GENDER DAN PENDIDIKAN (2). docx

GENDER DAN PENDIDIKAN
Meta Kartika Sari
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Jurai Siwo Metro
Email: metakartika97@gmail.com
Abstrak
Pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manusia, dimana pendidikan memiliki
cakupan yang luas. Pendidikan mencakup semua pengalaman dan pikiran manusia. Pendidikan
lebih menekan dalam hal praktek yang berhubungan dengan kegiatan belajar mengajar, selain itu
pendidikan juga terfokus pada pemikiran mengenai pendidikan. Dengan adanya pendidikan, akan
membantu menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan membantu mencapai kemajuan
pembangunan. Masalah yang muncul dari dunia pendidikan ialah kesenjangan gender. Kesenjangan
yang dimaksud disini ialah belum tercapainya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada
beberapa faktor yang menjadi penyebab dari kesenjangan gender, antara lain faktor biologis, faktor
sosial budaya, dan faktor ekonomi. Adanya kesenjangan gender tersebut, memberikan dampak pada
pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam hal ini kesenjangan gender dapat diatasi dengan memberikan
wadah sendiri untuk perempuan, seperti kegiatan pembelajaran tari untuk perempuan dan
pembelajaran membuat karya tangan.
Kata Kunci: Pendidikan, Kesenjangan gender, faktor, dan solusi kesenjangan gender
Abstrack
Education is an activity undertaken by humans, where education has a broad scope.
Education includes all the experience and the human mine. Education is more pressing in terms of

practice related to teaching and learning activities, besides education also focused on thinking
about education. With their education, will help achieve development progress. Problems that arise
from the world of education is the gender gap. The gap is meant here is not the achievement of
equality between men and women. There are several factors that cause of the gender gap, among
other biological factors, cultural factors, and economic factors. The existence of the gebder gap,
have an impact on subtansce. In this case the gebder gap can be overcome by providing the
container itself to women, such as learning activities and teaching dance for women to make a
work of hand.
Keywords: Education, Gender inequality, Factors, and solutions of gender inequality.

A. Pendahuluan
Menurut data, presentase jumlah laki-laki dan perempuan di Indonesia hampi seimbang.
Dari hasil data tersebut, pemerintah membuat sebuah kebijakan untuk mengatur hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan. Dalam kebijakan pemerintah disebutkan bahwa perempuan
1

mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam hal pembangunan. Pemerintah
juga telah mengesahkan penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dengan adanya
kebijakan pemerintah tersebut, telah membuktikan bahwa dalam proses pembangunan dalam segala
aspek, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam proses merencanakan,

melaksanakan, membangun, mengawasi, dan menikmati hasil dari pembangunan yang
dilaksanakan.
Pendidikan adalah salah satu dari sekian banyak cara untuk mencegah terjadinya
kesenjangan gender. Dengan adanya pendidikan, akan membuat laki-laki dan perempuan
mengetahui dan mendapat memahami konsep kesetaraan gender. Dengan begitu, lembaga
pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan ilmu pengetahuan
mengenai nilai dan norma dalam masyarakat tanpa terkecuali tentang nilai dan norma mengenai
gender. Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan, dan merupakan misi utama
perubahan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan keharmonisan hidup.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi antara laki-laki maupun perempuan untuk
mendapat kesempatan dengan hak-haknya sebagai manusia. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan
alasan untuk mendiskriminasi dalam hal hak sosial, budaya, hukum, dan politik. Dengan adanya
keadilan gender ini, maka kemungkinan besar tidak akan ada lagi kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ini ditandai dengan sudah tidak ada
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, memperoleh kesempatan berpartisipsi, dan
memperoleh manfaat yang setara atau sama rata dari hasil pemangunan.
Dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender tersebut, maka pendidikan perlu
memenuhi dasar dari pendidikan, yaitu mengantarkan setiap individu mendapat pemerataan
pendidikan. Melalui pendidikanlah setiap diri individu akan mengetahui dan memahami betapa
pentingnya kesetaraan dan keadilan gender dalam proses hidup.

Oleh Karen itu, dalam kajian gender hal yang terpenting yang perlu dilakukan sebelum
membahas lebih lanjut mengenai gender adalah memahami terlebih dahulu perbedaan konsep
gender seks (jenis kelamin).

B. Pengertian Gender
Gender merupakan perbedaan antara laki-laki yang terlihat secara sosial, bukan hanya
dilihat berdasarkan perbedaan biologis saja. Gender juga dapat diartikan sebagai sebuah peran
sosial yang terbentuk dalam masyarakat. Dalam hal ini, Gender adalah perbedaan perilaku antara
2

laki-laki dan perempuan bukan dilihat dari segi biologis, tetapi terbentuk melalui proses sosial dan
budaya. Gender dapat berubah sedangkan jenis kelamin secara biologis akan tetap dan tidak
berubah.
Sex adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu. Contohnya seorang laki-laki adalah manusia yang memiliki alat kelamin
penis, memproduksi sperma dan lain sebagainya. Sedangkan perempuan adalah manusia yang
memiliki alat reproduksi sel telur, vagina, alat menyusui dan sebagainya. Alat-alat tersebut secara
biologis melekat baik pada perempuan ataupun laki-laki. Fungsinya tidak dapat dipertukarkan dan
secara permanen tidak berubah serta merupakan ketentuan biologis dari Tuhan (kodrat).1
Sementara itu, konsep gender adalah pembagian antara laki-laki dan perempuan yang

dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Contohnya perempuan dianggap emosional, keibuibuan, lemah lembut dan lain sebagainya. Sedangkan laki-laki dianggap lebih kuat, perkasa, dan
rasional. Sifat-sifat itu tidak selamanya akan seperti itu, karena sifat tersebut tidak abadi dan dapat
dipertukarkan. Artinya ada seorang laki-laki yang emosional,lemah lembut,juga keibuan. Sementara
ada juga perempuan yang kuat, rasional, juga perkasa. Oleh karena itu, gender dari waktu ke waktu
dapat berubah.2
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara lakilaki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender
bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan pengukuran terhadap persoalan
laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang
dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Gender menentukan berbagai pengalaman hidup, yang dapat menentukan akses terhadap
pendidikan, kerja, alat-alat, dan sumber daya. Gender berkaitan dengan kualitas dan relasi yang
dibentuk dalam hubungan kekuasaan dan dominasi dalam struktur kesempatan hidup perempuan
dan laki-laki, pembagian kerja yang lebih luas dan pada gilirannya berakar pada kondisi produksi
dan reproduksi yang diperkuat oleh sistem budya, agama, dan ideologi yang berlaku dalam
masyarakat.
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua tokoh feminis dari Asia Selatan, tidak
mudah untuk merumuskan definisi oleh dan atau diterapkan kepada semua feminis dalam semua
waktu dan disemua tempat. Karena fenimisme tidak mendasarkan pada suatu teori yang tunggal,
tetapi lebih mendasarkan pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkrit dan tingkatantingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan.3
1 “Mansuor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1999), hlm. 7-8.

Dalam jurnal Islam,”fenimisme dan konsep kesetaraan gender"., vol. 19 (2011), p. 107.
2 “Ibid, hlm.8-9”. Dalam jurnal Islam,“Fenimisme dan Konsep Kesetaraan Gender”., vol. 19 (2011).
3 "Yunahar Ilyas, fenimisme dalam kajian tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer (Yogyakarta: pustaka pelajar,
1998), hlm. 40. Dalam jurnal Islam, Fenimisme dan Konsep Kesetaraan Gender., vol. 19 (2011), p. 109.

3

Gender yang sejatinya merupakan konstruksi sosial dan cultural perihal peran laki-laki dan
perempuan di tengah kehidupan sosial, justru diselewengkan oleh laki-laki sebagai kodrat Tuhan
yang harus diterima secara diambil dan untuk diberikan. Hal ini Nampak pada pola pembagian
peran kerja laki-laki dan perempuan. Ruang kerja laki-laki di sector public, sementara perempuan
bekerja pada sektor domestik.4
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin.
Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, berlaku secara umum,
tidak dapat berubah, dan merupakan kodrat dari Tuhan. Sedangkan pengertian gender lebih
berhubungan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial, budaya dan
psikologis.
C. Konsep Kesetaraan Gender
Konsep terpenting yang harus dipahami dalam rangka membahas hubungan antara laki-laki
dan perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender.

Pemahaman dan perbedaan antara kedua konsep tersebut sangat diperlukan dalam melakukan
analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum
perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender dan
ketidakadilan gender dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Pemahaman atas
konsep gender sangatlah diperlukan mengingat dari konsep inilah telah lahir suatu analis mengenai
gender.5
Istilah gender digunakan berbeda dengan istilah seks. Gender digunakan untuk mencaritahu
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budayanya. Sementara seks itu
digunakan untuk mencaritahu perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah
seks lebih banyak tertuju pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, perubahan fisik, reproduksi, dan karakter biologis yang lainnya. Sementara itu
gender lebih banyak terfokus kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non-biologis
lainnya.6
Adanya perbedaan tersebut, telah melahirkan pemisahan fungsi dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mengurusi urusan luar rumah dan perempuan bertugas
mengurusi urusan dalam rumah yang dikenal sebagai masyarakat pemburu dan peramu dalam

4 “Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 160”. Dalam jurnal Islam, Fenimisme dan
Konsep Kesetaraan Gender., vol. 19 (2011), p. 108.
5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.4.

Dalam jurnal Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam, oleh Fatimah Zuhrah., pp. 6–7.
6 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 35.
Dalam jurnal Fatimah Zuhrah“ Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam”., p. 6.

4

masyarakat tradisional dan sektor publik dan sektor domestik dalam masyarakat modern. 7
Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender dan dianggap tidak
menimbulkan masalah, maka tak pernah digugat. Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu
digugat adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender.
Pengungkapan masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering
menghadapi perlawanan, baik dari kalangan kaum laki-laki ataupun kaum perempuan itu sendiri.
Hal ini bisa jadi disebabkan oleh dua hal: pertama, mempertanyakan status kaum perempuan pada
dasarnya adalah mempersoalkan system dan struktur yang telah mapan, kedua, mendiskusikan soal
gender berarti membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yaitu menyangkut
sekaligus melibatkan masing-masing dari individu.8
Oleh karena itu, pemahaman atas konsep gender sesungguhnya merupakan isu mendasar
dalam rangka menjelaskan masalah kesetaraan hubungan, kedudukan, peran dan tanggung jawab
antara kaum laki-laki dan perempuan.
D. Pengertian Pendidikan

Pendidikan bagi umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang
hayat. Tanpa adanya pendidikan sama sekali, mustahil bagi manusia untuk dapat hidup berkembang
dan sejalan dengan cita-cita untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep pandangan hidup
mereka. Pendidikan sebagai salah satu sektor yang paling penting dalam pembangunan nasional,
dijadikan andalan utama untuk berfungsi semaksimal mungkin dalam upaya meningkatkan kualitas
hidup manusia
Dalam urutan kependidikan agama Islam, istilah pendidikan mengandung pengertian ta’lim,
tarbiyah, irsyad, tadris, ta’dib, tazkiyah dan tilawah. Sebelum diuraikan mengenai pengertian
pendidikan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai pengertian pendidikan agar pembahasannya
lebih sistematis. Mengingat pendidikan dalam pandangan Islam itu tidak terlepas dari pengertian
pada umumnya, maka dengan demikian akan diketahui arti dan batasan-batasan pendidikan dalam
pandangan Islam yang jelas.
Dalam pendidikan agama Islam, diharapkan agar mampu menghasilkan manusia yang selalu
berusaha menyempurnakan iman, takwa, dan berahlak mulia. Ahlak mulia disini mencakup etika,
budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan. Manusia seperti itu diharapkan
tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan, cobaan, dan perubahan yang mungkin akan
muncul dalam pergaulan di dalam kehidupan masyarakat baik dilingkup local, nasional, regional,
maupun global.
7 Ibid., h. 302-302, p. 6.
8 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.4.

Dalam jurnal Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam, oleh Fatimah Zuhrah.

5

Sehubungan dengan itu, banyak orang yang menyalahartikan pengertian istilah “Pendidikan
Agama Islam” dengan “ Pendidikan Islam”. padahal, kedua istilah ini dianggap sama, sehingga
ketika berbicara tentang pendidikan berbasis Islam, isinya terbatas pada pendidikan mengenai
agama Islam atau sebaliknya, ketika berbicara tentang pendidikan agama Islam maka yang dibahas
justru pendidikan Islam, yang jelas-jelas kedua istilah tersebut pada dasarnya sudah berbeda.
Menurut Nasution, pendidikan adalah interaksi individu dengan anggota masyarakat yang
berkaitan dengan perubahan dan perkembangan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap,
kepercayaan dan keterampilan.9 Dalam pendidikan ada yang namanya pendidikan formal.
Pendidikan formal adalah pendidikan yang telah distandarisasi dalam jenjang, kurukilum, meteri
pembelajaran, evaluasi dan dana yang dikeluarkan. Pendidikan berkaitan dengan pendidikan formal,
yang mengajarkan cara belajar, pemberian motivasi, dan keterampilan sehingga dapat
menyesuaikan diri dalam masyarakat.
Pendidikan merupakan kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh manusia, yang memiliki
cakupan yang sangat luas. Ruang lingkup pendidikan mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran
manusia tentang pendidikan. Ilmu pendidikan harus dipelajari, karena yang akan dihadapi manusia
adalah menyangkut nasib kehidupan dan kelangsungan hidup manusia, yang akan menyangkut

harkat derajat manusia serta hak asasinya sebagai seorang manusia.
Setiap pendidikan harus diarahkan kepada pembentukan sikap positif pada anak, hendaknya
dipertimbangkan pula bahwa anak itu tidak hidup sendiri dalam dunia. Sehubungan dengan ingin
tercapainya kedewasaan, maka perlu diketahui dan didasari bahwa dalam proses perkembangannya
anak memerlukan bantuan. Disamping itu untuk mendidik suatu pendidikan kepada anak harus
sesuai dengan hakikat individualism dan sosialitasnya.
Dalam ilmu pengetahuan umum, istilah pendidikan dikenal dengan dua istilah yaitu: ilmu
pendidikan (paedagogiek) dan pendidikan (pedagogiek). Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan,
perbedaan kedua istilah tersebut ialah 1). Ilmu pendidikan (paedagogiek), lebih menitikberatkan
kepada pemikiran perenungan tentang pendidikan. Pemikiran bagaimana sebaiknya system
pendidikan, tujuan pendidikan, materi pendidikan, sarana prasarana, dan cara penilaian. Jadi dalam
ilmu pendidikan lebih menitikberatkan pada teori.
Sedangkan pada istilah pendidikan (paedagogiek), lebih menekan pada praktek, yaitu
menyangkut kegiatan belajar mengajar, tetapi kedua istilah tersebut tidak dapat dipisahkan secara
jelas. Kedua istilah tersebut harus dijalankan secara berdampingan, saling memperkuat untuk
meningkatkan mutu dan tujuan pendidikan.

9 Nasution, S. “Sosiologi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara”. Dalam jurnal Sosiokonsepsia,
“Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”., vol. 17 (2012).


6

Pendidikan yang pertama kali didapat adalah pendidikan informal yaitu pendidikan dari
keluarga. Pendidikan terseut mencakup bagaimana cara bersikap kepada orang tua, kepada adik,
kepada teman, bagaimana cara makan dengan baik dan hal-hal kecil lainnya.
Pengertian pendidikan disini menegaskan bahwa, dalam pendidikan hendaknya tercipta
sebuah wadah dimana peserta didik bisa secara aktif mempertajam dan menumbuhkan kemampuan
yang dimiliki. Dalam bahasa Inggris istilah education memiliki arti mengumpulkan dan
menyampaikan informasi dan menyalurkan atau menarik bakat keluar. Dalam praktik pendidikan,
kegitan-kegiatan seperti mengatur, memimpin, dan mengarahkan bakat merupakan aktifitas utama.
Pendidikan pada dasarnya lebih menekan dalam hal praktek, yaitu menyangkut kegiatan
belajar mengajar. Dalam undang-undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab 1 pasal 1 di nyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.10
Pendidikan itu pada dasarnya adalah peralihan budaya dari satu generasi ke generasi
lainnya, agar manusia tetap berada pada fase yang telah diraihnya. Dan dalam pandangan Islam,
pendidikan adalah sumber cahaya kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pendidikan merupakan
salah satu kegiatan yang wajib bagi laki-laki dan perempuan dan berlangsung seumur hidup.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang
dilakukan oleh seluruh aspek yang ada didalam kehidupan, baik orang terdekat, masyarakat ataupun
lembaga-lembaga yang ada, baik yang terjadi secara formal maupun non formal dengan tujuan
untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk menjadi seuah kebiasaan-kebiasaan baik yang terjadi
selama kita hidup untuk memperbaiki kualitas diri menjadi lebih baik dan mampu menjawab setiap
tantangan di masa depan yang berikatan dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keterampilan dan aspek-aspek lainnya.
Berdasarkan undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan yang berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat,
serta Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah atau bentuk lainnya yang sederajat.
E. Faktor-faktor Ketidaksetaraan Gender Dalam Pendidikan
10 Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: PT. Refika Aditama), 2009, hlm.7.
Dalam buku Ilmu Pendidikan.

7

Ketidaksetaraan gender secara utuh adalah akibat dari latar belakang pendidikan yang belum
setara. Ada tiga hal yang menjadi dasar permasalahan, yaitu: Kesempatan, Jenjang, dan Kurikulum.
Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan adalah perbedaan dalam hak dan kewajiban antara lakilaki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan formal. Ketidaksetaraan gender dalam
pendidikan dapat dilihat dari indicator kuantitatif, yakni angka tidak buta huruf, angka partisipasi
sekolah, pilihan bidang studi, dan komposisi staf pengajar dan kepala sekolah.11
Ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan banyak merugikan perempuan, hal
tersebut dapat dilihat dari anak perempuan yang cenderung putus sekolah ketika keuangan keluarga
tidak mencukupi, perempuan harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga, selain itu
juga, pendidikan yang rendah pada kaum perempuan menyebabkan perempuan banyak yang
terkonsentrasi pada pekerjaan informal dengan upah rendah.
Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang
dipandang dari sudut berbeda. Efianingrum mengungkapkan bahwa faktor yang menyebabkan
terjadinya ketidakserataan gender dalam pendidikan adalah faktor structural dan kultural serta
kebijakan pembangunan yang kurang menyentuh gender dan masih banyak praktik budaya yang
bias gender.12
Faktor-Faktor Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan ini tidak hanya berlangsung dan
disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan
dalam lingkungan keluarga. Stereotip gender yang berkembang di masyarakat telah mengkotakkotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki- laki. Hal ini disebabkan oleh nilai dan
sikap yang dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah
memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan.
Faktor yang menjadi alasan pokok yang penyebab ketidaksetaraan gender menurut
Suleeman yaitu: 1). Semakin tinggi tingkat pendidikan formal semakin terbatas jumlah sekolah
yang tersedia, 2). Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya untuk bersekolah, 3).
Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena anak perempuan
menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah.13
Sedangkan faktor-faktor penentu ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan menurut Van
Bemmelen meliputi: 1). Akses perempuan dalam pendidikan, 2). Nilai gender yang dianut oleh

11 Van Bemmelen, S.“Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. Ihromi, Kajian Wanita Dalam
Pembangunan,( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 176-226. Dalam jurnal Sosiokonsepsia
”ketidaksetaraan gender dalam pendidikan"., vol. 17 (2012), pp. 5–6.
12 Efianingrum, Ariefa. 2008. Pendidikan dan Pemajuan. dalam dalam artikel RANIENCI ISTIQOMAH,
“Kesenjangan Gender Dalam Bidang Pendidikan”.
13 Suleeman, E. “Pendidikan Wanita di Indonesia”(dalam T. O. Ihromi, Kajian Wanita dalam Pembangunan).
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 227-248. Dalam jurnal sosiokonsepsia,“Ketidaksetaraan Gender dalam
Pendidikan”., vol. 17 (2012), p. 6.

8

masyarakat, 3). Nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, 4). Nilai gender yang
ditanamkan oleh guru, 5). Kebijakan yang bias gender.
Suryadi dan Idris, membagi faktor-faktor kesenjangan gender bidang pendidikan ke dalam
4 aspek yaitu: 1). Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan
sumber daya tertentu, 2). Partisipasi adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok dalam
suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, 3). Kontrol adalah penguasaan atau
wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan, 4). Manfaat adalah kegunaan sumber yang
dapat dinikmati secara optimal.14
Studi yang dilakukan Suryadi menemukan bahwa pilihan keluarga yang kurang beruntung
memberikan prioritas bagi anak laki-laki untuk sekolah dengan alasan biaya, bukan hanya dilandasi
oleh pikiran kolot dan tradisional semata, tetapi juga dilandasi dengan pengalaman empirik bahwa
tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Hal ini sesuai
dengan kenyataan bahwa rata-rata penghasilan pekerja perempuan secara empirik memang lebih
rendah dibandingkan penghasilan pekerja laki-laki.15
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan antara lain nilai, akses, partisipasi, kontrol dan manfaat.
Nilai yang berkembang dalam masyarakat yang mengkotak-kotakan peran laki-laki dan perempuan
dapat mempengaruhi stereotip gender.
Terdapat juga faktor-faktor lain, yang menjadi penyebab ketidaksetaraan gender dalam
pendidikan, yaitu: Akses, Partisipasi, Kontrol, Manfaat dan Nilai. Akses adalah peluang atau
kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Pada bidang pendidikan
kesetaraan terhadap akses yakni keketersediaan sekolah, jarak yang harus ditempuh, biaya serta
hambatan di lapangan, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesamaan peluang antara lakilaki dan perempuan dalam mengakses peran-peran dalam kehidupan bermasyarakat.
Ketersediaan sarana dan fasilitas pendidikan merupakan kondisi yang dihadapi oleh
warga,sebagai salah satu contohnya dapat dilihat pada Kecamatan Majalaya dalam menyekolahkan
anak-anak mereka, serta untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Dari beberapa
peserta didik mengatakan bahwa semenjak mereka masih sekolah dulu bahkan sampai sekarang,
sarana dan prasarana sekolah masih menjadi kendala. Ketersediaan sarana dan prasarana disekolah
juga dapat mempengaruhi minat para warga desa untuk bersekolah.
Faktor biaya menjadi pertimbangan utama bagi para peserta didik untuk melanjutkan
sekolah ke jenjang lebih tinggi. Orang tua merupakan sumber pembiayaan yang utama bagi para
14 Suryadi, A dan Idris, “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan”, (Bandung: PT. Ganesindo, 2004). Dalam
jurnal sosiokonsepsia, “Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”., vol. 17 (2012), p. 6.
15 Suryadi, A. “Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan”. ( Jakarta: Bappenas dan WSPII-CIDA, 2001). Dalam
jurnal sosiokonsepsia, “Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”., vol. 17 (2012), p. 6.

9

peserta didik ketika bersekolah, sehingga ketika tidak ada dukungan biaya dari orangtua maka
mereka akan berhenti sekolah. Namun, ada pendapat berbeda mengenai kendala biaya tersebut.
Salah seorang peserta didik menyatakan bahwa biaya bukan merupakan kendala, namun faktor
malas untuk melanjutkan sekolah lebih menjadi kendala utama, sehingga memilih untuk berhenti.
Partisipasi adalah keikutsertaan seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan. Dalam hal
ini kaum perempuan dapat ikut serta dalam kegiatan pendidikan dan pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan pendidikan. Yang biasanya perempuan selama ini hanya bergerak di bidang
dosmetik dan tugasnya adalah mendidik anak dan menjaga kesejahteraan keluarga.
Stereotip yang berkembang di masyarakat, telah membagi peran apa yang pantas antara
kaum laki-laki dan kaum perempuan, sehigga perempuan kurang dilibatkan untuk berpartisipasi
dalam dunia pendidikan. Faktor pendorong anak perempuan untuk terus melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi (sampai dengan SMA) adalah: 1). Dukungan penuh dari orang tua, 2).
Keinginan dari dalam diri sendiri, supaya setara dengan teman-teman yang lain, terutama teman
pria dalam hal pendidikan, 3). Dalam keluarga semua bersekolah sampai dengan SMA, sehingga
anak perempuan pun harus sampai dengan tingkat SMA.
Persepsi tentang posisi dan peran anak perempuan dalam keluarga sebagai prioritas kedua
setelah anak laki-laki, menyebabkan sebagian anak-anak perempuan tidak melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi, meskipun secara pribadi memiliki keinginan untuk terus bersekolah,
supaya sama dengan teman-teman yang lain (teman pria).
Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan
dalam bidang pendidikan. Kontrol tersebut antara lain dalam keputusan melanjutkan sekolah dan
memilih jurusan bagi anak. Kontrol untuk memacu partisipasi perempuan dalam pendidikan di
tanah air, masih sangat didominasi oleh laki-laki.16 Ketika memutuskan untuk berhenti sekolah dulu,
mayoritas yang mengambil keputuan untuk berhenti adalah para orang tua peserta didik. Selain
orang tua, ada juga dari peserta didik sendiri yang memutuskan untuk berhenti sekolah karena
berbagai pertimbangan. Seperti berhenti atas pemintaan orang tua, dan peserta didik juga
berkeinginan untuk bekerja supaya bisa membantu keluarga. Pemilihan jurusan olehpeserta didik
yang melanjutkan sampai dengan tingkat SMA dilakukan sendiri, atau dengan kata lain tidak
mengikuti kemauan orang tua namun peserta didik tetap membicarakan pemilihan jurusan dengan
orang tuanya.
Manfaat adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal dari pendidikan yang
telah ditempuh oleh para peserta didik ketika mereka bersekolah dulu. Untuk melihat faktor
manfaat, pada penelitian ini menelaah dari dua aspek yaitu hasil dari pendidikan yang ditempuh
16 Joesoef Soelaiman, “ pendidikan luar sekolah”, (Surabaya: CV Usaha Nasional, 1979). Dalam jurnal
sosiokonsepsia “ketidaksetaraan gender dalam pendidikan”., vol. 17 (2012), p. 7.

10

serta akibat dari berhenti sekolah. Semuapeserta didik menyatakan bahwa mereka memperoleh
manfaat dari pendidikan yang telah ditempuh, baik yang hanya sampai dengan SD, SMP maupun
SMA.
Dari hasil pendidikan yang diperoleh informan pada masa lalu, dapat memberikan manfaat
kepada diri sendiri maupun kepada keluarga yaitu: (1) Bagi informan yang lulusan SD, manfaat
yang dirasakan adalah memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung; (2) Bagi informan
yang lulusan SD sampai dengan SMA, memiliki kemampuan untuk mengajar anak-anak mereka
membaca dan menulis di rumah; (3) Bagi informan yang lulusan SMP, dengan ijazah SMP yang
dimiliki lebih mudah diterima bekerja di pabrik garmen di wilayah Karawang; (4) Bagi informan
yang lulusan SMA, lebih mudah diterima bekerja di industri/pabrik, meskipun posisinya tidak
bagus. Selain itu, mereka mampu membantu anak-anak di rumah dalam menyelesaikan tugas-tugas
sekolah.
Semua peserta didik menyepakati bahwa dengan berhenti sekolah di masa lalu, baik SD,
SMP maupun SMA menimbulkan akibat yang kurang bagus kepada mereka. Para peserta didik
yang hanya bersekolah sampai dengan SD, merasa menyesal sekarang karena mereka tidak dapat
membantu suami mencari nafkah. Padahal mereka memiliki keinginan untuk bekerja, namun untuk
bekerja di kawasan industri seperti buruh pabrik mensyaratkan ijazah minimal SMP. Kalau pun
mereka mau bekerja, hanya pekerjaan-pekerjaan kasar yang tersedia, dan itupun lebih
mengutamakan laki- laki, seperti di industri mebel dan bengkel. Akibatnya, mereka tetap tidak bisa
bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, dan hanya mengandalkan suami sebagai pencari
nafkah utama.17
Nilai merupakan gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, berharga, dan dapat
mempengaruhi perilaku sosial seorang individu. Dalam hal ini nilai yang dianalisis berkaitan
dengan tradisi, perbedaan peranan dan posisi perempuan pada masa sekarang. 1. Tradisi Tradisi
menikah pada usia muda bagi perempuan merupakan faktor yang menjadi pendorong
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. . Mayoritas orang tua menjodohkan anak perempuan
mereka, dan menginginkan supaya anak perempuan menikah secepatnya. Selain karena dorongan
orang tua, menikah di usia muda juga disebabkan karena anak perempuan tidak mau ketinggalan
untuk segera menikah, supaya setara dengan teman-temannya yang telah menikah terlebih dahulu,
kondisi inilah yang menyebabkan menikah pada usia muda menjadi tradisi.
2. Perbedaan Peranan dalam Keluarga Semenjak masa kecil dahulu, para anak-anak
mengakui bahwa ada perbedaan peranan yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak perempuan..
Anak perempuan semenjak kecil telah ditanamkan nilai-nilai dan kewajiban sebagai pihak yang
17 Unger, R “Women and Gender a Feminist Psychologi”, (Ney York: McGraw Hill Inc, 1992). Dalam jurnal
sosiokonsepsia “ketidaksetaraan gender dalam pendidikan”., vol. 17 (2012), p. 10.

11

mengurus urusan rumah tangga. Pola pengasuhan yang diterapkan oleh para orang tua telah
memperkenalkan ketidaksetaraan gender bagi anak perempuan. Dengan mengajarkan bahwa anak
perempuan bertanggung jawab untuk urusan dalam rumah tangga, maka membentuk persepsi dan
berkembang menjadi tradisi bahwa setiap perempuan tempat beraktivitasnya adalah di rumah.
Sementara laki-laki memiliki kebebasan, karena semenjak kecil telah diberikan kebebasan oleh
orang tua untuk bermain di luar rumah. Kondisi inilah yang mempengaruhi munculnya
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan.
3 Peranan Perempuan Saat Ini Menurut para informan, saat ini mereka selain mengurus
urusan rumah tangga, juga terlibat dalam beberapa kegiatan sosial, seperti arisan dan pengajian. Ada
juga perempuan yang tetap bekerja walaupun sudah menikah dan punya anak, dengan tujuan untuk
membantu perekonomian keluarga. Adapun untuk kegiatan pengurusan anak dan rumah tangga,
tetap menjadi tugas perempuan. Demikian juga halnya dengan pola pengambilan keputusan tidak
berbeda jauh dengan ketika para informan masih sekolah dulu. Dalam rumah tangga, suami tetap
menjadi pihak utama pengambil keputusan. Pada intinya, terdapat kesamaan perlakuan terhadap
perempuan, antara masa ketika para perempuan bersekolah dulu dengan masa sekarang, ketika
mereka telah menjadi ibu rumah tangga.18
Kelima faktor tersebut mempunyai hubungan dalam menentukan pendidikan seseorang yang
dapat menyebabkan ketidaksetaraan gender. Namun yang paling berpengaruh dari kelima faktor
diatas adalah nilai, karena nilai bersifat turun menurun, dan dari turun menurun itulah yang nantinya
membentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat seperti peran gender yang tercipta pada
masyarakat hingga kini sulit untuk dirubah.
Faktor penyebab ketidaksetaraan gender juga dapat dilihat dari segi ekonomi, budaya,
lingkungan, pergaulan, pola piker, serta sarana dan prasarana pendidikan yang minim. Menurut Fitri
Gayatri dalam penelitiannya, menemukan bahwa karakteristik orang tua dan anak yang mencakup
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan tingkat kepekaan mempunyai
pengaruh dalam membentuk ketidakserataan yang terjadi dalam masyarakat khususnya dalam
bidang pendidikan.19
Ketidakserataan gender yang terjadi dalam bidang pendidikan memberikan dampak yang
merugikan bagi orang-orang yang mengalami ketidakserataan tersebut. Sebelumnya telah
disebutkan diatas bahwa ketidakserataan gender dalam pendidikan mengakibatkan lemahnya
kesejahteraan dan perkembangan masyarakat karena lemahnya pendidikan yang diterima oleh
masyarakat baik perempuan maupun laki-laki serta juga pembangunan yang dilakukan masih secara
18 Kementrian pemberdayaan perempuan, “ Beijing Platfrom For Action”, ( Jakarta: Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, 2009). Dalam jurnal sosiokonsepsia, “ketidaksetaraan gender dalam pendidikan”., vol. 17
(2012), p. 10.
19 Gayatri, Fitri. “faktor dan dampak ketimpangan pendidikan perempuan dalam kehidupan perempuan”,
(Jawa Barat: Kasus, 2008). Dalam artikel Ranienci Istiqomah, “kesenjangan gender dalam bidang pendidikan”., p. 23.

12

lemah. Dan ketidakserataan gender tersebut mempengaruhi sulitnya bagi perempuan untuk mencari
pekerjaan.

F. Simpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan tidak bisa lepas dari pendidikan dan
peranan antara laki-laki dan perempuan dalam prosesnya. Pendidikan merupakan salah satu kunci
utama dalam pembangunan dan pembentukan manusia yang berkualitas. Namun partisipasi
perempuan dan laki-laki dalam dunia pendidikan mengalami kesenjangan, karena salahnya
penafsiran antara gender dan seks. Kesenjangan gender dalam pendidikan yang terjadi dalam
masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diaantaranya faktor pendidikan yang tidak merata,
faktor biaya, sarana dan prasarana, faktor akses, faktor partisipasi, faktor kontrol, faktor manfaat,
dan juga faktor nilai dimana sudah menjadi sebuaah tradisi, sehingga sulit untuk mencegah
kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat. Dampak yang dihasilkan dari ketidakseraataan gender
dalam pendidikan ini juga sangat merugikan, diantaranya lemahnya kesejahteraan dan
perkembangan masyarakat yang disebabkan minimnya pendidikan yang diterima oleh kaum lakilaki maupun perempuan dan akan menyulitkan perempuan untuk mencari pekerjaan diluar rumah[.]

REFERENSI

Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, (Bandung: PT. Refika Aditama), 2009,
hlm.7. Dalam buku Ilmu Pendidikan.
13

Efianingrum, Ariefa. 2008. Pendidikan dan Pemajuan. dalam dalam artikel RANIENCI
ISTIQOMAH, “Kesenjangan Gender Dalam Bidang Pendidikan”.
Gayatri, Fitri. “faktor dan dampak ketimpangan pendidikan perempuan dalam kehidupan
perempuan”, (Jawa Barat: Kasus, 2008). Dalam artikel Ranienci Istiqomah, “kesenjangan
gender dalam bidang pendidikan”., p. 23.
Ibid., h. 302-302, p. 6.
“Ibid, hlm.8-9”. Dalam jurnal Islam,“Fenimisme dan Konsep Kesetaraan Gender”., vol. 19, 2011.
Joesoef Soelaiman, “ pendidikan luar sekolah”, (Surabaya: CV Usaha Nasional, 1979). Dalam
jurnal sosiokonsepsia “ketidaksetaraan gender dalam pendidikan”., vol. 17, 2012, p. 7.
Kementrian pemberdayaan perempuan, “ Beijing Platfrom For Action”, ( Jakarta: Kementrian
Pemberdayaan Perempuan, 2009). Dalam jurnal sosiokonsepsia, “ketidaksetaraan gender
dalam pendidikan”., vol. 17, 2012, p. 10.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
hlm.4. Dalam jurnal Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam, oleh Fatimah
Zuhrah., pp. 6–7.
“Mansuor Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1999), hlm.
7-8. Dalam jurnal Islam,”fenimisme dan konsep kesetaraan gender"., vol. 19, 2011, p. 107.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999),
hlm. 35. Dalam jurnal Fatimah Zuhrah“ Konsep Kesetaraan Gender Dalam Perspektif
Islam”., p. 6.
Nasution, S. “Sosiologi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara”. Dalam jurnal Sosiokonsepsia,
“Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”., vol. 17, 2012.
“Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 160”. Dalam jurnal Islam,
Fenimisme dan Konsep Kesetaraan Gender., vol. 19, 2011, p. 108.
Suleeman, E. “Pendidikan Wanita di Indonesia”(dalam T. O. Ihromi, Kajian Wanita dalam
Pembangunan). (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 227-248. Dalam jurnal
sosiokonsepsia,“Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”., vol. 17, 2012, p. 6.
Suryadi, A. “Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan”. ( Jakarta: Bappenas dan WSPIICIDA, 2001). Dalam jurnal sosiokonsepsia, “Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”.,
vol. 17, 2012, p. 6.
Suryadi, A dan Idris, “Kesetaraan Gender dalam Pendidikan”, (Bandung: PT. Ganesindo, 2004).
Dalam jurnal sosiokonsepsia, “Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan”., vol. 17, 2012,
p. 6.
Unger, R “Women and Gender a Feminist Psychologi”, (Ney York: McGraw Hill Inc, 1992). Dalam
jurnal sosiokonsepsia “ketidaksetaraan gender dalam pendidikan”., vol. 17, 2012, p. 10.
Van Bemmelen, S.“Gender dan Pembangunan: Apakah yang Baru? Dalam T. Ihromi, Kajian Wanita
Dalam Pembangunan,( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 176-226. Dalam jurnal
Sosiokonsepsia ”ketidaksetaraan gender dalam pendidikan"., vol. 17, 2012, pp. 5–6.
14

"Yunahar Ilyas, fenimisme dalam kajian tafsir Al-Quran klasik dan kontemporer (Yogyakarta:
pustaka pelajar, 1998), hlm. 40. Dalam jurnal Islam, Fenimisme dan Konsep Kesetaraan
Gender., vol. 19, 2011, p. 109.

15