Penerapan Dissenting Opinion Dalam Putusan Tindak Pidana Pencucian Uang“ (Studi Kasus Putusan No.21 Pid.Sus-Tpk 2015 Pn.Mdn.)

BAB II
DISSENTING OPINION DALAM MEKANISME PENGAMBILAN
PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA
INDONESIA

A. Mekanisme Pengambilan Putusan Hakim
Hakim sebagai salah satusubsistem peradilan merupakan pilar utama dan
tempat terakhir bagi pencari keadilan untuk mencari keadilan. Sebagai salah satu
elemen kekuasaan kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara,
hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. 54
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman
(Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989, 55 Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), 56 yakni pejabat peradilan yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir (8) UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981). 57 Penggunaan istilah pejabat sebagaimana yang
diatur dalam Undang-Undang membawa konsekuensi oleh karena kewenangan

54

Mujahid A. Latief, Op.Cit., hlm. 283.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Pasal 11 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberi penegasan yang sama: : “Hakim pengadilan
adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.
56
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
57
Dalam Pasal 1 butir (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana ditegaskan: “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,
dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
55

33
Universitas Sumatera Utara

34


dan tanggung jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan
sikap tertentu, yaitu sebagai penegak hukum dan keadilan. 58
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, hakim dituntut untuk
bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai rasa
kemanusiaan yang tinggi, dan juga menguasai dengan baik teori-teori ilmu
hukum. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan tidak bijaksana tanggapan dari
berbagai pihak yang mengecam, merendahkan, bahkan mengejek hakim yang
kadang dilakukan dengan bahasa yang kasar dan tidak proporsional, dalam
menyikapi suatu putusan hakim dalam perkara tertentu. Hakim tidak boleh gentar
dengan komentar-komentar tersebut, manakala ia sudah bekerja secara
profesional, bersih, arif, dan bijaksana. 59
Dalam diri hakim diemban suatu amanah untuk menerapkan hukum secara
adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan
ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan (moral justice) dan
mengesampingkan perundang-undangan (legal justice). Ketidakadilan dalam
suatu perundang-undangan adalah hal yang mungkin terjadi. Hal ini disebabkan
karena pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan umum tanpa
memahami keseluruhan cakupan kegiatan masyarakat, sedangkan hal-hal yang
berupa pertimbangan yang bersifat konkret diserahkan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab hakim. 60Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970


58

Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim; dalam
bukunya yang berjudul Kode Etik Hakim (jilid II), (Kencana: Rawamangun, 2013), hlm. 72.
59
Lihat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor
047/KMA/SKB/V/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009
60
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. (Liberty: Yogyakarta,
2007), hlm. 37; yang dikutip dari Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 78.

Universitas Sumatera Utara

35

Pasal 27 ayat (1) mengharuskan Hakim untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. 61Hal ini yang menjadi penyebab tidak ada
undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya.

Dalam kasus konkret, hakim dapat diibaratkan dengan malaikat peniup
sangkakala kehidupan yang menghidupkan hukum tertulis berupa pasal-pasal mati
dan huruf-furuf mati menjadi hidup. Taverne pernah menyatakan: 62“Berikanlah
saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang
jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang paling buruk pun, saya akan
menghasilkan putusan yang paling adil”. Senada dengan hal tersebut, Hamilton
juga menyatakan: 63 “Berikan kami orang yang memiliki semangat dalam
pekerjaannya dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan”.
Pernyataan Taverne di atas mengingatkan pendapat, betapa hakim sebagai
personifikasi lembaga peradilan mengemban amanah yang tidak ringan. Hakim
selain dituntut memiliki kemampuan intelektual dalam membuat putusan, juga
harus memiliki moral dan integritas tinggi sebagi hakim. Bukan hanya itu, pada
titik tertentu hakim bahkan harus punya kadar iman dan takwa yang tinggi,
mampu berkomunikasi dengan baik, di samping sanggup menjaga peran, wibawa,
dan statusnya di hadapan masyarakat. Jika semua persyaratan ini dipenuhi,
diharapkan hasil kerja hakim akan merefleksikan rasa keadilan, menjamin
kepastian hukum, dan bermanfaat bagi masyarakat.
61

H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. 12.

Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmo, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum Hakim,
Jaksa, Polisi, Notaris, dan Advokat. (PT. Suka Buku: Jakarta, 2004), hlm. 34; yang dikutip dari
Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71.
63
H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. V.
62

Universitas Sumatera Utara

36

Didalam mengadili suatu perkara, ada tiga langkah yang harus
dilakukan: 64
1. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara
banyak kaidah di dalam sistem hukum, atau jika tidak ada yang tepat
diterapkan, setidaknya mencapai suatu kaidah untuk perkara itu yang
mungkin nantinya dipakai sebagai suatu kaidah untuk perkara lain
sesudahnya.
2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau diterapkan secara demikian yaitu
menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan

berkenaan dengan kekuasaannya yang dimaksud.
3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan
dan ditafsirkan sebelumnya.
Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu
permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ada
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan
yang baik untuk mengatasi suatu masalah. Pengambilan keputusan (decision
making)

melibatkan

proses

kognitif,

dimulai

dari

mengenali


masalah,mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga
memutuskan alternatif yang paling adekuat.
Untuk melahirkan sebuah putusan, hakim harus melewati beberapa
prosedur tertentu, dan ada berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia
peradilan. 65Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat suatu putusan,
karena idealnya suatu putusan harus memuat ide idee des recht(cita-cita hukum)

64

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Bhatara: Jakarta , 1996), hlm. 52.
Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, diakses dari www.pnnunukan.go.id/index.php/profil/tupoksi/80-sample-dataarticles/joomla/
extensions/
modules/demo1/168-putusan-hakim-dan-eksekusi, pada tanggal 19 Februari 2016 pukul 20.25
WIB
65

Universitas Sumatera Utara

37


yang meliputi tiga unsur, yaitu keadilan (Gerechtigheid), kepastian hukum
(Rechtszekerheid), dan kemanfaatan (Zwechtmassigheid). 66
Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: 67
1. Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi,
suasana hati,
2. Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang
tengah berlangsung,
3. Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang
meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman,
4. Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan
bicara.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus
memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the power of solving legal
problems), yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum
(legal problem identification), memecahkan masalah (legal problems solving),
dan mengambil putusan (decision making). 68
Dalam implementasinya, sangat sulit bagi seorang hakim untuk
mensinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur keadilan dengan

kepastian hukum yang kadang bisa saling bertentangan. Hakim harus memilih
salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak
mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan. Jika
diibaratkan dalam sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu
perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada
66

Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional. (Bina Cipta: Bandung, 1986), hlm. 319-320.
67
Probowati, Y. dan Sugiyanto,Peranan Etnik dan Daya Tarik Wajah Terdakwa
Terhadap Putusan Hakim. (Jurnal Anima: Jakarta, 1997), hlm. 215-228
68
M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif,
(Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2012), hlm. 86.

Universitas Sumatera Utara

38


titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri
berada diantara keduanya.
Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada
asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan.
Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan,
maka secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak
batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua
titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim
akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan
harus berada di titik keadilan. Hal ini membuktikan meskipun undang-undang
mengatur agar hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara
bersifat bebas dan tanpa batas.Dalam praktek. hal ini tidak sepenuhnya benar dan
tidak mungkin terjadi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas yang terkandung
dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang diperiksa. Meski demikian,
ketiga unsur tersebut tetap harus dipertimbangkan oleh hakim dan diterapkan
secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang
berkualitas dan memenuhi harapan masyarakat.
Putusan hakim biasa diartikan sebagai pernyataan hakim yang dituangkan

dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk
umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (konsensius). Menurut
Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang

Universitas Sumatera Utara

39

diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.
Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan
oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai “Hasil atau
kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasakmasaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”. 69
Adapun pendapat beberapa ahli mengenai putusan adalah sebagai
berikut: 70
Rubinidan Chaidir Ali, merumuskan bahwa keputusan hakim itu
merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu
disebut vonis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum
dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.
Pendapat lain, Ridwan Syahrani memberi batasan putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata
Sudikno Mertokusumo kemudian juga memberi batasan putusan hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang
itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.
Readford mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu
perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta
menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif.
Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang
kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Sebelum
mengeluarkan suatu putusan, hakim menelaah terlebih dahulu data-data yang
diperoleh selama proses persidangan sepertiapakah bukti- bukti yang dihadirkan
sudah cukup meyakinkan dan sah secara hukum, apakah keterangan saksi dapat
69

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peristilahan Hukum Dalam Praktek, (Kejaksaan
Agung: Jakarta, 1985), hlm. 221.
70
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

40

dipercaya, saling berkesesuaian dengan keterangan saksi yang lain, meyakinkan
dan sah secara hukum, apakah saksi memberikan keterangan yang sebenarbenarnya atau tidak, bagaimanaisi pembelaan terdakwa, tuntutan jaksa hingga
muatan psikologis.
Keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa harus didasari oleh rasa
tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Selain itu, hakim juga harus bertanya kepada hati nuraninya apakah putusan itu
nantinya akan menciptakan rasa keadilan atau malah menjadi suatu bentuk
ketimpangan yang kemudian merobek rasa keadilan di masyarakat.
Meskipun sistem hukum di Indonesia terkadang tidak dapat mencapai
keadilan yang sempurna, namun hakim harus dapat menetapkan keputusan yang
mendekati keadilan. Di negara demokrasi yang umumnya mengedepankan prinsip
suara terbanyak, perselisihan dapat diatasi dengan cara yang tampak adil dan
mendukung stabilitas sosial karena mustahil untuk mencapai suatu keadilan yang
dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Hal ini disebabkan sifat
egosentrisme dan paradigma masyarakat yang menanggap suatu keadilan yang
hakiki itu adalah ketika keadilan itu menguntungkan bagi dirinya, meskipun
demikian masyarakat harus percaya pada keadilan sistem hukum secara
keseluruhan. 71Selain itu, sistem peradilan di Indonesia dilandaskan pada Pancasila
yang menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempatnya dan
melaksanakan perlindungan serta jaminan hak-hak asasi manusia. Hal tersebut

71

Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 75.

Universitas Sumatera Utara

41

tertuang dalam pertimbangan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang memuat
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mekanisme pengambilan putusan hakim secara umum diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, HIR (Herzeine Inlandsch Reglement), Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dan peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang yang
mengatur secara teknis.
Kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa asas yang menjadidasar dari
ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum.Asas-asashukum
umum kekuasaan kehakiman (peradilan) yang baikmenurut Bambang Sutiyoso
dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputihal-hal sebagai berikut: 72
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Asas Kebebasan Hakim
Pemeriksaan Berlangsung Terbuka
Hakim Bersifat Aktif
Asas Objektivitas
Putusan Disertai Alasan (Motiverings Plicht)
Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan”
Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis
Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat
Berdasarkan

uraian

diatas,

apabila

putusan

hakim

dijatuhkan

denganmemenuhi asas – asas tersebut diatas selain menjamin adanya
kepastianhukum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan.
Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang
dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis terlebih
dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau peraturan perundang72

Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (UII Press: Yogyakarta, 2005), hlm.66.

Universitas Sumatera Utara

42

undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan
suatu perkara, barulah hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya
dari sumber-sumber hukum lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan,
atau hukum tidak tertulis.
Pasal 182 KUHAP ayat 1 dan 2 mengatur bahwa setelah penuntut umum
membacakan tuntutannya dan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa selesai
mengajukan pembelaannya, maka majelis hakim menutup persidangan. Meskipun
sidang telah ditutup oleh hakim ketua, pemeriksaan dapat dibuka satu kali lagi
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dan/atau kuasa hukumnya maupun
karena kewenangan dari hakim ketua.
Kemudian majelis hakim mengadakan musyawarah yang bersifat tertutup
dimana hanya hakim ketua dan hakim anggota yang ikut dalam musyawarah
untuk mengambil suatu kesimpulan dan memberikan suatu putusan terhadap
perkara yang ditangani, yang didasari pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang
terbukti dalam persidangan. 73
Menurut Abdul

Manan, Musyawarah Majelis

hakim merupakan

perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu
perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan”. 74
Selanjutnya Abdul Manan mengungkapkan bahwa tujuan diadakannya
musyawarah majelis ini adalah untuk menyamakan persepsi, agar terhadap

73

Lihat KUHAP Pasal 182 ayat (4) Jo. Pasal 182 ayat (3)
H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari http://pabengkulukota.go.id/foto/IKHTISAR%20PERMUSYAWARAH%20MAJELIS%20HAKIM.pdf,
pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB
74

Universitas Sumatera Utara

43

perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya,
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. 75
Menurut

M.

Natsir

Asnawi,

majelis

hakim

setidak-tidaknya

akanmelakukan dua hal dalam musyawarah majelis, yaitu: 76
a. Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang
tidak berhasil membuktikan.Tiap hakim anggota akan mengemukakan
pendapatnyamengenai keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan.
Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagaijalan untuk
menetapkan hukumnya.
b. Menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah
hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, laluhakim mengajukan
konklusi yang dapat berupa menetapkansiapa berhak atas apa juga
menetapkan hubungan hukum di antara para pihak.
Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran
hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu: 77
“Pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur
kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil
terjadi; Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber
hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum
dalam peristilahan yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan
hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang
terkandung didalam aturan hukum itu (the policies underlying those rule),
sehingga dihasilkan struktur aturan yang koheren. Keempat,
menghubungan struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, mencari
alternatif penyelesaian yang mungkin. Keenam, menetapkan pilihan atas

75
76

Ibid.
M. Natsir Asnawi. Hermeneutika Putusan Hakim. (UII Press: Yogyakarta, 2014), hlm.

15.
77

Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan. (Kencana
Prenada Media Group: Jakarta, 2012), hlm. 87.

Universitas Sumatera Utara

44

salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan
akhir”.
Dalam musyawarah, majelis hakim mengupayakan adanya suatu
kemufakatan dalam pendapat hakim teradap suatu perkara yang akan diputus.
Dalam hal tidak mungkin mencapai suatu kemufakatan, keputusan diambil
berdasarkan voting atau suara hakim terbanyak. Kemudian dalam hal pemungutan
suara tidak dimungkinkan, yang diambil adalah pendapat hakim yang paling
meguntungkan untuk terdakwa.
Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, isi keputusan
pengadilan selain harus memuat alasan-asalan dan dasar-dasar putusan, juga harus
memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili
Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini diatur
dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.Selain itu, hal-hal yang harus diperhatikan dan dimuat dalam putusan
hakim secara umum diatur dalam Pasal 184 HIR, yaitu:
a.

Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan,

b.

Jawaban tergugat atas gugatan itu,

c.

Alasan-alasan keputusan,

d.

Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara,

e.

Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu
keputusan itu dijatuhkan,

Universitas Sumatera Utara

45

f.

Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus
disebutkan,

g.

Tanda-tangan hakim dan panitera
Putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni

memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan
teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta
pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari
segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk
yurispundensiyang dapat menentukan hukum baru (merupakan sumber hukum).
Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan
putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum
yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa,
maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan
hukum. 78
Biasanya antara pelaksanaan musyawarah dan pembacaan putusan diberi
tenggang waktu. Pemberian waktu ini berbeda dengan tenggang waktu dengan
perkara-perkara tertentu yang bersifat khusus seperti praperadilan yang diatur
batas waktu pembacaan putusannya. Tidak ada aturan umum yang menentukan
bahwa selain perkara-perkara yang khusus disebutkan secara eksplisit batasan
waktu penyelesaiannya. Dalam peradilan pidana, apabila suatu keputusan akan
dijatuhkan, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada penuntut umum,
78

Iqbal Albanna, “Penemuan Hukum oleh Hakim”, diakses dari http://www.pnnunukan.go.id/index.php/profil/pejabat-negara/hakim-pengadilan-nunukan/80-sample-dataarticles/joomla/extensions/modules/demo1/167-peran-hakim-dalam-penemuan-hukum-danpenciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan pada tanggal 15 Maret 2016 pukul
10.59 WIB.

Universitas Sumatera Utara

46

terdakwa, dan penasehat hukum terdakwa mengenai tanggal pembacaan
putusan. 79 Selain dengan adanya tenggang waktu ketentuan perundang-undangan
ternyata juga membenarkan putusan pengadilan negeridijatuhkan dan diumumkan
pada hari itu juga setelah musyawarah dilaksanakan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 Tahun 1959
tanggal 20 April 1959 dan No. 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962
menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan
tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan
untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di
depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis.
Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk
umum. Bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka putusan tersebut terancam batal.
Akan tetapi, dalam hal penetapan pembacaan di persidangan terbuka untuk umum
tidak diperlukan.
Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani
oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersbut. Berdasarkan Pasal
187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangi maka putusan itu harus
ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus
perkaranya, sedangkan apabila panitera yang berhalangan menandatangani, maka
untuk hal tersebut cukup dicatat dalam berita acara.
Setelah putusan dijatuhkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum,
maka putusan tersebut bukan lagi menjadi milik pengadilan (hakim), akan tetapi

79

Lihat KUHAP Pasal 182 ayat (8)

Universitas Sumatera Utara

47

milik masyarakat. Sehingga seperti yang telah diungkapkan di atas, pentingya
pertanggungjawaban para hakim sehingga

putusan pengadilan itu harus

dipertanggungjawabkan secara moral dan yuridis kepada masyarakat. Dengan
terbukanya atau publikasi dari dissenting opinion atau menjadi bagian satu
kesatuan dari putusan peradilan memberikan peluang bahwa masyarakat dapat
berpendapat dan mengkritik secara bebas sebagai bagian masukan yang informatif
bagi lembaga peradilan itu sendiri. Serta tentu menunjukkan kemadirian dan
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara

B. Kedudukan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim
Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem hukum peninggalan Belanda,
yang merupakan warisan Bangsa Romawi. Dikatakan hukum Romawi karena
sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran
Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad ke-5 (527-565
M)yang pada masa kini dianut dihampir seluruh benua Eropa, Amerika Selatan,
dan berbagai negara Asia. Sistem hukum kontinental biasanya mengandalkan
kitab undang-undang atau peraturan tertulis dalam penegakan hukum dan
mengedepankan prinsip kepastian hukum.Secara teori, hakim di negara yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental hanya boleh menerapkan hukum yang
termuat dalam undang-undang atau kitab undang-undang dan tidak boleh
membuat hukum (judge made law).
Konsep dissenting opinion yang dianut oleh negara Indonesia juga tidak
terlepas dari sistem hukum eropa kontinental, sistem ini berasal dari kodifikasi

Universitas Sumatera Utara

48

hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar
Yustianus yang merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada
sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civiliyang dijadikan
sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum.
Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu
hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk
undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain
undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan
undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan
hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada
berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara
umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa.
Dalam perkembang peradaban manusia terjadi pergeseran dimana sistem
hukum yang telah dianut tersebut menjadi tidak bersifat kaku, telah terjadi
pembauran

antarsistem

dengan

menyerap

kelebihan

masing-masing

sistem.Sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni
heteronom, Di Indonesia misalnya, dalam proses pemeriksaan, HIR menganut
asas inquisatoir yang menjadi ciri khas negara dengan sistem hukum Eropa
Kontinental. Kemudian KUHAP mengatur tentang tersangka yang dipandang
sebagai subjek pemeriksaan dan berhak memberikan keterangan secara bebas
dalam mengajukan pembelaan yang menggeser asas inquisatoir menjadi asas
accusatoir yang biasa digunakan dalam sistem Anglo Saxon. Pergeseran ini juga

Universitas Sumatera Utara

49

memengaruhi tugas hakim dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan
pergeseran keadilan menurut undang-undang (normgerechtigkeit) kearah keadilan
menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan (einzelfallgerechtigkeit), serta
terjadi

pergeseran

pola

berpikir

dari

yang

mengacu

kepada

sistem

(systeemdenken) kearah berpikir mengacu kepada masalah (problem oriented).
Hal ini membuka ruang kepada hakim untuk membentuk hukum (judge made
law). 80
Berbeda dengan Eropa Kontinental, negara dengan sistem hukum Anglosaxon menganggap selain sebagai pelaksana hukum, hakim juga sebagai
pembentuk hukum (judge made law). Peranan hakim sangat penting dalam
pembentukan hukum, karena sistem common law memiliki prinsip:“the law that
develops and derives through judicial decision”. Hakim berhak membuat putusan
yang lebih didasarkan pada keadaan dan norma yangberlaku di masyrakat dari
pada berpegang pada norma hukum itu sendiri.Namun, perbedaan tersebut
semakin lama dirasa semakin tidak penting di negara-negara penganut Eropa
Kontinentalyang telah mengadopsi dan menerapkan sebagian dari tradisi hukum
Anglo-saxon.
Pada negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxonseperti Amerika
dan Inggris, pendapat atau opini di bidang hukum biasanyamerupakan penjelasan
tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan
para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan tertulis tersebut dibuat
berdasarkan pada rasionalitas dan prinsiphukum yang mengarahkan mereka
80

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸(Cahaya Ilmu: Medan,
2006), hlm.184.

Universitas Sumatera Utara

50

kepada peraturan yang dibuat. Pendapattertulis ini biasanya diterbitkan dengan
arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu
hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para hakim
pengadilan

tersebut

biasanyakemudian

melakukan

penegakkan

kembali,

perubahan, dan penerbitanterhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan
atau teladan dalamhukum.
Mengenai

pengertian

dissenting

opinion,

Pontang

Moerad

mendefinisikannya sebagai pendapat/ putusan yang ditulis oleh seorang hakim
atau lebih yang tidak sependapat dan tidak setuju (disagree) dengan putusan yang
diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim. 81 Sedangkan menurut Pasal 1 ayat
(3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2000
Tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999
Tentang Hakim Ad Hoc merumuskan bahwa: “Perbedaan pendapat adalah
pendapat yang berbeda dari salah seorang anggota majelis, baik mengenai fakta
atau hukumnya dalam musyawarah majelis”.
Menurut Bagir Manan, Pendapat anggota-anggota majelis dalam suatu
perkara dapat berupa: 82
1. Seluruh anggota dan ketua majelis sepakat dengan pertimbangan dan amar
yang diusulkan pembaca terdahulu.
2. Seluruh anggota dan ketua majelis sepakat mengenai amar (seluruh atau
sebagian) tetapi ada yang menambahkan atau mengusulkan dasar
pertimbangan yang berbeda, biasa disebut dengan Concurring Opinion.
3. Ada anggota yang berbeda pendapat baik atas pertimbangan maupun
amarnya, biasa disebut dengan dissenting opinion

81

Pontang Moerad, Op.Cit., hlm. 111.
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004. (FH UII
Press: Yogyakarta, 2007), hlm. 204.
82

Universitas Sumatera Utara

51

Pandangan mengenai pentingnya dissenting opinion ini erat kaitannya
dengan pertanggungjawaban hakim secara individual. Walaupun putusan diambil
secara kolektif, pertanggungjawaban hakim secara individual lebih besar
dibandingkan

pertanggungjawaban

secara

kolektif.

Maka

dari

itu

diperkenankanlah para hakim itu ketika mengambil putusan untuk menjaga
tingkat kemandiriannya (independensinya) dengan mencantumkan perbedaan
pandangannya (pendapat) tersebut dalam putusan.
Pelaksanaandissenting opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang
dulunya tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa
Kontinental seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya
tidak ada (UU No. 8 tahun 1981 tidak mengatur dissenting opinion), juga
ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang dilakukannya dissenting
opinion, tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara kepailitan dapat
melakukan dissenting opinion dengan dasar penguat PERMA No. 2 tahun 2000
tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim
Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada Undang-Undang
No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur dissenting opinion.
Perbedaan pendapat (dissenting opinion) pertama kali terjadi di Indonesia
pada perkara Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melawan PT. Muara
Alas Prima dalam perkara nomor 71/PAILIT/2000/PN. Niaga/ JKT.PST. Hakim

Universitas Sumatera Utara

52

Ad Hoc Eliyana merupakan hakim yang pertama kali mengeluarkan perbedaan
pendapat (dissenting opinion). 83
Mahkamah Agung juga tidak keberatan atas pemberlakuan dissenting
opinion sepertidalam putusan kasasi Joko S Chandra yang diputus bebas oleh
majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi, tetapi selama belum adanya aturan
yang jelas maka tidak bisa dipaksakan agar langkah majelis hakim yang dipimpin
Sunu Wahadi untuk memberlakukan dissenting opinion tersebut akan diikuti oleh
hakim-hakim lainnya.
Akan tetapi, sejak lahirnya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang
telah beberapa kali diatur dan mengalami perubahan, 84 dan Undang-Undang No.
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
memberikan suatu landasan yang kuat bagi penerapan dissenting opinion yang
dibuktikan dengan lahirnya beberapa putusan-putusan yang memuat perbedaan
pendapat (dissenting opinion), seperti dalam perkara kepailitan antara PT Bank
Niaga Tbk melawan PT Barito Pacific Timber Tbk, kasus cessie di Bank Bali
dengan terdakwa Joko Chandra alias Djoker.

83

Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah. Perbedaan Pendapat Dalam Putusan
Pengadilan. (Pustaka Yustisia: Yogyakarta,2011), hlm. 75.
84
Kekuasaan Kehakiman pertama kali telah dimuat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN RI
1964/107 Tln Ri 2699). Selanjutnya Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman (LN RI 1970/74 Tln RI 2951). Pada tahun 1999 Undang-Undang Tersebut
Diamandemen Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas UU RI No. 14 Tahun 1970 RI Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman (LN RI 1999/147 Tln RI 3879). Undang-Undang ini kemudian dicabut dengan
berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (LN RI 2004/38 Tln RI 4358). Pada Tahun 2009 Undang-Undang Ini Dicabut Dengan
Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman (LN RI 2009/157 Tln RI 5076).

Universitas Sumatera Utara

53

Dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai kaidah tertulis telah memuat
norma yang mengatur secara tegas terkait kebebasan dalam menyatakan pikiran
sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 E ayat (2) “Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya”. Selanjutnya dalam Pasal 28 E ayat (3) diberikan jaminan
dalammengeluarkan pendapat, “...berhak atas kebebasan...dan mengeluarkan
pendapat’. Meskipun hanya secara implisit, sebenarnya dapat dijadikan sebagai
landasan hakim dalam mengadili perkaraserta memuat pertimbangan yang sesuai
dengan nilai kebenaran serta mengemukakan dissenting opinion jika tidak tercapai
kata sepakat dalam musyawarah majelis hakim.
Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada
Lembaga- Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model
pencatuman dissenting opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan
pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga,
model pencatuman dissenting opinionterpisah dari putusan. Sedangkan pada
Mahkamah

Konstitusi,

dissenting

opinionmerupakan

bagian

yang

tidak

terpisahkan dari putusan, sehingga diperlukan penyeragaman model pencatuman
dissenting opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang
dissenting opiniontersebut.
Mekanisme dissenting opinion dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman terdapat dalam Pasal 14,yakni :
1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat
rahasia.

Universitas Sumatera Utara

54

2.

Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung.
Berdasarkan kaidah hukum yang terkandung dalam undang-undang di atas
khususnya pada ayat (2), memperlihatkan bahwa bagi hakim di Indonesia
dimungkinkan untuk menyampaikan pendapatnya yang berbeda dan dimuatnya
dalam putusan. Perbedaan pendapat ini bercorak concurring opinion untuk adanya
perbedaan pendapat diantara majelis hakim, namun hakim yang berbeda pendapat
tersebut akhirnya setuju untuk mencapai mufakat dengan hakim lainnya.
Sedangkan pendapat yang bercorak dissenting opinion untuk tidak adanya kata
mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim, dan putusan ditempuh dengan
suara terbanyak dari hakim. Walaupun demikian, apabila terjadi kedua corak
tersebut, hakim yang berbeda pendapat wajib untuk menandatangani dan
mengikat dirinya kepada mufakat bulat atau pun terhadap suara terbanyak dalam
permusyawaratan hakim.
Kemudian dalam ayat (3) Undang-Undang ini mengatur bahwa
pencantuman perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dalam putusan bersifat
imperative atau mandatory, karena dengan tegas dikatakan ‘wajib’ dimuat dalam

Universitas Sumatera Utara

55

putusan. 85 Rasio dari pencantuman ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada
pihak yang berperkara maupun masyarakat, bahwa putusan yang dijatuhkan
benar-benar diambil melalui pengkajian dan analisis yang matang. 86
Namun, sebelum memasukkan dissenting opinion ke dalam Peraturan
Perundang-Undangan dan memberikan dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan
dissenting opiniontersebut, kita terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilainilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan dissenting
opinionterhadap perkembangan hukum di negara kita. Pada kenyataanya,
keinginan memasukan dissenting opinion dalam KUHAP kita dilatarbelakangi
oleh karena dissenting opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai
positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol hakim.
Ada beberapa nilai-nilai positif yang dapat diambil dari pelaksanaan
dissenting opinion, yaitu:
1. Menunjukkan bahwa hakim memiliki kebebasan individual dalam
memutus, termasuk kebebasan terhadap sesama anggota majelis atau
sesama hakim.
2. Semakin meningkatkan tanggung jawab individual hakim, kualitas dan
wawasan hakim serta meningkatkan kualitas putusan pengadilan.
3. Dapat diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum
banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan yaitu pendapat hakim
mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding
atau kasasi tersebut.
85

M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata. (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), hlm. 240.
86
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

56

4. Sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah
dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan
jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari
segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan
penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim
5. Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan masyarakat terhadap praktek
Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan Mafia Peradilan
6. Dengan dissenting opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut
sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat;
7. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu
Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif terhadap perubahanperubahan dalam masyarakat.
8. Memberikan pandangan bahwa peradilan Indonesia menuju transparansi
peradilan.
Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) selain memiliki kelebihan, juga
memiliki kelemahan. Adapun kekurangan perbedaan pendapat (Dissenting
Opinion), yaitu: 87
a. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) membawa konsekuensi putusan
hakim ditentukan oleh suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang
benar dan adil adalah sesuai dengan kehendak terbanyak (mayoritas),
sedangkan ada kemungkinan pendapat minoritas itulah yang benar dan
adil. Kebenaran dan keadilan itu adalah suatu kualitas, bukankuantitas.
b. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum secara keilmuan maupun praktek. Perbedaan
pendapat (Dissenting Opinion) merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari putusan, maka dapat dipandang sebagai unsur putusan. Segala muatan
87

Bagir Manan, “Dissenting Opinion Dalam Sistem Peradilan Indonesia”. (Varia
Peradilan Majalah Hukum: Jakarta, 2006), hlm. 17.

Universitas Sumatera Utara

57

dari perbedaan pendapat (Dissenting Opinion), baik pertimbangan maupun
kesimpulan dapat dianggap sebagai hukum juga, walaupun sebagai hukum
yang tidak diterapkan dalam kasustersebut. Namun tidak tertutup
kemungkinan dalam perkara serupa dimasa yang akan datang perbedaan
pendapat (Dissenting Opinion) yang diikuti, dan pendapat hakim
mayoritas (Majority Opinion) ditinggalkan.
c. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dapat mempengaruhi
harmonisasi hubungan sesama hakim. Seorang Ketua Majelis dapat merasa
sebagai ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang
berbeda pendapat, sehingga antara sesama hakim akan terjadi
ketidakharmonisan.
d. Perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) dapat menimbulkan sikap
individualitas yang berlebihan. Anggota majelis yang menyatakan
perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) akan merasa memiliki wawasan,
pengetahuan dan menguasai persoalan yang lebih dari hakim lainnya.
Terkait dengan salah satu tujuan dari diterapkannya pencantuman
pendapat berbeda (dissentingopinion) dalam putusan hakim adalah untuk
mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mewujudkan transparansi peradilan,
hendaknya didukung dengan adanya kemudahan yang diberikan kepada
masyarakat dalam mengakses putusan tersebut, sebagaimana yang ditegaskan
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman bahwa “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat
untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara
dalam proses persidangan”.
Transparansi peradilan ini juga dipertegas dengan lahirnya UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang dalam
Pasal 4 ayat (2) mengatur:
Setiap Orang berhak:
a. Melihat dan mengetahui Informasi Publik;

Universitas Sumatera Utara

58

b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk
memperoleh Informasi Publik;
c. Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai
dengan Undang- Undang ini; dan/atau
d. Menyebarluaskan

Informasi

Publik

sesuai

dengan

peraturan

perundangundangan.
Selain untuk menciptakan suatu transparansi keadilan dan menciptakan
kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, diperlukan suatu lembaga untuk
mengontrol kekuasaan lembaga peradilan. Keterlibatan publik melalui proses
penilaian atau pengujian dapat menjadi salah satu langkah penting dan strategis
untuk dilakukan. 88
Keterlibatan publik ini disebut juga dengan eksaminasi publik, yang
diartikan sebagai pengujian atau pemeriksaan yang dilakukan oleh masyarakat
yang dipilih karena keahlian dan integritasnya terhadap suatu produk peradilan. 89
Eksaminasi publik yang dilakukan oleh masyarakat untuk memberikan
suatu shock therapy bagi para aparat hukum serta untuk menunjukkan bahwa
diluar aparat hukumpun masyarakat mampu memberikan analisa yang berbobot
dan patut diperhatikan. 90
Jelaslah kiranya pelaksanaan dissenting opinion memiliki dampak positif
yang lebih besar daripada dampak negatif yang ditimbulkannya. Untuk
menjadikannya sebagai suatu bagian dalam peradilan umum, perlu diciptakan

88

Wasingatu Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, (Indonesia Corruption Watch:
Jakarta, 2004), hlm. 25.
89
Ibid, hlm. 27
90
Ibid, hlm. 26

Universitas Sumatera Utara

59

suatu peraturan tentang Pelaksanaan dissenting opiniondalam Hukum Acara
Pidana dengan cara merevisi KUHAP yang belum mengalami perubahan
sekalipun sejak 1981 yang saat ini didalamnya tidak mengatur dissenting opinion.
Revisi

KUHAP

ini

juga

sebagai

bentuk

kedinamisan

hukum

dalam

mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan
sebagai bentuk menuju sistem peradilan yang semakin baik. Dengan demikian,
diharapkan agar dissenting opiniontersebut dapat diterapkan dengan baik oleh
para hakim pada lembaga-lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan
supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi informasi di dunia
peradilan di Indonesia.Kemudian dipertegas lagi pengaturannya dalam sebuah
PERMA seperti yang dilakukan MA pada hakim ad hoc Pengadilan Niaga dan
atau dengan mencabut Buku II MA yang berisikan Pedoman Pelaksanaan Tugas
Dan Administrasi Pengadilan.
Untuk menghindari adanya perbedaan pendapat (DissentingOpinion)yang
tidak seharusnya terjadi, diperlukan hal-hal sebagaiberikut: 91
1. Lakukan atau berikan kesempatan untuk mempelajari atau mentelaah
kembali berkas perkara yang bersangkutan denganmenunda
permusyawaratan.
2. Penguasaan atau wawasan pengetahuan hukum formiil danhukum
materiil yang seimbang dari Majelis Hakim danpemahaman terhadap
materi perkara dengan tetapmemelihara prinsip saling percaya,
keterbukaan serta menjaga integritas mentalitas dan integritas
intelegensia
3. Jika terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam, dengan tidak
mengurangi kebebasan Hakim dalam memutus perkara,ada baiknya
meminta masukan dari pimpinan pengadilan,atau didiskusikan dalam
forum pleno Hakim atau Pokja, dandisinilah letak perlunya melakukan
diskusi secara berkala.
91

H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari http://pabengkulukota.go.id/foto/IKHTISAR%20PERMUSYAWARAH%20MAJELIS%20HAKIM.pdf,
pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB

Universitas Sumatera Utara

60

Apabila perbedaan pendapat (Dissenting Opinion) itu tidak dapat
dihindari, maka lakukanlah dengan hati yang menerima.

C. Dissenting Opinion dalamMekanisme Pengambilan Putusan Hakim
Ditinjau dari Hukum Acara Pidana Indonesia
Di dalam dunia peradilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang
dicari para pencari keadilan (justicia balance), yaitu putusan hakim yang diputus
oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas moral tinggi sehingga dapat
melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga
berdimensikan moral justice dan social justice. 92
Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapat
dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi
terdakwa memperoleh kepastian hukum (rech zekerheids) tentang statusnya dan
sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut
dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet,
banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak,
apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim
merupakan mahkota sekaligus

puncak pencerminan nilai-nilai keadilan;

kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan,
mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim
yang bersangkutan.
92

Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 97.

Universitas Sumatera Utara

61

Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan
pidana jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan,
putusan pembebasan dari tindak pidana (vrijspraak) dalam hal menurut
pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag
van alle rechtsverloging), dalam hal perbuatan terdakwa sebagaimana yang
didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak
pidana. 93
Mackenzie mengemukakan pendapatnya bahwa dalam mempertimbangkan
pembuatan putusan dalam suatu perkara pidana, ada beberapa teori atau
pendekatan yang biasanya dipergunakan oleh hakim, yaitu sebagai berikut: 94
a. Teori Keseimbangan
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban.
Dalam praktik peradilan pidana, keseimbangan antara kepentingan masyarakat
dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal
memberatkan yang eksistensinya untuk melindungi kepentingan masyrakat dan
hal-hal meringankan yang esistensinya untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan terdakwa sebagai warga negara. Pertimbangan inilah yang nantinya
akan menentukan berat tidaknya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi.
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan
menyesuaikan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana
baik terdakwa maupun penuntut umum. 95 Pendekatan seni ini digunakan hakim
93

Pasal 191 ayat (1) KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Pasal 191 ayat (2) KUHAP “Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan
tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdak