Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apel

Apel (Malus domestica Borkh.) termasuk rajanya buah komersial karena konsumennya luar biasa banyaknya. Di Indonesia, apel diperkenalkan oleh orang Belanda dan dikembangkan oleh orang Indonesia. Sayangnya daerah di Indonesia yang cocok ditanami apel masih sangat terbatas. Daerah Batu, Malang, merupakan sentra apel di Indonesia karena tanaman ini banyak diusahakan sebagai suatu usaha tani. Oleh penduduk di Malang tanaman ini ditanam di pekarangan maupun di kebun (Untung, 1996).

Menurut Untung (1996), dalam tatanama atau sistemik (taksonomi) tumbuhan buah apel, diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales Family : Rosaceae Genus : Malus

Spesies : Malus domestica

Apel diketahui mengandung beberapa vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi manusia. Sebutir apel berdiameter 5-7 cm mengandung vitamin A 900 IU/100 g, tiamin 7 mg, riboflavin 3 mg, niasin 2 mg, vitamin C 5 mg,


(2)

protein 3 g, energi 58 kalori, lemak 4 g, karbohidrat 14,9 g, kalsium 6 mg, besi 3 mg, fosfor 10 mg, dan kalium 130 mg (Untung, 1996).

Dengan kandungan seperti itu ada orang berpendapat bahwa tingkat keasaman yang rendah pada apel meningkatkan produksi air liur yang baik untuk kesehatan gigi. Penelitian menunjukkan bahwa memakan apel sebutir sehari memperkecil risiko terkena asma, arthritis, dan penyakit kulit (Untung, 1996).

Selain dimakan segar, apel bisa diolah menjadi jam (selai), jeli, dan sari buah. Meski namanya olahan, tetapi bukan berarti yang dipakai apel busuk atau cacat. Biasanya yang diolah apel berukuran kecil atau buah apel hasil penjarangan. Kandungan pektin pada apel sekitar 24%. Pektin yang dapat membentuk gel bila ditambah gula pada pH tertentu, memegang peranan penting dalam industri jeli, sari buah, dan selai (Untung, 1996).

2.2 Ekologi dan Syarat Tumbuh Apel

Apel termasuk tanaman yang selalu berganti daun dan tumbuh di daerah dingin. Kendati demikian, karena sudah lama dibudidayakan ada kultivar-kultivar apel yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik di daerah bersuhu sedang dan panas. Oleh karena kemampuannya beradaptasi di berbagai kondisi iklim, apel tumbuh di berbagai penjuru dunia. Di Eropa, Amerika Utara dan Selatan, New Zealand, Australia, dan Asia, tanaman ini dapat dijumpai (Untung, 1996).

Meskipun variasi kultivar apel membuat tanaman buah ini bisa ditanam di berbagai penjuru dunia, tapi tempat tumbuh yang paling baik ialah di daerah yang mempunyai dua musim, yakni musim dingin dan musim panas. Temperatur yang cocok di malam hari dibarengi intensitas sinar matahari selama periode masaknya


(3)

buah akan membantu pembentukan pigmen antosianin. Pigmen antosianin adalah pigmen yang membuat apel berwarna merah (Untung, 1996).

Di Indonesia apel tumbuh di dataran tinggi yang kering dan curah hujan yang tidak terlalu tinggi. Curah hujan yang terlalu tinggi dapat menimbulkan berbagai macam problem, terutama serangan jamur. Tanah, suhu, dan kelembaban pun perlu mendapat perhatian agar apel dapat tumbuh dengan baik (Untung, 1996).

Kriteria tempat tumbuh pohon apel yang baik, antara lain: 1. Ketinggian tempat

Pada ketinggian 700 - 1.200 meter di atas permukaan laut memang tidak banyak jenis tanaman buah yang dapat tumbuh dengan baik. Lebih-lebih jika dataran tinggi itu tipe iklimnya kering. Namun, di daerah seperti itulah apel dapat tumbuh dengan baik (Untung, 1996).

2. Suhu

Suhu maksimum yang dikehendaki apel ialah 270C dan suhu minimum sekitar 160C. Kelembaban udara yang dikehendaki tanaman ini berkisar antara 75 - 85%. Selain suhu dan kelembaban, tempat tumbuh apel pun harus terbuka agar sekitar 50 - 80% sinar matahari dapat menyinari pohon buah ini. Sinar matahari sangat berperan dalam pertumbuhan apel. Tanpa sinar matahari yang cukup kulit buah apel tidak akan berwarna merah sehingga daya tarik penampilannya berkurang (Untung, 1996).

3. Curah hujan

Curah hujan yang diperlukan bagi pertumbuhan apel berkisar antara 1.000 - 2.600 mm per tahun dengan 3 - 4 bulan kering dan 6 - 7 bulan basah. Bulan


(4)

kering ialah bulan-bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm per bulan (Untung, 1996).

4. Tanah

Tanah ber-pH 7 dan berpengairan bagus merupakan tempat tumbuh paling ideal bagi tanaman apel. Kendatipun demikian apel bisa beradaptasi di tempat-tempat yang agak menyimpang dari persyaratan ideal tersebut. Pertumbuhan apel akan baik sekali pada tanah dengan struktur bagus. Perbaikan struktur tanah dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik seperti kompos/pupuk kandang. Semakin baik struktur tanah semakin bagus pula aerasi udara di antara rongga partikel tanah sehingga semakin subur pula pertumbuhan tanaman. Pada aerasi tanah yang jelek pengambilan unsur hara akan terhambat. Bahkan lebih fatal lagi, akar-akar rambut bisa berhenti berkembang (Untung, 1996).

2.3 Vitamin

Vitamin merupakan suatu senyawa organik yang sangat diperlukan tubuh untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi. Sebagai perkecualian adalah vitamin D, yang dapat dibuat dalam kulit asalkan kulit mendapat cukup kesempatan kena sinar matahari (Winarno, 1980; Andarwulan dan Koswara, 1992).

Vitamin adalah senyawa-senyawa organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan mempertahankan hidup hewan, termasuk manusia yang secara alami tidak mampu untuk mensintesis senyawa-senyawa tersebut melalui


(5)

proses anabolisme. Senyawa-senyawa tersebut diperlukan dan efektif dalam jumlah sedikit, tidak menghasilkan energi dan tidak digunakan sebagai unit pembangun struktur tubuh organisme, tetapi sangat penting untuk tranformasi energi dan pengaturan metabolisme tubuh (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Vitamin dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu vitamin yang dapat larut dalam air dan vitamin yang dapat larut dalam lemak. Jenis vitamin yang larut dalam air adalah vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin yang dapat larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, serta provitamin A yaitu ß-karoten. Bahan makanan yang kaya akan vitamin adalah sayur-sayuran dan buah-buahan (Sudarmadji., dkk, 1989).

2.3.1 Vitamin C

Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus molekul C6H8O6. Vitamin C dalam bentuk murni merupakan kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190 - 192°C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Sifat-sifat tersebut terutama disebabkan adanya struktur enediol yang berkonyugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam terutama adalah L-asam askorbat. Biasanya D-asam askorbat ditambah ke dalam bahan pangan sebagai antioksidan, bukan sebagai sumber vitamin C (Andarwulan dan Koswara, 1992; Tjokonegoro, 1985).

Vitamin C mudah larut dalam air (1g dapat larut sempurna dalam 3 ml air), sedikit larut dalam alkohol (1 g larut dalam 50 ml alkohol absolut atau 100 ml gliserin) dan tidak larut dalam benzena, eter, kloroform, minyak dan sejenisnya. Vitamin C tidak stabil dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat


(6)

udara, logam-logam seperti Cu, Fe, dan cahaya (Andarwulan dan Koswara, 1992; Tjokonegoro, 1985).

Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Ditjen POM, 1995):

Gambar 2.1 Rumus bangun vitamin C

Vitamin C, suatu zat gizi yang luar biasa, telah dikenal sebagai suatu senyawa utama tubuh yang dibutuhkan dalam berbagai proses penting, mulai dari pembuatan kolagen, karnitin pengangkut lemak, hormon adrenalin dan kortison, pengangkut elektron dalam berbagai reaksi enzimatik, pelindung integritas pembuluh darah, pemacu gusi yang sehat, pelindung radiasi, pengatur tingkat kolesterol, pendetoksifikasi radikal bebas, senyawa antibakteria dan antivirus, serta pemacu imunitas (Goodman, 2000; Khomsan, 2002).

Vitamin C juga dikenal sebagai senyawa ampuh untuk menangkal radikal bebas. Beberapa di antara radikal bebas itu bersifat toksik dan sangat reaktif. Untuk mengganti elektron yang hilang, radikal bebas melakukan serangkaian reaksi kimia yang menyebabkan kerusakan pada membran sel, mutasi DNA, mempercepat penuaan, dan penyebab penumpukan lemak. Pemakaian vitamin C sebagai salah satu antioksidan alami secara luas dianjurkan dalam mengobati dan mendetoksifikasi (mengurangi sifat racun) keadaan tersebut (Khomsan, 2002).


(7)

Vitamin C (asam askorbat) bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh- pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, oksigen, enzim, kadar air, dan katalisator logam. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi asam dehidroaskorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Asam askorbat Asam dehidro Asam diketogulonat Asam

askorbat oksalat

Gambar 2.2 Reaksi Perubahan Vitamin C (Silalahi, 1985).

Asam askorbat bersifat sangat larut dalam air, akibatnya sangat mudah hilang akibat luka di permukaan atau pada waktu pemotongan bahan pangan. Dalam processed food, kehilangan terbanyak terjadi akibat degredasi kimiawi. Dalam bahan pangan yang kaya akan vitamin C seperti produk buah-buahan, kehilangan vitamin C ada kaitannya dengan reaksi kecokelatan non-enzimatik (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Stabilitas asam askorbat biasanya meningkat dengan penurunan suhu penyimpanan akan tetapi selama pembekuan terjadi kerusakan yang cukup besar. Kerusakan ini bervariasi untuk setiap jenis bahan pangan, tetapi suhu


(8)

penyimpanan dibawah -180C dapat menyebabkan kerusakan yang cukup berarti (Andarwulan dan Koswara, 1992).

Vitamin C dapat ditemukan di alam hampir pada semua tumbuhan terutama sayuran dan buah-buahan, terutama buah-buahan segar. Karena itu sering disebut Fresh Food Vitamin (Budiyanto, 2004; Goodman, 2000).

Jumlah vitamin C yang terkandung dalam tanaman tergantung pada varietas dari tanaman, pengolahan, suhu, masa pemanenan dan tempat tumbuh (Counsell dan Hornig, 1981).

2.3.2 Fungsi Vitamin C

Fungsi vitamin C di dalam tubuh bersangkutan dengan dengan sifat alamiahnya sebagai antioksidan yang berperan serta di dalam banyak proses metabolisme yang berlangsung di dalam jaringan tubuh, antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutus reaksi berantai dan radikal bebas (Sediaoetama, 2008).

Salah satu fungsi utama vitamin C berkaitan dengan sintesis kolagen. Kolagen adalah sejenis protein yang merupakan salah satu komponen utama dari jaringan ikat, tulang, gigi, pembuluh darah dan mempercepat proses penyembuhan (Sediaoetama, 2008).

Kekurangan asupan vitamin C dapat menyebabkan penyakit sariawan atau skorbut. Bila terjadi pada anak (6 - 12 bulan), gejala-gejala penyakit skorbut ialah terjadinya pelembekan tenunan kolagen, infeksi, dan demam. Pada anak yang giginya telah keluar, gusi membengkak, empuk dan terjadi pendarahan. Pada orang dewasa skorbut terjadi setelah beberapa bulan menderita kekurangan


(9)

vitamin C dalam makanannya. Gejalanya ialah pembengkakan dan perdarahan pada gusi, luka lambat sembuh sehingga mudah berdarah dan mengalami infeksi berulang. Akibat yang parah dari keadaan ini ialah gigi menjadi goyah dan dapat lepas (Winarno, 2002).

Vitamin C dapat terserap sangat cepat dari alat pencernaan masuk ke dalam saluran darah dan dibagikan ke seluruh jaringan tubuh. Pada umumnya tubuh menahan vitamin C sangat sedikit. Kelebihan vitamin C dibuang melalui air kemih. Karena itu bila seseorang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah besar (megadose), sebagian besar akan dibuang keluar, terutama bila orang tersebut biasa mengkonsumsi makanan yang bergizi tinggi (Winarno, 2002).

Menurut Silalahi (2006), apabila akan mengkonsumsi suplemen vitamin C maka tidak boleh lebih dari 2000 mg per hari, meskipun vitamin C akan dibuang melalui urin, vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyebabkan sakit kepala, peningkatan jumlah urin, diare dan mual. Bagi seseorang dengan kecenderungan pembetukan batu ginjal, diharapkan untuk tidak mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi.

Kebutuhan harian vitamin C bagi orang dewasa adalah sekitar 60 mg, untuk wanita hamil 95 mg, anak-anak 45 mg, dan bayi 35 mg, namun karena banyaknya polusi di lingkungan antara lain oleh adanya asap-asap kendaraan bermotor dan asap rokok maka penggunaan vitamin C perlu ditingkatkan hingga dua kali lipatnya yaitu 120 mg (Silalahi, 2006).


(10)

2.4 Metode Penetapan Kadar Vitamin C

Ada beberapa metode dalam penentuan kadar vitamin C yaitu: a. Metode titrasi iodimetri

Iodium akan mengoksidasi senyawa-senyawa yang mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil dibandingkan iodium, dimana dalam hal ini potesial reduksi iodum +0,535 volt, karena vitamin C mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil (+0,116 volt) dibandingkan iodium sehingga dapat dilakukan titrasi langsung dengan iodium (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudjadi dan Rohman, 2008).

Deteksi titik akhir titrasi pada iodimetri ini dilakukan dengan menggunakan indikator amilum yang akan memberikan warna biru kehitaman pada saat tercapainya titik akhir titrasi (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Metode ini dapat juga digunakan untuk pemeriksaan harian terhadap sediaan vitamin C yang tidak mengandung senyawa mereduksi lainnya (Watson, 2010). Larutan baku lain yang dapat digunakan berdasarkan sifat mereduksi asam askorbat adalah serium (IV) ammonium sulfat atau kalium iodat (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Kandungan vitamin C dalam larutan murni dapat ditentukan secara titrasi menggunakan larutan 0,01 N iodin. Menurut Andarwulan dan Koswara (1992), metode iodimetri tidak efektif untuk mengukur kandungan vitamin C dalam bahan pangan, karena adanya komponen lain selain vitamin C yang juga bersifat pereduksi. Senyawa-senyawa tersebut mempunyai titik akhir yang sama dengan warna titik akhir titrasi vitamin C dengan iodin.


(11)

Gambar 2.3 Reaksi antara vitamin C dan iodin (Sudjadi dan Rohman, 2008). b. Metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol

Metode 2,6-diklorofenol indofenol (DCIP) ini berdasarkan atas sifat mereduksi asam askorbat terhadap zat warna 2,6-diklorofenol indofenol. Asam askorbat akan mereduksi indikator warna 2,6-diklorofenol indofenol membentuk larutan yang tidak berwarna. Pada titik akhir titrasi, kelebihan zat warna yang tidak tereduksi akan berwarna merah muda dalam larutan asam (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6 -diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6--diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat terjadinya warna merah muda (Sudarmadji., dkk, 1989).

Titrasi vitamin C harus dilakukan dengan cepat karena banyak faktor yang menyebabkan oksidasi vitamin C misalnya pada saat penyiapan sampel atau penggilingan. Oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat, dan asam oksalat. Penggunaan asam-asam di atas juga berguna untuk mengurangi oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi


(12)

yang terdapat dalam jaringan tanaman. Selain itu, larutan asam metafosfat–asetat juga berguna untuk pangan yang mengandung protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein. Suasana larutan yang asam akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dalam suasana netral atau basa (Andarwulan dan Koswara, 1992; Counsell dan Hornig, 1981).

Metode ini pada saat sekarang merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam bahan pangan. Metode ini lebih baik dibandingkan metode iodimetri karena zat pereduksi lain tidak mengganggu penetapan kadar vitamin C. Reaksinya berjalan kuantitatif dan praktis spesifik untuk larutan asam askorbat pada pH 1 - 3,5. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-diklorofenol indofenol dengan vitamin C standar (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudarmadji., dkk, 1989).

Dye (pink) Ascorbic acid dye(colourless) Dehyroascorbic acid

Gambar 2.4 Reaksi asam askorbat dengan 2,6-diklorofenol indofenol c. Metode Spektrofotometri Ultraviolet

` Metode ini berdasarkan kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum pada


(13)

265 nm dan A11= 556a. Oleh karena vitamin C dalam larutan mudah sekali mengalami kerusakan, maka pengukuran dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat daripada vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan larutan KCN (sebagai stabilisator) ke dalam larutan vitamin (Andarwulan dan Koswara, 1992).

2.5 Analisis Kembali Kadar Vitamin C yang Ditambahkan pada Sampel (Analisis Recovery)

Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (% recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Kecermatan (recovery) ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (Spiked pla cebo recovery) dan metode penambahan baku (Standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar analit sebenarnya). Dalam metode penambahan baku dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).

Menurut Harmita 92004), rumus perhitungan persen recovery:

% Recovery = C

B A


(14)

Keterangan: A = Kadar vitamin C sebelum penambahan baku vitamin C B = Kadar vitamin C setelah penambahan baku vitamin C C = Kadar vitamin C baku yang ditambahkan

2.6 Analisis Data Secara Statistik

2.6.1 Penolakan Hasil Pengamatan (Rejection of Measurement)

Di antara hasil yang diperoleh dari satu seri penetapan kadar terhadap satu macam sampel, adakalanya terdapat hasil yang sangat menyimpang bila dibandingkan dengan yang lain tanpa diketahui kesalahannya secara pasti sehingga timbul kecenderungan untuk menolak hasil yang sangat menyimpang (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Untuk memastikan hasil yang sangat menyimpang ditolak atau diterima, perlu dilakukan analisis data secara statistika. Pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05), hasil analisis ditolak jika Qhitung > Qtabel (Sudjadi dan Rohman, 2008). 2.6.2 Uji Ketelitian (Presisi) Metode Analisis

Uji presisi (keseksamaan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual yang diterapkan secara berulang pada sampel. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku relatif (Relative Sta ndard Devia tion) atau koefisien variasi (Harmita, 2004).

Menurut Harmita (2004), rumus perhitungan persen RSD:

% RSD = X SD

x 100%

Keterangan: SD = standar deviasi

X = kadar rata-rata sampel

Data hasil perhitungan koefisien variasi (%RSD) dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 65.


(15)

2.6.3 Pengujian Beda Nilai Rata-Rata

Untuk mengetahui apakah kadar vitamin C berbeda pada tiap sampel, maka dilakukan uji beda rata-rata kadar sampel yang diuji dengan uji F menggunakan software SPSS. Data berbeda secara signifikan jika Fhitung > Ftabel dan data tidak berbeda secara signifikan jika Fhitung < Ftabel. Jika data yang diperoleh berbeda secara signifikan, maka dilanjutkan dengan analisis Duncan.


(1)

2.4 Metode Penetapan Kadar Vitamin C

Ada beberapa metode dalam penentuan kadar vitamin C yaitu: a. Metode titrasi iodimetri

Iodium akan mengoksidasi senyawa-senyawa yang mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil dibandingkan iodium, dimana dalam hal ini potesial reduksi iodum +0,535 volt, karena vitamin C mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil (+0,116 volt) dibandingkan iodium sehingga dapat dilakukan titrasi langsung dengan iodium (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudjadi dan Rohman, 2008).

Deteksi titik akhir titrasi pada iodimetri ini dilakukan dengan menggunakan indikator amilum yang akan memberikan warna biru kehitaman pada saat tercapainya titik akhir titrasi (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Metode ini dapat juga digunakan untuk pemeriksaan harian terhadap sediaan vitamin C yang tidak mengandung senyawa mereduksi lainnya (Watson, 2010). Larutan baku lain yang dapat digunakan berdasarkan sifat mereduksi asam askorbat adalah serium (IV) ammonium sulfat atau kalium iodat (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Kandungan vitamin C dalam larutan murni dapat ditentukan secara titrasi menggunakan larutan 0,01 N iodin. Menurut Andarwulan dan Koswara (1992), metode iodimetri tidak efektif untuk mengukur kandungan vitamin C dalam bahan pangan, karena adanya komponen lain selain vitamin C yang juga bersifat pereduksi. Senyawa-senyawa tersebut mempunyai titik akhir yang sama dengan warna titik akhir titrasi vitamin C dengan iodin.


(2)

Gambar 2.3 Reaksi antara vitamin C dan iodin (Sudjadi dan Rohman, 2008). b. Metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol

Metode 2,6-diklorofenol indofenol (DCIP) ini berdasarkan atas sifat mereduksi asam askorbat terhadap zat warna 2,6-diklorofenol indofenol. Asam askorbat akan mereduksi indikator warna 2,6-diklorofenol indofenol membentuk larutan yang tidak berwarna. Pada titik akhir titrasi, kelebihan zat warna yang tidak tereduksi akan berwarna merah muda dalam larutan asam (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6 -diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6--diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat terjadinya warna merah muda (Sudarmadji., dkk, 1989).

Titrasi vitamin C harus dilakukan dengan cepat karena banyak faktor yang menyebabkan oksidasi vitamin C misalnya pada saat penyiapan sampel atau penggilingan. Oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat, dan asam oksalat. Penggunaan asam-asam di atas juga berguna untuk mengurangi oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi


(3)

yang terdapat dalam jaringan tanaman. Selain itu, larutan asam metafosfat–asetat juga berguna untuk pangan yang mengandung protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein. Suasana larutan yang asam akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dalam suasana netral atau basa (Andarwulan dan Koswara, 1992; Counsell dan Hornig, 1981).

Metode ini pada saat sekarang merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam bahan pangan. Metode ini lebih baik dibandingkan metode iodimetri karena zat pereduksi lain tidak mengganggu penetapan kadar vitamin C. Reaksinya berjalan kuantitatif dan praktis spesifik untuk larutan asam askorbat pada pH 1 - 3,5. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-diklorofenol indofenol dengan vitamin C standar (Andarwulan dan Koswara, 1992; Sudarmadji., dkk, 1989).

Dye (pink) Ascorbic acid dye(colourless) Dehyroascorbic acid

Gambar 2.4 Reaksi asam askorbat dengan 2,6-diklorofenol indofenol c. Metode Spektrofotometri Ultraviolet

` Metode ini berdasarkan kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum pada


(4)

265 nm dan A11= 556a. Oleh karena vitamin C dalam larutan mudah sekali mengalami kerusakan, maka pengukuran dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat daripada vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan larutan KCN (sebagai stabilisator) ke dalam larutan vitamin (Andarwulan dan Koswara, 1992).

2.5 Analisis Kembali Kadar Vitamin C yang Ditambahkan pada Sampel (Analisis Recovery)

Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (% recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Kecermatan (recovery) ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (Spiked pla cebo recovery) dan metode penambahan baku (Standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi (plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan (kadar analit sebenarnya). Dalam metode penambahan baku dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004).

Menurut Harmita 92004), rumus perhitungan persen recovery:

% Recovery = C

B A


(5)

Keterangan: A = Kadar vitamin C sebelum penambahan baku vitamin C B = Kadar vitamin C setelah penambahan baku vitamin C C = Kadar vitamin C baku yang ditambahkan

2.6 Analisis Data Secara Statistik

2.6.1 Penolakan Hasil Pengamatan (Rejection of Measurement)

Di antara hasil yang diperoleh dari satu seri penetapan kadar terhadap satu macam sampel, adakalanya terdapat hasil yang sangat menyimpang bila dibandingkan dengan yang lain tanpa diketahui kesalahannya secara pasti sehingga timbul kecenderungan untuk menolak hasil yang sangat menyimpang (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Untuk memastikan hasil yang sangat menyimpang ditolak atau diterima, perlu dilakukan analisis data secara statistika. Pada taraf kepercayaan 95% (α = 0,05), hasil analisis ditolak jika Qhitung > Qtabel (Sudjadi dan Rohman, 2008). 2.6.2 Uji Ketelitian (Presisi) Metode Analisis

Uji presisi (keseksamaan) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual yang diterapkan secara berulang pada sampel. Keseksamaan diukur sebagai simpangan baku relatif (Relative Sta ndard Devia tion) atau koefisien variasi (Harmita, 2004).

Menurut Harmita (2004), rumus perhitungan persen RSD:

% RSD = X SD

x 100%

Keterangan: SD = standar deviasi

X = kadar rata-rata sampel

Data hasil perhitungan koefisien variasi (%RSD) dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 65.


(6)

2.6.3 Pengujian Beda Nilai Rata-Rata

Untuk mengetahui apakah kadar vitamin C berbeda pada tiap sampel, maka dilakukan uji beda rata-rata kadar sampel yang diuji dengan uji F menggunakan software SPSS. Data berbeda secara signifikan jika Fhitung > Ftabel dan data tidak berbeda secara signifikan jika Fhitung < Ftabel. Jika data yang diperoleh berbeda secara signifikan, maka dilanjutkan dengan analisis Duncan.


Dokumen yang terkait

Penetapan Kadar Vitamin C dari Buah Kedondong (Spondias dulcis Parkinson) Secara Volumetri Dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol

17 163 69

Penetapan Kadar Kadar Vitamin C dari Buah Melon Secara Volumetri dengan 2,6 – Diklorofenol Indofenol.

26 181 72

Penetapan Kadar Vitamin C Dari Bawang Putih (Allium sativum L.) Secara Titrasi 2,6-Diklorofenol Indofenol

37 206 67

Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

27 207 97

Penetapan Kadar Vitamin C dari Daging Buah Sirsak (Annona muricata L.) secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol

1 12 68

Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

1 2 14

Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

0 0 2

Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

0 2 3

Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

0 1 3

Penetapan Kadar Vitamin C dari Jus Buah Apel (Malus domestica Borkh.) yang Berwarna Merah dan Hijau secara Titrasi dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol pada Beberapa Interval Waktu

1 2 41