejadian nyata yang
digunakan untuk pengambilan keputusan.6
Secara umum informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan
data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya
yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian yang nyata yang digunakan untuk
pengambilan keputusan.7 Sumber dari informasi adalah data. Data adalah
kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan nyata.
Kejadian-kejadian adalah sesuatu yang terjadi pada saat tertentu. Di dalam dunia
bisnis, kejadian-kejadian yang sering terjadi adalah transaksi perubahan dari suatu
nilai yang disebut transaksi. Kesatuan nyata adalah berupa suatu objek nyata
seperti tempat, benda dan orang yang benar-benar ada dan terjadi.

Informasi Elektronik menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ITE
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.8
Informasi elektronik merupakan salah satu hal yang diatur secara substansial
dalam Undang-Undang ITE selain transaksi elektronik. Sedangkan yang
dimaksud dengan Transaksi Elektronik menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang
5

http ://wira059.blogspot.com/2011/09/pengertian-informasi-menurut-para-pakar
(diakses tanggal 17 Desember 2017).
6
Jogiyanto HM, Analisis dan Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori
dan Praktek Aplikasi Bisnis, Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, 1999, hlm. 692.
7
Jeperson Hutahaean, Konsep Sistem Informasi, Yogyakarta: Depublish, 2015, hlm. 9.
8
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

Pasal 1 Angka 1.

ITE adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,
jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.9
Perkembangan pemanfaatan informasi elektronik dewasa ini sudah
memberikan kenyamanan dan kemanfaatannya.10 Sebagai contoh, penggunaan email sangat memudahkan setiap orang bisa berkomunikasi melalui pengiriman
berita secara cepat, dan dapat melintasi wilayah baik lokal, regional, dan bahkan
hingga internasional. Pemanfaatan penyebaran informasi elektronik ini, telah
memberikan manfaat dengan menjamurnya media sosial serta e-commerce yang
mempermudah masyarakat dalam berkomunikasi maupun melakukan transaksi
jual beli melalui e-commerce.
Definisi informasi elektronik di atas memuat tiga makna, yaitu: a.
informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, b. informasi
elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara dan/atau gambar, c.
informasi elektronik memiliki arti atau dapat dipahami, yang artinya bahwa
dengan adanya Undang-Undang ITE, maka telah ada pengakuan secara tegas
tentang tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sama dengan tanda tangan konvesional selama tanda tangan tersebut dapat
dijadikan alat untuk melakukan verifikasi dan autentifikasi penandatangan yang
bersangkutan.


Ruang Lingkup Informasi Elektronik
Sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ITE, informasi elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Maka

9

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Pasal 1 Angka 2.
10
McLeod, Jr. Raymond, Sistem informasi Manajemen, terj. Ali Akbar, Jakarta: Salemba
Empat, 2008, hlm. 10.

agar suatu informasi tergolong sebagai informasi elektronik harus memenuhi
unsur-unsur dalam isi Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ITE.
Informasi elektronik merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi agar

dapat terjadi suatu transaksi elektronik, 11 sebagai contoh adalah pada saat
melakukan transaksi jual-beli melalui online store, agar pembeli dapat membeli
barang yang dijual oleh penjual harus ada informasi elektronik mengenai barang
yang dijual, dan begitu juga sebaliknya, penjual memerlukan informasi elektronik
dari pembeli agar dapat terjadi transaksi elektronik.
Ruang lingkup Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara
tegas mengatur segala konservasi hukum dalam pemanfaatan internet sebagai
media, baik memanfaatkan informasi maupun melakukan berbagai macam
transaksi. Dampak dari pelanggaran atau perbuatan melawan hukum terhadap
Undang-Undang ITE juga diatur dalam bentuk ancaman hukuman. Dengan
demikian, pelaku bisnis yang memanfaatkan media internet maupun masyarakat
yang memanfaatkan internet mendapat kepastian hukum, di antaranya dengan
tanda tangan digital dan berbagai macam bukti elektronik sebagai alat bukti yang
dapat diajukan di pengadilan.
Dengan adanya kepastian hukum, perbuatan melawan hukum yang
berkaitan dengan transaksi elektronik dapat dihindari. Konsumen yang terlibat
dalam perbuatan melawan hukum dalam transaksi elektronik dapat dijerat dengan
hukum yang berlaku. Diberlakukannya Undang-Undang ITE ini oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan hasil penyesuaian sebuah tim
atas nama Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Ahmad M. Ramli.

Sedangkan kedua naskah materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ini bersumber dari tim yang berbeda, yaitu tim
Universitas Indonesia yang ditunjuk oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, dan tim Universitas Padjajaran yang ditunjuk oleh Departemen
Komunikasi dan Informasi.

11

Widjajanti Mulyono, Ilmu Sosial Di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan, Jakarta:
Yayasan Pusaka Obor, 2016, Hlm. 362.

Pada pelaksanaannya, tim Universitas Padjajaran bekerja sama dengan
para pakar dari Institut Teknologi Bandung yang kemudian menghasilkan naskah
akademis berjudul Rancang Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi
(RUUPTI). Kedua materi dari tim pakar tersebut kemudian menjadi RUU ITE dan
setelah disahkanoleh DPR menjadi Undang-Undang ITE. Agar suatu UndangUndang dapat berjalan dengan baik, maka pembentuk Undang-Undang
memerintahkan melalui Undang-Undang ITE untuk membuat sejumlah Peraturan
Pemerintah (PP) yang mengatur tentang: 1. Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal
10 Ayat (2)), 2. Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 Ayat (2)), 3.Penyelenggara
Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 Ayat (6)), 4. Penyelenggaraan Sistem Elektronik
(Pasal 16 Ayat (2)), 5. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 16 Ayat (2)),
6. Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 Ayat (2)), 7. Pengelolaan Nama
Domain (Pasal 24 Ayat (4)), 8. Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 Ayat (4)), 9. Peran
Pemerintah tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

Penyalahgunaan Informasi Elektronik
Pelanggaran hukum terkait informasi dan transaksi eletronik sangat marak
terjadi seiring era globalisasi informasi yang semakin berkembang. Pada satu sisi,
transaksi elektronik memberikan konstribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan
peradaban manusia. Namun, di sisi lain apabila transaksi elektronik tidak
dimanfaatkan dengan bijak, maka akan menjerumuskan masyarakat sebagai salah
satu sarana perbuatan melawan hukum.
Permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah terkait dengan
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik,
khususnya dalamhal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan
melalui sistem elektronik. Dalam kenyataannya,kegiatan siber tidak lagi
sederhana karena tidak lagi dibatasi oleh suatu negara, yang mudah diakses kapan
saja dan di mana saja. Kerugian tidak hanya dapat terjadi pada pelaku transaksi
elektronik, melainkan dapat juga terjadi pada orang lain yang tidak pernah
melakukan transaksi elektronik tersebut, misalnya pencurian dana kartu kredit

melalui pembelanjaan di internet. Oleh karena itu, adanya pembuktian sangat
diperlukan dalam hal ini.
Dampak yang diakibatkan oleh kejahatan dalam dunia transaksi elektronik
sangat kompleks dan rumit. Dengan demikian, subjek pelakunya harus
dikualifikasikan sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara
nyata. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-Undang ITE yang dapat mengatur
secara jelas, aman dan adanya kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi
informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.

DPR sebagai lembaga leglislasi
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori
hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 12 Baron de
Montesquieu (1689-1785) mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu
dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh
menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masingmasing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan
terancam. Konsepsi yang kemudian disebut dengan trias politica tersebut tidak
relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa
ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari
ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa
hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan
bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain
sesuai dengan prinsip checks and balances.13
Selama lebih dari 200 tahun terakhir, lembaga legislatif merupakan
institusi kunci (key institutions) dalam perkembangan politik negara-negara
modern. Menilik perkembangan lembaga-lembaga negara, lembaga legislatif
merupakan cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan kedaulatan rakyat.
Dalam pandangan C.F. Strong, lembaga legislatif merupakan kekuasaan

12

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Pt Gramedia Pusaka Utama, 2008,

Hlm. 158.
13

Ibid., hlm. 295.

pemerintah yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut
memerlukan kekuatan undang-undang (statutory force).14
Di Indonesia yang merupakan bagian dari lembaga legislatif adalah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 15 Anggota DPR berasal dari anggota partai
politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan
di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD
provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.
Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif
mempunyai fungsi sebagi berikut: 1. Fungsi legislasi, artinya DPR memiliki
fungsi sebagai lembaga pembuat Undang–Undang. 2. Fungsi anggaran, DPR
memiliki fungsi sebagi lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 3. Fungsi Pengawasan, artinya DPR
sebagai lembaga legislatif yang melakukan pengawasan tehadap pemerintahan
yang menjalankan Undang-Undang.16
DPR sebagai lembaga legislatif mempunyai hak-hak,17 antara lain: 1. Hak
interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah
mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas
bagi kehidupan masyarakat. 2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan
penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Hak menyatakan
pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota
DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai
mitra kerja.
14

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer
dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 1.
15
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan RI, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Hlm. 189.
16
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.205.
17
Lukman Surya Saputra, Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: PT Setia Purna Inves,
2007, Hlm. 72-73.

Adapun Tugas Wewenang DPR sebagai Lembaga Legislatif adalah
sebagai berikut:


Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk



mendapat persetujuan bersama.



Peraturan Pernerintah Pengganti Undang-Undang.

Membahas dan memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap

Menerima dan membahas usulan Rancangan UndangUndang yang
diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan
mengikut sertakan dalam pembahasannya dalam awal pembicaraan tingkat



I.
Mengundang DPD pntuk melakukan pembahasan rancangan undangundang yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah sebagaimana



dimaksud pada huruf c, pada awal pembicaraan tingkat I.
Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan UndangUndàng yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam awal



pembicaraan tingkat I.



dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden

Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh
DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan



Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.
Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan
pertimbangan DPD.



Membahas

dan

menindaklanjuti

hasil

pemeriksaan

atas

pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan


Pemeriksa Keuangan.



pendapat.



masyarakat.

Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan/konsultasi, dan

Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi

Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang.
Fungsi pertama Lembaga Perwakilan Rakyat adalah fungsi legilasi atau

pengaturan. Fungsi pengaturan (regelemde functi) ini berkenaan dengan
kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan
norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.18 Berdasarkan pengertian
tersebut, Fungsi Legislasi DPR menjadi salah satu hal yang sangat penting
didalam pembentukan Undang-Undang.

PEMBAHASAN
Peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan
berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang paling berpengaruh, dapat
bersumber kepada ideologi tertentu.19 Politik hukum pada negara demokrasi akan
berusaha

memberikan

kesempatan

luas

pada

keikutsertaan

masyarakat

menentukan corak dan isi hukum yang dikehendaki.
Menurut Prof. Moh. Mahfud MD, ada dua karakter produk hukum, yaitu
produk hukum responsif atau populistik dan produk hukum konservatif. Karakter
produk hukum responsif antara lain: mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi
harapan masyarakat, dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan
partisipasi penuh kepada kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat,
18

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 32.
19
M. Dawam Raharjo, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional Dalam Arus Politik
Global, Jakarta: Intermasa, 1997, hlm. 182.

bersifat aspiratif dan memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat
penaf siran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan.
Dan sebaliknya, karakter produk hukum konservatif antara lain:
mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah,
dalam proses pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil,
memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi
dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak. Untuk
mengualifikasikan apakah suatu produk hukum responsif atau konserfatif,
indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan
kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.
Diperlukan waktu yang relatif lama dalam upaya membentuk UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. Rancangan Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) mulai dirancang sejak Maret 2003
oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Semula RUU ini
dinamakan Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi
Elektronik (RUU ITE). Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui
Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengesahkan UndangUndang ITE ini.
Materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UndangUndang ITE) secara umum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan
mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan
yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu
pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on
eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature . Bagian ini dimaksudkan

untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi
elektronik. Berikut beberapa materi yang diatur, antara lain: 1. Pengakuan
informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 dan
Pasal 6 Undang-Undang ITE); 2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12
Undang-Undang ITE); 3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik ( certification

authority, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang ITE); 4. Penyelenggaraan sistem

elektronik (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang ITE).
Perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur
dalam UU ITE, antara lain: a. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain:
kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan
pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 Undang-Undang ITE); b. Akses
ilegal (Pasal 30); c. Intersepsi ilegal (Pasal 31 Undang-Undang ITE); d. Gangguan
terhadap data (data interference , Pasal 32 Undang-Undang ITE); e. Gangguan
terhadap sistem (system interference , Pasal 33 Undang-Undang ITE); f.
Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device , Pasal 34 Undang-Undang
ITE)
Hadirnya Undang-Undang ini disambut positif berbagai kalangan
walaupun tidak sedikit juga yang menentangnya. Bagi yang kontra, UndangUndang ITE ini dilihat sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan berekspresi
dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreativitas seseorang di dunia
maya. Sedangkan bagi yang setuju, kehadirannya dilihat sebagai langkah yang
tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan internet yang
tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain. Kehadiran aturan hukum baru
tersebut dapat dilihat sebagai bentuk respons pemerintah untuk menjerat orangorang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan internet hingga
merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Undang-Undang ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas
kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun
pemanfaatan informasinya. Pada Undang-Undang ITE ini juga diatur berbagai
ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. Undang-Undang ITE
mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik
dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Undang-Undang ITE yang memiliki cakupan meliputi globalisasi,
perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa ini, merupakan undang-undang yang dinilai mempunyai kelebihan dan
kekurangan.
Kelebihan Undang-Undang ITE yaitu: Pertama , Berdasarkan dari
pengamatan para pakar hukum dan politik Undang-Undang ITE mempunyai sisi
positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para
wiraswastawan di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan
berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi
ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat
menambah penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan
penghasilan penduduk. Kedua , Undang-Undang ITE juga dapat mengantisipasi
kemungkinan

penyalahgunaan

internet

yang

merugikan,

memberikan

perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan
perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang.
Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu
milik pemerintah. Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis
lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.
Ketiga , Undang-Undang ITE juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, Undang-Undang ITE juga
membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan
internet. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya
internet. Undang-Undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir
penyalahgunaan internet.
Sedangkan kelemahan Undang-Undang ITE adalah: Pertama, dari cara
penyusunannya Undang-Undang ITE itu sendiri, yang menimbulkan kontradiksi
atas apa yang berusaha diaturnya. Undang-Undang ITE yang merupakan UndangUndang pertama yang mengatur suatu teknologi modern, yakni teknologi
informasi, masih dibuat dengan menggunakan prosedur lama yang sama sekali
tidak menggambarkan adanya relevansi dengan teknologi yang berusaha
diaturnya. Singkat kata, Undang-Undang ITE waktu masih berupa Rancangan
Undang-Undang

relatif

tidak

disosialisasikan

kepada

masyarakat

dan

penyusunannya masih dipercayakan di kalangan yang amat terbatas, serta

peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan secara meluas
komunitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam Undang-Undang ini jelas
tercantum dalam Pasal 1 ayat (3): Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk
mengumpulkan,

menyiapkan,

menyimpan,

memproses,

mengumumkan,

menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Ini berarti seyogyanya dalam
penyusunan Undang-Undang ini memanfaatkan teknologi informasi dalam
mengumpulkan pendapat mengenai kebutuhan perundangannya, menyiapkan
draftnya, menyimpan data elektroniknya, mengumumkannya secara terbuka,
menganalisis reaksi masyarakat terhadapnya setelah menyebarkan informasinya,
sebelum akhirnya mencapai sebuah hasil akhir dan meresmikan hasil akhir
tersebut sebagai sebuah Undang-Undang.
Undang-Undang ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi,
mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet,
terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31
ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan yang
bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UndangUndang ITE ini. Undang-Undang ITE ini akan menutup jalur demokrasi melalui
internet, dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan
berpendapat dan menyampaikan gagasan.
Seiring perkembangan penggunaan media sosial, sejumlah pasal dalam
Undang-Undang ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan
berekspresi dan berpendapat. Penyebabnya, sejumlah pasal cenderung multitafsir
dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah
banyaknya kasus hukum terkait pelanggaran Undang-Undang ITE. Sehingga
akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2016, pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Revisi tersebut pun
langsung berlaku tiga puluh hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal
28 November 2016. Setidaknya ada 4 perubahan yang terjadi pada revisi UU ITE
kali ini, yaitu: 1. Penambahan pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26. Pasal itu
menjelaskan seseorang boleh mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada

masa lalu yang sudah selesai, namun diangkat kembali. Salah satunya seorang
tersangka yang terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak
mengajukan ke pengadilan agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus. 2.
Durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan
sebagainya dikurangi menjadi di bawah lima tahun. Dengan demikian,
berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh
ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman
hukumannya penjara di bawah lima tahun. 3. Tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen
elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan. Undang-Undang ITE
yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen
elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan
tidak sah sebagai bukti.
Penambahan ayat baru dalam Pasal 40. Pada ayat tersebut, pemerintah
berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi
yang melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi,
SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika situs yang
menyediakan informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media,
maka akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers. Namun, bila situs yang
menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai
perusahaan media (nonpers), pemerintah dapat langsung memblokirnya
Alasan ketersetujuan dengan adanya revisi UU ITE tersebut didasarkan
pada beberapa hal. Pertama, konsep demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi hendaknya diberikan batasan-batasan tertentu.
Dalil Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely sebagaimana
disampaikan oleh Lord Acton hendaknya tidak hanya diberlakukan kepada
pejabat pemerintah, namun juga terhadap kekuasaan rakyat dalam kerangka
demokrasi.
Salah satu contoh kongkrit penyalahgunaan kekuasaan rakyat dalam
kehidupan demokrasi adalah tindakan anarkis dan pelanggaran terhadap hak-hak
individu lain. Atas dasar itu maka diperlukan adanya batasan yaitu melalui
ketentuan hukum, dalam hal ini revisi Undang-Undang ITE merupakan ikhtiar

kongkritisasi pembatasan tersebut berdasarkan prinsip kepastian hukum. Pada
aspek filosofis, revisi Undang-Undang ITE tersebut merupakan cara menciptakan
iklim demokrasi yang santun dan beradab.
Kedua, revisi Undang-Undang ITE ini merupakan bentuk dari hukum

prospektif. Adanya revisi ini merupakan salah satu cara untuk merespon
perkembangan teknologi informasi mengingat Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 yang sudah tidak lagi relevan dan akomodatif dengan perkembangan
teknologi. Secara substansial, implementasi revisi Undang-Undang ITE ini akan
lebih mudah dan demokratis merespon pelanggaran-pelanggaran ITE dengan
menjadikan kejahatan pencemaran nama baik dan/atau fitnah menjadi delik aduan.
Artinya pihak-pihak yang menyatakan pendapat yang mengganggu hak individu
lain dapat dijerat dengan Undang-Undang ITE dalam hal adanya laporan dari
pihak yang dirugikan.
Di sisi lain, revisi Undang-Undang ITE ini dianggap sebagai suatu bentuk
kemunduran. Hal tersebut didasarkan atas pemberian kewenangan yang begitu
luas kepada pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu seperti
melakukan pemblokiran atau penghapusan terhadap situs dan informasi atau
kontem tertentu yang dianggap melanggar undang-undang.
Ketentuan tersebut misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 40.
Kewenangan pemerintah pada konteks ini sangat begitu luas karena sekalipun
klausulnya menyatakan bahwa konten yang dapat diblokir adalah konten yang
melanggar Undang-Undang, namun makna melanggar peraturan perundangundangan tidak diatur begitu spesifik sehingga tafsir mengenai hal tersebut
sepenuhnya menjadi hak preogratif pemerintah. Hal ini dianggap menjadi peluang
bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan subversif.
Sebagai

bentuk

perbandingan,

diberlakukannya

Undang-Undang

Terorisme juga merupakan salah satu Undang-Undang yang memberikan
kewenangan luas kepada pemerintah dalam hal pemberantasan terorisme. Pada
faktanya, dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang tersebut
menjadikan pemerintah “brutal” dalam hal pemberantasan terorisme. Dengan
dibentuknya Densus 88, telah banyak korban yang terbunuh bahkan sebelum

dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Realitas tersebut seakan menjadi salah satu bentuk familiar dari hasil
revisi Undang-Undang ITE bagi perspektif pihak yang kontra terhadap revisi
Undang-Undang ITE.
Arah kebijakan politik hukum dalam revisi Undang-Undang ITE lebih ke
arah membentuk bangsa yang beradab. Spirit utama dari Undang-Undang ITE
hasil revisi setidaknya terdapat dua hal, yakni aspek masyarakat dan pemerintah.
Ditelisik dari aspek masyarakat, yakni agar adanya kebebasan dalam
mengeluarkan pendapat secara santun.
Selain itu, masyarakat dapat menikmati internet secara sehat terjaga
dengan baik. Kebebasan berpendapat memang dijamin oleh konstitusi maupun
Undang-Undang lain sebagai aturan turunan. Namun, sejatinya pula tak boleh
melanggar hak orang lain ketika menyatakan pendapat di muka umum,
berperilaku buruk, apalagi menyerang orang lain dengan fitnah.
Sedangkan dari sisi pemerintah, penegak hukum kini tidak mudah
melakukan penahanan terhadap pelaku dugaan pencemaran nama baik atau pun
fitnah melalui dunia maya. Termasuk tidak melakukan penahanan terhadap orang
yang melontarkan sikap kritisnya terhadap kebijakan publik. Bila merujuk Pasal
21 ayat (4) KUHAP, terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun
lebih, maka pelaku langsung dapat ditahan oleh penegak hukum. Dengan UndangUndang ITE hasil revisi, penahanan tak mesti dilakukan hingga adanya putusan
pengadilan yang menyatakan pelaku bersalah. Implikasinya, penyidik tidak dapat
langsung melakukan penahanan karena dibatasi ketentuan KUHAP Pasal 21 ayat
(4) butir a bahwa penahanan hanya boleh dilakukan penyidik atas tindak pidana
yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. “Jika penyidik merasa perlu
melakukan penahanan, maka harus dengan penetapan pengadilan”.
KESIMPULAN
Meskipun dengan disahkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai
perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya,

baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya, namun UU ITE ini masih
menuai banyak kontra dalam penerapannya, mengingat tidak sedikit kelemahan
yang di jumpai dari Pasal-pasal di dalamnya, maupun dari UU ITE iu sendiri
secara keseluruhan. Revisi Undang-Undang ITE ini merupakan bentuk dari
hukum prospektif. Adanya revisi ini merupakan salah satu cara untuk merespon
perkembangan teknologi informasi mengingat Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 yang sudah tidak lagi relevan dan akomodatif dengan perkembangan
teknologi. Arah kebijakan politik hukum dalam revisi Undang-Undang ITE lebih
ke arah membentuk bangsa yang beradab. Ditelisik dari aspek masyarakat, yakni
agar adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat secara santun.

Rekomendasi
Informasi dan Transaksi Elektronik adalah satu hal yang tidak dapat
dipisahkan dengan masyarakat sekarang ini, bisa dikatakan hal tersebut sudah
menjadi bagian hidup. Oleh karena itu, dalam pembentukan aturan yang
menyangkut hal tersebut alangkah baiknya apabila pemerintah lebih memberikan
partisipasi penuh kepada kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat,
sehingga bisa terbentuk produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan
memenuhi harapan masyarakat.
Pemerintah harus lebih gencar mensosialisasikan masalah Undang-Undang
ITE dengan mengadakan seminar-seminar tentang pelaksanaan informasi dan
transaksi elektronik.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Rasyid Thalib. Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan RI. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2006.
Anggito Abimanyu. Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal. Jakarta: Gramedia,
2011.
I Made Marthana. Sinergi Sains teknologi dan Seni: Dalam Proses Berkarya
Kreatif Di Dunia Teknologi Informasi . Denpasar: STMIK STIKOM
INDONESIA. 2016.
Jeperson Hutahaean. Konsep Sistem Informasi. Yogyakarta: Depublish. 2015.

Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. 2006.
Jogiyanto HM. Analisis dan Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur
Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. 1999.
Lukman Surya Saputra. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: PT Setia Purna
Inves. 2007.
M. Dawam Raharjo. Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional Dalam Arus
Politik Global. Jakarta: Intermasa. 2003.
McLeod, Jr. Raymond. Sistem informasi Manajemen . terj. Ali Akbar. Jakarta:
Salemba Empat. 2008.
Miriam Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008.
Muhammad Sobri, et all., Pengantar Teknologi Informasi – Konsep dan Teori.
Yogyakarta: Andi. 2017.
Reni Dwi Purnomowati. Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen
Indonesia . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
Riant Nugroho Dwidjowijoto, Kebijakan Publik Negara Berkembang , Jakarta:
PT. Gramedia. 2006.
Saldi Isra. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia . Jakarta: Rajawali Press.
2010.
Widjajanti Mulyono. Ilmu Sosial Di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan .
Jakarta: Yayasan Pusaka Obor. 2016.
Internet
http ://wira059.blogspot.com/2011/09/pengertian-informasi-menurut-para-pakar
(diakses tanggal 17 Desember 2017)

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.